Anda di halaman 1dari 12

Hukum Adat Masyarakat Bali

Oleh :
Nafisa Dwi Audyanty 10040016088
Annisa Diya Ravaldini 10040016092
Alghifari Alfarisi 10040016114
Hendra Sugiarto 10040016128
Latar Belakang
 Masyarakat Bali, khususnya etnis Bali yang beragama Hindu, terkenal dengan kehidupan
adat dan budayanya. Nilai adat dan budaya ini merupakan suatu ketentuan yang harus di
ikuti bagi masyarakat bali. Sebagai warganegara Indonesia, orang-orang Bali tentu saja
juga tunduk kepada hukum negara, yaitu peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia. Disamping tunduk kepada hukum negara, bagi orang Bali juga berlaku hukum
adat, bahkan pada bidang-bidang kehidupan tertentu, hukum adat Bali justru berlaku
dengan sangat kuat terutama akibat belum adanya hukum nasional yang mengatur bidang
kehidupan tersebut.
Rumusan Masalah

1. Bagaimana budaya yang ada di Bali ?


2. Bagaimana sistem tata hukum adat yang ada di Bali ?
3. Adakah konflik mengenai adat istiadat ? Apabila ada konflik mengenai adat istiadat,
mengapa konflik itu terjadi ?
Landasan Teori

 Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, yang memiliki banyak adat istiadat yang sangat
melekat pada kehdupan sehari-hari. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok.
 Bali memiliki sejarah yang sangat panjang dari mulai jaman kerajaan hingga sekarang adat
istiadat yang terkandung sejak jaman dahulu tetap terjaga dengan baik. engaruh Hindu dari
India yang masuk ke Indonesia diperkirakan memberi dorongan kuat pada lompatan
budaya di Bali
 Oleh sebab sejarah adat yang panjang tersebut Bali memiliki keaneka ragaman adat istiadat
yang tetap terpelihara oleh masyarakatnya sampai jaman modern dewasa ini.
Memahami Hukum adat masyarakat Bali

 hukum adat Bali merupakan sebuah norma, baik dalam wujudnya yang tertulis
maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan
masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia
dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Pada
awalnya, istilah “hukum adat Bali” tidaklah begitu dikenal dikalangan masyarakat Bali.
Istilah yang biasa dikenal di kalangan masyarakat Bali, yakni adat, dresta,  awig-
awig, perarem dan lainnya untuk menyebut adat kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat, baik untuk adat yang bersifat hukum (hukum adat) maupun untuk adat yang
tidak bersifat hukum (adat istiadat).
 Sebagai masyarakat hukum adat, desa adat atau desa pakraman memiliki tata hukum
sendiri yang bersendikan pada adat-istiadat (dresta) setempat. Tatanan hukum yang berlaku
di desa adat atau desa pakraman disebut awig-awig. Selain di tingkat desa adat atau desa
pakraman, di tingkat banjar juga dikenal istilah awig-awig banjar pakraman. 
 Ada tiga jenis perarem, yakni perarem panyahcah awig-awig, perarem ngele, dan perarem
penepas wicara. Perarem penyahcah awig-awig merupakan perarem yang berupa aturan
pelaksanaan dari pawos-pawos (pasal-pasal) yang sudah ada dalam awig-awig. Perarem
ngele disebut juga perarem lepas, yaitu berupa peraturan-peraturan baru yang dibuat
melalui sangkepan desa untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan zaman. Perarem
penepas wicara, yaitu berupa keputusan sangkepan desa untuk memberikan penyelesaian
atau memberikan keputusan dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi di
lingkungan desa adat atau desa pakraman. 
Perkawinan Gelahang Bareng / Negen
 Umumnya Perkawinan Gelahang Bareng/Negen tidak terlalu sering
dilaksanakan. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan di
Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa.
terdapat berbagai factor yang menyebabkan terjadinya sistem Perkawinan Gelahang
Bareng/Negen, yaitu: calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin
kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan
anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam
desa,kala,patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang
berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang
Bareng/Negen.
 Perkawinan “Negen Dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari
Perkawinan “Negen Dadua” telah memunculkan hak anak / anak-anak perempuan di Bali
untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi
Manusia), khususnya terhadap anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali
menganut sistem patrilinial.
 Patrilinial merupakan suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan yang
berasal dari pihak ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarki,
meskipun pada dasarnya artinya berbeda.
Konflik yang Terjadi dalam Adat Bali

 Dari semua adat istiadat yang berada di bali sering terjadi konflik antara
masyarakatnya. Salah satunya konflik adat dalam sengketa perebuatan setra (tanah kuburan)
terjadi di sejumlah wilayah di Bali. Konflik antara desa pakraman dalam perebutan tanah
kuburan (setra) disebabkan karena otonomi yang dimiliki oleh desa pakraman. Dalam
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, desa pakraman harus memiliki harta kekayaan
sebagai modal dalam melaksanakan pemerintahannya itu. Pada Pasal 9 ayat (1) Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman menyebutkan bahwa harta kekayaan
desa pakraman adalah harta yang menjadi milik desa pakraman.
 Tanah kuburan (setra) adalah salah satu harta kekayaan desa yang menunjukkan
eksistensi desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali. Hal ini
menjadi salah satu pemicu perebutan setra yang sebelumnya digunakan secara bersama-
sama.
 Hal yang menyebabkan terjadinya konflik adat juga disebabkan oleh adanya
perubahan sosial yang tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat dan terjadinya
pergeseran nilai budaya. Apabila terjadi sengketa perebutan tanah kuburan/ setra, maka
permasalahan ini harus segera diselesaikan. Penyelesaian sengketa perebutan tanah
kuburan (setra) antara desa pakraman lebih baik jika diselesaikan melalui metode
penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau alternative dispute resolution (ADR).
 Dalam penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan, ada dua metode yang dapat
ditempuh yakni dengan negosiasi atau dengan cara mediasi. Negosiasi merupakan
komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah
pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Mediasi merupakan
mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga
yang netral tersebut adalah mediator.
 Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil maka desa pakraman
dapat menyelesaikannya melalui pengadilan. Pada sidang pertama di pengadilan maka
agenda yang dilakukan adalah mediasi.
Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan keragaman budaya yang dimiliki oleh daerah Bali sangat lah
banyak. Seperti cara beretika yang baik sesuai agama dan hukum adat bali yang berlaku.
Penyelesaian konflik tanah kuburan (setra) didasarkan pada hukum nasional dan hukum
adat (awig-awig) yang berlaku, dalam hal ini Prajuru desa memiliki peranan dalam
mencegah dan menyelesaikan sengketa perebutan tanah kuburan (setra) yakni dalam
merespon, mengkomunikasikan dan mereduksi potensi konflik.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai