Anda di halaman 1dari 32

NAMA : NIRMA FITRIANA

NIM : 2020603080
KELAS : PERBANKAN SYARIAH 3
MATA KULIAH : ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
DOSEN PENGAMPU : FATIMATUZ ZUHRO M.E
TUGAS : PERTEMUAN 14
TANGGAL : 19 MEI 2021
BAB IV

MADZHAB KALAM (TEOLOGI)


DI NEGARA-NEGARA ARAB ISLAM
A. Ilmu Kalam
Ibnu Khaldun berkata, "Ilmu kalam adalah
ilmu yang mengandung argumen-argumen
rasional untuk membela akidah-akidah iman dan
berisi bantahan terhadap golongan bid'ah dan
orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli
sunnah. Adapun rahasia akidah-akidah iman
adalah tauhid (peng-Esa-an Allah)."
Sebagian ulama berpendapat, ilmu kalam dapat membantu
pembelaan pendapat-pendapat keagamaan yang terdapat di dalam
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi dengan akal. Melalui ilmu ini, seorang
muslim mampu menetapkan akidah keimanan secara benar. Adapun
objek ilmu kalam adalah Dzat ketuhanan yang meliputi; sifat-sifat-
Nya, perbuatan-Nya, serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia.
Sebagian ulama Islam menolak ilmu kalam. Mereka bahkan
menyerang para mutakallimin. Di antaranya adalah Imam Asy-Syafi'i,
Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Sufyan Ats-Tsauri, dan lainnya.
Mereka menganggap bahwa para mutakallimin berada di urutan
kedua setelah kaum musyrikin. Bahkan Imam Asy-Syafi'i berkata,
"Seandainya manusia mengetahui tentang apa yang ada di balik ilmu
kalam, pasti mereka akan lari darinya sebagaimana mereka lari dari
singa." Sementara Imam Ahmad menganggap mereka termasuk ke
dalam golongan orang zindiq.
Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu tauhid.
Sebab, persoalan terpenting dalam ilmu ini
adalah perihal tauhid ilahiyyah (ke-Esaan Tuhan),
mensucikan Allah dari segala sesuatu selain Dia,
hubungan Allah dengan alam, serta hubungan
sifat-sifat Ketuhanan dengan Dzat Allah. Ilmu ini
juga disebut dengan ilmu ushuluddin. Sebab,
objeknya terkait dasar-dasar agama.
Ilmu ini dinamakan dengan ilmu kalam dikarekan hal-hal berikut.
Nama tersebut diambil dari kalam manusia. Sebab, para ulamanya dahulu
berdebat atas dasar logika. Mereka menggunakan qiyas dan bukti-bukti dalam
perbebatan mereka. Semua itu merujuk pada kalam manusia.
Objek perbincangan mereka seputar kalamullah, seputar hubungan Dzat Allah
dengan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah sifat kalam Allah; apakah kalam
Allah itu hadits ataukah qadim. Persoalan ini merupakan paling penting yang
memunculkan perbedaan di kalangan kaum muslimin sejak lama. Ahlussunnah
berpendapat, kalam Allah itu qadim. Sementara Mu'tazilah dengan lantang
mengatakan, kalam Allah itu hadits, dan ia termasuk makhluk.
Sebagian mereka berpendapat, dinamakan demikian karena perbincangan dalam
ilmu ushuluddin identik dengan metode jawaban secara kalam. Artinya,
pangkalnya adalah kalam dan perbincangan. Masalah ushuluddin ada dua
persoalan; persoalan iman dan persoalan qada' dan qadar.
Sebagian kelompok lain berpendapat, dinamakan demikian karena ilmu kalam
bersandar pada bingkai nalar teoritis saja, dan ia menggunakan kalam.
Kota Bashrah dianggap sebagai ladang munculnya
madzhab-madzhab teologis sejak akhir abad pertama
hijriyyah di mana ilmu kalam dan filsafat mulai muncul. Di
kota Bashrah ini muncul sekte Qadariyyah, Mu'tazilah,
Murji'ah, dan Asy'ariyyah. Hampir sebagian besar manusia
sibuk dengan ilmu kalam, berdebat, dan membuat bantahan
terhadap lawan pendapatnya. Di sana, dibuat halaqah-
halaqah, majelis, dan tempat berdebat antara pengusung
suatu pendapat dan penentangnya.
 
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh dan
berkembangnya ilmu kalam. Di antaranya adalah:
1. Kondisi intern dan domestik masyarakat.

setelah munculnya fitnah di kalangan jamaah Islam


dan terbaginya masyarakat Islam menjadi sekte dan
golongan yang beragam. Kelompok Khawarij yang
memisahkan diri dari Ali bin Abu Thalib, mereka
sangat ketat terhadap qiyas dengan tekstual kaidah
dan hukum. Sehingga, Ali pun mengumpulkan mereka
dan mengajak berdebat, namun mereka tidak puas.
Demikian pula dengan Syiah, Mu'tazilah dan yang
lainnya. Masing-masing memiliki pendapat dan
pemikirannya.
2. Akal manusia yang mendapati beragam
pertanyaan.
• apakah dasar alam semesta ini, dan apa pula alasannya?
• Apakah manusia itu tidak diberi kebebasan ataukah ia memiliki
kehendak sendiri?
• Apa jiwa itu, apa itu ruh, dan apa hubungan keduanya dengan
badan?
• Bagaimana hakikat kebangkitan itu?
• Apakah kebangkitan itu dengan jasad, ataukah dengan jiwa,
ataukah dengan keduanya?
Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan metafisik lainnya.
Semua ini mendorong akal manusia untuk merenung. mengkaji, dan
berpikir, baik itu pada alam semesta atau pada teks keagamaan yang
membicarakan tentang alam semesta.
3. Nalar politis.
Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat pada tahun 11 H./632 M.,
kaum muslimin berbeda pendapat tentang siapa yang wajib menjabat sebagai
khalifah (pengganti Rasulullah) secara pemilihan, atau warisan, atau dengan
penunjukkan. Kaum muslimin dalam hal ini telah menempuh cara yang beragam.
Pemilihan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu sebagai Khalifah dilakukan dengan cara
musyawarah dan pemilihan. Setelahnya, Umar juga diangkat dengan cara
pemilihan. Sedangkan Utsman bin Affan dengan musyawarah, Ali bin Abu Thalib
dengan ijma'. Adapun Muawiyah bin Abu Sufyan dengan kekuatan pedang dan
peperangan. Setelah itu, jabatan Khalifah diwarisi secara turun temurun.
Secara teori, kaum muslimin berbeda pendapat dalam memandang jabatan
khalifah. Ahlussunnah memandang, jabatan khalifah merupakan jabatan
keduniaan yang harus dilakukan demi menegakkan urusan agama dan dunia.
Pemilihan khalifah dilakukan oleh ahlu hall wa al-aqd dari kalangan kaum
muslimin. Dan, khalifah yang terpilih ini wajib ditaati oleh mereka.
4. Faktor ekstern (asing).
Kaum muslimin menghadapi aliran-aliran beragam serta sekte-sekte yang
bertentangan dengan ruh Islam. Aliran ini sebagiannya bersifat keagamaan dan
sebagiannya lagi tidak ada kaitannya dengan agama. Aliran-aliran memunculkan
perdebatan-perdebatan dan juga mengetengahnya banyak solusi untuk persoalan
yang dihadapi oleh kaum muslimin. Maka, muncullah pemikiran yang mencoba
menafsirkan alam semesta dan dunia.
Setelah pembebasan Islam di negera-negara Syam, Irak, Persia, dan Mesir,
sejumlah Yahudi, Nasrani dan Majusi banyak yang masuk Islam. Tidak mudah bagi
mereka untuk lepas dari ideologi, prinsip, dan nalar terdahulu. Oleh karena itu,
banyak dari mereka terpikat oleh ideologi mereka sebelumnya. Dahulu, mereka
banyak bertanya dan meminta penjelasan seraya terpengaruh oleh prinsip ideologi
mereka sebelumnya. Sebagian mereka hanya ingin meraih ketenangan,
sebagiannya adalah karena tujuan tertentu, atau bertujuan membuat kebingungan
bagi kaum muslimin, terutama mereka yang mengikuti hawa nafsu. Inilah yang
membantu munculnya ilmu kalam.
B. Mu'tazilah
Mu'tazilah secara bahasa dari kata al-i'tizal.
Ungkapan itazala asy syai artinya menghindar
darinya.
Mu'tazilah secara istilah adalah sebutan bagi
madrasah kalam yang besar yang pertama kali
muncul dalam Islam, tumbuh di Bashrah pada
akhir abad 1 H., dan terus berkembang pada
abad ke-2 dan ke-3 H.
Awal mula munculnya Mu'tazilah pada masa khalifahan
Hisyam bin Abdul Malik (w. 105-125 H./723-743 M.) di mana
saat itu gerakan pembebasan dan perluasan Islam berhenti.
Kaum muslimin mulai menetap di daerah daerah dan mulai
mengkaji dan membaca ilmu-ilmu agama. Ketika banyak
sekali etnis-etnis non-Arab yang masuk Islam melalui
gerakan pembebasan, mereka masih membawa ideologi dan
pemikiran sebelumnya. Tentu saja hal ini ikut andil dalam
munculnya pembagian politis dan kekacauan-kecauan.
Dengan demikian, hal inilah membuka pintu berkembangnya
sekte-sekte Islam.

Kelompok Mu'tazilah sepakat atas lima ushul (pokok, yaitu :


1. Tauhid
Mereka berkata bahwa Allah itu Esa dalam Dzat-Nya, tidak ada
sekutu bagi-Nya dalam ke-qadim-annya, dan tidak pula ada sukutu
bagi-Nya dalam penciptaan dan pembuatan alam ini. Mereka
memerangi segala sesuatu yang mengandung tasybih
(penyerupaan dengan Allah) atau pelekatan sifat-sifat pada Allah.
Jadi, Allah adalah Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai
Nya, bukan berjisim, tidak pula manusia. Allah tidak disifati dengan
sifat sifat kemanusiaan yang menunjukkan pada mereka, tidak
terbatas, tidak beranak, tidak pula diperanakkan, dan tidak dapat
ditangkap oleh indra. Dia Maha Mengetahui, Maha kuasa, Maha
hidup, tidak seperti para ulama yang mampu (kuasa) dan hidup.
Dia-lah satu-satunya yang qadim, tidak ada yang qadim selain-Nya.
2. Al-'Adl
Allah Subhanahu wa Taala Mahaadil, tidak menzalimi seorang pun dari
hamba-Nya. Manusia bebas berkehendak, bertanggung jawab atas pilihannya
itu, dan Allah nanti yang menghisab perbutan perbuatan ini. Jadi, Allah
Subhanahu wa Ta'ala tidak ikut campur dalam perbuatan para hamba-Nya dan
tidak pula menciptakan perbuatan tersebut. Dia juga tidak memberikan
kewajiban apa pun. Sebab, tidak boleh bagi Allah mewajibkan suatu amalan
kepada hamba kemudian Dia menghisabnya. Akan tetapi, Allah menghisab
mereka lantaran apa yang mereka perbuat dengan kehendaknya dan kebebasan
pilihannya. Ini selaras dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur'an sebagaiman
firman Allah Subhanahu wa Taala, "Barangsiapa yang mengerjakan amal yang
shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat
jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu
menganiaya hamba-hamba (Nya)." (Fushshilat: 46) dan firman Allah, "Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya," (Al-Mudatstsir: 38).
3. Al-Wa'du wa Al-Wa'id
Ini berkaitan dengan keadilan, sebab keadilan
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharuskan untuk
merealisasikan janji dan ancaman-Nya. Janji Nya
adalah pahala dan surga bagi orang shaleh dan
beribadah kepada Allah, sedangkan ancamannya
adalah siksa dan neraka bagi orang yang
bermaksiyat dan melenceng dari jalur
kebenaran. Oleh karena itu, janji dan ancaman
Allah merupakan dua hal yang dilaksanakan.
4. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain
Pengikut aliran ini mengatakan bahwa pelaku dosa
besar dari kaum muslimin bukanlah seorang mukmin
yang sempurna imannya, juga tidak seorang kafir yang
keluar dari agama, akan tetapi mereka berada pada
satu tempat di antara dua tempat. Mereka
menamainya dengan fasik. Ini merupakan sikap tengah-
tengah antara Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa
besar dan Murji'ah yang menganggap pelaku dosa
besar sebagai orang beriman.
5. Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Ini bukan termasuk dasar akidah mereka, melainkan suatu
keharusan yang dipikul oleh Mu'tazilah. Hal ini dikarenakan
orang zindiq telah menyebar dan bahayanya semakin meluas.
Mu'tazilah berpendapat, bahwa kondisi ini mengharuskan
kaum muslimin -demi menjaga akidah-supaya bergegas dalam
amar ma'ruf nahi munkar dengan cara memerangi orang orang
fasik dan orang zindik. Untuk merealisasikan hal tersebut,
mereka meminta bantuan para khalifah, serta memanfaatkan
kekuasaan mereka demi menyebarkan paham-paham mereka
dengan cara yang beragam. Kekerasaan pun dilakukan dan
terkadang juga dengan pembunuhan.
C. Persoalan Kemakhlukan Al-Qur'an

Pengikut gerakan Mu'tazilah berpendapat


bahwa menyakini Al-Qur'an qadim berarti
menyekutukan Allah. Sebab, mereka
berkeyakinan bahwa yang qadim hanya Allah,
dan tidak boleh menyekutukan sifat ini pada
siapa pun. Perkataan bahwa kalam Allah bersifat
azali berarti menafikan tauhid yang mereka bela
dan menganggapnya sebagai problematika
mereka.
D. Madzhab Jabariyyah
Jabar artinya menafikan perbuatan sebenarnya dari hamba dan
mensifatkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penganut
madzhab ini berpendapat seorang hamba tidak disifati dengan sifat
'mampu, ia tidak lain merupakan orang yang dipaksa dalam
perbuatannya. Ia tidak memiliki kuasa, tidak memiliki kehendak, dan
tidak pula memiliki pilihan. Allah-lah yang menciptakan perbuatan-
perbuatan sebagaimana ia menciptakannya pada semua benda-benda
mati. Perbuatan-perbuatan itu dinisbatkan padanya secara majazi,
sebagaimana hal ini berlaku pada benda-benda mati. Madzhab ini juga
dinamakan dengan madzhab Qadar (Qadariyyah). Sebab, pengikutnya
berpendapat bahwa manusia itu berada di hadapan takdir.
Madzhab ini disandarkan pada dua orang, yaitu:
1. Al-Ja'ad bin Dirham
la seorang maula Bani Hakam, tinggal di kota Damaskus,
di antara pendapat pendapat yang diserukan Al-Ja'ad bin
Dirham adalah pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur'an,
pendapat tentang ta'thil, dan pendapat tentang qadar.
Menurutnya Qadar berarti jabar (paksaan). Artinya,
manusia itu majbur (terpaksa). la seperti bulu yang berada di
udara. Semua perbuatan itu dinisbatkannya padanya secara
majazi, seperti menisbatkan cahaya pada matahari. Sumber
paham ini adalah para panganut agama-agama lain yang
terdapat pada suatu umat yang masuk ke dalam Islam dan
kaum muslimin.
2. Al-Jahm bin Shafwan
Jahm memiliki paham jabar, perbuatan itu bersifat paksaan, dan mengingkari
segala kemampuan. Pendapat-pendapat Jahm meliputi:
Surga dan neraka itu telah diciptakan yang memiliki sifat fana' (tidak kekal)
Iman itu ma'rifatullah (mengenal Allah) saja, sedangkan kufur adalah tidak
mengetahuinya saja.
Bahwa tidak ada perbuatan ataupun amalan bagi siapa pun selain Allah.
Sedangkan penisbatan perbuatan pada semua makhluk hanya bersifat majaz.
Ilmu Allah itu hadits.
Melarang mensifati Allah bahwa Dia adalah sesuatu (syaiun), atau hidup
(hayyun), atau mengetahui (alim), atau berkehendak (murid). Sebab, semua
sifat-sifat ini adalah sifat manusia.
Kalam Allah itu hadits (makhluk).
Ia mentakwil sifat-sifat Allah, menginkari Allah memiliki sifat-sifat selain Dzat-
Nya, atau Dia dapat dilihat di akhirat, serta menginkari bahwa Allah berbicara
secara nyata."
E. Madzhab Ikhtiyariyyah
Madzhab ini muncul pada masa pemerintahan
Bani Umayyah sebagai reaksi atas madzhab
Jabariyyah. Tokoh madzhab ini ada dua orang,
yaitu Ma'bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimisyqi.
Pengikut madzhab ini berpendapat, manusia
memiliki kebebasan dalam memilih perbuatan
yang diinginkan. Ia boleh memilih ini dan
meninggalkan yang itu, dan tidak ada seorang
pun yang berhak mengatur kehendaknya.
1. Ghailan Ad-Dimisyqi
Ghailan berpendapat, iman adalah ucapan dan pemahaman. Jika seseorang
telah beriman melalui ucapan dan pemahaman, maka ia tidak perlu dituntut
tergesa-gesa dalam mengerjakan suatu amal ibadah. Sedangkan menunda
suatu amalan sama sekali tidak berpengaruh pada keimanannya. sebab
keimanan telah terealisasi dalam ucapan dan pengetahuan.
Gagasan-gagasan teologis Ghailan mencakup beberapa hal berikut:
• Gagasan kebebasan (ikhtiyariyyah), bahwa manusia bebas dalam perbuatan
dan amalnya.
• Gagasan bahwa Al-Qur'an itu makhluk.
• Menafikan sifat-sifat tsubutiyyah.
• Imam adalah pengetahuan dan ucapan, sedangkan amal tidak masuk di
dalamnya.
• Imamah boleh tidak dari kalangan Quraisy, akan tetapi ia hanya bisa
ditetapkan berdasarkan ijma' umat.
F. Murji'ah
Murji'ah diambil dari kata al-irja yang berarti at-ta'khir
(penangguhan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Pemuka-
pemuka itu menjawab, "Beritangguhlah ia dan saudaranya serta
kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan mengumpulkan
(ahli-ahli sihir)." (Al-A'raf: 111) maksudnya, berilah penangguhan
kepadanya.
  Kelompok Mu'tazilah dinamakan dengan nama ini karena para
pengikutnya menangguhkan hukuman pada pelaku dosa besar,
dan hal itu diserahkan kepada Allah di Hari Kiamat kelak. Dengan
demikian, mereka mengambil sikap moderat di antara Khawarij
yang menganggap pelaku dosa besar sebagai orang kafir yang
wajib diperangi, dan kelompok Syiah.
Iman menurut Murji'ah adalah terletak pada tashdiq qolbu,
adapun ucapan dan Perbuatan tindak selamanya menggambarkan
apa yang ada dalam qolbu.
Murji'ah ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa
selamat lokasi di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan
Perbuatan seseorang yangmenyimpang dari kaidah agama tidak
berarti bergeser atau merusak selamatnya, bahkan selamatnya masih
sempurnadalam pandangan Tuhan.
Murji'ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku
dosa besar sedang menjadi kafir. meskipun disiksa di sial, ia tidak
kekekalan didalamnya bergantung pada dosa yang sedang berjalan.
Dalam menetapkan kafir dan dosa besar, paham murji'ah lebih
positif. Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja'a, mereka
lebih cenderung menyerahkan saja untuk Tuhan soal pelaku dosa
besar
G. Asy'ariyah
Mazhab teologi yang disandarkan pada Imam
Abul Hasan al-Asy'ariyah, Inti pokok teologi Al-
Asy’ari adalah Sunnisme.
Pokok-pokok pandangan al-Asy’ari secara rinci
disimpulkan berikut :
1. Al-Qur’an sebagai Kalam Allah
Bagi Al-Asy’ari menentukan apakah Al-Qur’an itu sebagai kalam Allah
yang qadim atau sebagai mahluq yang hadis (baru) adalah amat penting.
Sebab di sinilah letaknya apakah al-Qur’an memiliki otoritas atas pendapat
manusia atau tidak.
Bagi Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah sumber otoritas yang harus dipedomani.
Karena itu ia mesti qodim dan bukan mahluk (seperti manusia). Sebab
memahlukkan al-Qur’an secara tidak langsung sebenarnya telah
berketetapan bahwa al-Qur’an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat
mendikte manusia. Pandangan sangat berbahaya bagi keutuhan doktrin.
Karena itu maka paham keterciptaan manusia ditolak Al-Asy’ari. Berangkat
dari asumsi di atas, maka Al-Asy’ari berpendirian bahwa memahami al-
Qur’an tidak bisa hanya mengandalkan akal tetapi harus mengikuti
petunjuk Sunnah dan riwayat salaf al-Mutaqadimin. Penalaran akal bisa
digunakan selama
dapat memperjelas al-Qur’an (Al-Asy’ari, tt: 6-9).
2. Tuhan Memiliki Sifat
Menurut al-Asy’ari konsepsi ketuhanan dengan sifat-sifat yang
cenderung antropomorfis, harus diabstraksi dan tidak boleh
dipahami secara literal (harfiyah). Dari paham tentang adanya
sifat-sifat bagi Tuhan, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat
dilihat di akhirat. Untuk mendukung pendirian ini ia mengutip
dalil naql dan resio. ”Wajah-wajah ketika itu berseri-seri
memandang kepada Tuhannya” (al-Qiyamah 22). Bagi AlAsy’ary
yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak wujud.
Tuhan wujud, maka Ia dapat dilihat. Kata ”nadlirah” menurut
Asy’ary, tidak dapat diartikan ”memikirkan” sebagaimana
pendapat Mu’tatilah, sebab di alam akhirat bukan lagi merupakan
tempat berpikir (Al-Asy’ari, tt: 12-13).
3. Perbuatan Tuhan dan Teori Kasb
Bagi Asy’ary Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap
manusia. Dengan kekuasaam-Nya yang mutlak. Tuhan bisa saja,
memberikan
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki atau sebaliknya. Ia juga berkuasa
menyantuni orang-orang mukmin atau menyesatkan orang-orang kafir.
Bahkan lebilh dari itu, semua Ia berkuasa menyantuni orang-orang kafir.
Semua yang terjadi dialam ini atas kehendak dan ketetapan Tuhan
(Al-Asy’ari, tt: 9).
Al-Asy’ary berpendapat bahwa Allah (Tuhan) tidak wajib berbuat adil.
Seperti dikatakan dalam Al-Luma’, sebagaimana dikutip zainun Kamal, bagi
Al-Asy’ari tidak dikatakan salah kalau Tuhan memasukkan seluruh ummat
manusia ke dalam surga, termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya,
tidak bisa dikatakan bahwa Tuhan itu dzalim, jika Ia memasukkan
seluruh ummat manusia ke dalam neraka.
4. Konsep Tentang Iman
Al-Asy’ary mengatakan bahwa iman itu
menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya
bisa bertambah dan berkurang sehingga dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa iman, bagi Al-Asy’ary
merupakan perbuatan hati, jadi selama dalam diri
seseorang masih terdapat kepercayaan (tasdiq bi Al-
Qalb), maka masih dapat disebut sebagai mu’min
(beriman), walaupun perbuatannya tidak sesuai
dengan keimanannya.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai