Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KUSWANTO, M. I. (2014). PERBEDAAN JENIS KEPRIBADIAN INTROVERT DAN EKSTROVERT DENGAN KECENDERUNGAN HIPOKONDRIASIS (Doctoral dissertation, Untag Surabaya).
ETIOLOGI
• Orang yang mengalami hipokondriasis memiliki kekhawatiran akan kesehatan,
lebih banyak simtom psikiatrik, dan mempersepsikan kesehatan yang lebih buruk
daripada orang lain.
• Adanya trauma masa lampau
• Depresi mayor dan gangguan kecemasan
• Orang hipokondriakal meningkatkan dan membesarkan sensasi somatiknya,
mereka memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya terhadap
gangguan fisik.
• Salah menginterpretasikannya sensasi, dan menjadi tersinyal oleh hal tersebut
skema kognitif yang keliru
Vurqaniati, M. (2017). PENERAPAN TERAPI PERILAKU KOGNITIF/COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT) PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HIPOKONDRIASIS DI RUMAH
TAHANAN PONDOK BAMBU JAKARTA TIMUR. JURNAL PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN SDM, 6(2).
EPIDEMIOLOGI
• Gangguan cemas perkiraan prevalensi dalam kehidupan 28,8% dan
perkiraan prevalensi dalam 12 bulan adalah 18,1%.
• Prevalensi 6 bulan hipokondriasis sebanyak 4 hingga 6 persen di
populasi klinik medis umum, tetapi tidak mungkin dapat setinggi 15
persen.
• Lazim timbul pada orang berusia 20 hingga 30 tahun.
• Keluhan hipokondria dilaporkan terjadi pada kira-kira 3 persen
mahasiswa kedokteran biasanya pada 2 tahun pertama, tetapi umumnya
hanya terjadi singkat atau sementara.
1. Sukandar, A. (2009). Keefektifan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk menurunkan tingkat kecemasan pada ibu hamil di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Surakarta (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret University)).
2. Benjamin JS,Virginia AS.2010.Kaplan& Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.Jakarta: EGC
PATOMEKANISME
• Menurut teori biologi mengenai gangguan kecemasan bahwa, neurotransmitter dapat menimbulkan
kecemasan.
• Tiga neurotransmitter utama yang berhubungan dengan kecemasan, yaitu gamma aminobutyric acid
(GABA), norepinefrin, dan serotonin yang di mana dapat memperngaruhi system limbik.
• Respon dari persepsi ancaman yang diterima oleh system syaraf pusat yang berupa pengalaman
masa lalu dan faktor genetic.
• Di dalam syaraf pusat, proses tersebut melibatkan jalur Cortex Cerebri – Limbic System – Reticular
Activating System – Hypothalamus yang memberikan impuls kepada kelenjar hipofise untuk
mensekresi mediator hormonal terhadap target organ yaitu kelenjar adrenal.
• Neurotransmiter dan peptida lain, corticotropin-releasing factor, juga ikut terlibat, serta system saraf
otonom terutama system syaraf simpatis, juga memperantarai banyak gejala kecemasan.
1. Benjamin JS,Virginia AS.2010.Kaplan& Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.Jakarta: EGC
2. Yates, William R. 2008. Anxiety Disorders. http://www.emedicine.com/med/topic152.htm (19 Agustus 2014)
GEJALA KLINIS
• Merasa cemas dalam setiap perubahan kondisi jasmaninya, walaupun sudah
mendapatkan penjelasan reassurance dari Dokter bahwa tidak terdapat masalah
serius dalam dirinya.
• Gejala perilaku yang menunjukkan Hipokondriasis bertahan dan menetap
selama 6 bulan atau lebih.
• Memiliki kekhawatiran yang lebih tinggi akan kesehatan dibandingkan dengan
individu lainnya.
• Keluhan yang berasal dari kondisi fisik berlandaskan adanya riwayat minimal
satu penyakit serius pada individu bersangkutan dimana keyakinan tersebut
bersifat menetap dan tidak hilang walaupun telah mendapatkan ulasan medis.
KUSWANTO, M. I. (2014). PERBEDAAN JENIS KEPRIBADIAN INTROVERT DAN EKSTROVERT DENGAN KECENDERUNGAN HIPOKONDRIASIS (Doctoral dissertation, Untag Surabaya).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Adapun pemeriksaan penunjang menurut PPDGJ-III, yaitu :
• Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik
yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan
yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai,
ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau
perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham).
• Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandai keluhan-keluhannya.
Rusdi, M. 2013.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya
TATA LAKSANA
Non-Farmakoterapi
• Mencari dasar gangguan jiwa yang dialami pasien.
• Riwayat pasien ditemukan adanya suatu gangguan depresi dan cemas
di masa lalu
• Upaya psikoterapi dan psikoedukasi, seperti hubungan dokter pasien
yang kuat di antara keduanya, edukasi pasien tentang sebab dan asal
mula keluhan somatik, serta dukungan dan bantuan yang
menenangkan pasien
Yutzy SH. Somatization. In: Blumenfield M, Strain JJ, penyunting. Psychosomatic Medicine. 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 538-43.
TATA LAKSANA
Farmakoterapi
• Memberikan obat anti cemas golongan benzodiazepin ketika menemukan
kasus keluhan somatik di tempat praktiknya
• Beberapa obat golongan benzodiazepin yang sering digunakan dalam
pengobatan keluhan cemas adalah alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan
diazepam.
• Dosis alprazolam Rentang dosis yang biasa digunakan dalam praktik
sehari-hari adalah 0,5 mg sampai 1,5 mg untuk kondisi gangguan panik
dengan dosis terbagi.
Schatzberg AF, Cole JO, DeBattista C, editors. Manual of Clinical Psychopharmacology. 7th ed. Virginia: American Psychiatric Publishing; 2010
KOMPLIKASI
• Apabila gangguan ini berlangsung lama, maka dapat mengakibatkan komplikasi,
seperti gangguan mental yaitu gangguan kecemasan, depresi atau gangguan
kepribadian.
• Depresi menurut WHO (World Health Organization) merupakan suatu gangguan
mental umum yang ditandai dengan mood tertekan, kehilangan kesenangan atau
minat, perasaan bersalah atau harga diri rendah, gangguan makan atau tidur, kurang
energi, dan konsentrasi yang rendah
• Pada kasus parah, depresi dapat menyebabkan bunuh diri. Sekitar 80% lansia
depresi yang menjalani pengobatan dapat sembuh sempurna dan menikmati
kehidupan mereka, akan tetapi 90% mereka yang depresi mengabaikan dan menolak
pengobatan gangguan mental tersebut
1. Jenike MA. Drug Treatment of Obsessive-Compulsive Disorders. In: Jenike MA, Baer L, Minichiello WE, eds. ObsessiveCompulsive Disorder – Practical
Management. St. Louis: Mosby, 2010 : 469-522.
2. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI
TERIMA KASIH