Disusun oleh:
Kelas: 1C
Jurnal 1:
Acceptance and Commitment Theraphy (ACT) merupakan salah satu terapi yang
digunakan untuk mengatasi halusinasi, karena terapi tersebut membuat seseorang mampu
menerima setiap pengalaman dalam hidupnya sesuai dengan tujuan hidup. Terapi ini
menggunakan prinsip penerimaan dan komitmen dalam memperbaiki perilaku.
Fokus dari ACT adalah memungkinkan pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar
kehidupan yang bermakna. ACT dianggap sebagai terapi yang sesuai untuk menyelesaikan
masalah depresi dan meningkatkan kesehatan mental karena ACT membuat seseorang mampu
menerima setiap pengalaman dan peristiwa yang telah terjadi dan kembali berfungsi dengan
normal dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kajian Literatur
ACT merupakan salah satu bentuk pengembangan dari terapi kognitif, dimana keduanya
melibatkan strategi tingkah laku dan kognitif. Menurut Strosahl (2002), tujuan ACT adalah:
1. Membantu klien untuk dapat menggunakan pengalaman langsug untuk mendapatkan respon yang
lebih efektif untuk dapat tetap bertahan dalam hidup
3. Menyadari bahwa penerimaan dan kesadaran merupakan upaya alternative untuk tetap bertahan
dalam kondisi yang dihadapinya
4. Menyadari bahwa penerimaan akan terbentuk oleh karena adanya pikiran dan apa yang diucapkan
5. menyadari bahwa diri sendiri sebagai tempat penerimaan dan berkomitment melakukan tindakan
yang akan dihadapi
6. memahai bahwa tujuan dari suatu perjalanan hidup adalah memilih nilai dalam mencapai hidup yang
lebih berharga
Terapi ACT dapat digunakan dalam menangani masalah kecemasan, masalah penyakit kronik,
depresi, gangguan pola kebiasaan, dan masalah psikotik.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah n=56 orang di mana N1=28 (peserta yang di beri
intervensi ACT), N2=28 (peserta yang tidak diberi intervensi). Penelitian menggunakan quasi
Eksperimen dengan penilaian Pre-test untuk mengetahui kondisi awal respon ketidakberdayaan
pada pasien GGK kemudian setelah dilakukan pre test dilanjutkan dengan intervensi terapi.
Penelitian ini berlangsung selama 1 bulan. Hasil penelitian menunjukan penurunan respon
ketidakberdayaan secara bermakna pada kelompok yang mendapat terapi ACT dibandingkan
dengan kelompok yang tidak mendapat terapi ACT (p value < 0,05).
Metode Penelitian
Jika anak usia dini adalah fondasi masa depan Indonesia, maka segala
perkembangan anak di masa ini sangat penting untuk diperhatikan tidak terkecuali
juga bagi anak luar biasa atau berkebutuhan khusus (ABK).
Anak yang menderita autis tidak dapat mengintegrasikan informasi sensorik yang diterima
tubuh untuk dikirim ke otak, seperti sentuhan, penciuman, penglihatan, rasa, dan pendengaran.
Karenanya, anak autis sulit merespon lingkungan mereka dengan tepat. Sensori integrasi adalah
bagaimana seseorang mengatur informasi yang diperoleh dari lingkungan di sekitarnya sehingga
informasi tersebut dapat digunakan sesuai dengan situasi, yang termasuk kategori sensori adalah
panca indra (mata, hidung, telinga, kulit, lidah) ditambah dengan 2 sistem sensorik lain, yaitu
vestibular (berkaitan dengan gaya gravitasi bumi, keseimbangan) dan proprioseptif (kerja otot dan
sendi).
Autisme terjadi 5 dari setiap 10.000 kelahiran dengan jumlah penderita laki-laki empat kali
lebih besar dibandingkan dengan penderita perempuan. (Maulana, 2007). Namun demikian, jika
perempuan yang menderitanya, umumnya akan lebih parah dibandingkan dengan laki-laki.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), dengan deskripsi data
kualitatif. Teknik pengumpulan datanya melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif,
serta dokumentasi.
Sumber informasi (informan) dalam wawancara ini adalah Koordinator Pelayanan PLA,
Koordinator Terapis, Terapis Sensori Integrasi (SI), Orangtua Anak Autis, dan Staf Tata Usaha
(TU). Adapun anak autis yang menjadi subjek dalam penelitian ini berjumlah 5 anak, antara lain:
RH (laki-laki, 4 tahun), JHA (perempuan, 3 tahun), ASP (lakilaki, 8 tahun), NCD (laki-laki, 10
tahun) dan terakhir AR (laki-laki, 6 tahun).
Pembahasan
1. Implementasi Latihan Sensori motorik dalam
Pengembangan Kinestik Anak Autis di PLA
a. Kesempatan yang sama (equality of oppurtunity) berlaku
juga bagi anak autis dan anak berkebutuhan khusus dalam
memperoleh layanan pengembangan diri.
b. Perbedaan dan keunikan. Perlu diperhatikan perbedaan dan
keunikan agar tidak salah dalam memberikan penanganann
dna memenuhi kebutuhan masing-masing anak autis.
c. Waktu yang panjang. Terapi penanganan anak autis harus
dilakukan dengan cara terpadu dan setiap penyandang
gangguan ini membutuhkan jenis terapi yang berbeda sesuai
kondisinya.
d. Perlu diingat bahwa tujuan utama dalam menangani anak
autis dan anak berkebutuhan khusus yaitu mendorong
kemandirian mereka, jika memungkinkan bisa juga
mengembangkan bidang peningkatan akademiknya.
e. Orangtua dan guru-guru sekolah, serta orang yang memberikan terapi
lainnya harus bekerja sama, saling bersikap terbuka, serta selalu
berkomunikasi untuk membuat daftar perencanaan penanganan dengan teknik
yang terbaik bagi anakanak mereka.
a. Asupan nutrisi yang tidak disiplin Anak dengan autisme memiliki kebutuhan khusus dalam beberapa
hal.
b. Orangtua tidak konsisten menjalankan PR di rumah yang diberikan oleh terapis Pusat Layanan Autis,
yaitu PR berupa melatih kinestetik anak dengan aktivitas tertentu,
4. Optimalisasi Latihan Sensori Motorik Faktor-faktor yang mendukung latihan sensori motorik di Pusat
Layanan Autis Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, antara lain:
a. Prasarana yang menunjang Fasilitas atau sarana prasarana di pusat layanan autis bangka Belitung,
menurut pendapat beberapa terapis dan orangtua sudah memadai.
b. Kerjasama/komunikasi yang lancar antar terapis Pengurus Pusat Layanan Autis atau para terapis
sering mengadakan briefing baik sebelum melaksanakan kegiatan maupun ketika selesai kegiatan,
termasuk dalam obrolan santai.
c. Sikap Penerimaan orangtua/keluarga Orangtua yang menerima kondisi anaknya, bisa mempermudah
interaksi atau komunikasi dengan pihak Pusat Layanan Autis.
d. Program yang dinamis Program pengembangan latihan sensori motorik dibuat secara
berkesinambungan dan sesuai tingkat kebutuhan anak, selain itu evaluasi juga dilakukan para terapis
secara otentik demi kelancaran kegiatan berikutnya.
Kesimpulan
Gangguan sensori berbeda-beda antara satu anak dengan anak lainnya, baik dari segi
intensitas maupun kriterianya. Gangguan tersebut berupa hipersensitif atau hiposensitif.
Anak autis memiliki kekurangan dalam kemampuan mengolah, mengartikan seluruh
rangsangan sensoris yang diterima oleh tubuh maupun lingkungan dan menghasilkan
respons yang terarah. Terapi integrasi sosial ini berfungsi meningkatkan kematangan
susunan saraf pusat. Aktivitas terapi ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks
sehingga dapat meningkatkan kapasitas kemandirian dalam belajar.
Terima Kasih