Anda di halaman 1dari 29

Hukum

Perjanjian
/Perikatan
D R . E L S I K A RT I K A S A R I ,
SH MH
HUKUM PERJANJIAN/ PERIKATAN

• Hukum Perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
• Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
• Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian
perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas
dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
• Hukum Perikatan menurut Subekti adalah "Suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu".
DASAR HUKUM PERIKATAN

• Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).

2. Perikatan yang timbul dari undang-undang.

3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
• Sumber Perikatan berdasarkan undang-undang :

1. Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-
undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.

2. Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

3. Undang-undang (Pasal 1352 KUH Perdata) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari
undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
UNSUR-UNSUR DALAM HUKUM PERIKATAN

1. Unsur Hubungan Hukum dalam Hukum Perikatan adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu
pihak dan pada pihak lainnya  melekat kewajiban. Hubungan hukum dalam hukum perikatan merupakan hubungan
yang diakui dan diatur oleh hukum itu sendiri. Tentu saja antara hubungan hukum dan  hubungan sosial lainnya
dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengertian yang berbeda, oleh karena hubungan hukum juga memiliki akibat
hukum apabila dilakukan pengingkaran terhadapnya.
2.  Unsur kekayaan dalam hukum perikatan, adalah kekayaan yang dimiliki oleh satu atau para pihak dalam sebuah
perikatan. Hukum perikatan itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta kekayaan atau vermogensrecht dimana
bagian lain dari hukum harta kekayaan kita kenal dengan hukum benda.
3. Unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan, adalah pigak kreditur dan pihak debitur yang memiliki hubungan
hukum. Pihak-pihak tersebut dalam hukum perikatam disebut dengan Subyek Perikatan.
4. Unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan, adanya obyek hukum atau prestasi yang diperhatikan
sehingga melahirkan hubungan hukum. Dalam pasal 1234 KUH Perdata disebutkan bahwa wujud dari prestasi
adalah memberi sesauatu, berbuat sesuatu dan tidak memberikan sesuatu.
5. Unsur Schuld dan Unsur Haftung dalam hukum perikatan, adalah adanya hutang debitur kepada kreditur,
sedangkan yang dimaksud dengan unsur hafting dalam hukum perikatan adalah harta kekayaan yang dimiliki
olehdebitur yang dipertanggungjawabkan bagi perlunasan hutang debitur.
SISTEM HUKUM PERIKATAN

• Sistem Perikatan bersifat terbuka, artinya setiap perikatan memberikan kemungkinan bagi setiap
orang untuk mengadakan berbagai bentuk perjanjian, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1338 KUh
Perdata, UU serta peraturan khusus atau peraturan baru yang belum ada kepastian ketentuannya.

SIFAT HUKUM PERIKATAN


• Hukum Perikatan merupakan hukum pelengkap, konsensuial dan obligantoir.

1. Bersifat Pelengkap, artinya jika para pihak membuat ketentuan masing-masing, setiap pihak dapat
mengesampingkan peraturan dalam UU Hukum Perikatan.

2. Bersifat Konsensuil, artinya Ketika kata sepakat telah dicapai oleh masing-masing pihak, perjanjian
tersebut bersifat mengikat dan dapat dipenuhi dengan tanggungjawab.

3. Bersifat Obligatoir, artinya setiap perjanjian yang telah disepakati bersifat wajib dipenuhi dan hak
milik akan berpindah setelah dilakukan penyerahan kepada tiap-tiap pihak yang telah bersepakat.
ASAS- ASAS DALAM HUKUM PERIKATAN

1. Asas Kebebasan Berkontrak


• Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang
telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338
KUHPdt).
• Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
• Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas Konsesualisme
• Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak.
• Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
• Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Kepastian Hukum

• Asas Kepastian Hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian.
• Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
• Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
• Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith)
• Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan
debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
maupun kemauan baik dari para pihak.
• Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.

• Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk
menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5. Asas Kepribadian (Personality)


• Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak
hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
• Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus
untuk kepentingan dirinya sendiri.
KONTRAK

• Merupakan perjanjian yang mengikat antara dua orang atau lebih dalam bentuk
tertulis maupun lisan
• Menurut Mariam Darus Badzulzaman, Kontrak adalah sebuat perbuatan hukum yang
menimbulkan perikatan yaitu hubungan yang terjadi di anatara dua orang atau lebih.
• Menurut Ensiklopedia Indonesia, hukum kontrak adalah rangkaian kaidah-kaidah
hukum yang mengatur berbagai persetujan dan ikatan antara warga-warga hukum.
• Menurut Black’s Law Dictionary, kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian antara
dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbeuat atau tidak berbuat
suatu hal khusus.
SAHNYA PERJANJIAN/ PERIKATAN (KONTRAK)

• Pasal 1320 KUH Perdata


• 4 syarat untuk Sahnya suatu perjanjian:
a. Kata sepakat antara para pihak yang mengikat diri.
b. Cakap menurut hukum untuk membuat suatu perjanjian.
Merupakan syarat Subyektif, jika salah satu tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat
dimintakan Pembatalan. Permintaan pembatalan perjanjian dibatasi hingga 5 tahun.
c. Mengenai suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang hahal.
Merupakan syarat Obyektif, jika salah satu tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut Batal Demi
Hukumartinya perjanjian itu di anggap tidak pernah ada (null and void).
BENTUK-BENTUK PERJANJIAN/PERIKATAN

• Secara umum terbagi menjadi 2, yaitu tertulis dan tidak tertulis.


• Tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan,
sedangkan tidak tertulis (lisan) suatu bentuk perjanjian yang hanya cukup disepakati
dalam bentuk lisan (ucapan).
• Ada 3 bentuk perjanjian tertulis :
1. Perjanjian di bawah tangan.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.
3. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel.
AKIBAT PERJANJIAN/PERIKATAN

• Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk
melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338
KUHPerdata, yaitu:
• Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
• Perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak
atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
• Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.
WANPRESTASI
• Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.

• Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam
perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.

• Ada 4 kategori dari wanprestasi, yaitu :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.


• Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak
mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan
prestasi yang diperjanjikan.
• Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan
sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian.
• Bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya
ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi
dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang
diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan SOMASI.

• Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa
kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam
pemberitahuan itu.
• Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada
somasi (in gebreke stelling).
AKIBAT-AKIBAT WANPRESTASI

• Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi Tiga, yaitu :

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( Ganti Rugi ). Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur,
yakni :

1) Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu
pihak.

2) Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si
debitor.

3) Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditor.

b. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian. Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur
dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.

c. Peralihan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.
HAPUSNYA HUKUM PERIKATAN

• Diatur dalam Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan adalah:

1. Pembayaran.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).

3. Pembaharuan utang (novasi).

4. Perjumpaan utang atau kompensasi.

5. Percampuran utang (konfusio).

6. Pembebasan utang.

7. Musnahnya barang terutang.

8. Batal/ pembatalan.

9. Berlakunya suatu syarat batal.

10. Dan lewatnya waktu (daluarsa).


OVERMACHT/ FORCE MAJEURE

• Berkaitan dengan ketidaktercapaiannya maksud dan tujuan perjanjian dapat disebabkan oleh
force majeure atau keadaan memaksa dan lazimnya ditujukan terhadap suatu peristiwa yang
berada di luar jangkauan manusia untuk menghindar dari peristiwa tersebut.
• Menurut Subekti,  force majeure merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak
terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di
mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.
• Force majeure adalah suatu alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas
dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur 
• Force Majeure pengaturannya di Indonesia terdapat dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata,
namun apabila dikaji lebih lanjut ketentuan tersebut lebih menekankan bagaimana tata cara
penggantian biaya, rugi dan bunga akan tetapi dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan force
majeure. Pada klausa force majeure memberikan perlindungan yang diberikan dari terhadap
kerugian yang disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau
bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi,
perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade,
embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan

• Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force
majeur adalah:
a. Adanya kejadian yang tidak terduga;
b. Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
c. Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
d. Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
 
• Force Majeure merupakan salah satu klausa yang lazimnya berada dalam suatu perjanjian, dikatakan salah
satu klausula karena kedudukan force majeure dalam suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok,
tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian
accesoir.

• Force Majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana
seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga
pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk.

• Adapun macam-macam keadaan memaksa, yaitu:

a. Keadaan memaksa yang Absolut merupakan suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat
memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya
lahar.

b. Keadaan memaksa yang Relatif, merupakan suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk
melaksanakan prestasinya. Pada pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban
yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau
kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar
FUNGSI FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN/PERIKATAN

• Klausula force majeure dalam suatu kontrak ditujukan untuk mencegah terjadinya kerugian salah
satu pihak dalam suatu perjanjian karena act of God, seperti kebakaran, banjir gempa, hujan badai,
angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase,
perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi,
blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan).
• Akibat penting dari adanya force majeure adalah siapakah yang harus menanggung resiko dari adanya
peristiwa yang merupakan force majeure tersebut. Pasal 1237 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan,
benda tersebut menjadi tanggungan pihak kreditur”.
• Dari ketentuan dalam Pasal 1237 KUHPerdata tersebut dijelaskan bahwa jika terjadi force majeure atas kontrak
sepihak, maka resikonya ditanggung oleh pihak penerima prestasi (kreditur), kecuali jika pihak debitur lalai
dalam memberikan prestasi, dimana sejak kelalaian tersebut menjadi resiko pihak pemberi prestasi (debitur)
• Force Majeure sangat erat hubungannya dengan masalah ganti rugi dari suatu kontrak, oleh
karena itu force majeure membawa konsekuensi hukum bukan saja hilangnya atau tertundanya
kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan prestasi yang terbit dari suatu kontrak melainkan juga
suatu force majeure dapat juga membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat
tidak terlaksananya kontrak yang bersangkutan.

• Selain dalam KUH Perdata istilah Overmacht juga terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), seperti yang disebutkan dalam pasal 48 dan 49 KUHP bahwa seorang tertuduh
tidak boleh dihukum jika tindak pidana yang dilakukannya itu dalam keadaan Overmacht. Jadi
dalam hukum pidanapun suatu perbuatan yang onrechtmatige (perbuatan melawan hukum),
tetapi perbuatan itu dilakukan di bawah tekanan atau pengaruh Overmacht melepaskan si
pelanggar dari tuntutan.
• Overmacht harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Pemenuhan prestasi terhalang atau tecegah

b. Terhalangnya pemenuhan prestasi tersebut di luar kesalahan debitur

c. Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan resiko debitur.


• Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai Overmacht membawa konsekuensi (akibat hukum), sebagai berikut:

a. Kreditor tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi

b. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai

c. Debitur tidak wajib membayar ganti rugi

d. Resiko tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik

e. Perikatan dianggap gugur.

• Overmacht dapat dinyatakan tidak berhasil, apabila:

a. Overmacht terjadi di luar kesalahan debitur, namun debitur telah dalam keadaan lalai

b. Tercegahnya pemenuhan prestasi dapat diduga pada waktu penutupan perjanjian

c. Tercegahnya pemenuhan disebabkan kesalahan seseorang yang diikutsertakan dalam melaksanakan perikatan
BEA METERAI
• Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea
Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus sudah
dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu
digunakan.

• Dasar Hukum
a. UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun
2005.
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun
2005
OBYEK BEA METERAI

• Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu,
dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
3. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
4. Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
a. yang menyebutkan penerimaan uang;
b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d. yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.
5. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
6. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai
berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.
Tidak dikenakan Bea Meterai atas :
a. Dokumen yang berupa :
1) Surat penyimpanan barang;
2) Konosemen;
3) Surat angkutan penumpang dan barang;
4) Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam
angka 1), angka 2), dan angka 3);
5) Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6) Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7) Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan suratsurat sebagaimana dimaksud dalam
angka 1) sampai angka 6).
b. Segala bentuk ijazah;

c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan
kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;

d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank;

e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas
pemerintah daerah, dan bank;

f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;

g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan
badanbadan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;

h. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan jawatan pegadaian;

i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
• Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :

a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu
dibuat;

c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.

• Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari
dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

• Sanksi Pidana diatur dalam Psal 13 – 14 UU No. 13 Tahun 1985


BEA METERAI BERDASARKAN MENTERI KEUANGAN TAHUN 2020

• Mulai berlaku tanggal 1 Januari 2021


• Perubahan dikarena pendapatan per kapital masyarakat Indonesia telah meningkat dibanding tahun 2000

• Perubahan dari Rp.3000, - atau Rp.6000,- menjadi Rp. 10.000,- per lembar meterai

• Batasan Transaksi yang terken bea meterai berubah dari yang sebelumnya dokumen dengan Nilai Transaksi sebesar Rp. 1 Juta
diubah menjadi diatas Rp. 5 Juta, jika nominal di bawah Batasan, maka bebas bea meterai
• Dokumen yang kena Bea Meterai : Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang
bersifat Perdata dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan.

a. Surat Perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis beserta rangkapnya

b. Akta Notaris beserta grose, Salinan dan kutipannya.

c. Akta Pejabat Pembuatn Akta Tanah beserta Salinan dan kutipannya

d. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun

e. Dokumen Transaksi surat berharga termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salianan risalah lelang fan grosse risalah lelang.

Anda mungkin juga menyukai