Anda di halaman 1dari 15

PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL

Kelompok 2 :

- Dwi Pratiwi 1801011074


- Dameria Simangunsong 1801011072
- Yuyun Rejeki 1801011028
- Mutiara Qumairi Lubis 1801011300
- Nava ayudhia 1801011056
- Heni Febri Yasmita Sitorus 1801011080
- Nanda Putri Banjarnahor 1801011019
- Lisa Romauli Aruan 1801011084
- Feti Marida 1801011078
- Ismaturrahmi 1801011082
- Faisal Siregar 1801011183
- Brando Situmorang 1801011289
- Sofiannur Khoirunisa 1801011466
- Izzatul Maghfirah Siahaan 1801011541
- Anisa 1801011381
- Erika Tasya 1801011293
- Sartika Purba 1801011373
POKOK PEMBAHASAN

PENDAHULUAN

DEFINISI OBAT TRADISIONAL

TUJUAN PENGEMBANGAN OBAT


TRADISIONAL
TAHAP PENGEMBANGAN OBAT
TRADISIONAL

KESIMPULAN
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki kakayaan hayati terkaya kedua di dunia setelah Brazil. Namun,
bila kekayaan biota laut ikut diperhitungkan, maka Indonesia menempati urutan terkaya di dunia untuk
kekayaan hayati yang dimilikinya.
Di Indonesia diperkirakan hidup sekitar 40.000 spesies tanaman, di mana 30.000 spesies tumbuh di
kepulauan Indonesia dan 9.600 spesies tanaman tersebut merupakan tanaman yang memiliki khasiat sebagai
obat dengan kurang lebih 300 spesies tanaman telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional oleh
industri obat tradisional di Indonesia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 65% dari penduduk negaranegara maju telah menggunakan
pengobatan tradisional (DepKes RI, 2008). Data dari Sekretariat Convention on Biological Diversity mencatat
bahwa pasar global obat dari bahan alam pada 2000 mencapai US $ 43 milar dan WHO mencatat pada tahun
2000, pasar obat herbal yang tergolong besar, antara lain, Cina, Eropa Barat, Amerika Serikat, Jepang, dan
Kanada.
Penggunaan bahan alam sebagai obat (biofarmaka) cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu
back to nature dan krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat
modern yang relatif lebih mahal harganya. Obat dari bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek
samping yang membahayakan. Adanya kearifan lokal yang dimiliki, menyebabkan masyarakat pedesaan
memiliki suatu keterampilan dalam memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang ada disekitarnya sebagai obat
(Katili dkk., 2015).
DEFINISI OBAT TRADISIONAL

Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral,
sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional Indonesia atauobat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu, umumnya
campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa
akar, batang, daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagian tanaman.
Dalam Executif Summary buku World Health Organization–Traditional Medicine Strategy 2014-2023, dikutif
bahwa obat tradisional (Traditional Medicine selanjutnya disebut TM) adalah bagian yang penting dan sering
diremehkan di bidang pelayanan kesehatan saat ini.
Sebaliknya, di beberapa negara, obat tradisional atau obat non konvensional bisa disebut sebagai obat
pelengkap (Complement Medicine). TM memiliki sejarah panjang dari segi khasiat karena memberi
kemanfaatan, dapat digunakan dalam perawatan kesehatan, untuk pencegahan bahkan dapat
direkomendasikan untuk pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis.

LANJUTAN
TUJUAN PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL

• Untuk mengetahui prospek pengembangan Tanaman Obat


• Mencari dan merumuskan alternatif strategi pengembangan tanaman yang tepat
• Untuk memperoleh mutu yang berkualitas pada obat tradisional
• Untuk memperoleh efektifitas yang lebih terjamin
• Untuk mempermudah pemilihan kepada pengguna
TAHAP PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL

Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil
data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada
manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik.

Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut:

1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
4. Uji klinik

LANJUTAN
1. SELEKSI

Tahap Seleksi

Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal yang
akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti
dan dikembangkan adalah:
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya
(berdasarkan pola penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker. Akhir-akhir ini ada
kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer di kalangan masyarakat.
Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita diabetes melitus dan
buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan kanker dan
AIDS.
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik

Tahap Uji Preklinik

Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik
dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional
yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau
mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada
manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.

Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan
karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai
berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan
diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama
satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik
bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas
ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia (Tabel 4 )

LANJUTAN
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji
toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan.
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya kanker.
4. Obat digunakan secara kronik

Uji Farmakodinamik

Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme
kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan
coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia.
Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar

Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan Terstandar

Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat
herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses
pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil. Sebagai contoh tanaman obat yang
mengandung minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula prosedur ekstraksi sangat
mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek
terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis
kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya
melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda
yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.
4. UJI KLINIK

Uji klinik Obat tradisional

Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti
halnya dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind controlled
clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat
tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji
klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan
memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan
efek yang terulangkan (reproducible).
Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisional Fase II awal: dilakukan pada pasien
dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat timbulnya Untuk obat tradisional yang sudah lama
beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji
klinik dengan pembanding.
Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas
pasien terhadap obat tradisional tersebut. Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris
tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau
obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar. Saat ini belum banyak uji klinik
obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.
Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:

1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik


2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung
pada banyak faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di pasaran Setelah melalui penilaian oleh Badan POM,
dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit digolongkan
sebagai fitofarmaka.

Agar obat tradisional/obat herbal dapat diterima dan digunakan pada pelayanan kesehatan formal maka pembuktian khasiat dan
kemananan obat tradisional pada manusia melalui uji klinik perlu ditingkatkan. Meskipun minat untuk melakukan penelitian dan
pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka cukup baik, seringkali terbentur pada masalah dana penelitian yang sulit didapat.
Koordinasi penelitian antar departemen, perguruan tinggi, lembaga/pusat penelitian perlu ditingkatkan agar tidak terjadi duplikasi dan
pemborosan dana penelitian. Pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah perlu menyediakan dana untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas penelitian, termasuk penelitian dan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka, sehingga dapat dimanfaatkan
pada pelayanan kesehatan.
KESIMPULAN

1. Pengembangan obat tradisional digunakan dari olahan tanaman yang ada di Indonesia.
2. Pengembangan obat tradisional meliputi 4 tahap yaitu : Seleksi ,Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik, Standarisasi
sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar , dan Uji klinik
3. setelah melewati 4 tahap maka obat akan diterima dengan adanya pembuktian khasiat dan keamanan obat dari Badan POM
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai