Pelatihan Pemandu Wisata-Taput
Pelatihan Pemandu Wisata-Taput
DI TANAH
BATAK
(Tinjauan Historis Sejarah dan Situs
ke-Kristenan di Tanah Batak,
Khususnya Tapanuli Utara)
1. Humbang
Silindung
2. Toba
3. Samosir
4. Sumatera Timur
Isolasi Suku Batak
(2000 SM-1600 M)
“Proto “Melayu” termasuk orang Batak, mengambil tempat
pertama sekali di nusantara pada tahun 2000 SM. Setelah migrasi
ini, para kaum Proto Melayu ini, hidup terisolasi dan berbeda di
dataran tinggi sepanjang Bukit Barisan, dan secara khusus
terkonsentrasi di sekitar Danau Toba.
Isolasi pusat Tanah Batak, tempat tinggal orang Batak Toba, jauh
lebih ketat. Pantai Baratnya sempit dan terlindung oleh hutan
yang luas dan bergunung-gunung. Di balik daerah yang berfungsi
sebagai benteng ini, dalam lembah-lembah yang pengairannya
berasal dari dataran tinggi, bermukimlah orang Batak Toba, yang
selama berabad-abad tidak terganggu dan mengembangkan
berbagai lembaga yang unik.
PENGARUH HINDU-BUDHA
Philip L. Tobing:
Pengaruh Hindu ke tanah Batak datang melalui pengaruh kerajaan Majapahit yang
beragama Hindu di Jawa pada abd ke-13 dan abd ke-14. Nama untuk dewa-dewa
“debata” diperkirakan berasal dari bahasa Jawa-Hindu “deva”. Ditemukan juga
persamaan nama mata angin pada kedua bahasa ini.
Tideman:
Pengaruh langsung agama dan budaya Hindu dari India dan sampai di tanah
Batak melalui pelabuhan Barus. Pelaut-pelaut Hindu sejak lama sudah
berhubungan dagang orang Batak, perdagangan kapur barus, kemenyan,
cula badak, gading gajah, dan lain-lain. Kemungkinan pada akhir abd ke-7,
bagian utara Sumatera secara resmi masuk dalam pengaruh kerajaan
Sriwijaya yang beragama Budha. Tampaknya pada saat itu, Barus menjadi
ibukota kedua kemaharajaan Sriwijaya. Pengaruh langsung Hinduisme dari
India dapat ditemukan pada kultur Batak, seperti nampak dalam bahasa dan
aksara, mitologi, kalender dan pustaha (buku Batak yang berisi ungkapan-
ungkapan, kata-kata magis untuk pengobatan penyakit), kurban kuda dan
tongkat magis, permainan catur, sistem dinasti kerajaan Sisingamangaraja,
dan marga-marga Sembiring pada Batak Karo).
Paul B. Pederson:
Bagi suku Batak Toba sendiri, invasi Paderi tidak meninggalkan pengaruh
agama Islam sama sekali. Suku Batak Toba tetap menganut agama suku.
Namun, pengaruh Paderi dirasakan juga sampai ke pedalaman sekitar
danau Toba wilayah suku Batak Toba. Bahkan dalam hikayat Toba,
Tuanku Rao disebut Sipongki Nangolngolan, adalah kemenakan Raja
Sisingamangaraja ke-X yang ingin membalas dendam kepada
Sisingamangaraja. Walau tanpa menancapkan pengaruh agama Islam
ternyata perang Paderi telah menyisahkan ingatan kolektip bagi suku
Batak Toba. Ekspansi Paderi diingat sebagai suatu zaman pendudukan
kaum Bonjol yang diikuti tindakan-tindakan pembakaran desa, dan
pembantaian sampai tindakan asusila. Tindakan kekerasan yang dialami
penduduk tanah Batak telah melukai sangat mendalam sehingga sulit
dilupakan dari generasi ke generasi. Perjalanan sejarah Batak sesaat
sebelum masuknya agama Kristen dan kolonialisme Belanda disimpulkan
sebagai zaman tingki ni Pidari (zaman Bonjo).
PENGARUH BARAT/ KOLONIAL
Pertama sekali kontak Sumatera dengan pengaruh Barat dimulai sejak abd
ke-16 sampai abd ke-17. Pedagang Barat memasuki Aceh di Sumatera
bagian Utara dan membangun hubungan dagang dengan Sumatera
Tengah, dengan Siak di pantai Timur, dan Minungkabau di Pantai Utara.
Kedatangan para pedagang barat ini pertama sekali tidak begitu
mencolok. Bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris masing-masing datang
berdagang dengan para pedagang lain, seperti Melayu, Arab, India, Aceh,
dan Jawa. Selama abd 16-17 para pedagang ini mengunjungi kota-kota
pelabuhan untuk mencari kemenyan, bahan pewarna, dan mineral dari
dataran tinggi untuk ditukar dengan garam, pakaian, dan barang-barang
logam. Lagi-lagi kediaman Batak Toba, tetap terlindung dari pusaran
perdagangan Barat ini. Memang para pedagang Barat ini telah juga
mengunjungi dua pelabuhan besar di pantai Barat Sumatera Utara yaitu
Tapanuli dan Natal. Pedagang Inggris pada permulaan abd ke-19 telah
membuka pos kongsi dagang di kedua pelabuhan ini. Keberadaan dua
kota pelabuhan ini dilaporkan oleh Marsden yang mengunjungi dan
bahkan tinggal beberapa saat di daerah ini. Marsden menyebutkan dalam
laporannya, para pedagang Inggris tentu tidak masuk ke pedalaman
USAHA AWAL PENGINJILAN
Burton dan Ward: 1924
Kristenisasi di tanah Batak berlangsung tak lama sebelum tahun 1820. Ketika
Sir Thomas Stamford Rafles bertugas di Bengkulu. Rafles, wakil Inggris
dengan kuat mendorong usaha-usaha penginjilan di kalangan orang Batak.
Beberapa sumber mangatakan, bahwa Rafles mencoba memisahkan orang
Aceh Islam yang kuat di sebelah Utara Tanah Batak dari orang
Mianangkabau Islam yang kuat di sebelah Selatan. Politik ini agaknya
merupakan pola memecah-belah untuk kepentingan kolonial. Baptist
Mission Siciety of England mengirim tiga orang missionaris ke Sumatera.
Richard Burton, seorang ahli ilmu bahasa dan ilmu bangsa-bangsa ditunjuk
untuk menerjemahkan kitab suci ke dalam bahasa Batak, Nathanael Ward
seorang ahli ilmu kesehatan dihunjuk untuk menyelidiki wabah kolera yang
telah berjangkit di Silindung dan Toba, dan Evans ditunjuk untuk mendirikan
sekolah-sekolah di sekitar Tapian Nauli. Tahun 1824 mereka telah
menjelajah tanah Batak. Usaha ini tidak membuahkan hasil dan pengaruh
terhadap suku Batak.
MUNSON DAN LYMAN (1834)
Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, Amerika Utara
dari keluarga yang saleh . Dalam usia 10 tahun, dia kehilangan kedua
orangtuanya akibat wabah penyakit yang terjadi. Kemudian dia dijadikan anak
angkat oleh sahabat ayah dan ibunya. Oleh orangtua angkatnya, dia dibesarkan
dan dididik dengan kasih sayang. Pada tahun 1825, Munson menamatkan sekolah
collogium, dan direkomendasikan supaya melanjutkan sekolah dengan beasiswa
dari zending Boston. Dia menyelesaikan sekolah penginjilan pada tahun 1832 dan
segera menerima pentahbisan sebagai missionaris dan bekerja di ABCFM
(American Board Comnisioner for Foreign Mission). Dia menikah pada 1833
dengan Sanger Abbe. Anak pertamanya lahir 27 Pebruari 1834 di Batavia.
Henry Lyman lahir tanggal 23 Nopember 1809
di Northantom Amerika Serikat sebagai anak
sulung dari tiga bersaudara dari ayah bernama
Theodor Lyman. Semasa kecil dia sering sakit-
sakitan. Suatu ketika mengalami sakit keras.
Orangtuanya berdoa untuk kesembuhan
Lyman, dan berjanji akan mendidiknya
menjadi hamba Tuhan jika diberi kesembuhan.
Tuhan mendengar doa orangtuanya. Duduk di
bangku sekolah, dia sangat disayangi guru-
gurunya karena sangat berbakat. Lyman
bercita-cita menjadi menjadi seorang
pedagang atau petani, tetapi mengingat janji
kepada Tuhan, orangtuanya memaksa masuk
ke sekolah collogium. Lyman sempat menjadi
siswa yang membenci agama. Tetapi, melalui
sebuah kebangunan rohani, dia berubah dan
melanjutkan sekolah ke sekolah penginjilan di
seminari Andover. Di sekolah inilah Lyman
bertemu dengan Munson. Segera setelah
ditahbis, dia juga langsung menikah.
Berangkat dari Boston- Amerika: 10 Juni 1833
Tiba di Batavia: 30 September 1833.
Batavia: belajar bahasa Cina dan Melayu
Munson dan Lyman berangkat dari Batavia: ke Padang, 7 April 1834 dan
tiba 29 April 1834. Mereka berada di Padang sampai 11 Mei 1834 bertemu
dengan Ward dan belajar bahasa Melayu
Dari Padang Munson dan Lyman berangkat 11 Mei 1834 naik sebuah
tongkang penduduk yang biasa mengunjungi Pariaman, Air Bangis, menuju
pulau-pulau Batu sampai di Pulau Nias. Kedua penginjil bersama para
penumpang lain, telah mengalami betapa kencang angin yang menerpa
tongkang tersebut. Mereka merasakan tongkang ibarat sebuah bola kecil di
permain-mainkan ombak yang bergulung-gulung, akhirnya mereka
tiba di Pulau Pamarenta, Sibolga 17 Juni 1834 : berjumpa dengan kontelir
Bonnet.
menuju Sibolga: Pada pagi hari 22 Juni 1834, Munson dan Lyman telah
meninggalkan Pulau Poncan, dimana mereka bermalam sambil bergabung
dengan rombongan penunjuk jalan dan pengangkut barang yang sudah
disiapkan oleh kontelir Bonnet. Besoknya, 23 Juni 1934 rombongan Munson
dan Lyman berangkat menuju pedalaman tanah Batak, Silindung. Datu Raja
Mangkuta dari Kalangan sebagai juru bahasa, seorang polisi bernama Rakim,
10 orang kuli pengangkut barang sambil meretas jalan yang penuh lalang dan
pepohonan, serta dua orang pembantu mereka tyang dibawa dari Jakarta, si
Jan orang Jawa dan seorang Juru masak. Munson dan Lyman masing-masing
membawa satu pistol sebagai persipan apabila bertemu dengan binatang buas
seperti harimau. Sang polisi dan juga si Jan membawa senjata laras panjang,
sedangkan para kuli membawa parang. Mereka memilih rute pejalan kaki dari
Sibolga menuju desa Poriaha, Poriaha Julu, Pagaran Baringin, Huta Imbaru,
tiba di desa Sibungabunga. Di sana mereka bermalam di rumah Raja Sibanda
Hutagalung. Hari berikutnya, 24 Juni, rombongan melanjutkan perjalanan.
Selama perjalanan, mereka tidak menemukan satu desa kecuali desa Sigarupu.
Pada sore harinya mereka tiba di desa Rampa diterima Raja Suasa Hutagalung
dan dengan terbuka menyediakan penginapan bagi tamu asing yang tiba-tiba
sampai di desanya. Pembicaraan Lyman dalam bahasa Melayu diterjemahkan
jurubahasa Datuk Raja mangkuta ke dalam bahasa Batak. Setiap pertanyaan
dari raja maupun warga desa selalu dijawab oleh Lyman dan kesempatan
tersebut juga digunaknnya untuk menyampaikan Injil.
Pada pagi keesokan harinya 25 Juni, mereka melanjutkan
perjalanan menebas lalang tinggi supaya bisa melintas mengikuti
arah yang ditunjuk oleh ahli penunjuk jalan. Sepanjang hari
mereka hanya melewati desa Sitapayan. Sore hari mereka tiba di
desa Pagaran Lambung, disambut baik oleh Raja Sinomba
Hutagalung dan memfasilitasi mereka untuk bermalam. Pada
tanggul 26 Juni, mereka melalui desa-desa Parbarungbungan,
Parsingkaman, Sibalanga, dan Pagaran Pisang. Pada sore hari tiba
di Adian Koting. Mereka disambut baik oleh Raja Amani Busir
Hutabarat. Sama halnya denga sikap sopan dan santun para raja
terdahulu, raja Ama ni Busur juga memeperlakukan kedua
penginjil berserta rombongannya dengan sikap hormat dan ramah.
Sebelum istirahat malam, mereka duduk sambil mengadakan
pertemuan dengan raja Ama Ni Busur dan penghuni desa
Adiankoting. Lyman dibantu oleh juru bahasa Datuk Raja
Mangkuta menjawab semua pertanyaan dan tekun menyimak
informasi yang disampaikan raja Ama ni Busur dan penduduk desa.
Lyman juga selalu menyempatkan diri untuk menyampaikan injil.
menuju Silindung: Sabtu 28 Juni 1834
Menjelang sore: tiba di Lobu Sisangkak daerah Lobu Pining
Sekitar jam 4 sore tanpa sengaja mereka melihat di depan ada sebuah
benteng pertahanan. Terdiri dari timbunan batang kayu yang baru
ditebang. Tampak sedang berdiri sosok-sosok manusia yang sedang jaga,
lengkap dengan senjata seperti lembing dan senjata api buatan lokal Batak.
Rupanya benteng yang baru saja dibangun itu ada kaitannya dengan
kedatangan kedua penginjil Munson dan Lyman. Melihat keadaaan itu,
Datuk Raja Mangkuta menjumpai orang yang ada di benteng. Setelah
berbicara dengan penghuni benteng, ia tidak kunjung kembali.
Beberapa saat kemudian sebuah rombongan besar yang lengkap dengan
senjata tombak datang menyergap Munson dan Lyman kedua pembantu
yang dibawanya dari Jakarta tetap mendekat kepada kedua penginjil,
sedangkan anggota rombongan lainnya termasuk polisi Rakim telah
menghilang menyelamatkan diri. Munson dan Lyman serta juru masak
yang ingin menolong tuannya tewas ditempat karena hujaman tombak
menembus tubuh mereka. Jan kemudian lari, setelah melihat kedua
tuannya tergeletak tidak bernyawa lagi inilah akhir perjalanan penginjil
yang telah mempersiapakan diri menjadi pemberita injil kepada orang
Batak. Perjalanan mereka terpaksa berhenti di Lobupining untuk selama-
lamanya dan mereka tidak kembali bersama keluarganya yang saat itu
ditinggalkan di Jakarta.
Munson dan Lyman di Kenang
(1907 dan 1934)