DIOKSIDA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PENDAHULUAN Kelapa sawit salah satu tanaman perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional, terutama sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2007, perkebunan kelapa sawit menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 3,30 juta kepala keluarga petani, serta memberikan sumbangan devisa sebanyak US$6,20 miliar. Pada tahun 1980, areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat 290 ribu ha dan meningkat menjadi 1,127 juta ha pada tahun 1990 serta menjadi 4,158 juta ha pada tahun 2000 (Direktorat Jenderal Perkebunan 2007). Pada tahun 2007, areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat 6,783 juta ha, terdiri atas 2,565 juta ha perkebunan rakyat, 688 ribu ha perkebunan besar negara, dan 3,53 juta ha perkebunan besar swasta (Tabel 1). BIAYA INVESTASI Pada tingkat harga CPO Rp6.000/kg dan inti sawit Rp4.500/kg, maka IRR petani sebesar 22,06% dan IRR perusahaan inti 22,47%. Pada lahan gambut, tingkat IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti terjadi pada saat harga TBS Rp975/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 20,76% dan IRR perusahaan inti 20,66%. Hasil analisis finansial berdasarkan harga CPO Rp8.000/kg dan inti sawit Rp5.500/kg dengan tiga variasi harga TBS dapat dilihat pada Tabel 4. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan mineral terjadi pada saat harga TBS Rp1.250/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 28,55% dan IRR perusahaan inti 28,55%. Nilai pendapatan kini bersih rata-rata sebesar Rp1,96 juta/ha/tahun. Tingkat IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan gambut terjadi pada saat harga TBS Rp1.275/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 26,92% dan IRR perusahaan inti 26,89%. Jika harga CPO diasumsikan Rp10.000/ kg dan harga inti sawit Rp6.500/kg, maka dengan tiga variasi harga TBS diperoleh IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan mineral pada saat harga TBS Rp1.550/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 33,67% dan IRR perusahaan inti 33,62%. Nilai pendapatan bersih kini rata- rata Rp3,01 juta/ ha/tahun (Tabel 5). Tingkat IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan gambut terjadi pada saat harga TBS Rp1.575/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 31,87% dan IRR perusahaan inti sawit 31,92%. KEUNTUNGAN YANG HILANG DARI PENGURANGAN EMISI CO2 Pada lahan mineral, pengembangan kelapa sawit dengan pola kemitraan berpotensi memberikan NPV bervariasi dari Rp0,90 juta sampai Rp3,01 juta/ha/tahun, bergantung pada harga CPO dan harga inti sawit. Pada pola perkebunan besar, NPV bervariasi dari Rp0,70−Rp2,53 juta/ha/tahun. Dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp9.200/US$, maka keuntungan rata-rata yang hilang dari pengurangan emisi CO2 pada lahan mineral berkisar antara US$2,39−7,98/ t CO2 pada pola kemitraan dan US$1,85−6,72/t CO2 pada perkebunan besar (Tabel 8). Pada lahan gambut, pengembangan kelapa sawit dengan pola kemitraan berpotensi memberikan NPV rata-rata antara Rp0,74−2,85 juta/ha/tahun. Pada pola perkebunan besar, NPV bervariasi antara Rp0,55−Rp2,39 juta/ha/tahun. Keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 pada lahan gambut berkisar antara US$1,26−4,84/t CO2 pada pola kemitraan dan US$0,93−4,05/t CO2 pada perkebunan besar (Tabel 9). TERIMA KASIH