Anda di halaman 1dari 31

PENGINJILAN

DI TANAH
BATAK
(Tinjauan Historis Sejarah dan Situs
ke-Kristenan di Tanah Batak,
Khususnya Tapanuli Utara)
 

Pdt. Morhan Doloksaribu, MTh


Latarbelakang Zending
(1860-an)

Jerman, Belanda, Tapsel


Inggris

1. Humbang
Silindung
2. Toba
3. Samosir
4. Sumatera Timur
Isolasi Suku Batak
(2000 SM-1600 M)
“Proto “Melayu” termasuk orang Batak, mengambil tempat
pertama sekali di nusantara pada tahun 2000 SM. Setelah migrasi
ini, para kaum Proto Melayu ini, hidup terisolasi dan berbeda di
dataran tinggi sepanjang Bukit Barisan, dan secara khusus
terkonsentrasi di sekitar Danau Toba.

Sebelum masuknya kekristenan, berabad-abad lamanya suku


Batak telah terpencil dari hubungan-hubungan luar, karena letak
daerahnya yang bergunung-gunung dan pemencilan diri sendiri
yang mereka kenakan kepada dirinya. Sebelum masuknya
pengaruh Barat dan kekristenan, keadaan alam tidak
memungkinkan adanya komunikasi yang lancar antara orang
Batak yang telah tersebar mulai dari daerah selatan Danau Toba
sampai daerah Utara danau Toba, demikian juga dengan pengaruh
luar.
Isolasi Suku Batak
(2000 SM-1600 M)

Memang isolasi tersebut tidaklah sempurna: Selat malaka di


sebelah Timur subur, dengan muara sungai yang tenang dan
dalam.

Isolasi pusat Tanah Batak, tempat tinggal orang Batak Toba, jauh
lebih ketat. Pantai Baratnya sempit dan terlindung oleh hutan
yang luas dan bergunung-gunung. Di balik daerah yang berfungsi
sebagai benteng ini, dalam lembah-lembah yang pengairannya
berasal dari dataran tinggi, bermukimlah orang Batak Toba, yang
selama berabad-abad tidak terganggu dan mengembangkan
berbagai lembaga yang unik.
PENGARUH HINDU-BUDHA
Philip L. Tobing:
Pengaruh Hindu ke tanah Batak datang melalui pengaruh kerajaan Majapahit yang
beragama Hindu di Jawa pada abd ke-13 dan abd ke-14. Nama untuk dewa-dewa
“debata” diperkirakan berasal dari bahasa Jawa-Hindu “deva”. Ditemukan juga
persamaan nama mata angin pada kedua bahasa ini.

Tideman:
Pengaruh langsung agama dan budaya Hindu dari India dan sampai di tanah
Batak melalui pelabuhan Barus. Pelaut-pelaut Hindu sejak lama sudah
berhubungan dagang orang Batak, perdagangan kapur barus, kemenyan,
cula badak, gading gajah, dan lain-lain. Kemungkinan pada akhir abd ke-7,
bagian utara Sumatera secara resmi masuk dalam pengaruh kerajaan
Sriwijaya yang beragama Budha. Tampaknya pada saat itu, Barus menjadi
ibukota kedua kemaharajaan Sriwijaya. Pengaruh langsung Hinduisme dari
India dapat ditemukan pada kultur Batak, seperti nampak dalam bahasa dan
aksara, mitologi, kalender dan pustaha (buku Batak yang berisi ungkapan-
ungkapan, kata-kata magis untuk pengobatan penyakit), kurban kuda dan
tongkat magis, permainan catur, sistem dinasti kerajaan Sisingamangaraja,
dan marga-marga Sembiring pada Batak Karo).
Paul B. Pederson:

Pada suatu waktu sesudah tahun 2000 SM dan sebelum


tahun 1500 M, kebudayaan Batak dipengaruhi oleh suatu
peradaban Hindu-Budaha di daerah-daerah Selatan dan
pesisir Sumatera Utara. Kolonisasi asing mungkin secara
langsung datang dari India atau mungkin dari Jawa, tetapi
yang paling besar kemungkinannya ialah dari orang-orang
Melayu Minangkabau di Sumatera Barat. Berpuluh-puluh
candi yang rusak dan puing-puing di lembah Asahan dan di
Selatan Tanah Batak membuktikan adanya peradaban yang
berkembang tinggi pada abd ke-12 dan ke-13.
PENGARUH ISLAM

Pedagang-pedagang Islam berhasil mengislamkan daerah pantai


dan sebagain pedalaman Sumatera. Sesudah beberapa abad
orang Batak dikelilingi oleh suku-suku yang beragama Islam,
Minangkabau di Selatan, Aceh di Utara dan Melayu di pantai
Timur Sumatera. Dari masuknya Islam hingga abd ke-18 secara
umum dapat dikatakan bahwa dunia Batak kembali menutup
diri. Memang ada sedikit hubungan dagang dengan Islam baik di
pantai Timur baik di pantai Barat. Nampaknya pengaruh
perdagangan ini telah mempengaruhi suku Batak di Tapanuli
bagian Selatan dan berpengaruh juga kepada Batak Karo, dan
Simalungun yang berbatasan langsung dengan jalur
perdagangan selat Malaka. Tetapi Batak Toba tetap dengan
ketertutupannya, terpisah dari sub-sub suku Batak lainnya.
Celah kecil: Batak Traders
Perang Paderi telah menancapkan pengaruh Islam di Tapanuli Selatan
yang mengakibatkan mereka menjadi Islam. Pendudukan Paderi juga
diikuti pendirian sebuah pangkalan Islam di Tapanuli.

Bagi suku Batak Toba sendiri, invasi Paderi tidak meninggalkan pengaruh
agama Islam sama sekali. Suku Batak Toba tetap menganut agama suku.
Namun, pengaruh Paderi dirasakan juga sampai ke pedalaman sekitar
danau Toba wilayah suku Batak Toba. Bahkan dalam hikayat Toba,
Tuanku Rao disebut Sipongki Nangolngolan, adalah kemenakan Raja
Sisingamangaraja ke-X yang ingin membalas dendam kepada
Sisingamangaraja. Walau tanpa menancapkan pengaruh agama Islam
ternyata perang Paderi telah menyisahkan ingatan kolektip bagi suku
Batak Toba. Ekspansi Paderi diingat sebagai suatu zaman pendudukan
kaum Bonjol yang diikuti tindakan-tindakan pembakaran desa, dan
pembantaian sampai tindakan asusila. Tindakan kekerasan yang dialami
penduduk tanah Batak telah melukai sangat mendalam sehingga sulit
dilupakan dari generasi ke generasi. Perjalanan sejarah Batak sesaat
sebelum masuknya agama Kristen dan kolonialisme Belanda disimpulkan
sebagai zaman tingki ni Pidari (zaman Bonjo).
PENGARUH BARAT/ KOLONIAL

Pertama sekali kontak Sumatera dengan pengaruh Barat dimulai sejak abd
ke-16 sampai abd ke-17. Pedagang Barat memasuki Aceh di Sumatera
bagian Utara dan membangun hubungan dagang dengan Sumatera
Tengah, dengan Siak di pantai Timur, dan Minungkabau di Pantai Utara.
Kedatangan para pedagang barat ini pertama sekali tidak begitu
mencolok. Bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris masing-masing datang
berdagang dengan para pedagang lain, seperti Melayu, Arab, India, Aceh,
dan Jawa. Selama abd 16-17 para pedagang ini mengunjungi kota-kota
pelabuhan untuk mencari kemenyan, bahan pewarna, dan mineral dari
dataran tinggi untuk ditukar dengan garam, pakaian, dan barang-barang
logam. Lagi-lagi kediaman Batak Toba, tetap terlindung dari pusaran
perdagangan Barat ini. Memang para pedagang Barat ini telah juga
mengunjungi dua pelabuhan besar di pantai Barat Sumatera Utara yaitu
Tapanuli dan Natal. Pedagang Inggris pada permulaan abd ke-19 telah
membuka pos kongsi dagang di kedua pelabuhan ini. Keberadaan dua
kota pelabuhan ini dilaporkan oleh Marsden yang mengunjungi dan
bahkan tinggal beberapa saat di daerah ini. Marsden menyebutkan dalam
laporannya, para pedagang Inggris tentu tidak masuk ke pedalaman
USAHA AWAL PENGINJILAN
Burton dan Ward: 1924
Kristenisasi di tanah Batak berlangsung tak lama sebelum tahun 1820. Ketika
Sir Thomas Stamford Rafles bertugas di Bengkulu. Rafles, wakil Inggris
dengan kuat mendorong usaha-usaha penginjilan di kalangan orang Batak.
Beberapa sumber mangatakan, bahwa Rafles mencoba memisahkan orang
Aceh Islam yang kuat di sebelah Utara Tanah Batak dari orang
Mianangkabau Islam yang kuat di sebelah Selatan. Politik ini agaknya
merupakan pola memecah-belah untuk kepentingan kolonial. Baptist
Mission Siciety of England mengirim tiga orang missionaris ke Sumatera.
Richard Burton, seorang ahli ilmu bahasa dan ilmu bangsa-bangsa ditunjuk
untuk menerjemahkan kitab suci ke dalam bahasa Batak, Nathanael Ward
seorang ahli ilmu kesehatan dihunjuk untuk menyelidiki wabah kolera yang
telah berjangkit di Silindung dan Toba, dan Evans ditunjuk untuk mendirikan
sekolah-sekolah di sekitar Tapian Nauli. Tahun 1824 mereka telah
menjelajah tanah Batak. Usaha ini tidak membuahkan hasil dan pengaruh
terhadap suku Batak.
MUNSON DAN LYMAN (1834)

Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, Amerika Utara
dari keluarga yang saleh . Dalam usia 10 tahun, dia kehilangan kedua
orangtuanya akibat wabah penyakit yang terjadi. Kemudian dia dijadikan anak
angkat oleh sahabat ayah dan ibunya. Oleh orangtua angkatnya, dia dibesarkan
dan dididik dengan kasih sayang. Pada tahun 1825, Munson menamatkan sekolah
collogium, dan direkomendasikan supaya melanjutkan sekolah dengan beasiswa
dari zending Boston. Dia menyelesaikan sekolah penginjilan pada tahun 1832 dan
segera menerima pentahbisan sebagai missionaris dan bekerja di ABCFM
(American Board Comnisioner for Foreign Mission). Dia menikah pada 1833
dengan Sanger Abbe. Anak pertamanya lahir 27 Pebruari 1834 di Batavia.
Henry Lyman lahir tanggal 23 Nopember 1809
di Northantom Amerika Serikat sebagai anak
sulung dari tiga bersaudara dari ayah bernama
Theodor Lyman. Semasa kecil dia sering sakit-
sakitan. Suatu ketika mengalami sakit keras.
Orangtuanya berdoa untuk kesembuhan
Lyman, dan berjanji akan mendidiknya
menjadi hamba Tuhan jika diberi kesembuhan.
Tuhan mendengar doa orangtuanya. Duduk di
bangku sekolah, dia sangat disayangi guru-
gurunya karena sangat berbakat. Lyman
bercita-cita menjadi menjadi seorang
pedagang atau petani, tetapi mengingat janji
kepada Tuhan, orangtuanya memaksa masuk
ke sekolah collogium. Lyman sempat menjadi
siswa yang membenci agama. Tetapi, melalui
sebuah kebangunan rohani, dia berubah dan
melanjutkan sekolah ke sekolah penginjilan di
seminari Andover. Di sekolah inilah Lyman
bertemu dengan Munson. Segera setelah
ditahbis, dia juga langsung menikah.
Berangkat dari Boston- Amerika: 10 Juni 1833
Tiba di Batavia: 30 September 1833.
Batavia: belajar bahasa Cina dan Melayu
Munson dan Lyman berangkat dari Batavia: ke Padang, 7 April 1834 dan
tiba 29 April 1834. Mereka berada di Padang sampai 11 Mei 1834 bertemu
dengan Ward dan belajar bahasa Melayu
Dari Padang Munson dan Lyman berangkat 11 Mei 1834 naik sebuah
tongkang penduduk yang biasa mengunjungi Pariaman, Air Bangis, menuju
pulau-pulau Batu sampai di Pulau Nias. Kedua penginjil bersama para
penumpang lain, telah mengalami betapa kencang angin yang menerpa
tongkang tersebut. Mereka merasakan tongkang ibarat sebuah bola kecil di
permain-mainkan ombak yang bergulung-gulung, akhirnya mereka
tiba di Pulau Pamarenta, Sibolga 17 Juni 1834 : berjumpa dengan kontelir
Bonnet.
menuju Sibolga: Pada pagi hari 22 Juni 1834, Munson dan Lyman telah
meninggalkan Pulau Poncan, dimana mereka bermalam sambil bergabung
dengan rombongan penunjuk jalan dan pengangkut barang yang sudah
disiapkan oleh kontelir Bonnet. Besoknya, 23 Juni 1934 rombongan Munson
dan Lyman berangkat menuju pedalaman tanah Batak, Silindung. Datu Raja
Mangkuta dari Kalangan sebagai juru bahasa, seorang polisi bernama Rakim,
10 orang kuli pengangkut barang sambil meretas jalan yang penuh lalang dan
pepohonan, serta dua orang pembantu mereka tyang dibawa dari Jakarta, si
Jan orang Jawa dan seorang Juru masak. Munson dan Lyman masing-masing
membawa satu pistol sebagai persipan apabila bertemu dengan binatang buas
seperti harimau. Sang polisi dan juga si Jan membawa senjata laras panjang,
sedangkan para kuli membawa parang. Mereka memilih rute pejalan kaki dari
Sibolga menuju desa Poriaha, Poriaha Julu, Pagaran Baringin, Huta Imbaru,
tiba di desa Sibungabunga. Di sana mereka bermalam di rumah Raja Sibanda
Hutagalung. Hari berikutnya, 24 Juni, rombongan melanjutkan perjalanan.
Selama perjalanan, mereka tidak menemukan satu desa kecuali desa Sigarupu.
Pada sore harinya mereka tiba di desa Rampa diterima Raja Suasa Hutagalung
dan dengan terbuka menyediakan penginapan bagi tamu asing yang tiba-tiba
sampai di desanya. Pembicaraan Lyman dalam bahasa Melayu diterjemahkan
jurubahasa Datuk Raja mangkuta ke dalam bahasa Batak. Setiap pertanyaan
dari raja maupun warga desa selalu dijawab oleh Lyman dan kesempatan
tersebut juga digunaknnya untuk menyampaikan Injil.
Pada pagi keesokan harinya 25 Juni, mereka melanjutkan
perjalanan menebas lalang tinggi supaya bisa melintas mengikuti
arah yang ditunjuk oleh ahli penunjuk jalan. Sepanjang hari
mereka hanya melewati desa Sitapayan. Sore hari mereka tiba di
desa Pagaran Lambung, disambut baik oleh Raja Sinomba
Hutagalung dan memfasilitasi mereka untuk bermalam. Pada
tanggul 26 Juni, mereka melalui desa-desa Parbarungbungan,
Parsingkaman, Sibalanga, dan Pagaran Pisang. Pada sore hari tiba
di Adian Koting. Mereka disambut baik oleh Raja Amani Busir
Hutabarat. Sama halnya denga sikap sopan dan santun para raja
terdahulu, raja Ama ni Busur juga memeperlakukan kedua
penginjil berserta rombongannya dengan sikap hormat dan ramah.
Sebelum istirahat malam, mereka duduk sambil mengadakan
pertemuan dengan raja Ama Ni Busur dan penghuni desa
Adiankoting. Lyman dibantu oleh juru bahasa Datuk Raja
Mangkuta menjawab semua pertanyaan dan tekun menyimak
informasi yang disampaikan raja Ama ni Busur dan penduduk desa.
Lyman juga selalu menyempatkan diri untuk menyampaikan injil.
menuju Silindung: Sabtu 28 Juni 1834
Menjelang sore: tiba di Lobu Sisangkak daerah Lobu Pining
Sekitar jam 4 sore tanpa sengaja mereka melihat di depan ada sebuah
benteng pertahanan. Terdiri dari timbunan batang kayu yang baru
ditebang. Tampak sedang berdiri sosok-sosok manusia yang sedang jaga,
lengkap dengan senjata seperti lembing dan senjata api buatan lokal Batak.
Rupanya benteng yang baru saja dibangun itu ada kaitannya dengan
kedatangan kedua penginjil Munson dan Lyman. Melihat keadaaan itu,
Datuk Raja Mangkuta menjumpai orang yang ada di benteng. Setelah
berbicara dengan penghuni benteng, ia tidak kunjung kembali.
Beberapa saat kemudian sebuah rombongan besar yang lengkap dengan
senjata tombak datang menyergap Munson dan Lyman kedua pembantu
yang dibawanya dari Jakarta tetap mendekat kepada kedua penginjil,
sedangkan anggota rombongan lainnya termasuk polisi Rakim telah
menghilang menyelamatkan diri. Munson dan Lyman serta juru masak
yang ingin menolong tuannya tewas ditempat karena hujaman tombak
menembus tubuh mereka. Jan kemudian lari, setelah melihat kedua
tuannya tergeletak tidak bernyawa lagi inilah akhir perjalanan penginjil
yang telah mempersiapakan diri menjadi pemberita injil kepada orang
Batak. Perjalanan mereka terpaksa berhenti di Lobupining untuk selama-
lamanya dan mereka tidak kembali bersama keluarganya yang saat itu
ditinggalkan di Jakarta.
Munson dan Lyman di Kenang
(1907 dan 1934)

Pada tahun 1907 didirikan sebuah monumen di


Lobupining untuk mengingat pengabdian kedua hamba
Tuhan Munson Lyman yang tewas terbunuh tahun
1834. Dalam suatu prasasti tertulis suatu kalimat: “
Munson dan Lyman meninggal dunia karena dilahap
oleh orang Batak”, suatu ungkapan yang ditulis dalam
bahasa Jerman: Gegessen und Gefrese. Ungkapan itu
pada kemudian hari menimbulkan rasa rishi karena
kaum Batak dituduh sebagai manusia pemakan danging
manusia.

Namun 100 tahun kemudian, 1934, kalimat tersebut


dihilangkan dan yang tersisa adalah suatu ungkapan
Bapa gereja Tertualianus: “Darah para martir adalah
benih bagi gereja Tuhan Yesus”. Perubahan tersebut
dilakukan secara formal dalam rangka memeperingati
100 tahun kematian kedua martir Munson dan Lyman
dan sekaligus memperingati hari kelahiran tokoh
Zending Jerman Rhein, I.L Nommensen pada tahun
1934.
Ingwer Ludwig Nommensen lahir di sebuah pulau kecil Nordstrand, Jerman, 6
Februari 1834. Keluarganya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, ditambah
sang ayah yang sering jatuh sakit. Nommensen adalah anak satu-satunya laki-laki
dengan tiga saudara perempuan. Pekerjaan memintal tali dilakukan sang ayah, walau
dirundung sakit untuk kebutuhan makan sehari-hari. Masa kecil Nommensen sungguh
terjerat kemiskinan. Bersama dengan anak-anak miskin lainnya, ia terkadang harus
pergi ke rumah orang kaya hanya untuk mengambil sisa makanan untuk dimakan.
Kira-kira beranjak usia 4 tahun, seorang jurutulis sebuah toko yang kejam datang
untuk menagih hutang. Dengan kasar, jurutulis itu mengancam ibunya akan menyita
rumah dan barang jika tidak segera melunasi hutang. Dengan penuh tanya, setelah
jurutulis pergi, Nommensen bertanya kepada sang ibu, apakah itu Tuhan kita?. Ibunya
menjawab, seandainya itu Tuhan kita, tentu kita akan binasa. Justru, pertanyaan
Nommensen kecil menuntun sang ibu mengadu kepada Tuhan akan kesulitan hidup
mereka.
Sejak kecil, Nommensen sudah mencari nafkah untuk membantu
orangtuanya. Pada umur 8 tahun, ia mulai mencari nafkah untuk membantu
orangtuanya dengan cara menggembalakan domba. Pada usia 9 tahun, pada
libur sekolah, ia mulai belajar untuk menjahit tenda. Pada usia 10 tahun, ia
bekerja pada seorang petani yang kaya untuk mengerjakan tanah. Ia juga
bekerja menuntun kuda yang menarik bajak untuk membajak tanah petani
kaya tersebut. Seringkali Nommensen harus mendapat marah, karena kantuk
yang tak tertahankan ketika menuntun kuda bajak. Pada tahun 1846, saat
berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan. Sewaktu ia bermain
kejar-kejaran dengan temannya, ia ditabrak kereta kuda yang menggilas
kakinya sampai patah dan keadaan yang demikian memaksanya berbaring di
tempat tidur berbulan-bulan lamanya. Waktu itu, dalam doanya,
Nommensen meminta kesembuhan dan berjanji, jika ia disembuhkan, maka
ia akan memberitakan injil kepada orang kafir. Setelah kakinya sembuh,
Nommensen kembali menjadi buruh tani untuk membantu keluarganya
setelah kematian ayahnya. Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke
Barmen (sekarang Wuppertal) untuk melamar menjadi penginjil. Selama
empat tahun ia belajar di seminari zending Lutheran Rheinische
Missionsgesellschaft (RMG). Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi
missionaris pada tahun 1861.
Ia ditugaskan oleh RMG ke Sumatera dan tiba pada tanggal 16 Mei 1862 di
Padang, setelah berlayar selama 142 hari, tanpa pernah melihat daratan. 16
Juni 1862, Nommensen berangkat menuju Sibolga, bersama nona Malga
(tunangan Van Asselt) dan Punrau (seorang Dayak) dan tiba 23 Juni 1862.
Kemudian Nommensen dan Punrau melanjutkan perjalanan ke Barus. Ia
memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin untuk
menetap di daerah Toba. Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan
dengan alasan keamanan. Oleh sebab itu, ia bergabung dengan penginjil-
penginjil lain yaitu misionaris Pdt. Heine dan Pdt. Klammer yang telah
berada di daerah Sipirok yang setelah Perang Paderi dimasukkan dalam
wilayah Hindia Belanda. Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk
agama Islam sehingga kemajuannya lambat. Setelah berdiskusi dengan
kedua misionaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa
Nommensen akan bekerja di Silindung.
sana. Pada pagi hari, besoknya, rombongan Nommensen berangkat
menuju Utara, dan sepanjang perjalanan hingga malam tanpa
menemukan rumah penduduk. Kemudian, mereka memutuskan
untuk bermalam di sebuah gua, liang, di tepi sebuah bukit yang
tinggi. Di gua ini Nommensen bertemu dengan penduduk
Pangaribuan yang bersembunyi akibat perang antar kampung. Besok
paginya, dengan tubuh yang lelah karena tidur beralaskan pasir
basah di gua, Nommesen dan rombongan melanjutkan perjalanan,
dan setengah tiga sore sampai di Banjar na Hor. Setelah beristirahat
sebentar, mereka akhirnya tiba di kampung Raja Ompu Gumara.
Mereka disambut dengan pesta, dan meminta Nommensen dapat
tinggal bersama mereka dan menyelesaikan perang dengan kampung
lain, yang telah juga menewaskan adik Raja Ompu Gumara.
Nommensen juga memberitakan Firman Tuhan pada malam harinya.
Besok, paginya, setelah menyampaikan Firman Tuhan, Nommensen
melanjutkan perjalanan, dan sampai sekitar pkl 1 Siang di Sigotom.
Penduduk Sigotom tidak begitu terbuka akan kehadiran
Nommensen, mungkin karena tahu Nommensen datang dari arah
kampung musuh mereka.
Pagi-pagi betul, dengan cepat
robongan Nommensen berangkat dari
Sigotom dengan menuruni dan
menaiki Dolok Sitarindak menuju
Silindung. Setelah sampai di sebuah
perbukitan, antara Lumbanbaringin,
Sitompul dan Pansur Napitu mereka
beristirahat. Dari sana Nommensen
dengan jelas memandang lembah
Silindung dengan hamparan sawah,
rumah-rumah penduduk. Di tempat
inilah Nommensen berbicara dengan
Tuhan dalam doanya: “Mangolu
manang mate pe ahu, sandok di
bangso on na hinongkopMu ma ahu
maringanan, pararathon hataM dohot
harajaonMu”. (Untuk mengenang
peristiwa ini telah dibangun
monumen yang diresmikan pada
tahun 1993 oleh Bupati Tapanuli
Utara, Lundu Panjaitan).
Turun dari bukit, mereka melewati onan Sipinggan menuju
Hutagalung. Di Hutagalung Inaina rombongan Nommensen telah
disambut kerumunan banyak orang, anak-anak dan dewasa yang
datang mengolokolok Nommensen. Setelah sampai di
perkampungan penduduk, seorang yang cakap berbahasa Melayu,
Ompu Tarida Hutagalung bertanya kepada Nommensen, Tuan mau
pigi kemana? Nommensenpun menjawab akan menuju Saitnihuta.
Dengan tangan terbuka, Ompu Tarida mendampingi Nommensen
ke Saitnihuta, dan mengusir anak-anak yang mengikuti dan
mengolokolok Nommensen. Pada kunjungan pertama ini, di
Saitniuta, Nommensen diterima oleh Raja Ompu Tunggul,
keturunan Ompu Somuntul. Pada kunjungan pertama ini,
Nommensen sudah bertemu dengan Raja Pontas Lumbantobing,
dan menyempatkan pergi berkunjung ke Sipoholon. Banyak juga
para penduduk desa mengunjungi Nommensen di Sait ni Huta.
Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk
mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam
pelayanannya.
Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864 Nommensen dengan
membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Silindung
dan tiba pada tanggal 7 Mei 1864. Nommensen kembali ke rumah
Raja Ompu Tunggul, tetapi dia ditolak. Tawaran datang dari Raja
Aman Dari, keturunan Ompu Sumurung, melalui utusannya untuk
tinggal di lumbung padinya. Tawaran ini melegakan hati
Nommensen dan bergegas segera menuju kampung Raja Aman
Dari. Pada tanggal 20 Mei Nommensen membuka pargodungan
Huta Dame di Saitnihuta dan memulaI membangun rumah
kediamnnya di sana yang selesai pada pertengahan Juli 1864. Tanah
ini merupakan tanah perbatasan tanah keturunan Ompu Somuntul
dan Ompu Sumurung Sebelumnya, pada tanggal 29 Mei
Nommensen membuka kebaktian Minggu pertama di Huta Dame.
Pargodungan ini sekaligus menjadi sekolah, dan tempat
penampungan para keluarga Kristen yang diusir dari kampong
mereka. Beberapa orang penduduk dan raja-raja di Silindung sudah
mulai membuka komunikasi dengan Nommensen.
HKBP Dame Saitnihuta
Tetapi banyak juga yang berusaha untuk
menghalangi Nommnsen tinggal di Silindung.
Bahkan telah terjadi kata sepakat di antara
beberapa raja untuk mempersembahan
Nommensen kepada sombaon “Siatas Barita”
pada suatu pesta pemujaan besar pada tanggal
23 September 1864 bertempat di onan
Sitahuru. Ribuan orang datang mengikuti pesta
tersebut, termasuk undangan dari Pohan dan
Toba.
Pesta Penyembahan
Sombaon
Nommensen hadir di pesta tersebut,
walaupun sudah banyak yang meminta
dan membujuknya untuk tidak hadir,
karena ancaman pembunuhan oleh
raja-raja yang membencinya. Biasanya
pesta akan berakhir dengan perang
antar kampung. Tetapi, hujan deras
dan angin yang sangat kencang datang
menyurutkan perang yang sebelumnya
telah dipancing penduduk Hutabarat
dengan suara tembakan bedil.
Pestapun berakhir, dan dengan lega
hati Nommensen menyadari
perlindungan Tuhan yang menjagainya
di lembah kematian. Bisa saja perang
akan dijadikan “siasat” untuk
mempersembahkan Nommensen ke
sombaon Siatas Barita.
Pada 16 Pebruari 1866, Johansen tiba di Sibolga bersama nona Carolina
Margaretha Gutbrodt. Bersama 25 orang penduduk Silindung, Nommensen
berangkat ke Sibolga untuk menjemput tunangannya dan segera menikah di
Sibolga pada tgl 16 Maret 1866. Selama sebulan di Sibolga, Nommensen
mendapat berita dari Huta Dame, bahwa sedang terjadi perlawanan dan
ancaman pembakaran Huta Dame dari orang-orang pembenci Nommensen.
Setibanya di huta Dame, Nommensen dapat meredakan situasi dengan
menjumpai raja-raja Silindung. Bahkan pada akhirnya, masyarakat Silindung
menyambut kedatangan istri Nommensen dengan adat mamio marsipanganon,
mengundang makan keluarga baru itu.
beberapa bulan kemudian, Raja Sisingamangaraja ke XI tiba di Sipoholon dan
mengancam akan membumihanguskan Huta Dame dengan banyak pasukan.
Tetapi ancaman itu tidak terlaksana karena segera saja Sang raja meninggalkan
Silindung karena persoalan pribadi yang terjadi.
Johansen. Pada tahun 1867 telah berdiri
pargodungan kedua di Silindung,yaitu huta
Zoar, Pansurnapitu yang dilayani oleh
Johansen. Johansen sendiri, sering dijuluki
sebagai guru bolon, karena kecakapannya
mengajar. Dia bersama Nommensen dan Tuan
Mohri, missionaris di Lumbansoit membuka
“sikkola mardalandalan” sebelum dibukanya
seminarium di Pansurnapitu. Johansen lahir 9
Nopember 1839 di Weddingsteed, Jerman.
Pada 2 Pebruari 1870 menikah dengan Marie
Sommer di Sibolga.Johansen bergumul selama
12 tahun (1982-1894) untuk menerjemahkan
dan menyalin Bibel Perjanjian Lama ke dalam
bahasa Batak Toba. Dia melayani di Silindung
selama 33 tahun dan telah mendidik sekitar
200 guru dan 25 pendeta Batak hingga akhir
hayatnya 11 Januari 1898. (makamnya saat ini
berada di pargodungan HKBP Pansurnapitu).
Seminarium Sipoholon
(1901)
Sejalan dengan pertumbuhan Gereja di
Silindung, pada tahun 1877 telah
dibuka seminarium di Pansurnapitu
dengan murid berjumlah 12 orang.
Lulusan sekolah ini dijadikan menjadi
guru Injil dan Guru Sekolah. (Di
kemudian hari, pada tahun 1901,
sekolah ini dipindahkan ke Sipoholon).
Pada masa ini, beberapa raja di
Silindung sudah dibaptis dan raja yang
paling berpengaruh adalah Raja Pontas
Lumbantobing. Peran Raja Pontas
Lumbantobing, telah juga berdampak
luarbiasa bagi perkembangan Injil. Dia
selalu tampil mendampingi
Nommensen dalam pelayanan di
Silindung. (makam Raja Pontas
Lumbantobing berdiri di depan gereja
HKBP Pearaja).
Pearaja (1872)
Pada tahun 1872, Nommensen
memulai pembangunan rumah dan
gereja di Pearaja. Gereja baru ini
diresmikan pada tanggal
10 September 1873. Nommensen
tinggal di Pearaja sampai tahun
1882, yang kemudian demi kemajuan
penginjilan, pada tahun 1882 pindah
ke Balige, kemudian tinggal menetap
di Sigumpar sampai akhir hayatnya,
pada 23 Mei 1918.

Anda mungkin juga menyukai