NIM : 2020603080 KELAS : PERBANKAN SYARIAH 3 MATA KULIAH : ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN DOSEN PENGAMPU : FATIMATUZ ZUHRO M.E TUGAS : PERTEMUAN 14 TANGGAL : 19 MEI 2021 BAB IV
MADZHAB KALAM (TEOLOGI)
DI NEGARA-NEGARA ARAB ISLAM A. Ilmu Kalam Ibnu Khaldun berkata, "Ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung argumen-argumen rasional untuk membela akidah-akidah iman dan berisi bantahan terhadap golongan bid'ah dan orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah. Adapun rahasia akidah-akidah iman adalah tauhid (peng-Esa-an Allah)." Sebagian ulama berpendapat, ilmu kalam dapat membantu pembelaan pendapat-pendapat keagamaan yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi dengan akal. Melalui ilmu ini, seorang muslim mampu menetapkan akidah keimanan secara benar. Adapun objek ilmu kalam adalah Dzat ketuhanan yang meliputi; sifat-sifat- Nya, perbuatan-Nya, serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia. Sebagian ulama Islam menolak ilmu kalam. Mereka bahkan menyerang para mutakallimin. Di antaranya adalah Imam Asy-Syafi'i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Sufyan Ats-Tsauri, dan lainnya. Mereka menganggap bahwa para mutakallimin berada di urutan kedua setelah kaum musyrikin. Bahkan Imam Asy-Syafi'i berkata, "Seandainya manusia mengetahui tentang apa yang ada di balik ilmu kalam, pasti mereka akan lari darinya sebagaimana mereka lari dari singa." Sementara Imam Ahmad menganggap mereka termasuk ke dalam golongan orang zindiq. Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu tauhid. Sebab, persoalan terpenting dalam ilmu ini adalah perihal tauhid ilahiyyah (ke-Esaan Tuhan), mensucikan Allah dari segala sesuatu selain Dia, hubungan Allah dengan alam, serta hubungan sifat-sifat Ketuhanan dengan Dzat Allah. Ilmu ini juga disebut dengan ilmu ushuluddin. Sebab, objeknya terkait dasar-dasar agama. Ilmu ini dinamakan dengan ilmu kalam dikarekan hal-hal berikut. Nama tersebut diambil dari kalam manusia. Sebab, para ulamanya dahulu berdebat atas dasar logika. Mereka menggunakan qiyas dan bukti-bukti dalam perbebatan mereka. Semua itu merujuk pada kalam manusia. Objek perbincangan mereka seputar kalamullah, seputar hubungan Dzat Allah dengan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah sifat kalam Allah; apakah kalam Allah itu hadits ataukah qadim. Persoalan ini merupakan paling penting yang memunculkan perbedaan di kalangan kaum muslimin sejak lama. Ahlussunnah berpendapat, kalam Allah itu qadim. Sementara Mu'tazilah dengan lantang mengatakan, kalam Allah itu hadits, dan ia termasuk makhluk. Sebagian mereka berpendapat, dinamakan demikian karena perbincangan dalam ilmu ushuluddin identik dengan metode jawaban secara kalam. Artinya, pangkalnya adalah kalam dan perbincangan. Masalah ushuluddin ada dua persoalan; persoalan iman dan persoalan qada' dan qadar. Sebagian kelompok lain berpendapat, dinamakan demikian karena ilmu kalam bersandar pada bingkai nalar teoritis saja, dan ia menggunakan kalam. Kota Bashrah dianggap sebagai ladang munculnya madzhab-madzhab teologis sejak akhir abad pertama hijriyyah di mana ilmu kalam dan filsafat mulai muncul. Di kota Bashrah ini muncul sekte Qadariyyah, Mu'tazilah, Murji'ah, dan Asy'ariyyah. Hampir sebagian besar manusia sibuk dengan ilmu kalam, berdebat, dan membuat bantahan terhadap lawan pendapatnya. Di sana, dibuat halaqah- halaqah, majelis, dan tempat berdebat antara pengusung suatu pendapat dan penentangnya.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya ilmu kalam. Di antaranya adalah: 1. Kondisi intern dan domestik masyarakat.
setelah munculnya fitnah di kalangan jamaah Islam
dan terbaginya masyarakat Islam menjadi sekte dan golongan yang beragam. Kelompok Khawarij yang memisahkan diri dari Ali bin Abu Thalib, mereka sangat ketat terhadap qiyas dengan tekstual kaidah dan hukum. Sehingga, Ali pun mengumpulkan mereka dan mengajak berdebat, namun mereka tidak puas. Demikian pula dengan Syiah, Mu'tazilah dan yang lainnya. Masing-masing memiliki pendapat dan pemikirannya. 2. Akal manusia yang mendapati beragam pertanyaan. • apakah dasar alam semesta ini, dan apa pula alasannya? • Apakah manusia itu tidak diberi kebebasan ataukah ia memiliki kehendak sendiri? • Apa jiwa itu, apa itu ruh, dan apa hubungan keduanya dengan badan? • Bagaimana hakikat kebangkitan itu? • Apakah kebangkitan itu dengan jasad, ataukah dengan jiwa, ataukah dengan keduanya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan metafisik lainnya. Semua ini mendorong akal manusia untuk merenung. mengkaji, dan berpikir, baik itu pada alam semesta atau pada teks keagamaan yang membicarakan tentang alam semesta. 3. Nalar politis. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat pada tahun 11 H./632 M., kaum muslimin berbeda pendapat tentang siapa yang wajib menjabat sebagai khalifah (pengganti Rasulullah) secara pemilihan, atau warisan, atau dengan penunjukkan. Kaum muslimin dalam hal ini telah menempuh cara yang beragam. Pemilihan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu sebagai Khalifah dilakukan dengan cara musyawarah dan pemilihan. Setelahnya, Umar juga diangkat dengan cara pemilihan. Sedangkan Utsman bin Affan dengan musyawarah, Ali bin Abu Thalib dengan ijma'. Adapun Muawiyah bin Abu Sufyan dengan kekuatan pedang dan peperangan. Setelah itu, jabatan Khalifah diwarisi secara turun temurun. Secara teori, kaum muslimin berbeda pendapat dalam memandang jabatan khalifah. Ahlussunnah memandang, jabatan khalifah merupakan jabatan keduniaan yang harus dilakukan demi menegakkan urusan agama dan dunia. Pemilihan khalifah dilakukan oleh ahlu hall wa al-aqd dari kalangan kaum muslimin. Dan, khalifah yang terpilih ini wajib ditaati oleh mereka. 4. Faktor ekstern (asing). Kaum muslimin menghadapi aliran-aliran beragam serta sekte-sekte yang bertentangan dengan ruh Islam. Aliran ini sebagiannya bersifat keagamaan dan sebagiannya lagi tidak ada kaitannya dengan agama. Aliran-aliran memunculkan perdebatan-perdebatan dan juga mengetengahnya banyak solusi untuk persoalan yang dihadapi oleh kaum muslimin. Maka, muncullah pemikiran yang mencoba menafsirkan alam semesta dan dunia. Setelah pembebasan Islam di negera-negara Syam, Irak, Persia, dan Mesir, sejumlah Yahudi, Nasrani dan Majusi banyak yang masuk Islam. Tidak mudah bagi mereka untuk lepas dari ideologi, prinsip, dan nalar terdahulu. Oleh karena itu, banyak dari mereka terpikat oleh ideologi mereka sebelumnya. Dahulu, mereka banyak bertanya dan meminta penjelasan seraya terpengaruh oleh prinsip ideologi mereka sebelumnya. Sebagian mereka hanya ingin meraih ketenangan, sebagiannya adalah karena tujuan tertentu, atau bertujuan membuat kebingungan bagi kaum muslimin, terutama mereka yang mengikuti hawa nafsu. Inilah yang membantu munculnya ilmu kalam. B. Mu'tazilah Mu'tazilah secara bahasa dari kata al-i'tizal. Ungkapan itazala asy syai artinya menghindar darinya. Mu'tazilah secara istilah adalah sebutan bagi madrasah kalam yang besar yang pertama kali muncul dalam Islam, tumbuh di Bashrah pada akhir abad 1 H., dan terus berkembang pada abad ke-2 dan ke-3 H. Awal mula munculnya Mu'tazilah pada masa khalifahan Hisyam bin Abdul Malik (w. 105-125 H./723-743 M.) di mana saat itu gerakan pembebasan dan perluasan Islam berhenti. Kaum muslimin mulai menetap di daerah daerah dan mulai mengkaji dan membaca ilmu-ilmu agama. Ketika banyak sekali etnis-etnis non-Arab yang masuk Islam melalui gerakan pembebasan, mereka masih membawa ideologi dan pemikiran sebelumnya. Tentu saja hal ini ikut andil dalam munculnya pembagian politis dan kekacauan-kecauan. Dengan demikian, hal inilah membuka pintu berkembangnya sekte-sekte Islam.
Kelompok Mu'tazilah sepakat atas lima ushul (pokok, yaitu :
1. Tauhid Mereka berkata bahwa Allah itu Esa dalam Dzat-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam ke-qadim-annya, dan tidak pula ada sukutu bagi-Nya dalam penciptaan dan pembuatan alam ini. Mereka memerangi segala sesuatu yang mengandung tasybih (penyerupaan dengan Allah) atau pelekatan sifat-sifat pada Allah. Jadi, Allah adalah Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Nya, bukan berjisim, tidak pula manusia. Allah tidak disifati dengan sifat sifat kemanusiaan yang menunjukkan pada mereka, tidak terbatas, tidak beranak, tidak pula diperanakkan, dan tidak dapat ditangkap oleh indra. Dia Maha Mengetahui, Maha kuasa, Maha hidup, tidak seperti para ulama yang mampu (kuasa) dan hidup. Dia-lah satu-satunya yang qadim, tidak ada yang qadim selain-Nya. 2. Al-'Adl Allah Subhanahu wa Taala Mahaadil, tidak menzalimi seorang pun dari hamba-Nya. Manusia bebas berkehendak, bertanggung jawab atas pilihannya itu, dan Allah nanti yang menghisab perbutan perbuatan ini. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak ikut campur dalam perbuatan para hamba-Nya dan tidak pula menciptakan perbuatan tersebut. Dia juga tidak memberikan kewajiban apa pun. Sebab, tidak boleh bagi Allah mewajibkan suatu amalan kepada hamba kemudian Dia menghisabnya. Akan tetapi, Allah menghisab mereka lantaran apa yang mereka perbuat dengan kehendaknya dan kebebasan pilihannya. Ini selaras dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur'an sebagaiman firman Allah Subhanahu wa Taala, "Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)." (Fushshilat: 46) dan firman Allah, "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya," (Al-Mudatstsir: 38). 3. Al-Wa'du wa Al-Wa'id Ini berkaitan dengan keadilan, sebab keadilan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharuskan untuk merealisasikan janji dan ancaman-Nya. Janji Nya adalah pahala dan surga bagi orang shaleh dan beribadah kepada Allah, sedangkan ancamannya adalah siksa dan neraka bagi orang yang bermaksiyat dan melenceng dari jalur kebenaran. Oleh karena itu, janji dan ancaman Allah merupakan dua hal yang dilaksanakan. 4. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain Pengikut aliran ini mengatakan bahwa pelaku dosa besar dari kaum muslimin bukanlah seorang mukmin yang sempurna imannya, juga tidak seorang kafir yang keluar dari agama, akan tetapi mereka berada pada satu tempat di antara dua tempat. Mereka menamainya dengan fasik. Ini merupakan sikap tengah- tengah antara Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji'ah yang menganggap pelaku dosa besar sebagai orang beriman. 5. Amar Ma'ruf Nahi Munkar Ini bukan termasuk dasar akidah mereka, melainkan suatu keharusan yang dipikul oleh Mu'tazilah. Hal ini dikarenakan orang zindiq telah menyebar dan bahayanya semakin meluas. Mu'tazilah berpendapat, bahwa kondisi ini mengharuskan kaum muslimin -demi menjaga akidah-supaya bergegas dalam amar ma'ruf nahi munkar dengan cara memerangi orang orang fasik dan orang zindik. Untuk merealisasikan hal tersebut, mereka meminta bantuan para khalifah, serta memanfaatkan kekuasaan mereka demi menyebarkan paham-paham mereka dengan cara yang beragam. Kekerasaan pun dilakukan dan terkadang juga dengan pembunuhan. C. Persoalan Kemakhlukan Al-Qur'an
Pengikut gerakan Mu'tazilah berpendapat
bahwa menyakini Al-Qur'an qadim berarti menyekutukan Allah. Sebab, mereka berkeyakinan bahwa yang qadim hanya Allah, dan tidak boleh menyekutukan sifat ini pada siapa pun. Perkataan bahwa kalam Allah bersifat azali berarti menafikan tauhid yang mereka bela dan menganggapnya sebagai problematika mereka. D. Madzhab Jabariyyah Jabar artinya menafikan perbuatan sebenarnya dari hamba dan mensifatkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penganut madzhab ini berpendapat seorang hamba tidak disifati dengan sifat 'mampu, ia tidak lain merupakan orang yang dipaksa dalam perbuatannya. Ia tidak memiliki kuasa, tidak memiliki kehendak, dan tidak pula memiliki pilihan. Allah-lah yang menciptakan perbuatan- perbuatan sebagaimana ia menciptakannya pada semua benda-benda mati. Perbuatan-perbuatan itu dinisbatkan padanya secara majazi, sebagaimana hal ini berlaku pada benda-benda mati. Madzhab ini juga dinamakan dengan madzhab Qadar (Qadariyyah). Sebab, pengikutnya berpendapat bahwa manusia itu berada di hadapan takdir. Madzhab ini disandarkan pada dua orang, yaitu: 1. Al-Ja'ad bin Dirham la seorang maula Bani Hakam, tinggal di kota Damaskus, di antara pendapat pendapat yang diserukan Al-Ja'ad bin Dirham adalah pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur'an, pendapat tentang ta'thil, dan pendapat tentang qadar. Menurutnya Qadar berarti jabar (paksaan). Artinya, manusia itu majbur (terpaksa). la seperti bulu yang berada di udara. Semua perbuatan itu dinisbatkannya padanya secara majazi, seperti menisbatkan cahaya pada matahari. Sumber paham ini adalah para panganut agama-agama lain yang terdapat pada suatu umat yang masuk ke dalam Islam dan kaum muslimin. 2. Al-Jahm bin Shafwan Jahm memiliki paham jabar, perbuatan itu bersifat paksaan, dan mengingkari segala kemampuan. Pendapat-pendapat Jahm meliputi: Surga dan neraka itu telah diciptakan yang memiliki sifat fana' (tidak kekal) Iman itu ma'rifatullah (mengenal Allah) saja, sedangkan kufur adalah tidak mengetahuinya saja. Bahwa tidak ada perbuatan ataupun amalan bagi siapa pun selain Allah. Sedangkan penisbatan perbuatan pada semua makhluk hanya bersifat majaz. Ilmu Allah itu hadits. Melarang mensifati Allah bahwa Dia adalah sesuatu (syaiun), atau hidup (hayyun), atau mengetahui (alim), atau berkehendak (murid). Sebab, semua sifat-sifat ini adalah sifat manusia. Kalam Allah itu hadits (makhluk). Ia mentakwil sifat-sifat Allah, menginkari Allah memiliki sifat-sifat selain Dzat- Nya, atau Dia dapat dilihat di akhirat, serta menginkari bahwa Allah berbicara secara nyata." E. Madzhab Ikhtiyariyyah Madzhab ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah sebagai reaksi atas madzhab Jabariyyah. Tokoh madzhab ini ada dua orang, yaitu Ma'bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimisyqi. Pengikut madzhab ini berpendapat, manusia memiliki kebebasan dalam memilih perbuatan yang diinginkan. Ia boleh memilih ini dan meninggalkan yang itu, dan tidak ada seorang pun yang berhak mengatur kehendaknya. 1. Ghailan Ad-Dimisyqi Ghailan berpendapat, iman adalah ucapan dan pemahaman. Jika seseorang telah beriman melalui ucapan dan pemahaman, maka ia tidak perlu dituntut tergesa-gesa dalam mengerjakan suatu amal ibadah. Sedangkan menunda suatu amalan sama sekali tidak berpengaruh pada keimanannya. sebab keimanan telah terealisasi dalam ucapan dan pengetahuan. Gagasan-gagasan teologis Ghailan mencakup beberapa hal berikut: • Gagasan kebebasan (ikhtiyariyyah), bahwa manusia bebas dalam perbuatan dan amalnya. • Gagasan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. • Menafikan sifat-sifat tsubutiyyah. • Imam adalah pengetahuan dan ucapan, sedangkan amal tidak masuk di dalamnya. • Imamah boleh tidak dari kalangan Quraisy, akan tetapi ia hanya bisa ditetapkan berdasarkan ijma' umat. F. Murji'ah Murji'ah diambil dari kata al-irja yang berarti at-ta'khir (penangguhan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Pemuka- pemuka itu menjawab, "Beritangguhlah ia dan saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan mengumpulkan (ahli-ahli sihir)." (Al-A'raf: 111) maksudnya, berilah penangguhan kepadanya. Kelompok Mu'tazilah dinamakan dengan nama ini karena para pengikutnya menangguhkan hukuman pada pelaku dosa besar, dan hal itu diserahkan kepada Allah di Hari Kiamat kelak. Dengan demikian, mereka mengambil sikap moderat di antara Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sebagai orang kafir yang wajib diperangi, dan kelompok Syiah. Iman menurut Murji'ah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun ucapan dan Perbuatan tindak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam qolbu. Murji'ah ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa selamat lokasi di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan Perbuatan seseorang yangmenyimpang dari kaidah agama tidak berarti bergeser atau merusak selamatnya, bahkan selamatnya masih sempurnadalam pandangan Tuhan. Murji'ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar sedang menjadi kafir. meskipun disiksa di sial, ia tidak kekekalan didalamnya bergantung pada dosa yang sedang berjalan. Dalam menetapkan kafir dan dosa besar, paham murji'ah lebih positif. Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja'a, mereka lebih cenderung menyerahkan saja untuk Tuhan soal pelaku dosa besar G. Asy'ariyah Mazhab teologi yang disandarkan pada Imam Abul Hasan al-Asy'ariyah, Inti pokok teologi Al- Asy’ari adalah Sunnisme. Pokok-pokok pandangan al-Asy’ari secara rinci disimpulkan berikut : 1. Al-Qur’an sebagai Kalam Allah Bagi Al-Asy’ari menentukan apakah Al-Qur’an itu sebagai kalam Allah yang qadim atau sebagai mahluq yang hadis (baru) adalah amat penting. Sebab di sinilah letaknya apakah al-Qur’an memiliki otoritas atas pendapat manusia atau tidak. Bagi Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah sumber otoritas yang harus dipedomani. Karena itu ia mesti qodim dan bukan mahluk (seperti manusia). Sebab memahlukkan al-Qur’an secara tidak langsung sebenarnya telah berketetapan bahwa al-Qur’an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat mendikte manusia. Pandangan sangat berbahaya bagi keutuhan doktrin. Karena itu maka paham keterciptaan manusia ditolak Al-Asy’ari. Berangkat dari asumsi di atas, maka Al-Asy’ari berpendirian bahwa memahami al- Qur’an tidak bisa hanya mengandalkan akal tetapi harus mengikuti petunjuk Sunnah dan riwayat salaf al-Mutaqadimin. Penalaran akal bisa digunakan selama dapat memperjelas al-Qur’an (Al-Asy’ari, tt: 6-9). 2. Tuhan Memiliki Sifat Menurut al-Asy’ari konsepsi ketuhanan dengan sifat-sifat yang cenderung antropomorfis, harus diabstraksi dan tidak boleh dipahami secara literal (harfiyah). Dari paham tentang adanya sifat-sifat bagi Tuhan, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk mendukung pendirian ini ia mengutip dalil naql dan resio. ”Wajah-wajah ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhannya” (al-Qiyamah 22). Bagi AlAsy’ary yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak wujud. Tuhan wujud, maka Ia dapat dilihat. Kata ”nadlirah” menurut Asy’ary, tidak dapat diartikan ”memikirkan” sebagaimana pendapat Mu’tatilah, sebab di alam akhirat bukan lagi merupakan tempat berpikir (Al-Asy’ari, tt: 12-13). 3. Perbuatan Tuhan dan Teori Kasb Bagi Asy’ary Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dengan kekuasaam-Nya yang mutlak. Tuhan bisa saja, memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki atau sebaliknya. Ia juga berkuasa menyantuni orang-orang mukmin atau menyesatkan orang-orang kafir. Bahkan lebilh dari itu, semua Ia berkuasa menyantuni orang-orang kafir. Semua yang terjadi dialam ini atas kehendak dan ketetapan Tuhan (Al-Asy’ari, tt: 9). Al-Asy’ary berpendapat bahwa Allah (Tuhan) tidak wajib berbuat adil. Seperti dikatakan dalam Al-Luma’, sebagaimana dikutip zainun Kamal, bagi Al-Asy’ari tidak dikatakan salah kalau Tuhan memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam surga, termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya, tidak bisa dikatakan bahwa Tuhan itu dzalim, jika Ia memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam neraka. 4. Konsep Tentang Iman Al-Asy’ary mengatakan bahwa iman itu menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa bertambah dan berkurang sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa iman, bagi Al-Asy’ary merupakan perbuatan hati, jadi selama dalam diri seseorang masih terdapat kepercayaan (tasdiq bi Al- Qalb), maka masih dapat disebut sebagai mu’min (beriman), walaupun perbuatannya tidak sesuai dengan keimanannya. Terimakasih