Anda di halaman 1dari 18

SCHOOL PHOBIA

Menurut Kearney (2001), ada berbagai istilah yang


berhubungan yaitu school refusal, school phobia, dan
school avoidance.

Perilaku school refusal didefinisikan sebagai


ketidakhadiran di sekolah, terdapat hambatan untuk
berangkat ke sekolah atau hambatan untuk berada di
sekolah (Kearney & Silverman, 1993).

PHOBIA Perilaku school refusal tersebut bertujuan untuk


menghindari efek negatif dari suatu stimulus, melarikan
diri dari situasi evaluatif, mendapatkan perhatian dari figur
lekat, atau mendapatkan suatu keuntungan yang dapat
langsung dirasakan (Keeley & Wiens, 2007)

Csóti (2003) school phobia merupakan istilah umum yang


digunakan pada anak-anak yang tidak ingin bersekolah
karena memiliki kecemasan dan kecemasan tersebut
membuat mereka tidak ingin meninggalkan rumah.
Csóti (2003) dalam bukunya berjudul School 1. Usia 5-7 tahun dan terkait dengan
Phobia, Panic Attacks, and Anxiety Disorder separation anxiety
menyebutkan bahwa ada tiga kelompok umur
yang memiliki puncak school phobia 2. Usia 11-12 tahun karena kecemasan
terkait dengan perubahan dari
sekolah dasar ke sekolah menengah
dan juga social phobia.

3. Usia 14-16 tahun terkait dengan


social phobia dan gangguan
kejiwaan lainnya seperti depresi atau
fobia lainnya.
School refusal stages, mild to strong :

• Initial scholl refusal behavior


Sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu
singkat (seketika/tiba-tiba) dan akan hilang dengan
sendirinya.
• Substansial scholl refusal behavior
Sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2
minggu
• Acute scholl refusal behavior
Sikap penolakan yang berlangsung selama 2 minggu sampai
1 tahun dan selama ini anak mengalami masalah setiap kali
akan berangkat sekolah
• Chronic school refusal behavior
Sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun,
bahkan selama anak tersebut ditempat itu.
Gejala Fisik
•Pusing
•Mual dan muntah
•Pingsan
•Buang air kecil
•Detak jantung yang cepat
•Berkeringat
•Gemetar
• Hiperventilasi (nafas berlebihan yang tidak teratur)
• Susah tidur
• Diare
• Tantrum
Gejala Psikis
• Takut

• Sedih

• Marah

• Khawatir / Panik

• Hiperbola
Faktor etiologi
interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis,
peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus
yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku
menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan
(Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001).
Kerentanan Genetik
Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan
rata-rata social phobia pada individu yang memiliki
kerabat pasien social phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich
dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan Herbert,
2001).
Temperamen Behavioral Inhibition
Tipe temperamen dengan karakteristik pemalu, cenderung menahan
diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya
social phobia di kemudian hari (Stemberger dkk, Turner dkk dalam
Kashdan dan Heirbert, 2001).
Usia munculnya social phobia rata-rata 15 tahun, namun karakteristik
pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan (Kagan dalam Kashdan dan
Heirbert, 2001).
Kagan menggunakan istilah behavioral inhibition (BI) untuk
menggambarkan kecenderungan bada bayi dan anak-anak untuk
menarik diri dari situasi, orang maupun objek yang baru
baginya.Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti
2.242 mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan
bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya
beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya
untuk mengalami social phobia.
Pengalaman dari lingkungan

Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-

simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga yang maladaptif,

tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam

Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi

bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert,

2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman

dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

Orang tua berpengaruh terhadap resiko berkembangnya simptom-simptom social

phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkan kecenderungan

negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, tidak

memiliki kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampau melindungi dan

posesif. Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinan negatif mengenai

ancaman yang ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkan penilaian dari orang lain

kepada anak (Chorpita dkk; Ginsburg dkk; dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remaja seperti

presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh teman sebaya juga

dapat memicu simptom-simptom social phobia (Albano & Barlow dalam Kashdan dan

Heirbert, 2001).
Saat dihadapkan pada situasi sosial yang
ditakuti, kecemasan akan muncul dalam bentuk
serangan panik. Pada anak-anak atau remaja kecemasan
muncul dalam bentuk perilaku seperti menangis,
tantrum, diam membisu, atau bersembunyi dari situasi
Mengalami ketakutan yang menetap dan berlangsung sosial yang terdiri dari orang-orang yang belum
terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau dikenalnya. Secara umum, terdapat dua situasi yang
situasi saat harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal ditakuti oleh individu dengan social phobia (Liebowitz,
dengan baik atau situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. dalam Heimberg dkk, 1995) yaitu:
Individu merasa takut dirinya akan melakukan sesuatu yang (a) Situasi interaksi sosial; dalam situasi interaksi
memalukan atau menunjukkan gejala-gejala kecemasannya di sosial adalah pesta, bertemu dengan orang asing,
hadapan orang lain. percakapan sehari-hari, berbicara dengan figur
otoritas, mempertahankan kontak mata, bersikap
asertif.
(b) Situasi performance Berbicara di hadapan
sekelompok orang, makan atau minum di depan
orang lain, menggunakan toilet umum, tampil di
depan orang lain.
Perilaku menghindar, antisipasi kecemasan atau
Individu menghindar dari situasi sosial yang ditakuti kesulitan yang dialami dalam situasi sosial yang
atau apabila tetap berada pada situasi tersebut, ia akan ditakuti menimbulkan gangguan secara signifikan
mengalami kecemasan yang hebat. dalam rutinitas normal individu, fungsi pekerjaan atau
akademis, hubungan sosial atau individu terlihat
tertekan dengan fobia yang dialaminya.
Penanganan pada anak‐anak yang mengalami school refusal harus bertujuan untuk mengembalikan
mereka ke sekolah seawal mungkin (Fremont, 2003).

Penanganan yang efektif sebaiknya segera dilakukan untuk mencegah permasalahan-permasalahan


yang akan timbul di kemudian hari, sehingga school phobia harus ditangani sedini mungkin
(Hogan, 1996).

Dalam Fremont (2003) disebutkan bahwa pilihan tritmen antara lain meliputi edukasi dan
konsultasi, pendekatan perilaku, interfensi yang melibatkan keluarga, dan mungkin juga dengan
cara farmakoterapi. Terapi dengan pendekatan educational‐support menunjukkan hasil yang efektif
sebagai terapi perilaku untuk manajemen school refusal. Terapi yang melibatkan sesi secara
individu memasukkan latihan relaksasi (untuk membantu anak ketika dia mendekati lingkungan
sekolah atau ditanyai teman sebayanya), terapi kognitif (untukmengurangi kecemasan yang
memunculkan berbagai pemikiran dan menyiapkan pernyataan coping), training social skills (untuk
mengembangkan kompetensi sosial dan interaksi dengan teman sebaya), dan desensitisasi
(misalnya emotive imagery, sentisisasi yang sistematis).
Contoh Kasus

Siswa “Gugun”

Gugun merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya perem‐ puan, mahasiswa. Ayah Gugun

mening‐ gal karena sakit saat Gugun masih di TK sehingga ibu Gugun yang bekerja sebagai dosen di sebuah

PTS menjadi orangtua tunggal bagi Gugun dan kakaknya. Hubungan Gugun dengan ibunya sangat dekat, dan

hanya ibunya‐ lah satu‐satunya orang yang dekat dengan Gugun. Sehari‐hari Gugun mela‐ kukan aktivitas

apapun dengan ibunya. Hingga saat ini Gugun masih tidur satu kamar dengan ibu dan kakaknya. Gugun tidak

terlalu dekat dengan kakaknya, sebab sejak kuliah kakaknya lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Ibu dan

kakak Gugun pernah mengalami gangguan kecemasan. Gugun mengalami kecemasan dengan sekolah sejak

kelas I SMP. Penyebab awalnya adalah pengalaman traumatik Gugun dengan pelajaran Olahraga yaitu

dimarahi oleh guru karena tidak bisa mengikuti baris‐ berbaris dengan benar. Pada waktu itu ia masih siswa

baru. Pengalaman itu tampaknya sangat membekas dan mem‐ buatnya tidak nyaman dengan sekolah,

terutama dengan pelajaran Olahraga. Ketika naik ke kelas II, Gugun meng‐ alami kecelakaan terjatuh ketika

berangkat ke sekolah naik sepeda sehingga tangannya retak dan harus digips. Sejak saat itu Gugun menjadi

sering bolos sekolah. Wali kelas menyebutkan bahwa selama satu semester terakhir, Gugun sudah membolos

70 kali dari 114 hari sekolah. Saat ujian akhir pun Gugun tidak datang sehingga harus mengikuti ujian susulan.

Saat ini Gugun terancam tidak naik kelas atau dikeluarkan dari sekolah. 
Alasan Gugun tidak sekolah adalah karena sakit, yaitu sakit perut (mual, ingin muntah, dan diare), dada

berdebar‐debar, dan pusing kepala. Pada pagi hari menjelang berangkat sekolah biasanya Gugun mengeluh

sakit perut dan ia akan berulangkali ke kamar mandi untuk buang air besar. Pada awalnya keluhan itu masih

bisa diatasi dan Gugun bisa berangkat meskipun kemudian sering menelpon ibunya minta dijemput pada jam

istirahat pertama (sekitar jam 9); namun akhir‐ akhir ini keluhan tersebut semakin menjadi‐jadi hingga Gugun

tidak berangkat ke sekolah.   Ibu telah mengupayakan berbagai alternatif, antara lain berkomunikasi secara

intensif dengan pihak sekolah, berobat ke dokter umum maupun ke psikiater, serta berobat secara spiritual

ke Kyai. Namun demikian hingga saat dibawa ke Unit Konsultasi Psikologi (UGM), Gugun belum menun‐

jukkan tanda‐tanda membaik.   Gambaran kepribadian Gugun sebagaimana dilihat dari hasil asesmen adalah:

tertutup, tergantung, kekanak‐ kanakan, pasif, pencemas, kurang percaya diri, memendam agresi, keras

kepala, merasa dirinya lemah (powerless) dan kurang menarik, mudah menyerah dan cenderung mencari

jalan pintas, mudah sedih. Guru memberi informasi bahwa ibu Gugun kurang tegas dalam mendidik Gugun.
(a) Pola asuh dalam keluarga yang overprotective,
keterdekatan Gugun dan ibu yang tidak proporsional;

(b) Keterampilan sosial yang kurang;

(c) Tidak adanya laki‐ laki sebagai model yang meneladankan


sikap maupun aktivitas laki‐laki karena tidak adanya sosok
ayah di keluarga;

(d) kontribusi faktor herediter di mana ada riwayat gangguan


kecemasan dalam keluarga.
• Gejala Gugun menunjukkan gejala fisiologis yang sangat jelas yaitu sakit perut, diare, mual, muntah, dada berdebar ‐ debar, pusing dan seluruh
badan terasa tidak enak. Gejala fisiologis ini dirasakan terutama pada pagi hari saat bangun tidur hingga saat berangkat ke sekolah. Pada malam
hari pusing dan dada berdebar sudah terasa, sehingga ia sering tidak bisa tidur atau bisa tidur tetapi kemudian terbangun tengah malam dan tidak
bisa tidur lagi. Pagi hari di samping mengalami gejala ‐gejala fisiologis seperti di atas Gugun biasanya juga mudah marah dan tersinggung,
sehingga konfrontasi dengan ibu sering tak terhindarkan.
• Penyebab pada Gugun, mogok sekolah tampaknya merupakan manifestasi dari separation anxiety disorder, yaitu gangguan kecemasan
berpisah dari figur lekat.
• Cara mendidik anak di keluarga gugun tampak sangat overprotective. Ada riwayat gangguan kejiwaan ringan dalam keluarga.
Kepribadian Gugun tampaknya sesuai dengan yang diutarakan Wenar (1994) bahwa ibu yang sangat memanjakan dan ketiadaan peran ayah
dalam keluarga akan menghasilkan anak dengan kepribadian yang keras kepala, banyak kemauan dan jika punya keinginan harus dipenuhi,
namun canggung dalam bergaul di luar rumah. Di samping itu, Gugun yang sangat dekat dengan ibunya dan tidak “disapih” sesuai dengan
perkembangan umurnya menjadikannya mengalami separation anxiety disorder di mana ia hanya merasa aman apabila bersama ibunya.

Anda mungkin juga menyukai