Anda di halaman 1dari 23

BAB I

Pendahuluan
• Kesehatan ibu merupakan salah satu prioritas pembangunan kesehatan di Indonesia.
• Angka Kematian Ibu (AKI) adalah rasio kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan
nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas itu sendiri atau pengelolaannya
tetapi bukan karena sebabsebab lain seperti kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000
kelahiran hidup.
• Berdasarkan hasil survei penduduk antar sensus (SUPAS) Badan Pusat Statistik tahun 2015,
terjadi penurunan kematian ibu dalam rentang tahun 1991 (390 kematian ibu) hingga tahun
2015 (305 kematian ibu) per 100.000 kelahiran hidup.
• Walaupun terjadi penurunan kematian ibu dalam rentang tahun 1991 hingga tahun 2015, tetapi
hal tersebut belum mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) sebesar 102
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Hasil SUPAS 2015 juga memperlihatkan bahwasanya
AKI tahun 2015 tiga kali lipat dibandingkan target MDGs (Kemenkes, 2019)
• AKI di Indonesia didominasi oleh tiga penyebab utama yaitu, adanya perdarahan, adanya
hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi (Kemenkes, 2016). Hipertensi dalam kehamilan (HDK)
merupakan kondisi terjadinya peningkatan tekanan darah pada masa kehamilan yang ditandai
dengan tekanan darah sitolik ≥140 mmHg dan/atau diastolic ≥ 90mmHg. Adapun pengukuran
tekanan darah dilakukan pada 2 kali pemeriksaan berjarak waktu 4-6 jam.
• American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
tahun 2013, hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi menjadi 4
kategori, yaitu preeclampsia-eklampsia, hipertensi kronik
(dengan berbagai penyebab), hipertensi kronik dengan
superimposed preeklampsia, dan hipertensi gestasional.
• Preeklampsia : suatu kondisi hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan diatas usia kehamilan 20 minggu yang dapat disertai
dengan proteinuria atau disertai salah satu dari gejala-gejala
seperti: trombositopenia, gangguan ginjal, gangguan hati,
edema paru, ditemukan gejala neurologis, dan gangguan
pertumbuhan janin (Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Indonesia, 2016).
• Manifestasi klinis preeclampsia yang terjadi pada wanita hamil seringkali lambat
terdeteksi sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul keadaan yang
dapat membahayakan ibu dan janin.
• Munculnya preeclampsia pada kehamilan dapat menyebabkan komplikasi pada ibu,
seperti eklampsia, sindroma hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelets count
(HELLP), perdarahan intraseerebral, edem pulmoner, dan gagal ginjal akut. Selain itu
preeclampsia juga dapat menyebabkan gangguan kesejahteraan terhadap janin,
seperti terjadinya kelahiran premature, intrauterine growth restriction (IUGR), sampai
dengan intrauterine fetal death (IUFD).
• Pemahaman yang mendasar mengenai preeclampsia menjadi sangat penting bagi
dokter agar dapat melakukan penanganan yang sesuai dan rujukan yang tepat dalam
penanganan preeclampsia. Melalui perawatan antenatal yang teratur dan penggunaan
pendekatan kedokteran pencegahan, yaitu dengan mengenal faktor risiko, mengenal
tanda-tanda dini preeclampsia, serta mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi
preeklampsia. Juga diharapkan dapat menurunkan kejadian dan kematian akibat
preeklampsia.
II.1 Definisi
Secara klasik, preeklampsia suatu kondisi terjadinya hipertensi dan adanya
proteinuria pada usia kehamilan > 20 minggu. Hipertensi merupakan tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau diastolic ≥ 90mmHg. Sedangkan proteinuria
merupakan eksresi protein abnormal pada urin > 300mg/24 jam, atau perbandingan
protein kreatinin >0,3, atau hasil uji dipstick protein 30 mg/dL atau +4. Meskipun
demikian seringkali wanita hamil dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala
gangguan organ multisistemik tanpa adanya proteinuria. Sehingga pada tahun 2013,
ACOG mendeklarasikan definisi baru mengenai preeclampsia, yaitu dengn tidak
terdapatnya proteinuria, diagnosis preeclampsia pada wanita hamil ditegakkan
apabila terdapat kondisi trombositopenia (platelet<100.000/microliter), gangguan
fungsi hati (peningkatan kadar enzim liver transaminase didalam darah sebesar dua
kali dari konsentrasi normal), insufisiensi ginjal (peningkatan serum kreatinin > 1,1
mg/dL atau peningkatan ganda serum kreatinin tanpa adanya penyakit ginjal), edema
pulmoner, dan gangguan pada serebral dan fungsi penglihatan.
Faktor Risiko

1. Usia ibu
2. Primigravida
3. Multipara dengan riw. Preeklampsia sebelumnya
4. Multipara yang jarah kehamilannya sebelum 10tahun/lebih
5. Kehamilan ganda/gemelli
6. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
7. Hipertensi kronik
8. Penyakit Ginjal
9. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
10. Obesitas
Etiologi
1. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini memberi dampak
penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran
darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak
dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif
mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran uteroplasenta menurun dan terjadi
hipoksia dan iskemik plasenta
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal
hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh
darah. Radikal ini akan merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain dapat merusak
membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel
terpapar terhadap peroksida lemak maka akan terjadi disfungsi endotel
3. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen Protein G (HLA-G)
yang berfungsi melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK)
ibu.Namun, pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi
HLA-G. Penurunan HLA-G akan menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua.
Padahal Invasi trofoblas penting agar jaringan desidua lunak dan gembur sehingga
memudahkan dilatasi arteri spiralis.
4. Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya refrakter pembuluh
darah karena adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh darah. Akan
tetapi, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan vasopresor.
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuan akan
mengalami preeklampsia pula dan 8% anak menantu mengalami
preeklampsia.
6. Teori Defisiensi Gizi
kekurangan defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, seperti defisiensi kalsium pada wanita hamil dapat mengakibatkan
risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.
7. Teori Stimulus Inflamasi
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai
sisa proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif.
Bahan-bahan ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Hal tersebut berbeda dengan
proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress
oksidatif dan peningkatan produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas.
Sehingga menjadi bebas reaksi inflamasi dalam darah ibu sampai
menimbulkan gejala-gejala preeklampsia padai ibu.
Patofisiologi
• Dalam perjalanannya beberapa faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang saling
berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia plasenta.
• Pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesianya. Tahap
pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah
dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding
arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga
arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran
darah dalam ruangan intervilus diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta.
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti
sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan
akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal
bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada tahap
berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya
kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang
dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ
penderita preeklampsia.
• Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai
vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor
seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi
yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan
mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan
thrombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti:
• Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal. 
• Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema menyeluruh.
• Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
• Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
• Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan
retina, dan pendarahan.
• Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin, dan
solusio plasenta.
Tanda dan Gejala Klinis
• Tekanan darah sistolik ≥160 mm/Hg dan/ atau tekanan diastolik ≥110
mm/Hg
• Sakit kepalaberat dan persisten
• Gangguan penglihatan, seperti pandangan kabur atau sensitif
terhadap cahaya
• Nyeri epigastrik dan region abdomen kanan atas
• Sesak napas
• Pusing, lemas, dan tidak enak badan
• Frekuensi buang air kecil dan volume urine menurun
• Mual dan muntah
• Hiperrefleksia
• Edema pada tungkai, tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lain
Penegakkan Diagnosis Preeclampsia with
severe features
Kriteria diagnosis “Preeclampsia with severe features” adalah:
• Tekanan darah sistolik ≥160 mm/Hg, atau tekanan darah diastolik
≥110 mm/Hg pada 2 kali pengukuran minimal berjarak 4 jam
• Trombositopenia: trombosit < 100.000µL
• Gangguan ginjal: keratin serum >1,1 mg/dL atau peningkatan 2 kali
tanpa disertai kelainan ginjal lainnya.
• Gangguan fungsi hati (peningkatan kadar enzim liver transaminase
didalam darah sebesar dua kali dari konsentrasi normal)
• Edema paru
• Nyeri kepala dengan onset baru yang tidak merespon pengobatan
dan tidak disebabkan oleh diagnosis lainnya.
• Gangguan penglihatan (visual disturbances).

Sutton ALM, Harper LM, Tita ATN. Hypertensive Disorders in Pregnancy. Obstet
Pencegahan
• ANC
• Suplementasi kalsium
• Vitamin D
• Antioksidan
• Agen trombolitik
Tatalaksana
A. Manajemen Ekspektatif
Tujuan : memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta
memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Perawatan Ekspektatif pada Preeklampsia Berat Rekomendasi:
1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan
usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin yang stabil
2. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedianya
perawatan intensif bagi maternal dan neonatal
3. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat, pemberian
kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin
4. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap
selama melakukan perawatan ekspektatif
b. Pemberian Magnesium sulfat untuk mencegah Kejang  
Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:
• Dosis Inisial
– 4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan
MgSO4 dalam 10ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15 menit
– Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara melarutkan
15ml larutan MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam 6 jam
– Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO 440% dibuat dengan
cara mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml aquades, diberikan bolus
(IV) selama 5 menit.
• Dosis Rumatan
– Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus Ringer Laktat
(RL)/Ringer Asetat (RA) yang diberikan sampai 24 jam pascapersalinan
• Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus terpenuhi,
yaitu:
– Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika terjadi tanda-tanda
intoksikasi (refleks patella menghilang, distres pernapasan), segera berikan 1g Ca
Gluconas 10% yang dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas
dalam 10 ml aquades, diberikan secara IV dalam 3-5 menit
– Refleks pattela pasien normal
– Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda distres pernapasan.
– Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)
– Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-tanda intoksikasi
atau setelah 24 jam pascapersalinan/24 jam setelah kejang terakhir. Selain sebagai
terapi untuk menghentikan kejang, magnesium sulfat juga diberikan kepada pasien
dengan tanda-tanda preeklampsia berat sebagai profilaksis kejang. Dosis yang
digunakan serupa dengan dosis terapi pada preeklampsia dengan kejang (eklampsia).
c. Antihipertensi
Pada ibu hamil dengan hipertensi berat(>160/110mmHg), obat penurun tekanan
darah diberikan dengan target menurunkan tekanan darah <160/10mmHg. Pada
hipertensi berat, obat pilihan utama yaitu kapsul nifedipine short acting,
hydralazine intravena atau parenteral labetolol. Alternative lain adalah nitrogliserin,
metildopa, labetalol. Nifedipine dapat diberikan dengan dosis awal 3 x 10 mg per
oral, dengan dosis maksimmal 120 mg/hari. Nifedipine tidak boleh diberikan secara
sublingual.
d. Pemberian Kortikosteroid untuk Maturasi Paru Janin
Kortikosteroid harus diberikan pada ibu preeclampsia dengan usia kehamilan < 34
minggu. Pemberian steroid pada wanita yang terancam persalinan premature
sangat signifikan menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatal. ACOG
menyatakan bahwa pilihan steroid untuk maturasi paru janin, yaitu :
– Dexamethasone 4 x 6 mg (IM) tiap 2 jam atau dalam 2 hari pemberian
– Betamethasone 2 x 12 mg (IM) tiap 24 jam atau dalam 2 hari pemberian
Komplikasi
• Preeklampsia berat dapat menyebabkan
komplikasi baik pada ibu maupun bayi.
Komplikasi preeclampsia berat pada ibu termasuk
eklamsia, kerusakan organ seperti edema paru,
gagal ginjal, gagal hati, penyakit jantung,
koagulopati, solusio plasenta, sindrom HELLP.
Komplikasi pada janin dapat berupa pertumbuhan
janin terhambat, lahir premature, BBLR, Neonatal
respiratory distress syndrome (NRDS).
prognosis
• Prognosis preeclampsia dibedakan menjadi prognosis pada ibu dan
bayi.
• Prognosis pada ibu sangat tergantung pada waktu ditemukan kondisi
preeclampsia pada ibu hamil, kondisi klinis ibu, hasil laboratorium,
komplikasi yang terjadi dan ketepatan pelaksanaan yang diberikan.
Apabila preeclampsia ditemukan lebih dini dan mendapatkan
penatalaksanaan yang optimal, maka prognosis cenderung baik. Bila
ditemukan lebih lambat dengan kondisi ibu yang buruk, hasil
laboratorium buruk, dan terdapat komplikasi maka prognosis nya
cenderung buruk.
• Prognosis preeclampsia pada bayi cenderung buruk. Adapun risiko
komplikasi pada bayi, yaitu pertumbuhan janin terhambbat, kelahiran
premature, bahkan intrauterine fetal death (IUFD).
Kesimpulan
• Preeklampsia merupakan suatu kondisi hipertensi yang baru terjadi
pada kehamilan diatas usia kehamilan 20 minggu yang dapat disertai
dengan proteinuria atau disertai salah satu dari gejala-gejala seperti:
trombositopenia, gangguan ginjal, gangguan hati, edema paru,
ditemukan gejala neurologis, dan gangguan pertumbuhan janin.
• Pengetahuan mengenai preeclampsia menjadi sangat penting agar
dapat melakukan penanganan yang sesuai dan rujukan yang tepat
dalam penanganan preeclampsia. Melalui perawatan antenatal yang
teratur dan penggunaan pendekatan kedokteran pencegahan, yaitu
dengan mengenal faktor risiko, mengenal tanda-tanda dini
preeclampsia, serta mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi
preeklampsia. Juga diharapkan dapat menurunkan kejadian dan
kematian akibat preeklampsia.

Anda mungkin juga menyukai