Anda di halaman 1dari 17

Tugas Makalah Kelompok Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa

KAJIAN PERJANJIAN BERLANDASKAN ASAS KONSENSUALITAS

Dosen Pengampu :
Dr. H. Sahlan, SH, SE, MH
Oleh :
Tezar Okriel Ganse D10220093
Juliani Fransiska D10220075
M.R Riyanto Mogonta D10220080
Muh Arief Budiman Ramlan D10220094
Latar Belakang
Hukum adalah keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan
bersama yang apat dipaksakan pelaksanaannya. Tujuan utama dari hukum adalah
menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan
keseimbangan. Dalam mencapai tujuannya tersebut hukum bertugas membagi hak dan
kewajiban antar perorangan di dalm masyarakat, membagi wewenang dan mengatur
cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yarg seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pasal-pasal dalam hukurn perjanjian
merupakan apa yang dinamakan hukuIll. pelengkap (optional law), yang berarti bahwa
pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang
membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri
yang menyirnpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur
sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian - perjanjian yang mereka adakan itu.
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, yang artinya mengandung suatu asas
kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, dalarn hal ini disimpulkan dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: "Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal-pasal tersebut berisikan
suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian
yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang
membuatnya seperti undang-undang, atau dengan perkataan lain, dalam persoalan
perjanjian kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi diri kita sendiri. Pasal
pasal dalam hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak
mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu,
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Ketentuan asas konsensualitas ini, dirunuskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
menyebutkan bahwa, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di
samping kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian
itu sudahlah sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-
hal yang pokok dari perjanjian itu. Terhadap asas konsensualitas ini, ada juga
pengecualiannya, yaitu disana sini oleh undang-undang ditetapkan formalitas-formalitas
tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut
apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya perjanjian penghibahan,
jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris, perjanjian
perdamaian harus diadab secara tertulis, dan lain sebagainya, pe rjanjian-perjanjian untuk
mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.
Rumusan Masalah
1. Apakah sesudah perundingan mencapai tahap tertentu, sudah ada sepakat dan
karenanya sudah lahir perjanjian atau kontrak ?
2. Apakah pembatalan suatu kontrak kerja dikategorikan perbuatan melawan
hukum ?
Perjanjian Ditinjau dari Pengertian Umum
Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang
Perikatan pada umumnya. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Suatuperjanjian juga dinamakan suatu
persetujuan karena dua pihak setuju untuk melaksanakan suatu hal atau sama-sama
berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu. Istilah perjanjian merupakan istilah
yang umum dalam dunia hukum. Mengenai pengertian perjanjian diatur dalam pasal
1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Pengertian
perjanjian di atas selain tidak lengkap juga sangatluas.
Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja sedangkan
sangatluaskarena dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan
sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Menurut R. Setiawan sehubungan dengan itu perlu diadakan perbaikan pengertian
perjanjian, yaitu:
1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
2. Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313
KUHPerdata.
Sehingga perumusannya menjadi, persetujuan adalah suatu perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Menurut Sudikno Mertokusumo kata overeenkomst diterjemahkan sebagai
perjanjian, beliau tidak menggunakan istilah persetujuan sebagai toesteming. Kata
toestemingin dapat diartikan persetujuan, persesuaian kehendak, atau kata sepakat.
Pengertian perjanjian menurut beliau adalah hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian erat sekali kaitannya dengan perikatan, sebab ketentuan Pasal 1233 KUH
Perdata menyebutkan bahwa, perikatan dilahirkan baik dari undang-undang maupun
perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang
atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari
undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang
bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan perjanjian, maka mereka bermaksud agar
antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Berkaitan dengan ketentuan di atas.
Subekti berpendapat bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting
karena melihat perikatan sebagai suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian
diartikan sebagai suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Perjanjian merupakan
salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat
menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang mengikat satu
atau lebih subyek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.
Perikatan yang lahir karena undang-undang mencakup misalnya kewajiban seorang
ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan oleh istrinya.
Syarat-syarat sahnya perjanjian Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam
Pasal1320 KUH Perdata.Terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya
perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah:
1.Adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian
2.Adanya kecakapan para pihak untuk mengadakan perjanjian
3.Adanya suatu hal tertentu
4.Adanya sebab(causa)yang halal.
Dari empat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua merupakan syarat yang harus
dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian karena disebut syarat subyektif sedangkan syarat
ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian yang disebut
syarat obyektif Tidak dipenuhinya syarat obyektif ini berakibat perjanjian tersebut batal
hukum. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalamPasal 1320 KUHPerdata
telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338KUH Perdata, perjanjian telah memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme dan Unsur-unsur Perjanjian
1.Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang
berarti sepakat antara pihak-pihak mengenaipokok perjanjian.Menurut Subekti asas
consensus itu dilahirkan sejakdetik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain
perjanjian itumempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat daripara
pihak yang bersangkutan. Asas konsensualisme ini diatur dalamPasal 1338 (1) jo.
Pasal 1320 angka I KUH Perdata. Konsensus antarapihak dapat diketahui dari
kata“dibuat secara sah”, sedangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat yang tercantum didalam Pasal 1320 KUH Perdata yang salah satunya
menyebutkan“sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”(Pasal 1320 angka 1KUH
Perdata). Kata sepakat itu sendiri timbul apabila ada pernyataan kehendak dari sate
pihak dan pihak lain menyatakan menerima atau menyetujuinya. Oleh karena itu
unsur kehendak dan pernyataan merupakan unsur-unsur pokok disamping unsur lain
yang menentukan lahirnya perjanjian.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia
memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanda sepakat dari salah satu
pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat
dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat
yang diberikan ,dengan paksa adalah Contra dictio interminis. Adanya
paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan olehpihak
lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuksetuju
mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan
diripada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana,
(take it or leave it).
Asas konsesualisme merupakan `roh' dari suatu perjanjian.Hal ini tersimpul
dari kesepakatan para pihak, namun demikian padasituasi tertentu terdapat
perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya.
Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi
timbulnya perjanjian.
2. Unsur - Unsur Perjanjian
Suatu perjanjian memiliki unsur-unsur yang mendukung terjadinya suatu perjanjian
tersebut. Dalam dataran teori, unsur-unsur itu dapat di kelompok menjadi tiga
kelompok sebagai berikut:
a. Unsur essensialia.
Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang harus ada didalam perjanjian,
unsur mutlak, di mana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin
ada. Contohnya adalah sebagai berikut:
“sebab yang halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian. Dalam
perjanjian jual beli harga dan barang yangdisepakati kedua belah pihak harus
sama. Pada perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan
essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian
formal.”
b. Unsur naturalia.
Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang diatur, tetapi
yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut
oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah
(regelend/aanvullend recht). Contoh, kewajiban penjual untuk menanggung biaya
penyerahan (Pasal 1476KUH Perdata) dan untuk menjamin (Pasal 1491
KUHPerdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Dalam
perjanjian para pihak dapat mencantumkan klausula yang isinya
menyimpangi kewajiban penjual, misalnya pasal 1476 KUH Perdata dengan
menetapkan :“menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 1476 KUH
Perdata, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa biaya pengiriman objek
perjanjian ditanggung oleh pembeli sepenuhnya.”
Penyimpanganatas kewajiban penjual, misalnya Pasal 1491KUH Perdata dapat
diberikan dalam bentuk sebagai berikut: “parapihak dengan ini menyatakan,
bahwa para pihak telah mengetahui dengan bentuk-bentuk, warna serta keadaan
dari objek perjanjian dankarenanya para pihak sepakat untuk menetapkan,
bahwa segal atuntutan atas dasar cacat tersembunyi tidak lagi dibenarkan”.

c. Unsur Accidentalia.
Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak,
undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut. Contohnya
dalam perjanjian jual beli rumah, para pihaksepakat untuk menetapkan bahwa
jual beli tersebut tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman depan rumah.
Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, asas konsesualisme didapati kesimpulan
yang menyatakan bahwa kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya suatu
perjanjian, karena saat lahimya perjanjian atau untuk menentukan ada atau tidak
adanya suatu perjanjian adalah sejak detik tercapainya kesepakatan. Demikian juga
dalam prakteknya, bahwa pelaksanaan kontrak kerja, tidaklah dilakukan sendiri
oleh salah satu pihak melainkan atas kesepakatan kedua belah pihak.
Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakan kedua belah
pihak.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai