Materi 2:
HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
Oleh:
Inong Satriadi, S. Ag., MA
(Dosen Ulumul Hadits/Hadits)
2
DALIL-DALIL KEHUJAHAN HADÎTS
2. Ayat al-Qur`an
Al-Qur`ân telah mewajibkan umat Islam untuk mentaati Rasulullâh
SAW, di samping mentaati Allâh (QS. Al-Nisâ`/4: 59), hukum taat
kepadanya sama dengan taat kepada Allâh (QS. Al-Nisâ`/4: 80).
Barang siapa yang mengikuti dan mentaatinya, maka ia akan
mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’râf/7: 158, QS. Al-Nûr/24: 54).
Bahkan, mengikutinya merupakan pertanda seseorang akan dicintai
Allâh dan mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya (QS. Ali
Imrân/3: 31, QS. Al-Nûr/24: 56).
Allâh juga memerintahkan umat manusia agar mentaati
perintahnya dan menjauhi larangannya (QS. Al-Hasyar/59: 7) dan
memerintahkan mereka untuk memenuhi panggilannya, dan
menganggap bahwa ajakannya kepada mereka merupakan sebuah
kehidupan (QS. Al-Anfâl/7: 24).
3
Allâh pun memperingatkan kita dengan cobaan dan azab yang
pedih bila menentang perintahnya (QS. Al-Nûr/24: 63). Kita wajib
kembali kepadanya (Sunnah) bilamana berselisih pendapat (QS.
Al-Nisâ`/4: 59).
Di samping itu, Allâh tidak memberikan pilihan yang lain kepada
orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan dalam menerima
hukum yang diputuskan oleh Rasulullâh SAW (QS. Al-Ahzâb/33:
36).
Lebih dari itu, al-Qur`ân pun bersumpah menafikan iman orang-
orang yang berpaling dari ketetapan hukumnya atau tidak mau
menerima hukumnya dengan kerelaan dan sepenuh hati (QS. Al-
Nisâ`/4: 65).
Bahkan, Allâh juga menempatkan penerimaan hukumnya dan
keberpalingan darinya sebagai ukuran yang membedakan antara
keimanan dan kemunafikan (QS. Al-Nûr/24: 47-48, 51).
Oleh sebab itu, sebagai orang yang beriman kita sangat dianjurkan
untuk mengikuti jejak Rasulullâh SAW (QS. Al-Ahzâb/33: 21).
(lihat, Yusuf al-Qardhawi, 1997: 62-64).
4
Dalam menunjukkan kehujahan Sunnah beranjak
dari ayat-ayat al-Qur`ân, Abbas Mutawali
Hamadah (1997: 50-189) menyajikannya secara
panjang lebar dalam dua kategori.
Pertama, ayat-ayat yang khusus mengenai Rasul
yang diwajibkan oleh Allah untuk mentaatinya.
Kedua, ayat-ayat yang khusus mengenai
Rasulullah SAW yang menjelaskan al-Qur`ân
kepada seluruh umat manusia.
8
DALIL-DALIL KEHUJAHAN HADÎTS
5. Logika
Sesuai dengan logika. Allah telah menurunkan al-Qur’an
kepada Rasul-Nya, agar ia menyampaikan al-Qur’an dan
menjelaskan maksudnya kepada manusia (QS. al-Nahl/
16: 44), yang penjelasan beliau tersebut tetap dalam
bimbingan dan tuntunan wahyu dari Allah (QS. al-
Najm/53: 3-4).
Oleh karena itu, akal yang sehat dapat menerima bila Nabi
Muhammad itu pun wajib diikuti dan ditaati, sebab tidak
ada artinya taat kepada al-Qur’an tanpa mengamalkan
penjelasan Sunnah. (Tsalabi, 1986: 119).
9
FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR`AN
10
Oleh karena itu, Allâh memberikan legalitas secara khusus
kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan Al-
Qur`ân dan menjelaskan maksudnya kepada umat manusia
(QS. Al-Nahl/16: 44):
َ س َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُر
ون ِّ َوأَ ْن َز ْلنَا إِلَ ْي َك
ِ الذ ْك َر لِتُبَيِّ َن لِلنَّا
Dilihat dari segi pendekatan ilmu hukum, Sunnah
merupakan interpretasi yang otentik dari al-Qur’an.
Dengan demikian, merupakan hal yang amat sulit,
kalaulah tidak dikatakan “mustahil” sama sekali umat
Islam dapat memahami petunjuk Allah yang terdapat
dalam al-Qur’an tanpa memperhatikan penjelasan yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW melalui Sunnah.
11
BAYAN TAQRIR disebut juga BAYAN TA`KID
dan BAYAN ISBAT yaitu menetapkan,
memperkuat, mempertegas, atau
‘menggarisbawahi’ apa yang telah dikemukakan
Allah dalam al-Qur’an.
Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar. Ia pernah
mendengar Rasululah SAW bersabda:
َ ْيتُ ُموهُ فَصُو ُموا َوإِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ فَأ َ ْف ِطرُوا فَإِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ُدرُواiإِ َذا َرأ
لَه
Hadits ini memperkokoh isi kandungan al-Qur`an
dalam surat al-Baqarah/2 ayat 185:
.... ص ْمه ُ َ فَ َم ْن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْلي...
12
BAYAN TAFSIR yaitu menjelaskan hukum-hukum
yang terdapat di dalam al-Qur’an. Dalam hal ini,
penjelasan yang diberikan Nabi Muhammad SAW
itu terdiri dari beberapa bentuk, yaitu:
Tawdhih al-Musykil yaitu menjelaskan ungkapan yang
masih samar dan rumit yang terdapat dalam ayat al-
Qur’an. Misalnya riwayat al-Bukhari dari ‘Adi ibn Hatim
yang menyatakan:
ٍ َت إِلَى ِعق
ال ُ ت { َحتَّى يَتَبَي ََّن لَ ُك ْم ْال َخ ْيطُ اأْل َ ْبيَضُ ِم ْن ْال َخي ِْط اأْل َ ْس َو ِد} َع َم ْد ْ َ لَ َّما نَ َزل
ت أَ ْنظُ ُر فِي اللَّي ِْل فَاَل ُ ت ِو َسا َدتِي فَ َج َع ْل َ ْض فَ َج َع ْلتُهُ َما تَح
َ َال أَ ْبي
ٍ َأَ ْس َو َد َوإِلَى ِعق
ك فَقَا َلَ ت لَهُ َذ ِل ُ ْصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َذ َكر
َ ِ ُول هَّللا
ِ ت َعلَى َرس ُ ين ِلي فَ َغ َد ْو
ُ ِيَ ْستَب
ِ َك َس َوا ُد اللَّي ِْل َوبَيَاضُ النَّه
ار َ ِإِنَّ َما َذل
13
Bayan al-Mujmal yaitu memberikan perincian dan
uraian lebih lanjut terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
masih bersifat garis besar atau global. Umpamanya,
perintah shalat dalam surat al-Baqarah/2 ayat 43:
َ صاَل ةَ َوآَتُوا ال َّز َكاةَ َوارْ َكعُوا َم َع الرَّا ِك ِع
ين َّ َوأَ ِقي ُموا ال
Ayat ini tidak menjelaskan berapa kali shalat itu harus
dikerjakan dalam sehari, kapan waktunya, berapa jumlah
rakaatnya dan bagaimana tata cara pelaksanaannya.
Penjelasan tentang hal ini hanya dapat ditemukan dalam
penjelasan Nabi Muhammad saw. Dikemukakan oleh Abî
Sulaymân Mâlik ibn al-Huwayrits, Rasulullâh SAW
bersabda:
َ ُصلُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُمونِي أ
صلِّي َوإِ َذا َ ارْ ِجعُوا إِلَى أَ ْه ِلي ُك ْم فَ َعلِّ ُموهُ ْم َو ُمرُوهُ ْم َو
صاَل ةُ فَ ْليُ َؤ ِّذ ْن لَ ُك ْم أَ َح ُد ُك ْم ثُ َّم ِليَ ُؤ َّم ُك ْم أَ ْكبَ ُر ُك ْم
َّ ت الْ ض َر
َ َح
14
Takhshish al-‘Am yaitu memberikan ketentuan khusus
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Misalnya, ayat mengenai hak kewarisan dalam surat al-
Nisa’/4: 11:
.… ظ اأْل ُ ْنثَيَي ِْن ِّ لذ َك ِر ِم ْث ُل َح
َّ ُِوصي ُك ُم هَّللا ُ ِفي أَ ْواَل ِد ُك ْم ل
ِ ي
Ayat ini dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw untuk
anak-anak yang bukan menjadi penyebab kematian orang
tuanya atau anak yang berbeda keyakinan agama dengan
orang tuanya. Abu Dawud meriwayatkan dari ’Amru ibn
Syu’ayd dari Bapaknya dari Kakeknya, Rasulullah SAW
bersabda:
ُ س إِلَ ْي ِه َواَل يَ ِر
ث ُ ث فَ َوا ِرثُهُ أَ ْق َر
ِ ب النَّا ٌ ش ْي ٌء َوإِنْ لَ ْم يَ ُكنْ لَهُ َوا ِر َ س لِ ْلقَاتِ ِل َ لَ ْي
ش ْيئًا َ ا ْلقَاتِ ُل
Al-Bukhari meriwayatkan dari Usamah ibn Zayd, Nabi
saw bersabda:
ث ْال َكافِ ُر ْال ُم ْؤ ِمنُ ث ْال ُم ْؤ ِم ُن ْال َكافِ َر َواَل يَ ِر ُ اَل يَ ِر
15
Taqyid al-Muthlaq yaitu memberikan pembatasan atau
kaitan tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih
bersifat absolut atau mutlak. Umpamanya, surat al-
Maidah/5 ayat 38:
طعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِم َن هَّللا ِ َوهَّللا ُ َع ِزي ٌزَ َّارقَةُ فَا ْقِ ق َوالس ُ َّار
ِ َوالس
َح ِكي ٌم
Ayat ini tidak menjelaskan bagian tangan yang mana
yang harus dipotong. Hal ini dapat diketahui dalam
Hadis riwayat Al-Daruquthni dari ‘Amru bin Syu’aib
sebagaimana dikutip dari al-Shan’ani (VI: 71):
ف ِّ ص ِل ْال َك ِ ط َع يَ َدهُ ِم ْن َم ْفَ َق فَقٍ ار َ أُتِ َي النَّبِ ُّي
ِ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ َس
16
BAYAN NASKH yaitu membatalkan, menghapus, mencabut,
mengangkat atau menidak-berlakukan hukum yang telah
ditetapkan Allah dalam al-Qur’an.
Misalnya, Hadis mengenai wasiat kepada ahli waris yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Umamah yang
pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
ث ِ ق َحقَّهُ فَاَل َو
ِ صيَّةَ ِل َو
ٍ ار ٍّ طى ُك َّل ِذي َح َ إِ َّن هَّللا َ قَ ْد أَ ْع
Hadis ini menurut sebagian ulama telah menghapus
hukum berwasiat kepada kedua orang tua dan karib
kerabat dalam surat al-Baqarah/2 ayat 180:
صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن
ِ ك َخي ًْرا ْال َو
َ ت إِ ْن تَ َر ُ ض َر أَ َح َد ُك ُم ْال َم ْو
َ ب َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َحَ ِ ُكت
َ ُوف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّ ِق
ين ِ ين بِ ْال َم ْعر َ َِواأْل َ ْق َرب
17
BAYAN TASYRI’ yaitu menetapkan ketentuan hukum yang
tidak terdapat di dalam al-Qur’an. Fungsi ini disebut juga
sebagai “Bayan Zaid ‘ala al-Kitab al-Karim”. (Hamadah,
1965: 161)
Dalam hal ini, hadits Rasulullah SAW dalam segala
bentuknya berusaha menunjukkan suatu kepastian
hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat
dalam al-Qur`an.
Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan para sahabat atau maslah yang tidak mereka
ketahui dengan memberikan bimbingan dan
menjelaskan duduk persoalannya. (Mudasir, 1999: 84).
18
Menurut sebagian ulama, di antara Hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW yang termasuk kategori ini adalah
Hadis yang menyatakan bahwa wanita yang haid
diwajibkan mengqadha puasa, tetapi tidak diperintahkan
untuk mengqadha shalatnya, larangan memadu seorang
perempuan dengan bibinya, larangan memakan binatang
buas yang bertaring atau burung yang bercakar, larangan
memakan daging keledai kampung dan larangan bagi
laki-laki mamakai emas dan sutra. (Lihat, Abu Zahw,
[t.t].: 39).
Sebagai contoh sabda Nabi Muhammad saw, riwayat al-
Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن تُ ْن َك َح ْال َمرْ أَةُ َعلَى َع َّمتِهَا أَ ْو َخالَتِهَا
َ ِ نَهَى َرسُو ُل هَّللا
19
SUNNAH ANTARA TASYRI’ DAN
GHAYRU TASYRI’
20
Dalam konteks ini, harus diakui bahwa sukar untuk
memisahkan antara Muhammad sebagai Rasulullâh
dengan Muhammad sebagai seorang manusia biasa,
disebabkan titel kerasulan senantiasa melekat pada pribadi
beliau.
Diungkap demikian karena ayat yang berbicara tentang
uswah terangkai dengan kata Rasulillah, laqad kâna lakum
fîy Rasûlillâhi uswatun hasanah (QS. Al-Ahzâb/33: 21).
Apalagi, tidak mudah memisahkan atau memilah mana
pekerjaan atau ucapan yang bersumber dari kedudukan
beliau sebagai Rasul dan mana pula yang dalam
kedudukan lainnya. Bukankah Allâh SWT juga berfirman
“wa mâ Muhammadun Illâ Rasûl” (Muhammad itu tidak
lain seorang Rasul) (QS. Ali Imrân/3: 144)
21
Menurut Abbas Mahmud al-Aqqad sebagai dikutip
oleh Quraish Shihab, ada empat tipe manusia:
pemikir, pekerja, seniman, dan orang yang jiwanya
larut dalam ibadah. Jarang ditemukan bahkan
mustahil keempat kecenderungan atau tipe tersebut
berkumpul pada pribadi seseorang.
Namun demikian, orang yang mempelajari pribadi
Muhammad SAW pasti akan menemukan bahwa
keempatnya bergabung dalam peringkat yang
tinggi pada diri beliau. Hal ini dimaksudkan agar
seluruh manusia dapat meneladani sifat-sifat
terpuji pada pribadinya
22
Dalam konteks ini, sebagai umatnya, kita dituntut untuk
menghormati dan mengagumi beliau, baik dipandang
dengan kacamata kemanusiaan, logika dan ilmu
pengetahuan, apalagi jika dipandang dengan kacamata
agama dan akidah.
Oleh sebab itu, adalah wajar jika ayat yang berbicara
tentang keteladanan beliau lebih banyak ditekankan
kepada orang yang beriman yang mengharapkan
anugerah Ilahi dan ganjaran-Nya di akhirat kelak.
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Zamakhsyarî
sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab
mengemukakan dua kemungkinan arti uswah
(keteladanan). Pertama, kepribadian beliau secara
totalitas adalah teladan, dan kedua, dalam kepribadian
beliau memang terdapat hal-hal yang patut dan layak
diteladani
23
Kemungkinan tersebut berkaitan dengan pandangan
tentang batas-batas ‘ishmah (pemeliharaan) Allâh
terhadap Nabi-Nya, suatu pemeliharaan yang
menjadikan beliau tidak terjerumus dalam
kesalahan.
Bagi yang berpandangan bahwa Rasulullâh SAW
mendapat ‘ishmah (pemeliharaan) dalam segala
sesuatu, berarti semua yang bersumber dari beliau
pasti benar.
Akan tetapi, bagi yang membatasi ‘ishmah tersebut
hanya pada persoalan-persoalan agama, maka
keteladanan dimaksud pun hanya terbatas pada soal-
soal agama 24
Sejalan dengan al-Zamakhsyarî, dalam tafsirnya, al-Qurthubî
menjelaskan lebih jauh bahwa dalam soal agama, keteladanan beliau
merupakan kewajiban, tetapi dalam soal keduniaan, ia hanya
merupakan anjuran
Dengan lain kata, dalam soal keagamaan, beliau wajib diteladani
selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut adalah
anjuran. Adapun dalam persoalan keduniaan, Rasulullâh SAW sendiri
telah menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada para pakar di bidang
terkait.
Keberadaan beliau berada dalam berbagai posisi dan fungsi.
Adakalanya beliau berperan sebagai manusia biasa, sebagai pribadi,
sebagai suami, sebagai utusan Allâh, sebagai kepala negera, sebagai
pemimpin masyarakat, sebagai panglima perang, maupun sebagai
hakim.
Keberadaan multi peran beliau ini menjadi acuan bahwa untuk
memahami hadîts-hadîts beliau perlu dikaitkan dengan peran apa
yang sedang beliau “mainkan”.
25
Implikasinya, sabda yang bersifat perintah harus
dilaksanakan setiap orang, dan sabda yang bersifat
larangan semua harus menjauhinya, serta sabda yang
bersifat mubah, setiap orang bebas melakukan atau
meninggalkannya.
Adapun tindakan beliau sebagai kepala negara, tidak
seorang pun boleh melakukannya, kecuali ia dalam
kapasitas tersebut atau mendapat izin dari kepala negara.
Demikian pula Sunnah yang dilakukan beliau dalam
posisinya sebagai hakim, tidak seorang pun boleh
melakukannya, kecuali ia dalam posisi itu atau ada putusan
dari hakim.
Hal ini disebabkan karena dasar perbuatan beliau adalah
kedudukan beliau sebagai kepala negara atau hakim,
bukan sebagai penyampai syariah 26
SUNNAH SEBAGAI SYARIAT UMUM
Semua Sunnah yang bersumber dari Nabi dalam
bentuk tabligh dalam kedudukannya sebagai
Rasulullâh. Dalam hal ini, ucapan dan sikap beliau pasti
benar karena semuanya bersumber langsung dari Allâh
SWT atau penjelasan tentang maksud Allâh SWT.
Cakupannya:
1. Menafsirkan al-Qur`an: menjelaskan ayat-ayat al-
Qur`ân yang global, mengkhususkan lafal yang umum,
atau membatasi lafal yang mutlak,
2. Menjelaskan persoalan akidah dan ibadah,
3. Menjelaskan halal-haram dan akhlak.
Semua itu merupakan Sunnah bermuatan syariat yang
bersifat umum dan universal.
27
SUNNAH SEBAGAI SYARIAT KHUSUS
1. Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai kepala
negara (imam) dan pemimpin umum umat Islam.
Misalnya, mengirim pasukan untuk berperang,
mendayagunakan harta baitul mal dengan baik, melantik
para hakim dan pejabat, membagi harta rampasan perang
(ghanîmah), mengadakan perjanjian dan tugas-tugas
kepala negara lainnya demi kemaslahatan rakyat.
Status Sunnah ini bukanlah sebagai hukum syariah yang
berlaku umum.
Dalam konteks ini, seseorang tidak boleh melakukan hal-
hal tersebut secara lancang, semaunya sendiri, sekali pun
dengan dalih Nabi mengerjakan dan memerintahkannya,
kecuali seizin kepala negara
28
2. Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai hakim yang
memutuskan perkara dengan menggunakan bukti,
keterangan saksi, sumpah, dan pembelaan.
Sebagai hakim, ketetapan hukumnya secara formal pasti
benar. Akan tetapi, secara material adakalanya keliru
akibat kemampuan salah satu pihak yang berselisih
menyembunyikan kebenaran atau berdalih dan
mengajukan bukti-bukti palsu.
Dalam hal ini, kedudukan Sunnahnya juga bukan hukum
syariah yang berlaku umum. Oleh sebab itu, seseorang
tidak boleh memutuskan sendiri perkara menurut
keputusannya yang ia tetapkan dengan menggunakan
hukum tertentu dalam kasus perkara orang-orang tertentu
di kalangan sahabat.
29
Dalam hal ini, Rasulullâh tidak mengharuskan umatnya untuk
mengikuti hal yang sama, melainkan seorang muslim harus tetap
tunduk dan berpegang kepada hukum pengadilan yang berlaku.
Dalam konteks ini, siapa pun yang haknya diambil orang lain,
sementara yang mengambil menyangkalnya dan ia mempunyai
saksi, maka ia tidak boleh mengambil sendiri haknya itu tanpa
melalui proses pengadilan. Inilah cara pengambilan hak dalam
perkara persengketaan hak yang berlaku pada zaman Rasulullâh.
Di antara indikator adanya misi penetapan hukum syariah adalah
perhatian Rasulullâh SAW untuk menyampaikan Sunnah itu kepada
masyarakat umum, keseriusan beliau dalam melaksanakannya,
adanya pernyataan hukum, dan beliau menampilkannya dalam
persoalan-persoalan universal. Misalnya, sabda beliau “Ketahuilah,
tidak boleh ada wasiat bagi ahli waris” ( HR. Abû Dâwud, al-
Nasâ`î, al-Turmudzî, Ibn Mâjah, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Dârimî
dari’Amrû ibn Khârijah, Abî Umâmah al-Bahîlî, dan Anas ibn
Mâlik)
30
SUNNAH YANG BUKAN MERUPAKAN HUKUM
SYARIAT
33
Umpamanya, pembagian kelompok pasukan untuk
ditempatkan di pos-pos perang, mengatur barisan dalam
satu pertempuran dan di barak persembunyian militer, taktik
menyerang dan mundur, memilih tempat untuk kubu
pertahanan, dan kebijaksanaan situasional dan kondisional
lainnya.
Dalam konteks ini, kepemimpinan dan petunjuk-petunjuk
beliau dalam hal kemasyarakatan disesuaikan dengan
kondisi masyarakat tersebut, sehingga bagi masyarakat
lainnya, petunjuk tersebut dapat berbeda.
Hal ini disebabkan karena Rasulullâh sendiri tidak jarang
memberikan petunjuk yang berbeda untuk sekian banyak
orang sesuai dengan keadaan masing-masingnya. Tidak
jarang pula, ada ketetapan yang beliau ubah karena kondisi
masyarakat telah berbeda dengan kondisi mereka pada sat
larangan itu beliau tetapkan.
34
PERBANDINGAN: AL-QUR`AN, HADITS
QUDSI, DAN HADITS NABAWI
Yang Diperbandingkan
N Aspek Al-Qur`an Hadits Hadits
o Qudsi Nabawi
36