Anda di halaman 1dari 122

Sejarah Perlindungan HAM dalam Instrumen

Hukum Domestik

Untuk menjamin penghormatan dan pengakuan


terhadap martabat manusia yang diwujudkan
dalam perlindungan HAM, maka idealnya, HAM
harus diatur dalam instrumen hukum.
Suatu hal yang wajar apabila kelompok pembela
HAM di suatu negara selalu menuntut adanya
katalog HAM dalam konstitusi, yang kemudian
dijabarkan dalam undang-undang.
Upaya perlindungan HAM dalam instrumen
hukum memiliki sejarah yang panjang, terkait
dengan pengalaman-pengalaman buruk yang
dialami umat manusia.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 1
Michael Freeman mengatakan: “Human
rights may be ‘legalized’ in two main ways: (1) by
being recognized in international law; (2) by
being specified in national law.”

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 2
Dewasa ini, HAM telah dilindungi dalam
beberapa instrumen hukum internasional,
hukum regional, dan hukum nasional dari
berbagai negara.

Fakta historis menunjukkan bahwa upaya


domestik untuk menjamin perlindungan hukum
bagi individu terhadap ekses sewenang-wenang
dari penguasa negara telah mendahului
perlindungan internasional terhadap HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 3
Perlindungan HAM dalam instrumen hukum didasarkan
pada beberapa pertimbangan. Freeman mengatakan:
“There are at least three reasons to legalize human
rights. The first is that human rights are thereby
entrusted to persons (usually judges) who have been
specially trained to understand them. The second is that
human-rights principles are often vague, and courts of
law can make their meaning more precise. The third is
to confer on them a kind of objectivity that moral and
political discourses are thought to lack. This enables
campaigners to appeal to established law rather than to
contentious moral and political principles, but we shall
see that this apparent objectivity is also problematic.”

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 4
Sebelum abad ke-18, HAM tidak masuk dalam
kosakata politis. Gagasan mengenai martabat
manusia terbentuk secara evolutif melalui
sejarah pemikiran yang panjang.
Namun, gagasan tersebut tidak akan memiliki
dasar riil-politis, apabila tidak diakomodasi
dalam konstitusi negara.
Sejarah dunia mencatat bahwa gagasan
mengenai martabat manusia yang melahirkan
konsepsi tentang HAM modern, pada tahap awal
telah diinstitusionalisasikan oleh bangsa Inggris,
Amerika, dan Perancis.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 5
Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis merupakan
konstitusi modern pertama yang mencantumkan katalog
HAM. Dengan kata lain, HAM dalam arti modern dapat
dijumpai rumusannya dalam konstitusi kedua negara
tersebut.

Jurgen Habermas mengatakan:


“Human rights in the modern sense can be traced back to
the Virginia Bill of Rights and the American Declaration of
Independence of 1776 and to the Declaration des droits de
l’homme et du citoyen of 1789. These declarations were
inspired by the political philosophy of modern natural law,
especially that of Locke and Rousseau. It is no accident
that human rights first take on a concrete form in the
context of these first constitutions, specifically as basic
rights that are guaranteed within the frame of a national
legal order…”

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 6
Bill of Rights Inggris, Deklarasi Kemerdekaan
Amerika, dan Deklarasi Perancis merupakan
pelembagaan dari revolusi-revolusi yang terjadi
di negara-negara tersebut.
Latar belakang Revolusi Inggris, Revolusi
Amerika, dan Revolusi Perancis yang sarat
dengan pengalaman buruk umat manusia atas
pelanggaran hak-hak individu oleh absolutisme
negara, semakin mengukuhkan argumen bahwa
pada taraf terdalam, HAM muncul dari
pengalaman-pengalaman buruk umat manusia.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 7
Sejarah perlindungan HAM dalam instrumen
hukum diawali oleh bangsa Inggris, yang
diformulasikan dalam tiga dokumen, yaitu
Magna Carta Libertatum (1215), Habeus Corpus
Act (1679), dan Bill of Rights (1689).
Selanjutnya diikuti oleh bangsa Amerika
sebagaimana terlihat dalam Virginia Bill of
Rights (1776) dan Declaration of Independence
(1776).
Perancis kemudian mengikuti jejak bangsa
Amerika dengan menerbitkan Declaration des
droits de l’homme et du citoyen (1789).

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 8
Inggris. Konsepsi HAM lahir di Inggris pada abad ke-
17. Pada 1215, para bangsawan Inggris memaksa raja
untuk memberlakukan Magna Carta Libertatum, yang
melarang penahanan, penghukuman, perampasan
benda secara sewenang-wenang, dan sebagainya.
Pada 1679 diterbitkan Habeus Corpus Act, yaitu suatu
dokumen hukum historis yang menetapkan bahwa orang
yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari
kepada seorang hakim dan diberitahukan tuduhan yang
dikenakan kepadanya sehingga ia ditahan.
Upaya-upaya Habeus Corpus Act telah memainkan
peran yang sangat penting dalam perlindungan
kebebasan sipil dan telah digunakan dalam berbagai
peristiwa selama lebih dari tiga abad.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 9
Magna Carta Libertatum menghancurkan cengkeraman
kekuasaan bangsa Normandia, sedangkan Habeus
Corpus Act memperjuangkan jaminan kebebasan
personal dan menganggap penahanan semena-mena
sebagai sesuatu yang merugikan kebebasan.

Walaupun tuntutan terhadap kebebasan dalam kedua


dokumen tersebut sangat besar, namun dokumen-
dokumen pra-HAM ini tidak mengklaim universalitas dan
juga tidak mengembangkan pemikiran tentang
kesetaraan.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 10
Pada mulanya, Magna Carta Libertatum hanya berisi
kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan
para bangsawan, dan baru di kemudian hari, kata-kata
dalam piagam tersebut memperoleh makna yang lebih
luas seperti saat ini.
Sesungguhnya, baru dalam Bill of Rights (1689) muncul
ketentuan-ketentuan untuk melindungi hak-hak atau
kebebasan individu. Namun, perkembangan ini pun
harus dilihat dalam konteksnya.
Bill of Rights, sebagaimana terlihat dari judul aslinya “An
Act Declaring the Rights and Liberties of the Subject and
Setting the Succession of the Crown” merupakan hasil
perjuangan parlemen melawan pemerintahan raja-raja
wangsa Stuart yang sewenang-wenang pada abad ke-
17.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 11
Bill of Rights disahkan setelah Raja James II
dipaksa turun tahta dan William III dan Mary II
naik ke singgasana kerajaan menyusul
terjadinya Glorious Revolution (Revolusi
Gemilang) pada 1688.
Bill of Rights tersebut menundukkan monarki di
bawah kekuasaan parlemen, dengan
menegaskan bahwa kekuasaan raja untuk
membekukan dan memberlakukan undang-
undang seperti yang diklaim oleh raja,
merupakan tindakan ilegal. Bill of Rights juga
melarang raja melakukan pemungutan pajak
dan pemeliharaan pasukan tetap pada masa
damai tanpa persetujuan parlemen.
Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 12
Berdasarkan Bill of Rights (1689), Raja William
harus mengakui hak-hak parlemen, sehingga
Inggris menjadi negara pertama di dunia yang
memiliki sebuah konstitusi dalam arti modern.
Perkembangan ini dipengaruhi oleh filsafat
Locke, yang selain menuntut toleransi religius,
juga mengemukakan bahwa semua orang
diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah
(natural rights) yang tidak dapat dicabut
(inalienable), di antaranya: hak atas hidup,
kemerdekaan, hak milik, dan juga hak untuk
mengusahakan kebahagiaan.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 13
Dalam analisis Marxis, Glorious Revolution pada 1688 dan
Bill of Rights yang melembagakannya pada 1689
merupakan revolusi kaum borjuis, yaitu revolusi yang hanya
menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang di
atas monarki. Bagi Karl Marx, sebagian besar isi Bill of
Rights merupakan pengaturan konstitusional yang
melindungi kepentingan satu kelompok.
Analisis Marxis tersebut ditentang oleh para sejarawan
Partai Whig. Mereka justru menganggap Bill of Rights
sebagai kemenangan kebebasan atas despotisme dan
sebagai perlindungan bagi rakyat Inggris terhadap
pemerintahan absolut dan sewenang-wenang.
Baik analisis Marxis maupun argumentasi sejarawan Partai
Whig ada benarnya, karena Bill of Rights tidak hanya
menjamin kepentingan kaum borjuis, tetapi juga mengatur
hal-hal tertentu yang bercirikan HAM, meskipun pada waktu
itu tidak disebut dengan istilah HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 14
Walaupun unsur “hak asasi” dalam Bill of Rights
tampak sedikit dan berat sebelah karena
menguntungkan kelas warga negara tertentu,
namun seluruh konteks instrumen ini sangat
penting karena mencoba menggantikan
tindakan yang tidak diduga-duga dan ekses
absolutisme monarki yang sewenang-wenang,
dengan legitimasi konstitusional oleh parlemen.
Bill of Rights juga benar-benar merupakan suatu
kontrak sosial karena dibuat oleh parlemen
sebagai wakil rakyat dan diterima oleh raja
sebagai dasar bagi hubungan timbal balik antara
raja dengan rakyat, dan menjadi syarat bagi
seorang raja untuk menduduki tahta kerajaan.
Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 15
Selain itu, dokumen konstitusional tersebut menegakkan
supremasi hukum dengan menolak kekuasaan raja
untuk membatalkannya, dan demi persamaan derajat di
muka hukum, melarang dispensasi pada kasus-kasus
individual. Dokumen ini juga melarang pembentukan
pengadilan-pengadilan khusus dan pemungutan uang
tanpa persetujuan parlemen.
Di dalamnya juga diatur pemilihan anggota parlemen
secara bebas, imunitas persidangan parlemen,
pengukuhan prinsip “trial by jury,” serta larangan
terhadap denda yang terlalu tinggi dan hukuman yang
berat.
Hal-hal ini dicanangkan oleh parlemen sebagai hak-hak
dan kebebasan yang tidak perlu disangsikan lagi dan
harus diterima oleh raja.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 16
Amerika Serikat. Pencantuman HAM dalam
konstitusi Amerika Serikat diawali dengan
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang
pada dasarnya merupakan institusionalisasi dari
Revolusi Amerika.
Revolusi itu sendiri bertujuan untuk
membebaskan diri dari koloni Inggris, untuk
kemudian mendirikan suatu negara yang
merdeka dan berdaulat.
Kaum revolusioner Amerika yang memberontak
pada pertengahan abad ke-18 tidak melupakan
pengalaman Revolusi Inggris dan berbagai
upaya filosofis dan teoretis untuk menjustifikasi
revolusi tersebut.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 17
Dalam upaya membebaskan diri dari koloni Inggris
karena ketidakpuasan akan tingginya pajak dan tidak
adanya wakil rakyat dalam parlemen Inggris, kaum
revolusioner Amerika mencari justifikasi dalam doktrin
hak-hak kodrati dari Locke dan para filsuf Perancis.
Dalam Declaration of Independence (1776) yang
disusun oleh Thomas Jefferson, gagasan-gagasan
Locke dan para filsuf Perancis diungkapkan dengan
kata-kata yang sangat jelas dan tepat sebagai berikut:
“We hold these truth to be self-evident, that all men are
created equal, that they are endowed by their Creator
with certain unalienable Rights, that among these are
Life, Liberty and the Pursuit of Happiness.”

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 18
Walaupun Declaration of Independence Amerika disusun
dalam konteks pembentukan suatu negara merdeka dan
berdaulat, deklarasi tersebut sudah berbicara tentang
kebenaran-kebenaran yang pada prinsipnya merupakan
HAM universal. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat yang
tercantum dalam Declaration of Independence.
Namun, deklarasi tersebut belum mencantumkan
katalog HAM yang spesifik. Dilihat dari keberadaannya
sebagai suatu deklarasi kemerdekaan, Declaration of
Independence yang telah mencantumkan cita-cita luhur
untuk melindungi kehidupan, kebebasan, dan usaha
mencapai kebahagiaan, tampaknya sudah cukup
memadai.
Namun, dilihat dari perspektif pencantuman hak-hak
individu yang wajib dilindungi oleh negara, tampaknya
keberadaan deklarasi tersebut belum memadai.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 19
Satu bulan sebelum diumumkannya Declaration
of Independence, George Mason telah
menyusun Virginia Bill of Rights. Deklarasi ini
telah mencantumkan kebebasan-kebebasan
spesifik yang harus dilindungi dari campur
tangan negara. Kebebasan tersebut mencakup,
antara lain: kebebasan pers, kebebasan
beribadat, dan ketentuan yang menjamin tidak
dapat dicabutnya kebebasan seseorang, kecuali
berdasarkan hukum setempat atau berdasarkan
pertimbangan anggota masyarakat lainnya.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 20
Pada 1791, Amerika Serikat mengadopsi Virginia Bill of Rights yang
memuat katalog hak-hak individu yang dilindungi. Hal tersebut
dilakukan melalui sejumlah amandemen terhadap konstitusinya.
Beberapa amandemen penting:
Amandemen pertama, mencantumkan ketentuan yang melindungi
kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan menyatakan
pendapat, dan hak berserikat.
Amandemen keempat, mencantumkan ketentuan yang melindungi
individu terhadap penggeledahan dan penangkapan yang tidak
beralasan.
Amandemen kelima, mencantumkan ketentuan yang menetapkan
larangan memberatkan diri sendiri dan hak atas proses hukum yang
benar.
Amandemen-amandemen berikutnya terhadap konstitusi Amerika
Serikat memperluas katalog HAM dalam Virginia Bill of Rights,
antara lain amandemen ketiga belas tentang larangan praktik
perbudakan.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 21
Perancis. Perjuangan revolusioner rakyat
Amerika sebelumnya, kemudian menjadi
inspirasi bagi perjuangan revolusioner rakyat
Perancis.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa pengalaman
bangsa Amerika, secara langsung
mempengaruhi perjuangan revolusioner rakyat
Perancis untuk menentang suatu ancient
regime.
Namun, berbeda dengan Revolusi Amerika,
Revolusi Perancis bertujuan menggantikan
sistem pemerintahan yang absolut dan
sewenang-wenang, untuk kemudian membentuk
suatu sistem pemerintahan yang demokratis.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 22
Rakyat Perancis menemukan solusi teoretis
terhadap permasalahan tersebut dengan
mengacu kepada konsepsi Amerika mengenai
legitimasi rakyat, yaitu penentuan nasib sendiri.

Dalil sentral konsepsi ini adalah kedaulatan


suatu negara berada di tangan rakyat, sehingga
pemerintahan harus dijalankan oleh dan untuk
rakyat. Pemerintah yang tidak tanggap terhadap
aspirasi rakyat, dapat diganti berdasarkan
pernyataan kehendak rakyat.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 23
Revolusi Perancis mencari justifikasi dalam doktrin hak-
hak kodrati dan kontrak sosial dari Locke serta teori
kontrak sosial versi Rousseau dan teori pemisahan
kekuasaan dari Montesquieu.
Menurut Declaration des droits de l’homme et du
citoyen, kebahagiaan sejati harus dicari dalam
kebebasan individu yang merupakan produk dari “hak-
hak manusia yang suci, tidak dapat dicabut, dan kodrati”.
Selain mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan
terhadap hak-hak tertentu dari individu (hak atas proses
pengadilan yang benar, praduga tidak bersalah, serta
kebebasan menyampaikan gagasan dan pendapat),
Deklarasi Perancis juga “membingkai” hak-hak tersebut
dengan filsafat kebebasan yang jelas.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 24
Revolusi Perancis melahirkan HAM dengan nilai-
nilainya, yaitu kebebasan, kesamaan, dan
persaudaraan.
Nilai-nilai inilah yang mendasari hak-hak yang
dinyatakan dalam Deklarasi Perancis. Pasal 2 Deklarasi
Perancis menyatakan, sasaran setiap asosiasi politik
adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan
tidak dapat dicabut. Hak-hak tersebut adalah kebebasan
(liberty), harta (property), keamanan (safety), dan
perlawanan terhadap penindasan (resistance to
oppression).
Pelaksanaan hak-hak kodrati setiap manusia tidak
dibatasi, kecuali oleh batas-batas yang menjamin
pelaksanaan hak-hak yang sama bagi anggota
masyarakat yang lain. Batas-batas ini hanya dapat
ditetapkan oleh undang-undang.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 25
Deklarasi Perancis yang dirancang oleh
Lafayette dalam Komisi Mirabeau merupakan
produk yang dipengaruhi oleh Amerika. Dalam
deklarasi tersebut, tuntutan revolusioner
menentang ancient regime dapat dirasakan.
Tindakan melupakan dan melecehkan hak-hak
manusia yang kodrati dianggap sebagai satu-
satunya penyebab kesengsaraan di dunia ini.
Atas dasar itu, maka disusunlah daftar “hak-hak
suci yang tidak teralienasikan”.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 26
Simpulan 1: Konsepsi kebebasan universal dan klaim
validitas universal dari HAM, baru terlihat dalam
dokumen-dokumen Amerika (Virginia Bill of Rights dan
Declaration of Independence) dan terutama dalam
dokumen Perancis (Declaration des droits de l’homme et
du citoyen).
Dokumen Amerika merupakan institusionalisasi dari
perjuangan melawan kerajaan Inggris, sedangkan
dokumen Perancis merupakan institusionalisasi dari
penolakan terhadap absolutisme dan penindasan.
Di balik dokumen-dokumen Amerika tersebut terkandung
doktrin Locke tentang hak-hak kodrati. Sementara itu, di
balik dokumen Perancis terkandung doktrin hak-hak
kodrati dan teori kontrak sosial Locke, teori kontrak
sosial versi Rousseau, dan doktrin pemisahan
kekuasaan Montesquieu.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 27
Simpulan 2: Sejumlah tema dan konsepsi
yang sering muncul dalam undang-undang
mengenai HAM, berasal dari Revolusi
Amerika dan Revolusi Perancis, yaitu:
1. Bahwa HAM secara kodrati bersifat inheren,
universal, dan tidak dapat dicabut. Hak-hak
tersebut dimiliki oleh individu semata-mata
karena ia adalah manusia, dan bukan karena
ia adalah warga dari suatu negara;
2. Perlindungan terbaik terhadap HAM hanya
terdapat dalam batas-batas legitimasi yang
demokratis;
3. Bahwa batas-batas pelaksanaan hak hanya
dapat ditetapkan atau dicabut oleh undang-
undang.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 28
Di lain pihak, revolusi-revolusi yang melahirkan
cita-cita dan asas-asas luhur tersebut, juga
melahirkan masa teror dan pengalaman-
pengalaman buruk lainnya.
Dengan alasan ini, maka para filsuf politik
seperti Edmund Burke, David Hume, John
Austin, dan Jeremy Bentham menolak dan
menganggap konsepsi hak-hak kodrati sebagai
sesuatu yang tidak lebih dari fenomen metafisis
yang tidak dapat diuji kebenarannya.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 29
Terlepas dari perdebatan teoretis atau doktriner
mengenai dasar-dasar Revolusi Inggris, Amerika, dan
Revolusi Perancis, suatu hal yang pasti bahwa masing-
masing revolusi tersebut, dengan caranya sendiri, telah
membantu perkembangan bentuk-bentuk demokrasi
liberal, yang mengakui hak-hak tertentu sebagai hal
penting dalam melindungi individu terhadap
kecenderungan ke arah otoriterisme yang melekat pada
negara.
Hal penting mengenai hak-hak yang diproteksi tersebut
adalah bahwa hak-hak tersebut didominasi dengan kata-
kata “freedom from,” dan bukan “right to”.
Dalam bahasa modern, hak-hak tersebut dinamakan hak
sipil dan hak politik karena hak-hak tersebut, terutama
mengenai hubungan individu dengan negara.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 30
Kelak kemudian hari, langkah yang ditempuh Inggris,
Amerika Serikat, dan Perancis diadopsi oleh negara-
negara lain dengan menginstitusionalisasikan HAM
dalam konstitusi mereka.
Ironisnya, walaupun HAM telah diinstitusionalisasikan
dalam konstitusi negara-negara modern, sampai saat ini
masih banyak terjadi pelecehan dan pelanggaran
terhadap HAM. Bahkan, pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi cenderung mengarah ke tindakan-tindakan
biadab yang merendahkan martabat manusia.
Sejarah umat manusia pada abad modern telah
mencatat bahwa di kawasan benua pelopor HAM, justru
terjadi pemusnahan massal terhadap bangsa Yahudi
Eropa oleh rezim Nazi - Jerman.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 31
Perlindungan HAM dalam Hukum Positif

HAM dilindungi dalam instrumen hukum


internasional, hukum regional, dan hukum
nasional.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 32
HAM merupakan salah satu substansi yang
tidak saja diatur oleh instrumen hukum nasional,
tetapi juga oleh instrumen hukum internasional.
Saat ini, sebagian besar negara di dunia telah
memiliki aturan hukum tentang HAM.
Di tingkat internasional, pascapembentukan
PBB, telah dihasilkan berbagai instrumen hukum
internasional tentang HAM, baik yang bersifat
umum maupun yang spesifik.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 33
Perlindungan HAM dalam instrumen hukum
internasional, tidak dapat dipisahkan dari perlindungan
HAM dalam hukum nasional.
Hukum internasional mewajibkan sistem konstitusional
domestik di setiap negara untuk memberikan
kompensasi yang memadai kepada orang-orang yang
haknya dilanggar.
Mekanisme internasional untuk menjamin HAM, baru
akan melakukan perannya apabila sistem perlindungan
HAM domestik tidak memadai atau pada kasus yang
ekstrim, malahan tidak ada sama sekali.
Mekanisme internasional perlindungan HAM, pada
dasarnya berfungsi untuk memperkuat perlindungan
domestik terhadap HAM dan menyediakan mekanisme
pengganti jika sistem domestik mengalami kegagalan
atau ternyata tidak memadai.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 34
Upaya perlindungan HAM dalam instrumen hukum
internasional, pada dasarnya telah dilakukan sebelum
Perang Dunia II, sebagaimana terlihat dalam beberapa
perjanjian internasional yang diprakarsai oleh ILO, ICRC,
dan Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Berbagai traktat yang dihasilkan organisasi-organisasi
internasional tersebut, pada umumnya menyangkut
masalah penghapusan perdagangan budak,
perlindungan terhadap korban perang dan perlakuan
terhadap tawanan perang, perlindungan terhadap kaum
minoritas, dan lain-lain.
Traktat-traktat tersebut lebih menekankan pada masalah
hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu. Dengan kata
lain, perlindungan dalam traktat-traktat tersebut lebih
mengarah pada perlindungan hukum kemanusiaan dan
perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 35
Perlindungan HAM semakin menjadi komitmen
masyarakat internasional pasca-Perang Dunia II.
Pengalaman buruk pada masa perang yang ditandai
oleh pembunuhan dan kerusakan dahsyat, seperti yang
dilakukan Nazi - Jerman, telah menggugah tekad
masyarakat internasional untuk melakukan sesuatu guna
mencegah perang dan berbagai tindakan tidak
manusiawi lainnya.
Masyarakat internasional juga bertekad untuk
membentuk suatu organisasi internasional yang
sanggup mencegah krisis internasional dan
menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi.
Upaya yang terakhir ini berhasil, yaitu dengan
disepakatinya pembentukan PBB pada 1945.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 36
Sejak pembentukannya sampai sekarang, PBB telah
memainkan peran utama dalam pengembangan
pandangan kontemporer tentang HAM. Selain itu, PBB
telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
rangka perlindungan HAM di tingkat internasional. Hal ini
tampak pada peran PBB sebagai pihak yang
memprakarsai berbagai perjanjian internasional
mengenai HAM.
Di satu sisi, hal ini semakin menegaskan universalitas
HAM, dan sisi lain, sebagaimana dikatakan Jurgen
Habermas bahwa PBB tidak menyerahkan perlindungan
HAM semata-mata kepada negara bangsa, tetapi PBB
telah memiliki mekanismenya sendiri untuk membuktikan
bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 37
Perlindungan HAM secara internasional
tercantum dalam berbagai instrumen hukum
internasional.
1. Charter of the United Nations (Piagam
PBB)
Para pendiri PBB merasa yakin bahwa
pengurangan kemungkinan terjadinya perang
mensyaratkan adanya pencegahan atas
pelanggaran besar-besaran terhadap HAM. Atas
dasar keyakinan ini, konsepsi-konsepsi awal
prapembentukan PBB sudah memasukkan isu
pengembangan HAM dan kebebasan manusia.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 38
Dalam Piagam PBB, isu tentang HAM tidak dicantumkan
secara rinci. Piagam PBB hanya menegaskan komitmen
negara-negara anggota PBB untuk mengembangkan
dan memajukan HAM dalam beberapa pasal.
Dalam Pembukaan (Preamble) Piagam PBB dikatakan,
antara lain:
“WE THE PEOPLES OF THE UNITED NATIONS
DETERMINED
………………………………………………………………
to reaffirm faith in fundamental human rights, in the
dignity and worth of the human person, in the equal
rights of men and women and of nations large and small,
and .......................................................................”

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 39
Pernyataan di atas menunjukkan komitmen
negara-negara anggota PBB untuk menegaskan
kembali keyakinan pada HAM yang paling
fundamental, pada martabat dan nilai manusia,
pada persamaan hak antara pria dan wanita,
serta antara negara besar dan negara kecil.
Pernyataan tersebut tidak semata-mata
merupakan pernyataan normatif yang utopis,
tetapi harus diimplementasikan dalam
kehidupan nyata seluruh negara anggota PBB.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 40
Pernyataan tersebut, kemudian ditegaskan
kembali dalam salah satu tujuan pendirian PBB,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)
Piagam PBB sebagai berikut:
“The Purposes of the United Nations are:
………………………………………………………
To achieve international cooperation in solving
international problems of an economic, social,
cultural, or humanitarian character, and in
promoting and encouraging respect for human
rights and for fundamental freedoms for all
without distinction as to race, sex, language, or
religion”

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 41
Selanjutnya dalam Bab IX Piagam PBB, juga ditegaskan
komitmen PBB di bidang HAM. Pasal 55 Piagam PBB
menyatakan, antara lain bahwa untuk menghasilkan
kondisi yang stabil dan sejahtera yang diperlukan bagi
perdamaian dan hubungan persahabatan antara
bangsa-bangsa yang didasarkan pada penghargaan
terhadap prinsip persamaan hak dan hak penentuan
nasib sendiri, PBB akan menggalakkan penghormatan
yang universal serta ketaatan kepada HAM dan
kebebasan-kebebasan fundamental bagi semua orang
tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau
agama.
Komitmen ini diperkuat oleh Pasal 56 Piagam PBB yang
menyatakan, semua anggota berjanji akan mengambil
tindakan bersama dan sendiri-sendiri dalam kerja sama
dengan PBB untuk tercapainya tujuan-tujuan yang
dinyatakan dalam Pasal 55.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 42
Ketentuan Piagam PBB tersebut menimbulkan
perdebatan di kalangan ahli hukum. Sebagian ahli
hukum berpandangan bahwa hal-hal menyangkut HAM
dalam Piagam PBB hanya bersifat anjuran dan tidak
dapat didefinisikan dengan kecermatan yang diperlukan
untuk mengenakan kewajiban hukum kepada para
anggota.
Selanjutnya mereka berpendapat bahwa kewajiban
untuk menggalakkan HAM sesuai dengan ketentuan
Pasal 55 Piagam PBB tidak harus menyiratkan
kewajiban untuk melindunginya. Selain karena tidak
rincinya kewajiban yang diatur dalam Piagam PBB, para
ahli hukum tersebut juga menunjuk fakta tidak adanya
petunjuk mengenai kategori HAM yang dapat dilindungi
dan mekanisme perlindungannya.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 43
Di lain pihak, ahli hukum lainnya justru
berpandangan sebaliknya. Para ahli hukum ini
berpendapat bahwa Pasal 56 Piagam PBB
menentukan kewajiban yang jelas kepada
semua negara anggota untuk mengambil
tindakan positif dalam rangka penghormatan
dan ketaatan terhadap HAM.
Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa
suatu negara yang menafikan HAM sedang
mengambil tindakan untuk menghormati dan
mematuhi HAM. Kritik yang mengatakan bahwa
Piagam PBB tidak memuat katalog mengenai
HAM yang dilindungi, juga tidak dapat diterima.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 44
Terlepas dari perbedaan pandangan terhadap
kewajiban menyangkut perlindungan HAM
dalam Piagam PBB, secara yuridis internasional,
apa yang diatur dalam Piagam PBB menyangkut
HAM, mengikat seluruh negara anggota PBB
karena Piagam PBB merupakan suatu perjanjian
internasional.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 45
2. Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia/DUHAM)
Pada dasarnya, DUHAM merupakan tindak
lanjut dari Piagam PBB yang di dalamnya tidak
mencantumkan katalog HAM. Deklarasi ini
disusun oleh Komisi HAM PBB (Commission of
Human Rights/CHR) yang pada saat itu
merupakan bagian dari ECOSOC (Economic
and Social Council).
DUHAM disetujui Majelis Umum PBB pada 10
Desember 1948, dan dianggap sebagai suatu
standar pencapaian bersama bagi semua
manusia dan semua bangsa.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 46
DUHAM merupakan wujud komitmen
masyarakat internasional untuk menghormati,
melindungi, memajukan, dan menegakkan HAM.
Negara merupakan pemeran utama dalam
upaya pencapaian hal-hal tersebut.
Pasal 1 DUHAM menyatakan:
“All human beings are born free and equal in
dignity and rights. They are endowed with
reason and conscience and should act towards
one another in a spirit of brotherhood.”

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 47
Pasal 1 DUHAM dianggap mendefinisikan
dasar filosofis HAM.
Hak atas kebebasan dan persamaan merupakan
hak yang melekat pada manusia sejak lahir dan
tidak dapat dicabut.
Hak dan kebebasan yang diperoleh manusia,
didasarkan pada ciri yang membedakan
manusia dari makhluk lain, yaitu rasionalitas dan
moralitas.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 48
DUHAM memuat daftar hak sipil dan politik, yang
meliputi: hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan
keamanan pribadi, hak atas perlindungan yang
sama dan tidak diskriminatif, hak atas perlindungan
hukum dan proses peradilan, hak atas privasi,
partisipasi politik, hak atas harta benda,
perkawinan, kebebasan untuk menyatakan
pendapat, ungkapan, kebebasan beragama,
kebebasan berkumpul, dan sebagainya.
DUHAM juga mencantumkan hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya, yang meliputi: hak-hak yang
terkait dengan pekerjaan, tingkat kehidupan yang
layak, pendidikan, kebebasan berbudaya, dsb.
Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 49
DUHAM tidak mengatur lembaga dan
mekanisme yang dapat menjamin dan
mengawasi pelaksanaan hak-hak yang
tercantum di dalamnya.
Hal ini terkait dengan status DUHAM yang
bukan merupakan perjanjian internasional, tetapi
hanya suatu deklarasi yang berisi pernyataan
bersama mengenai HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 50
Keberadaan DUHAM bukannya tanpa masalah,
khususnya terkait dengan status yuridisnya.
Sejumlah pertanyaan timbul, antara lain apakah
deklarasi tersebut mengikat secara hukum? Jika
negara-negara tidak melaksanakan DUHAM,
apakah ada sanksinya?
Sebagaimana halnya dengan Piagam PBB,
pertanyaan-pertanyaan ini juga menimbulkan
perdebatan di kalangan ahli hukum.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 51
Scott Davidson menjawab pertanyaan pertama dengan
beberapa jawaban:
1. DUHAM tetap berstatus sebagai resolusi yang tidak
mengikat, tetapi mengingat perkembangan-
perkembangan dalam praksis PBB maupun negara-
negara di kemudian hari, posisi minimalis ini tidak
mungkin benar;
2. DUHAM merupakan tafsiran resmi terhadap Piagam
PBB oleh Majelis Umum PBB. Argumen ini sangat
rasional karena Preambul DUHAM menunjukkan bahwa
deklarasi tersebut disetujui untuk mengefektifkan
kewajiban yang tercantum dalam Pasal 55 dan 56
Piagam PBB;
3. Dapat dipostulatkan bahwa DUHAM telah menjadi
bagian dari prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
semua negara di dunia. Proposisi ini sulit dibantah,
karena hampir semua konstitusi modern memuat
komitmen untuk melindungi HAM dan daftar hak-hak
yang dilindungi;
4. DUHAM dapat dikatakan telah menjadi hukum kebiasaan
internasional.
Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 52
Pada dasarnya DUHAM bukan merupakan suatu
perjanjian internasional dalam kerangka hukum
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. DUHAM
bukan merupakan hukum internasional positif.
Implikasinya adalah, secara yuridis internasional,
DUHAM pada dasarnya tidak mengikat.
Namun, praksis negara-negara telah menjadikan
DUHAM sebagai hukum internasional positif sehingga
dianggap mengikat secara yuridis. Apabila negara-
negara tidak mematuhi DUHAM, maka dapat dikenakan
sanksi berdasarkan praksis hukum kebiasaan
internasional.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 53
3. International Covenant on Civil and Political
Rights/ICCPR berikut First Optional Protocol-nya
dan International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights/ICESCR
Menyadari kekurangan DUHAM, Majelis Umum PBB
berupaya menyusun suatu traktat tunggal yang memuat
daftar hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Harapannya adalah, traktat tunggal tersebut
dapat menjadi hukum internasional positif serta dapat
menetapkan lembaga dan mekanisme perlindungan,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap HAM.
Upaya tersebut mengalami kegagalan karena perbedaan
pendapat di antara anggota-anggota Komisi HAM PBB
mengenai hubungan antara hak sipil dan politik di satu
pihak dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain
pihak. Selain itu, ada perbedaan mengenai sarana yang
tepat untuk melindungi, melaksanakan, dan mengawasi
HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 54
Pada akhirnya, dihasilkan dua traktat yang
berbentuk kovenan, yaitu ICCPR dan ICESCR.
Kedua kovenan tersebut disusun oleh Komisi
HAM PBB untuk menyempurnakan DUHAM
yang memiliki kelemahan dari segi yuridis.
Dengan demikian, rumusan HAM akan memiliki
nilai yuridis yang lebih kuat.
ICCPR dan ICESCR disetujui Majelis Umum
PBB pada 1966, dan mulai berlaku pada 1976.
Kedua kovenan ini menetapkan kewajiban yang
mengikat secara hukum bagi negara-negara
pesertanya (contracting states).

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 55
Persamaan ICCPR dan ICESCR adalah:
1. Menjamin penentuan nasib sendiri oleh rakyat
atau hak kelompok yang berasal-usul sama
untuk menetapkan tujuan politik mereka
sendiri;
2. Menjamin hak rakyat untuk melepaskan atau
menggunakan sumber alam dan kekayaan
mereka sendiri dan hak untuk tidak dicabut
dari sarana subsistensi mereka sendiri;
3. Ketentuan yang melarang diskriminasi
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya,
asal-usul nasional atau sosial, kekayaan,
kelahiran, atau status yang lain.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 56
Perbedaan pokok antara ICCPR dan ICESCR
adalah ICCPR menegaskan agar hak-hak yang
dilindungi tersebut akan dihormati dan segera
dijamin, sedangkan ICESCR hanya menetapkan
bahwa negara harus mengakui hak-hak dalam
kovenan dan harus mengimplementasikannya
secara progresif sesuai dengan program-
program khusus.
Selain itu, ICCPR menetapkan Human Rights
Committee/HRC PBB sebagai lembaga yang
mengawasi implementasi kovenan tersebut,
sedangkan ICESCR hanya menyerahkan fungsi
pengawasan kepada sebuah badan politik PBB,
yaitu ECOSOC.
Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 57
ICCPR disusun untuk menjawab masalah-
masalah praksis dalam perlindungan HAM.
Kovenan ini menjabarkan secara lebih spesifik
mengenai hak-hak yang dapat dilindungi dan
menyatakan dengan cukup jelas pembatasan
yang dapat dikenakan terhadap penggunaan
hak-hak tertentu dalam keadaan tertentu.
Daftar hak yang tercantum dalam ICCPR tidak
sepenuhnya sesuai dengan hak-hak yang
dicantumkan dalam DUHAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 58
Dalam ICCPR dicantumkan kewajiban negara untuk
mengizinkan individu-individu yang merupakan anggota
suatu minoritas etnis, agama, atau bahasa untuk menikmati
kebudayaan mereka, menyatakan, dan mempraksiskan
agama mereka atau menggunakan bahasa mereka sendiri
dalam komunitas bersama dengan anggota-anggota lain
kelompok tersebut; hak untuk bebas dari hukuman penjara
karena gagal memenuhi kewajiban kontrak; hak terhukum
untuk diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati
martabatnya sebagai manusia; dan hak atas perlindungan
istimewa untuk anak-anak.
Hak yang tidak dicantumkan dalam ICCPR adalah hak
suaka, hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraaan,
dan terutama hak untuk memiliki kekayaan sendiri.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 59
ICCPR menentukan beberapa hak yang dilindungi, tidak
boleh dibatasi dalam keadaan apa pun, yaitu hak untuk
hidup, bebas dan penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan
merendahkan martabat, kebebasan dari perbudakan dan
penghambaan, dipenjara karena tidak dapat memenuhi
kewajiban kontrak, tidak berlaku surutnya hukum pidana, hak
untuk diakui sebagai pribadi, hak atas kebebasan berpikir,
berhati nurani, beragama, dan sebagainya.
ICCPR juga menetapkan bahwa dalam masa darurat yang
bersifat umum yang mengancam kehidupan bangsa, hak-hak
yang lain dapat dibatasi dengan syarat pembatasan tersebut
sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat
diskriminatif. Pembatasan ini harus segera diinformasikan
secara tertulis kepada negara-negara peserta kovenan yang
lain melalui Sekjen PBB disertai alasannya.
ICCPR juga menegaskan bahwa hak-hak tersebut tidak
boleh dibatasi melebihi dari yang ditetapkan. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan keadaan di
atas.
Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 60
Negara-negara peserta diwajibkan untuk menghormati
dan menjamin hak-hak yang diakui dalam ICCPR, yang
ditujukan bagi semua individu yang berada di wilayahnya
dan tunduk pada yurisdiksinya tanpa diskriminasi dalam
bentuk apa pun.
Jika hak-hak tersebut belum dihormati dan dijamin
dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara diharuskan
untuk membuat peraturan perundang-undangan atau
langkah-langkah lain yang perlu untuk mengefektifkan
hak-hak tersebut. Kewajiban ini bersifat mutlak dan
harus segera dijalankan.
Hak-hak tersebut harus diberikan kepada semua individu
yang berada di bawah yurisdiksi negara yang
bersangkutan, tanpa melihat kewarganegaraannya. Hal
ini tidak saja menyangkut yurisdiksi teritorial negara
tersebut, tetapi juga yurisdiksi terhadap pribadi warga
negaranya yang berada di luar negeri.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 61
Badan yang ditugasi untuk mengawasi
kewajiban negara peserta ICCPR adalah Human
Rights Committee (Komite HAM) yang berkantor
di New York atau Jenewa yang menjadi tempat
kedudukan Divisi HAM pada Sekretariat PBB.
Anggota HRC terdiri dari 18 orang yang harus
merupakan warga negara peserta kovenan dan
merupakan pribadi-pribadi bermoral tinggi dan
berkompeten dalam bidang HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 62
ICCPR dan First Optional Protocol-nya menetapkan satu
mekanisme wajib dan dua mekanisme fakultatif agar
HRC dapat mengawasi kewajiban negara peserta.
Pengawasan yang bersifat wajib dijalankan melalui
sistem laporan berkala: negara-negara peserta wajib
menyampaikan laporan mengenai langkah-langkah yang
diambil dalam rangka mengefektifkan hak-hak yang
diakui dan mengenai kemajuan yang telah dicapai dalam
pelaksanaan hak-hak tersebut.
HRC telah menerima banyak laporan dari berbagai
negara dan telah mengembangkan pedoman-pedoman
untuk penyajian laporan-laporan tersebut maupun
prosedur tindak lanjutnya.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 63
Metode pengawasan kedua yang bersifat
fakultatif adalah prosedur pengaduan
antarnegara.

Prosedur ini mensyaratkan persetujuan setiap


negara peserta dan hanya dapat digunakan
terhadap negara-negara lain yang juga telah
menyetujui prosedur tersebut.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 64
Metode pengawasan ketiga yang juga bersifat
fakultatif adalah prosedur pengaduan individual
secara tertulis yang dimuat dalam First Optional
Protocol.
Prosedur ini merupakan perkembangan
terpenting dalam sistem universal bagi
perlindungan HAM karena prosedur ini
memungkinkan setiap individu untuk
berhubungan langsung dengan HRC yang
memiliki kewenangan untuk memutuskan,
apakah suatu negara telah melanggar hak-hak
yang dilindungi oleh kovenan.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 65
ICESCR menjabarkan dan memperluas daftar
hak yang tercantum dalam DUHAM. Namun,
ICESCR tidak mengharuskan negara-negara
untuk segera mengefektifkan hak-hak yang telah
diakui tersebut, tetapi sekadar memulai
pendekatan yang bersifat anjuran dan
programatis bagi pelaksanaannya.
Hal ini menjadi salah satu alasan bagi beberapa
ahli hukum untuk berpendapat bahwa hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya pada dasarnya
bukan merupakan hak asasi karena hak-hak
tersebut tidak bersifat mutlak.
Pandangan ini didasarkan pada ketentuan Pasal
2 ayat (1) ICESCR.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 66
Secara formal, lembaga yang berfungsi sebagai
pengawas hak-hak yang diatur dalam ICESCR adalah
ECOSOC.
Dalam praksisnya, ECOSOC secara efektif telah
mendelegasikan fungsi-fungsinya yang diatur dalam
kovenan kepada Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya yang dibentuk pada 1985.
Badan ini menyerupai Komite HAM (HRC) karena terdiri
dari 18 pakar yang dipilih oleh negara-negara peserta
dan bekerja dalam kapasitas pribadi.
Komite ini mempelajari laporan berkala yang
disampaikan oleh negara-negara peserta dan
meneruskan hasil pengamatannya kepada ECOSOC,
Dewan HAM PBB, dan badan-badan khusus PBB
lainnya yang menaruh perhatian pada hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 67
ICESCR hanya menentukan satu metode
pengawasan terhadap hak-hak yang diatur di
dalamnya, yaitu melalui penyerahan laporan
berkala kepada ECOSOC mengenai langkah-
langkah yang telah diambil oleh negara peserta
dan kemajuan yang telah dicapai dalam
mematuhi hak-hak yang telah diakui tersebut.
Kovenan ini tidak mengatur ketentuan mengenai
pengaduan tertulis secara individual, namun hal
ini sedang dipertimbangkan oleh ECOSOC.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 68
Apabila dibandingkan dengan ICCPR, terlihat
bahwa prosedur implementasi dan sarana
pengawasan yang diatur dalam ICESCR tidak
terlalu memadai, dalam arti tidak memiliki daya
paksa.
Namun, dalam sidang-sidang awalnya, Komite
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah
memperlihatkan suatu kemauan untuk
melakukan dialog-dialog konstruktif yang sama
jenisnya, yang menjadi ciri kegiatan Komite
HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 69
4. Instrumen-instrumen hukum internasional
yang spesifik
ICCPR dan ICESCR merupakan dua dokumen
utama hukum internasional mengenai HAM yang
dihasilkan PBB. Kedua kovenan tersebut dapat
dikatakan sebagai kovenan mengenai HAM
yang bersifat umum, dalam arti tidak mengatur
perlindungan suatu hak yang spesifik.
Selain kedua kovenan tersebut, PBB juga telah
melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan promosi dan perlindungan terhadap
HAM yang lebih sempit dan lebih spesifik.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 70
Banyak instrumen hukum internasional yang
diprakarsai PBB dan mengatur satu masalah
spesifik mengenai HAM. Beberapa di
antaranya yang dianggap penting, antara lain:
1. Convention on the Prevention and Punishment
of the Crime of Genocide (Konvensi tentang
Pencegahan dan Penghukuman terhadap
Kejahatan Genosida);
2. International Convention on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination (Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial);

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 71
3. Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita);
4. Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perbuatan Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia);
5. Convention on the Rights of the Child (Konvensi
tentang Hak-hak Anak);
6. Convention Relating to the Status of Refugees
(Konvensi Mengenai Status Pengungsi);

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 72
7. Declaration on the Elimination of All Forms of
Intolerance and of Discrimination based on
Religion or Belief (Deklarasi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Sikap Tidak
Toleran dan Diskriminasi yang Didasarkan
pada Agama dan Kepercayaan);
8. ILO Convention Concerning Indigenous and
Tribal Peoples in Independent Countries
(Konvensi ILO Mengenai Penduduk Asli dan
Suku Terasing dalam Negara-negara
Merdeka);
9. Standard Minimum Rules for the Treatment of
Prisoners.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 73
Perlindungan HAM dalam Instrumen Hukum
Regional

HAM juga dilindungi dalam beberapa instrumen


hukum internasional yang bersifat regional.

Beberapa instrumen hukum regional mengenai


HAM adalah:

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 74
1.European Convention for the Protection of Human Rights
and Fundamental Freedoms (ECHR), berikut Protokol-
protokolnya dan European Social Charter (ESC)

Perlindungan HAM dalam sistem Eropa tercakup dalam dua


traktat utama, yaitu ECHR dan ESC.
ECHR yang berfokus pada perlindungan hak sipil dan politik,
disetujui pada 1950 dan mulai berlaku pada 1953.
ESC yang mencakup implementasi hak dan asas ekonomi
dan sosial disetujui pada 1961 dan mulai berlaku pada 1965.
Kedua traktat ini disusun di bawah arahan Dewan Eropa.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 75
Secara mutatis mutandis, ECHR dan
protokolnya pada dasarnya melindungi sebagian
besar hak yang tercantum dalam DUHAM.
Sesuai dengan Pasal 1 ECHR, negara-negara
peserta diwajibkan untuk menjamin kepada
setiap orang yang berada di dalam yurisdiksi
mereka, hak dan kebebasan yang dilindungi
oleh ECHR tanpa diskriminasi.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak dan
kebebasan tersebut, maka orang-orang yang
dirugikan harus memperoleh remedi yang efektif
di hadapan suatu otoritas nasional, meskipun
pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-
orang yang bertindak dalam kapasitasnya
sebagai pejabat.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 76
Untuk menjamin dipatuhinya kewajiban yang
diperintahkan konvensi, ECHR menetapkan
pembentukan European Commission of Human
Rights (Komisi Eropa mengenai HAM) dan
European Court of Human Rights (Pengadilan
Eropa mengenai HAM).

ECHR juga menetapkan dua mekanisme


penegakannya, yaitu sistem pengaduan
antarnegara dan permohonan individual.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 77
Fungsi utama ESC adalah sebagai pelengkap
bagi ECHR.
ESC bertujuan untuk memastikan partisipasi
negara dalam mewujudkan hak-hak yang
berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, dan
budaya.
ESC menuntut dilakukan pendekatan secara
progresif terhadap hak-hak yang diatur di
dalamnya.
Mekanisme pengawasan ESC dilakukan melalui
sistem laporan berkala, yaitu laporan dua-
tahunan dan laporan berkala pada interval
waktu tertentu.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 78
2. Charter of the Organization of American
States dan American Convention on Human
Rights (ACHR) berikut Protokol-protokolnya
Sistem antar-Amerika bagi perlindungan HAM
berkembang di dalam kerangka kegiatan
Organization of American States (OAS).
OAS merupakan suatu organisasi
antarpemerintah yang didirikan pada 1948.
Instrumen hukum sistem antar-Amerika
mengenai HAM terdiri dari Piagam OAS dan
ACHR.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 79
Piagam OAS yang disahkan pada 1948 tidak memuat
katalog HAM.
Namun, Piagam OAS memperhatikan penggalakan dan
perlindungan HAM serta masalah penggalakan
pembangunan sosial dan ekonomi di setiap negara
anggota OAS.
Piagam OAS tidak mendefinisikan atau menjabarkan
apa yang dimaksud dengan hak asasi individu.
Sebagian kekurangan dalam Piagam OAS diperbaiki
pada Konferensi Bogota.
Kemudian Piagam OAS disetujui melalui pengesahan
sebuah deklarasi, yaitu American Declaration on the
Rights and Duties of Man.
Deklarasi itu memuat sebuah daftar hak sipil dan politik
serta hak ekonomi dan sosial.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 80
ACHR, yang juga dikenal sebagai Pakta San
Jose dan Protokol San Salvador mengenai Hak-
hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, merupakan
bagian dari sistem HAM antar-Amerika.
ACHR disetujui pada konferensi khusus
antarpemerintah di San Jose, Kosta Rica pada
1969 dan berlaku pada Juli 1978.
Protokolnya disetujui oleh negara-negara
peserta pada 14 November 1988, dan
selanjutnya dikukuhkan oleh Majelis Umum OAS
pada pertemuan reguler ke-18 di San Salvador,
El Salvador.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 81
Format ACHR dan struktur kelembagaannya
menyerupai format dan struktur kelembagaan
ECHR.
ACHR mensyaratkan negara peserta untuk
menghormati hak asasi dan kebebasan yang
diakui, serta menjamin bahwa semua orang
yang berada di bawah yurisdiksinya akan dapat
menggunakan hak dan kebebasan tersebut
secara bebas dan penuh.
Protokolnya hanya menuntut agar setiap negara
peserta mengambil langkah-langkah yang
sesuai dalam rangka mencapai secara progresif
kepatuhan sepenuhnya terhadap hak-hak yang
diakui dalam protokol.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 82
ACHR juga menetapkan dua organ untuk
mengawasi implementasi dan penegakan hak-
hak yang tercantum di dalamnya, yaitu inter-
American Commission on Human Rights (Komisi
antar-Amerika mengenai HAM) dan inter-
American Court of Human Rights (Pengadilan
antar-Amerika mengenai HAM).
Komisi antar-Amerika mengenai HAM disahkan
pada Pertemuan Konsultasi Kelima Menteri-
menteri Luar Negeri OAS di Santiago, Cile pada
1959.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 83
Mekanisme pengaduan yang diatur dalam
ACHR mencakup dua kategori:
1. Pengaduan oleh orang-orang yang
menyatakan terjadinya pelanggaran terhadap
konvensi oleh negara peserta;
2. Pengaduan yang dilakukan oleh negara
peserta bahwa negara peserta yang lain
telah melanggar HAM yang diatur dalam
ACHR.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 84
3. African Charter on Human Rights and
Peoples’ Rights
Piagam Afrika atau sering disebut Piagam Banjul
merupakan instrumen regional HAM yang
berlaku di lingkungan negara-negara anggota
Organization of African Unity/OAU (Organisasi
Persatuan Afrika).
Piagam ini disetujui oleh Majelis Kedelapanbelas
Kepala Negara dan Pemerintahan OAU di
Nairobi, pada Juni 1981, dan diberlakukan pada
21 Oktober 1986.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 85
Hak-hak yang dilindungi dalam Piagam Afrika
berbeda cukup signifikan dari hak-hak yang
dilindungi dalam instrumen regional HAM
sejenisnya, seperti ECHR dan ACHR.
Piagam Afrika tidak hanya melindungi hak sipil
dan politik individu, tetapi juga berupaya
menggalakkan hak ekonomi dan sosial, serta
kategori hak-hak generasi ketiga yang
kontroversial.
Piagam ini juga mengatur kewajiban individu
terhadap keluarga, masyarakat, dan negara.
Piagam Afrika merupakan satu-satunya
instrumen regional mengenai HAM yang
mencantumkan hak generasi ketiga.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 86
Perbedaan utama yang tampak antara struktur
kelembagaan menurut Piagam Afrika dan
struktur kelembagaan menurut instrumen-
instrumen regional HAM sejenisnya adalah,
tidak adanya pengadilan khusus untuk
menyelesaikan persengketaan di antara negara-
negara atau untuk mengambil keputusan
mengenai pengaduan individual.
Piagam Afrika hanya menetapkan pembentukan
African Commission on Human and Peoples’
Rights, sebuah komisi dalam kerangka kerja
OAU untuk menggalakkan HAM dan hak rakyat
serta menjamin perlindungan hak-hak tersebut
di Afrika.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 87
Piagam Afrika menentukan dua jenis mekanisme
pengaduan antarnegara. Selain mekanisme pengaduan
antarnegara, Piagam Afrika juga mengatur “pengaduan
tertulis yang lain”.
Apa dan siapa “yang lain” dalam frase tersebut, tidak
jelas, sehingga menimbulkan multiinterpretasi.
Piagam Afrika juga tidak mensyaratkan bahwa pelapor
sendiri harus merupakan korban suatu pelanggaran. Hal
ini tidak saja berarti bahwa seseorang, sekelompok
orang, atau LSM dapat menyampaikan suatu pengaduan
tertulis atas nama individu atau individu-individu yang
lain, tetapi juga bahwa Piagam Afrika mengakui aksi
kelompok (class action).

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 88
Karakteristik utama yang membedakan
mekanisme petisi individual menurut Piagam
Afrika dengan First Optional Protocol - ICCPR
dan instrumen-instrumen regional HAM
sejenisnya adalah, mekanisme Afrika tidak
menangani pelanggaran HAM dan hak rakyat
secara satu persatu, tetapi hanya kasus-kasus
istimewa yang mengungkapkan adanya
sederetan pelanggaran yang serius atau besar-
besaran terhadap HAM dan hak-hak rakyat.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 89
Cairo Declaration on Human Rights
in Islam

Deklarasi ini dicanangkan di Kairo, oleh negara-


negara anggota Organization of Islamic
Conference (Organisasi Konferensi Islam) pada
5 Agustus 1990.
Sebagian kalangan menyebut deklarasi ini
sebagai “DUHAM”-nya Islam.
Apabila dikaji, Deklarasi HAM Islam ini pada
dasarnya merupakan antitesis terhadap ide
HAM versi Barat.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 90
Dalam Pembukaan Deklarasi HAM Islam
ditetapkan tiga hal pokok yang sangat penting
untuk memahami ide HAM versi Islam:
1. Klaim bahwa Islam sebelum abad ke-14 sudah
berdasarkan “HAM”;
2. Perintah misioner bahwa kaum Muslim memiliki
kewajiban untuk menyebarkan dakwah kepada
semua manusia dan membebaskan mereka
melalui Islam. Dengan kata lain, Islam juga
mengklaim validitas universal nilai-nilainya;
3. Teleologi bahwa penerimaan atas HAM Islam ini
menggambarkan jalan yang benar menuju
pembangunan sebuah “masyarakat Islam sejati”.
Tiga antitesis ini dapat ditelusuri dari basis
HAM Islam, yaitu hukum syariat.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 91
Deklarasi HAM Islam mencantumkan berbagai HAM
yang pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan HAM
yang tercantum dalam DUHAM.
Dari berbagai hak yang tercantum dalam Deklarasi HAM
Islam, terlihat bahwa deklarasi tersebut mencantumkan
hak-hak kebebasan individual (seperti: hak atas
kebebasan berpikir, beriman, dan berbicara), hak-hak
pembelaan diri, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya,
tentang kesamaan, serta penolakan atas tirani.
Namun, semua hak tersebut memperoleh makna yang
sesungguhnya hanya dalam kerangka syariat Islam.
Berbeda dengan DUHAM, hak-hak yang dijamin dalam
Deklarasi HAM Islam diturunkan dari syariat yang tidak
secara langsung berbicara tentang sentralitas martabat
manusia.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 92
Perlindungan HAM dalam Instrumen
Hukum Indonesia

Pemerintah menyadari bahwa perlindungan terhadap


HAM merupakan amanat konstitusi yang harus
direalisasikan.
Namun, sejak 1945 sampai dengan berakhirnya rezim
Orde Baru, pemerintah tidak pernah berhasil menyusun
suatu dokumen khusus mengenai HAM.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, penyusunan
dokumen HAM pernah diupayakan, namun pada
akhirnya mengalami kegagalan.
Upaya perlindungan HAM dalam instrumen hukum
positif, praktis dilakukan secara intensif pada masa
reformasi.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 93
Upaya perlindungan HAM pada masa reformasi diawali
dengan penerbitan Rencana Aksi Nasional Hak-hak
Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang ditetapkan
dalam Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia
Indonesia 1998-2003.
Upaya ini, kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia yang disahkan dalam Rapat Paripurna
Sidang Istimewa MPR pada 13 November 1998.
Selanjutnya, pemerintah menerbitkan undang-undang
yang secara khusus mengatur tentang HAM dan
memasukkan katalog HAM dalam UUD 1945 melalui
amandemen kedua pada 2000.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 94
Perlindungan HAM di Indonesia dewasa ini,
dapat ditemukan dalam UUD 1945 sebagai
landasan konstitusionalnya dan beberapa
undang-undang yang mengatur tentang HAM.
Selain itu, dapat ditemukan dalam beberapa
undang-undang yang tidak secara khusus
mengatur tentang HAM, tetapi di dalamnya
terdapat pengaturan yang berkaitan dengan
HAM, serta dalam beberapa perjanjian
internasional mengenai HAM yang telah
diratifikasi pemerintah Indonesia.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 95
1. Undang-undang Dasar 1945

UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi


perlindungan HAM di Indonesia.
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 merupakan falsafah HAM bangsa Indonesia.
Pokok-pokok pengakuan dan penghormatan terhadap
HAM di Indonesia, tercermin dalam Pembukaan UUD
1945.
Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 mencerminkan
pengakuan bangsa Indonesia terhadap HAM, dalam hal
ini hak suatu bangsa manusia untuk bebas atau
merdeka dari penindasan bangsa lain.
Perikemanusiaan dan perikeadilan mencerminkan
pengakuan terhadap prinsip-prinsip dasar HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 96
Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945
mencerminkan keinginan bangsa Indonesia
untuk menikmati kebebasan yang merupakan
bagian dari hak asasi yang fundamental,
sehingga bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaan.
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
terdapat Pancasila yang merupakan falsafah
HAM bangsa Indonesia. Dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab dalam alinea tersebut
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
menghormati martabat manusia yang
merupakan ide dasar HAM.
Bagi bangsa Indonesia, HAM merupakan asas
negara yang fundamental.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 97
Pokok-pokok pengakuan dan penghormatan
terhadap HAM yang terdapat dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut, seharusnya dirinci dalam
Batang Tubuh UUD 1945.
Namun, dalam Batang Tubuh UUD 1945
(sebelum diamandemen) hanya ada beberapa
pasal yang terkait dengan HAM, walaupun tidak
diatur secara eksplisit.
Jadi, dapat dikatakan bahwa UUD 1945
(sebelum diamandemen) tidak mencantumkan
katalog HAM secara komprehensif.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 98
Pada saat ini, dalam UUD 1945 telah dicantumkan
katalog HAM, yang merupakan hasil amandemen kedua
terhadap UUD 1945. Katalog HAM dalam UUD 1945
dirinci dalam Bab X A Pasal 28A sampai dengan Pasal
28J.
Daftar HAM yang ada dalam UUD 1945 sangat banyak.
Secara umum, hak-hak tersebut mencakup hak sipil dan
politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Hak-hak tersebut adalah hak untuk hidup dan
mempertahankan hidup, hak untuk melanjutkan
keturunan, hak anak, hak untuk mengembangkan diri,
hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas
perlindungan diri pribadi, hak atas hidup sejahtera, dan
sebagainya.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 99
Pencantuman katalog HAM dalam UUD 1945
merupakan suatu langkah yang patut diberi apresiasi,
walaupun dinilai agak terlambat. Dari perspektif
perlindungan HAM, langkah tersebut memiliki nilai
positif.
Sebagian kalangan menilai bahwa katalog HAM dalam
UUD 1945, banyak mengandung kelemahan, khususnya
dari segi perumusan, struktur, dan sistematikanya.
Bagi kritikus HAM, perumusan hak-hak asasi dalam Bab
X A UUD 1945 yang tidak sistematis dan terkesan asal
jadi, menunjukkan bahwa para perumusnya tidak
memahami HAM.
Hal ini terlihat, antara lain dalam hal penempatan hak-
hak yang tidak beraturan.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 100


Terlepas dari kekurangan tersebut, dengan
dicantumkannya katalog HAM dalam UUD 1945,
maka pengakuan, penghormatan, dan
perlindungan HAM di Indonesia memiliki
landasan konstitusional yang jelas.

Hal ini sejalan dengan konsepsi negara hukum


yang menjunjung tinggi HAM dan mengharuskan
pengakuan terhadap HAM dicantumkan dalam
konstitusi negara.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 101


2. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia

Undang-undang ini diundangkan pada 23 September


1998, dan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan
dari Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang
HAM yang dinilai tidak operasional.
Walaupun keberadaan undang-undang tersebut
mendahului pencantuman katalog HAM dalam UUD
1945, tidak berarti bahwa undang-undang tersebut tidak
sejalan dengan konstitusi.
Idealnya, undang-undang mengenai HAM dibuat setelah
amandemen kedua UUD 1945 agar penjabaran hak-hak
yang dicantumkan di dalamnya konsisten dengan hak-
hak dalam konstitusi.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 102


UU Nomor 39 Tahun 1999 berfungsi sebagai “umbrella
act” bagi semua peraturan perundang-undangan di
bidang HAM yang secara hierarkis berada di bawah
UUD 1945.
UU ini telah mencantumkan sejumlah asas dasar HAM
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 8.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, diketahui bahwa
Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara
kodrati melekat pada dan tidak dapat dipisahkan dari
manusia.
Hak-hak dan kebebasan tersebut harus dihormati,
dilindungi, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
manusia, kesejahteraan, kebahagiaan, kecerdasan,
serta keadilan.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 103


UU tentang HAM juga menyatakan bahwa setiap
orang dilahirkan bebas dengan martabat
manusia yang sama dan sederajat serta
dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
dalam semangat persaudaraan.
Oleh sebab itu, setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
depan hukum.
Selain itu, setiap orang berhak atas
perlindungan HAM dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 104


Pasal 9 sampai dengan Pasal 66 UU Nomor 39
Tahun 1999 merinci daftar HAM dan kebebasan
dasar manusia yang dilindungi, yaitu hak untuk
hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.
Suatu hal yang menjadi kekhasan UU tentang
HAM Indonesia adalah, mengakui kewajiban
dasar manusia sebagaimana dirinci dalam Pasal
67 sampai dengan Pasal 70, antara lain
kewajiban setiap orang untuk menghormati HAM
orang lain.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 105


Untuk melindungi dan mengawasi pelaksanaan
HAM dan kebebasan dasar yang diatur di
dalamnya, UU tentang HAM menetapkan
Komnas HAM sebagai lembaga mandiri yang
berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
Hal-hal yang terkait dengan keberadaan dan
fungsi-fungsi Komnas HAM diatur dalam Pasal
75 sampai dengan Pasal 99 UU Nomor 39
Tahun 1999.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 106


UU Nomor 39 Tahun 1999 memerintahkan
pembentukan Pengadilan HAM di lingkungan
peradilan umum, untuk mengadili pelanggaran
berat HAM.

Pengadilan HAM harus sudah terbentuk dalam


waktu 4 (empat) tahun setelah diundangkannya
UU tentang HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 107


3. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang-undang ini diundangkan pada 23


November 2000, dan merupakan amanat dari
ketentuan Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999
yang memerintahkan pembentukan Pengadilan
HAM di lingkungan peradilan umum.
Sesuai ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000,
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus
terhadap pelanggaran berat HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 108


Pertimbangan pembentukan Pengadilan HAM:
1. Bahwa pelanggaran berat HAM merupakan kejahatan
luar biasa (extra ordinary crimes) dan berdampak
secara luas, baik pada tingkat nasional maupun
internasional. Kejahatan tersebut bukan merupakan
tindak pidana biasa yang diatur dalam KUHP. Selain
itu, dampaknya sangat besar karena dapat
menimbulkan kerugian, baik material maupun
immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman
terhadap individu dan masyarakat, sehingga perlu
segera dipulihkan dalam rangka mewujudkan
supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
ketertiban, ketenteraman, keadilan, serta
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia;

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 109


2. Bahwa terhadap perkara pelanggaran berat
HAM, diperlukan proses penanganan yang
bersifat khusus, mulai dari tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, sampai dengan
proses pemeriksaan di muka sidang
pengadilan. Kekhususan dalam penanganan
pelanggaran berat HAM adalah:
a. Diperlukan penyelidik dengan membentuk
tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum
ad hoc, dan hakim ad hoc;
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan
hanya dilakukan oleh Komnas HAM,
sedangkan penyidik tidak berwenang
menerima laporan atau pengaduan
sebagaimana diatur dalam KUHAP;

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 110


c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang
waktu tertentu untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan;
d. Diperlukan ketentuan mengenai
perlindungan korban dan saksi;
e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan
bahwa tidak ada kedaluarsa bagi
pelanggaran berat HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 111


Adanya UU Pengadilan HAM diharapkan dapat
menjamin dan melindungi HAM.

Selain itu, diharapkan dapat menjadi dasar


dalam penegakan kepastian hukum, keadilan,
dan perasaan aman bagi individu dan
masyarakat terhadap berbagai tindakan
pelanggaran berat HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 112


Keberadaan Pengadilan HAM sebagai suatu
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum, tidak terlepas dari ketentuan mengenai
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UUD
1945.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 memungkinkan
lahirnya Pengadilan HAM.
Di lain pihak, Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
juga membenarkan adanya pengadilan khusus
dalam salah satu lingkungan peradilan.
Bahkan, dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU
Nomor 48 Tahun 2009, secara eksplisit
disebutkan bahwa salah satu pengadilan khusus
adalah Pengadilan HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 113


Pengadilan HAM merupakan pengadilan
khusus terhadap pelanggaran berat HAM.
Mengacu pada ketentuan UU Nomor 26 Tahun
2000, ada dua bentuk Pengadilan HAM untuk
mengadili kasus-kasus pelanggaran berat HAM,
yaitu:
1. Pengadilan HAM permanen, yang bertugas
menyelesaikan kasus pelanggaran berat
HAM yang terjadi setelah diundangkannya
UU Pengadilan HAM;
2. Pengadilan HAM ad hoc, yang bertugas
menyelesaikan kasus pelanggaran berat
HAM yang terjadi sebelum diundangkannya
UU Pengadilan HAM.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 114


Yurisdiksi Pengadilan HAM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 26
Tahun 2000, kemudian dipertegas dalam Pasal
4, yang menyatakan bahwa Pengadilan HAM
bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran berat HAM.
Pasal 5 menyatakan, Pengadilan HAM juga
berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh
warga negara Indonesia di luar batas teritorial
negara Republik Indonesia.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 115


Mengenai pengertian pelanggaran berat HAM
tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Nomor
26 Tahun 2000.
Pasal 1 angka 2 hanya menyatakan,
pelanggaran berat HAM adalah pelanggaran
HAM sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.
Pasal 7 menyatakan bahwa pelanggaran berat
HAM meliputi kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida dirinci dalam Pasal 8 UU
Nomor 26 Tahun 2000, sedangkan kejahatan
terhadap kemanusiaan dirinci dalam Pasal 9 UU
Nomor 26 Tahun 2000.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 116


UU Nomor 26 Tahun 2000 mengatur hukum
acara di Pengadilan HAM yang mencakup
semua tata cara penanganan perkara
pelanggaran berat HAM, yang meliputi
penangkapan, penahanan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, dan acara pemeriksaan.
Selain itu, mengatur perlindungan korban dan
saksi, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 117


Selain mengatur keberadaan Pengadilan HAM
permanen, UU Nomor 26 Tahun 2000 mengatur
keberadaan Pengadilan HAM ad hoc,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 118


4. Undang-undang lain yang terkait

Selain dilindungi dalam dua undang-undang


yang dikemukakan di atas, HAM di Indonesia
juga dilindungi secara parsial dalam beberapa
undang-undang tertentu, yang dalam beberapa
hal terkait dengan HAM.
Salah satunya adalah UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, yang di dalamnya
terdapat ketentuan mengenai perlindungan
terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, dan
terpidana.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 119


5. Perjanjian internasional mengenai HAM
yang diratifikasi pemerintah Indonesia

Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999


bahwa ketentuan hukum internasional mengenai
HAM yang telah diratifikasi atau diaksesi
Indonesia, menjadi hukum nasional.
Dengan demikian, aturan-aturan tersebut
merupakan bagian dari hukum positif Indonesia.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 120


Antara lain:
a. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, yang diratifikasi
melalui UU Nomor 7 Tahun 1984;
b. Konvensi tentang Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia, yang diratifikasi melalui UU Nomor
5 Tahun 1998;
c. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial, yang diratifikasi melalui UU Nomor
29 Tahun 1999;
d. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, yang diratifikasi melalui UU Nomor 11
Tahun 2005;
e. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005;

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 121


Pengaturan terhadap perlindungan HAM dalam
instrumen-instrumen hukum nasional yang
dikemukakan di atas, secara normatif sudah
memadai.
Hal yang lebih penting adalah
pengimplementasian ketentuan-ketentuan
tersebut dalam praksis kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.

Perlindungan HAM/S2/Dok/Wltr 122

Anda mungkin juga menyukai