Anda di halaman 1dari 8

AGRESI MILITER I

DISUSUN OLEH:

1. KEVIN ALIFVIANSYAH 9B/21


2. M. FACHRIZAL PUTRA I. 9B/23
3. YUSUF ACHMAD P. 9B/37
4. HANANDYA P. Y. 9B/17
PENDAHULUAN
"Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang
dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah
operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap
Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai
5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari
Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka
mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati
. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap
merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggarjati.
LATAR BELAKANG
Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan
ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10
km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak
permintaan Belanda ini. Tujuan utama agresi Belanda adalah
merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah
yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun
sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda
menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan
menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook
menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa
Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati.
Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih
dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern,
termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara
Inggris dan tentara Australia.
Dimulainya operasi militer
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ
Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi
Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa
Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli
malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda
I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-
daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah
perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai
utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana
terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan
khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini
berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah
Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak
kembali dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan
belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan
dikirim juga ke Sumatera Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik
Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan
dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di
badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan
Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan
tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda
Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo
Wiryokusumo.
Campur tangan PBB
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB,
karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian
Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia
internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian
secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947
masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam
agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No.
27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata
dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal
ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan
PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands
Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus
1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi
No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari
1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik
Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947
Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan
Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda
menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan
pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan
menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya
hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik
Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena
beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia
yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai