Anda di halaman 1dari 80

MASALAH ABADI PERLINDUNGAN

KONSUMEN (THE NEVER-ENDING


PROBLEMS OF CONSUMER PROTECTION)
Masalah abadi dalam perlindungan konsumen dapat dilakukan baik di
tingkat internasional maupun pada tingkat nasional atau domestik.
Pada tingkat Internasional, pembahasan dapat diawali dengan
menunjuk Butir 38 Resolusi PBB No. 39/248 tanggal 9 April 1985
tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan :
In advancing consumer interests, particularly in developing countries,
Governments should, where appropriete, give priority to areas of
essential concern for the health of the consumer, such as food, water
and pharmaceuticals. Policies should be adopted or maintained for
product quality control, adequate and information, as well as
education and research programmes in these areas. Government
guidelines in regard to specific areas should be developed in the
context of the provisions of this document.
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
• Berdasarkan isi butir 38 ini, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara kondisi perlindungan
konsumen di lingkungan negara maju (developed
countries) di satu pihak dan di negara sedang
berkembang (developing countries) di lain pihak.
Tidak terlalu berlebihan kiranya dikatakan bahwa
perlindungan konsumen merupakan fenomena
modern dan memiliki posisi penting di negara maju,
namun di negara sedang berkembang sangat jauh
tertinggal.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Ketidaksamaan kondisi perlindungan konsumen pada
tingkat internasional ini menghasilkan satu dari
sejumlah masalah abadi perlindungan konsumen,
karena hal tsb menciptakan hambatan non tarif (non
tariff barriers) di dalam perdagangan internasional.
Hambatan tarif tsb mengakibatkan negara sedang
berkembang tidak mungkin dapat mengekspor
komoditasnya ke negara-negara maju, berhubung
komoditas yang dihasilkannya tidak memenuhi standar
minimum suatu produk yang ditetapkan oleh negara
maju sebagai pengimpor.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Sementara itu apabila negara pengekspor harus
mengembangkan kualitas komoditasnya dalam rangka
memenuhi standar negara pengimpor, maka hal tsb akan
meningkatkan biaya produksi yang terjadi akibat
dimasukkannya unsur biaya penelitian dan biaya pembelian
peralatan produksi canggih ke dalam biaya produksi tsb.Pada
gilirannya semua biaya penelitian dan peralatan secara otomatis
akan dibebankan pada harga produk. Kenaikan harga produk
menyebabkan harga produk tsb tidak mampu bersaing dengan
produk sejenis yang telah terlebih dahulu beredar di pasaran.
Alhasilnya negara pengekspor akan memutuskan untuk
memasarkan produk tsb di negaranya sendiri.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Kalaupun diekspor maka akan diekspor ke negara sedang
berkembang lainnya atau ke negara miskin ( less develop
countries) yang masih mengijinkan produk itu untuk
dipasarkan di negara tsb. Situasi semacam ini tentu saja
tidak memberikan banyak dorongan pada perkembangan
perlindungan konsumen di negara sedang berkembang,
terlebih lagi di negara miskin. Dalam rangka mengeliminasi
hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional
yang dapat menimbulkan gangguan upaya perlindungan
kosumen, maka Resolusi PBB No.39/248 tentang
GUIDELINES FOR CONSUMER PROTECTION, menyatakan
bahwa :
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
• In applying any procedurs for
consumer protection, due regard
should be given to ensuring that
they do not become barriers to
international trade and that they
are consistent with international
trade obligation.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


3 Dimensi Perlindungan Konsumen di
tingkat nasional :
1. Pelaku (the actors)
2. Bidang (the fields)
3. Pola pelaksanaan perlindungan konsumen (the
realization pattern of consumer protection).
Ad.1. Pelaku perlindungan konsumen yaitu
konsumen, pelaku usaha, pemerintah, distributor,
grosir, pengecer, perusahaan periklanan, media
massa, masing-masing memiliki kepentingan yang
berbeda satu sama lain.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Agar mereka dapat memenuhi kepentingannya
masing-masing, perlu melakukan kegiatan
bersama (mutual action), serta tergantung satu
sama lain (interdependensi).
• Contohnya : dalam rangka memenuhi standar
produk tertentu, maka pelaku usaha harus
melakukan penelitian dan pengembangan
(research and development), untuk itu perlu
investasi berupa pembelian peralatan produksi
yang lebih canggih.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Di satu pihak hal tsb akan menyebabkan
kenaikan harga produk, dan di lain pihak
penggunaan alat canggih pada umumnya
tidak padat karya sehingga produsen harus
melakukan tindakan tidak populer yaitu
berupa pemutusan hubungan kerja. PHK
sangat dihindarkan oleh pemerintah, karena
akan menimbulkan gejolak sosial dengan
biaya sosial yang tinggi.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Dampak berikutnya bahwa dalam rangka
menekan serendah mungkin kenaikan harga
produk yang diakibatkan oleh biaya penelitian
dan biaya pembelian alat canggih, maka
produsen akan berusaha mengurangi biaya
promosi melalui periklanan. Akibat lemahnya
promosi produsen akan mengalami hambatan
dalam pemasaran dan penjualan produknya
kurang dikenal oleh konsumen.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Sampai pada tahap ini konsumen akan
menjadi korban, karena konsumen tidak
mendapatkan informasi tentang produk
yang telah memenuhi standar produk
sesuai dengan tuntutannya. Masalah
timbul pula dalam dimensi pola
pelaksanaan perlindungan konsumen
yaitu bagaimana pelaksanaan upaya
perlindungan konsumen dapat diawasi
apabila tidak terdapat kesadaran

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


hukum berupa pengetahuan, sikap
serta ketrampilan yang memadai para
pelaksananya untuk menegakkan
peraturan perundang-undangan itu (law
enforcement). Selanjutnya apabila
penegakan peraturan perundang-
undangan PK gagal dilaksanakan, maka
akan menimbulkan sinisme di kalangan
konsumen yang pada gilirannya
menyebabkan penurunan kepercayaan
dan kesadaran hukum mereka.
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Rendahnya kepercayaan dan kesadaran
hukum konsumen pada akhirnya sama
sekali tidak mendukung upaya
perlindungan konsumen terhadap
kepentingan mereka. Sekali lagi muncul
lingkaran setan dalam perlindungan
konsumen yang menyebabkan masalah
abadi .
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Selain apa yang diuraikan di atas belajar dari
sejarah perlindungan konsumen di dunia, dapat
diketahui bahwa metode dan perundang-
undangan PK pada kenyataannya senantiasa
disesuaikan dengan :
A. Perkembangan iptek yang selalu
mengalami perubahan sangat cepat dari
waktu ke waktu. Contoh : Perkembangan
komunikasi melalui internet,
menyebabkan penggunaan metode on-
line shopping dalam pola belanja
konsumen.
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Sejak akhir abad 20. Upaya perlindungan
terhadap konsumen dengan pola
berbelanja konsumen semacam ini, tentu
mensyaratkan perubahan atau
penyesuaian metode serta peraturan
perundang-undangan yang mengatur
perlindungannya. Oleh karena itu selama
perkembangan iptek tetap terjadi, maka
selama itu pula masalah baru perlindungan
konsumen akan timbul sehingga menjadi
masalah abadi perlindungan konsumen.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


B. Selain kecanggihan dan penemuan jenis
barang dan/jasa baru yang menimbulkan
masalah abadi PK, ternyata konsumen sbg
manusia juga senantiasa mengalami
perubahan dan perkembangan terutama
pada pola konsumsinya. Dalam hal ini
kebutuhan, selera dan daya beli konsumen
yang ternyata juga senantiasa terjadi dalam
sejarah umat manusia.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa Perlindungan Konsumen
akan senantiasa berbanding lurus
dengan perkembangan iptek, serta
perkembangan konsumen sendiri
sebagai manusia yang senantiasa
berubah.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Tujuan Perlindungan Konsumen
Pada prinsipnya mengandung kemiripan di
banyak negara di dunia yaitu memberikan
perlindungan kepada konsumen agar
terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan kerugian dalam penggunaan
barang dan/atau pemanfaatan jasa.
Tujuan PK mnrt Sir Gordon Borrie:
... Seeking to redress the natural imbalance
of power between the ordinary person and
the business
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
provider of goods and services and
trying to prevent the worst kinds of
trading abuses. Governments of
different political colours sought to alter
both the civil law and to create new
institutions and procedures to ensure
that the charges were made effective.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Resolusi PBB No.39/248 tentang
Guidelines for Consumer Protection
secara tidak langsung menyatakan di
dalam butir 3 tentang tujuan yang
hendak dicapai dalam upaya
perlindungan konsumen yaitu :
• The legitimate needs which the
guidelines are intended to meet are the
following :
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
a. The protection of consumers from hazards to their
health and safety;
b. The promotion and protection of economic interests
of consumers;
c. Acces of consumers to adequate information to
enable them to make informed choices according to
individual wishes and needs;
d. Consumer Education;
e. Availability of effective consumer redress.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


f. Freedom to form consumer and other
relevant groups or organizations and
the opportunity of such organizations to
present their views in decision-making
processes affecting them.

• Pasal 3 UU No.8 Tahun 1999, secara


tersurat menyatakan bahwa tujuan PK
adalah :

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


A. Meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
B. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan atau/jasa;

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


C. Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen;
D. Menciptakan sistem PK yang
mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


E. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya PK sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
F. Meningkatkan kualitas barang dan
atau/jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan
atau/jasa,kesehatan, kenyamanan,
keamanan & keselamatan konsumen.
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Asas dalam perlindungan konsumen
(Pasal 2 UU no.8 th 1999)
• 1. Asas Manfaat
• 2. Asas Keadilan
• 3. Asas Keseimbangan
• 4. Asas Keamanan & Keselamatan
Konsumen
• 5. Asas Kepastian Hukum

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• 1.Asas Manfaat dimaksudkan untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• 2. Asas Keadilan dimaksudkan agar
partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajiban secara adil.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• 3. Asas Keseimbangan dimaksudkan
untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil ataupun spiritual.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• 4. Asas Keamanan & Keselamatan
Konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan
dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• 5. Asas Kepastian Hukum
dimaksudkan agar, baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Tujuan PK di negara maju dan negara
berkembang terdapat perbedaan yaitu
pada tingkat perlindungan (level of
protection) dan standar kerusakan
barang dan atau jasa (standard of
damaged goods and services).
Ad. Tingkat perlindungan (level of
protection) dikenal dengan skala :

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


1. Peringkat satu Neg berkembang/miskin
2. Peringkat dua
3. Peringkat tiga Negara maju
4. Peringkat empat

Pada negara berkembang/miskin dapat dipahami


karena perlu memprioritaskan tingkat pertumbuhan
ekonomi negara serta pendistribusiannya secara adil
dan merata, oleh karena itu Perlindungan Konsumen
dipandang

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


belum merupakan hal penting dan
merupakan kemewahan yang belum
dibutuhkan. Sedangkan di negara
miskin tingkat PK (jika memang ada)
dapat dikatakan berada pada peringkat
terendah bahkan nir peringkat.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Pada negara maju secara rata-rata
berada pada peringkat tiga dan
empat, peringkat ini dapat dicapai
karena banyak faktor antara lain :
• faktor tingkat pendidikan dari
konsumen
• faktor pendidikan kepada konsumen
• faktor tingkat kesadaran hukum dari
konsumen maupun pelaku usaha
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
• faktor ketersediaan sumber daya
manusia yang memiliki pengetahuan,
sikap dan ketrampilan yang memadai
dalam urusan perlindungan konsumen.
• faktor kemauan politik yang kuat dari
pemerintah untuk melindungi
konsumen dari praktek usaha (bisnis)
yang curang (unfair business practices).

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Ad. Perbedaan standar kerusakan
barang dan /atau jasa (standard of
damaged goods and services).
• Fakta menunjukkan bahwa semua barang
dan/jasa di negara maju diproduksi dan
dipasarkan setelah berhasil lolos dari
sejumlah persyaratan standar kualitas
minimum

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


(minimum quality standard), baik yang
ditetapkan oleh pemerintah maupun
yang ditetapkan secara sukarela
(voluntary self regulation) oleh pelaku
usaha atau asosiasi pelaku usaha.
Standar serupa jarang terjadi dan
dijumpai di lingkungan negara sedang
berkembang, bahkan sama sekali tidak
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
ditemukan di negara miskin.
Kelangkaan dana, peralatan, keahlian
dan ketiadaan informasi telah
menyebabkan negara-negara tersebut
menerima barang dan/jasa
sebagaimana dihasilkan/diproduksi
serta ditawarkan oleh pelaku usaha.
Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa sekalipun tujuan PK di berbagai
mengandung kemiripan, namun
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
melalui Resolusi PBB No.39/248
tentang Guidelines for Consumer
Protection mengakui adanya perbedaan
tahap pencapaian tujuan PK di
lingkungan negara maju dan
negara berkembang/miskin.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


4 (empat) hak dasar Konsumen mnrt John F.Kennedy
(https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/59a12c88affd70cb00a22f4
7ddf9d2ce.pdf)

1. the Right to safe product; (hak atas


keamanan)
2. the Right to be informed about
product; (hak mendapatkan informasi)
3. the Right to definite choices in
selecting products; (hak untuk memilih)
4. the Right to be heard regarding
consumer interests. (hak untuk
didengar pendapatnya)
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Jenis-jenis Upaya Perlindungan
Konsumen
• Tujuan PK sbgm dikemukakan di atas,
hanya dapat dicapai apabila dilakukan
berbagai jenis upaya perlindungan
konsumen. Salah satu kriteria
pembagian upaya perlindungan
konsumen tsb berdasarkan upaya PK
secara non hukum dan upaya PK secara
hukum, sehingga dapat digambarkan
sbb :
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Nir Aksi
(do nothing
Secara Non strategy)

Hukum
Ragam Aksi
(Miscellaneous)
Upaya
Perlindunga
Peraturan Perundang-
n undangan
(Legislation)
Konsumen
Secara Peradilan (Litigation)
dan di luar peradilan
Hukum (non litigation)

Pengaturan Mandiri
(Voluntary self
Rinitami Njatrijani, SH., MHum regulatuon)
Strategi Nir Aksi (Do nothing
Strategy),menurut Benny L.Kass dalam
bukunya Consumer Activist.

Dalam strategi ini konsumen


memutuskan untuk tidak menuntut
kesalahan pelaku usaha yang telah
menimbulkan kerugian padanya, tetapi
membiarkan dan menganggapnya
sebagai pengalaman buruk.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Dasar pertimbangannya adalah bahwa
berdasarkan cost and benefit
analysis konsumen akan jauh lebih
banyak mengalami kerugian apabila ia
melakukan gugatan ganti rugi.
Pertimbangan tsb dapat didasarkan
pada analisis kekuatan ekonomi,politik,
budaya maupun pertimbangan lainnya.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Strategi ini terutama bersumber pada
suatu sindrom yang disebut “you can’t
fight the city hall”, karena city hall
melambangkan kekuasaan yang tak
tersentuh oleh masyarakat, dalam hal
ini masyarakat konsumen. Dengan tidak
melakukan tindakan apapun, maka
konsumen telah melindungi dirinya
sendiri dari kemungkinan
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
timbulnya kerugian yang lebih besar,
meskipun strategi ini pada saat
sekarang dikenal sebagai suatu strategi
masa lalu (a way of the past).
Ragam Aksi (Miscellaneous)
Upaya perlindungan konsumen secara
non hukum yang kedua disebut sebagai
ragam aksi (Miscellaneous).
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Dalam hal ini konsumen berada dalam
keadaan marah dan frustasi, tetapi
tidak mengetahui secara tepat apa yang
akan dan harus dilakukannya. Akibatnya
konsumen menggunakan segala
kemungkinan yang dapat dilakukannya,
bahkan seringkali melakukan secara
nekad yang kemudian ternyata bahwa
apa yang
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
dilakukannya bukan merupakan
sesuatu yang benar. Contoh ragam aksi
yang dilakukan konsumen yang
dirugikan oleh pelaku usaha antara
lain : mengungkapkan kasus yang
dihadapinya pada kolom surat kabar,
pada acara pengaduan pemirsa di
stasiun televisi, serta mengadukan
kasus yang dialaminya kepada LPKSM.
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Ragam aksi yang dilakukan oleh
konsumen ini merupakan tindakan
signifikan yang harus diperhitungkan
oleh pelaku usaha, karena
pengungkapan kasus terkait di hadapan
publik dapat menjatuhkan citra pelaku
usaha beserta badan usahanya. Melalui
ragam aksi ini, konsumen berharap
bahwa melalui berbagai jalur sbgm
disebutkan di atas,

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


kerugian konsumen yang diakibatkan
oleh pelaku usaha dapat memperoleh
penanganan yang cepat dan tuntas.
Perlu dikemukakan bahwa terdapat
kelemahan ragam aksi dalam upaya
perlindungan konsumen antara lain :
keterbatasan dana dan tenaga ahli pada
LPKSM.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Peraturan Perundang-undangan
(Legislation)
Konsumen yang dirugikan oleh pelaku
usaha dapat memperoleh perlindungan
secara hukum, apabila telah terdapat
perangkat peraturan perundang-
undangan yang mengatur hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam
berbagai bidang, misalnya tentang:

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• keamanan produk
• perkreditan,
• perumahan,
• obat dan makanan, barang terutama
peraturan- peraturan perundang-
undangan yang mengatur perlindungan
konsumen. Sejarah telah membuktikan
bahwa peraturan Per UU an pada
umumnya tidak atau kurang berpihak
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
pada kepentingan perlindungan
konsumen, melainkan justru berpihak
pada kepentingan pelaku usaha. Di
beberapa negara keberpihakan pada
kepentingan pelaku usaha dapat terjadi,
karena relatif cukup banyak peraturan
perundang-undangan yang
penyusunannya disponsori oleh pelaku
usaha, dengan tujuan agar kepentingan
pelaku usaha terlindungi
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
oleh peraturan perundang-undangan
tersebut. Selain itu seringkali ditemukan
peraturan perundang-undangan yang
disusun dengan tingkat aplikasi yang
rendah, sehingga memberi ruang gerak
yang leluasa kepada para penegak
hukum untuk menafsirkan sesuai
dengan kepentingannya. Apabila hal ini
terjadi
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
tidak tertutup kemungkinan bahwa para
penegak hukum justru menggunakan
keleluasaan tersebut untuk memperoleh
manfaat pribadi dan bukan untuk
kepentingan perlindungan konsumen.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Peradilan (Litigation) dan di luar Peradilan
(Non Litigation).
• Upaya PK melalui peradilan dan di luar
peradilan adalah penyelesaian sengketa
antara kosumen dan pelaku usaha yang
terjadi karena pelaku usaha tidak bersedia
secara sukarela memberikan ganti rugi
terhadap konsumen yang telah mengalami
kerugian. Akibatnya dalam rangka
memperoleh perlindungan secara hukum,
konsumen menggugat ganti rugi kepada
pelaku usaha baik
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
melalui peradilan (litigation) atau di luar
peradilan (non litigation).
Penyelesaian sengketa melalui
peradilan adalah konsumen menggugat
ganti rugi kepada pelaku usaha melalui
pengadilan, mulai dari pengadilan
tingkat pertama sampai dengan tingkat
akhir di Mahkamah Agung.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Penyelesaian sengketa konsumen di
luar peradilan adalah bahwa konsumen
menggugat pelaku usaha melalui badan
atau lembaga non peradilan seperti
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) di Indonesia. Badan
atau lembaga semacam itu pada
umumnya menyelesaikan sengketa
konsumen dengan tujuan mencapai
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
Solution melalui penggunaan metode
mediasi (mediation), konsiliasi
(conciliation) dan arbitrase (arbitration).
Konsumen yang dapat mengajukan
gugatan adalah konsumen individual,
kelompok konsumen (class action), dan
LPKSM.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Perlu dikemukakan bahwa pada
umumnya gugatan konsumen melalui
badan atau lembaga non peradilan
hanya dapat dilakukan oleh konsumen
individual saja, sedangkan gugatan
kelompok konsumen dan gugatan
LPKSM hanya dapat diajukan melalui
peradilan.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


Pengaturan Mandiri (Voluntary self
regulation)
• Upaya lain dalam perlindungan
konsumen adalah pengaturan mandiri
oleh pelaku usaha di dalam badan
usahanya, dengan jalan menetapkan
dan memberlakukan sendiri peraturan
internal di dalam badan usahanya
sendiri.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Sebagai contoh dapat dikemukakan
pengaturan internal sebuah industri
biskuit, mengenai hal-hal yang wajib
dilakukan pada berbagai tahap dalam
proses produksi biskuit tersebut. Dalam
manajemen produksi, proses ini disebut
sebagai proses pengendalian mutu.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Penetapan dan pemberlakuan peraturan
internal badan usaha ini, pada
gilirannya selain dapat melindungi
konsumen dari barang dan/atau jasa
yang dihasilkannya akan terjamin
keamanannya apabila dikonsumsi atau
dimanfaatkan oleh konsumen, dan hal
akan memberikan

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• efek positif pada kegiatan promosi
barang dan/jasa yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Artinya semakin tinggi
tingkat keamanan suatu barang
dan/jasa, semakin tinggi pula
kemungkinan barang dan/jasa tersebut
dibeli oleh konsumen.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


STRATEGI PERLINDUNGAN KONSUMEN
(tm 2)
• Berkaitan dengan strategi bisnis yang
digunakan pelaku usaha, pada mulanya
berkembang adagium Caveat
Emptor ( Waspadalah Konsumen).
Prinsip Caveat Emptor menurut Lauren
Krohn, Consumer Protection and the
Law, A Dictionary ABC CLIO, Santa
Barbara, California, 1995,33-34. Caveat
Emptor
Rinitami Njatrijani, SH., MHum
• merupakan ungkapan bahasa Latin
yang diterjemahkan dalam bahasa
Inggris” Let the buyer beware” artinya
pembeli barang menanggung sendiri
risiko atas kerusakan yang ada dalam
barang tersebut.
• Asal doktrin ini tidak diketahui secara
pasti, yang pada abad pertengahan be-

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• lum dikenal. Pada masa itu karena
kuatnya pengaruh gereja, maka
tanggung jawab diletakkan pada
penjual barang untuk memperhitungkan
setiap kekurangan yang mungkin
terkandung di dalam barang yang
dijualnya. Referensi I tentang caveat
emptor ditemukan da-

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• lam kasus penjualan kuda di Inggris
1534. Ini merupakan doktrin common
law telah berpengaruh amat besar pada
situasi perdagangan di abad 19 di
AS. Secara gradual kejayaan Caveat
Emptor mengalami keruntuhan pada
abad 20, ketika berkembang consumer
driven economy.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Pada masa itu banyak perusahaan
raksasa menjual barang yang
diproduksi secara masal melalui mata
rantai distribusi yang rumit kepada
konsumen. Pada situasi tersebut
konsumen pada umumnya hanya
memiliki sedikit keahlian dan kurang
mempunyai posisi tawar yang kuat

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• dalam menghadapi perusahaan raksasa.
Oleh karena itu diperlukan peraturan
perundang-undangan yang dapat
menghilangkan ketidaksetaraan posisi
tersebut, dengan jalan memberlakukan
secara implisit jaminan mutu barang,
sekalipun penjual tidak membuat
pernyataan

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• tersurat tentang hal tersebut. Di
Indonesia doktrin/adagium Caveat
Emptor menempatkan konsumen pada
posisi yang senantiasa harus waspada
sendiri dalam menghadapi perilaku
pelaku usaha yang tidak jarang justru
memanfaatkan rendahnya
kewaspadaan konsumen, dapat dikata-

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• kan telah berlangsung sejak jaman
kemerdekaan Indonesia, telah
mengakar kuat dalam sikap dan
perilaku konsumen Indonesia. Fakta
dan data yang menggambarkan sikap
nir aksi ( Do Nothing) dari konsumen
Indonesia pada masa pra UU P K.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Ketika strategi bisnis berorientasi pada
kemampuan menghasilkan produk
(production oriented), maka konsumen
harus waspada dalam mengkonsumsi
barang dan jasa yang ditawarkan
pelaku usaha. Pada masa ini konsumen
tidak memiliki banyak peluang untuk
memilih barang dan atau jasa yang

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• akan dikonsumsinya sesuai dengan
selera, daya beli dan kebutuhan.
Konsumen lebih banyak didikte oleh
produsen. Pola konsumsi masyarakat
justru ditentukan oleh pelaku usaha dan
bukan oleh konsumennya sendiri.
Seiring dengan perkembangan IPTEK
dan meningkatnya tingkat pendidikan.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• meningkat pula daya kritis masyarakat.
Dalam masa demikian pelaku usaha
tidak mungkin lagi mempertahankan
strategi bisnisnya yang lama, dengan
risiko barang dan atau jasa yang
ditawarkan tidak akan laku di pasaran.
Pelalu usaha kemudian mengubah
strategi bisnisnya

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• ke arah pemenuhan kebutuhan, selera
dan daya beli pasar (market oriented)
konsumen. Pada masa itu pelaku
usahalah yang harus waspada dalam
memenuhi kebutuhan barang atau jasa
konsumen. Dalam konteks ini pelaku
usaha dituntut untuk menghasilkan
barang-barang yang kompetif

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• terutama dari segi mutu, jumlah dan
keamanan (Johannes
Gunawan,1999:40).

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• Prinsip Caveat Venditor.
• Prinsip ini merupakan ungkapan bahasa
Latin yang berarti Waspadalah
Pelaku Usaha/Penjual ( “Let the
Seller beware “). Adagium ini
digunakan untuk menunjukkan pada
situasi dimana penjual menanggung
risiko kerusakan di dalam produk yang

Rinitami Njatrijani, SH., MHum


• dijualnya dan berkewajiban
memberikan ganti rugi atas cedera/
kerugian materiil yang dialami oleh
konsumen karena mengkonsumsi
produk tersebut.

Rinitami Njatrijani, SH., MHum

Anda mungkin juga menyukai