School Phobia
School Phobia
• Sedih
• Marah
• Khawatir / Panik
• Hiperbola
Faktor etiologi
interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis,
peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus
yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku
menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan
(Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001).
Kerentanan Genetik
Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan
rata-rata social phobia pada individu yang memiliki
kerabat pasien social phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich
dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan Herbert,
2001).
Temperamen Behavioral Inhibition
Tipe temperamen dengan karakteristik pemalu, cenderung menahan
diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya
social phobia di kemudian hari (Stemberger dkk, Turner dkk dalam
Kashdan dan Heirbert, 2001).
Usia munculnya social phobia rata-rata 15 tahun, namun karakteristik
pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan (Kagan dalam Kashdan dan
Heirbert, 2001).
Kagan menggunakan istilah behavioral inhibition (BI) untuk
menggambarkan kecenderungan bada bayi dan anak-anak untuk
menarik diri dari situasi, orang maupun objek yang baru
baginya.Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti
2.242 mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan
bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya
beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya
untuk mengalami social phobia.
Pengalaman dari lingkungan
tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam
Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi
bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert,
2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman
phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkan kecenderungan
negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, tidak
memiliki kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampau melindungi dan
posesif. Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinan negatif mengenai
ancaman yang ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkan penilaian dari orang lain
kepada anak (Chorpita dkk; Ginsburg dkk; dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remaja seperti
presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh teman sebaya juga
dapat memicu simptom-simptom social phobia (Albano & Barlow dalam Kashdan dan
Heirbert, 2001).
Saat dihadapkan pada situasi sosial yang
ditakuti, kecemasan akan muncul dalam bentuk
serangan panik. Pada anak-anak atau remaja kecemasan
muncul dalam bentuk perilaku seperti menangis,
tantrum, diam membisu, atau bersembunyi dari situasi
Mengalami ketakutan yang menetap dan berlangsung sosial yang terdiri dari orang-orang yang belum
terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau dikenalnya. Secara umum, terdapat dua situasi yang
situasi saat harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal ditakuti oleh individu dengan social phobia (Liebowitz,
dengan baik atau situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. dalam Heimberg dkk, 1995) yaitu:
Individu merasa takut dirinya akan melakukan sesuatu yang (a) Situasi interaksi sosial; dalam situasi interaksi
memalukan atau menunjukkan gejala-gejala kecemasannya di sosial adalah pesta, bertemu dengan orang asing,
hadapan orang lain. percakapan sehari-hari, berbicara dengan figur
otoritas, mempertahankan kontak mata, bersikap
asertif.
(b) Situasi performance Berbicara di hadapan
sekelompok orang, makan atau minum di depan
orang lain, menggunakan toilet umum, tampil di
depan orang lain.
Perilaku menghindar, antisipasi kecemasan atau
Individu menghindar dari situasi sosial yang ditakuti kesulitan yang dialami dalam situasi sosial yang
atau apabila tetap berada pada situasi tersebut, ia akan ditakuti menimbulkan gangguan secara signifikan
mengalami kecemasan yang hebat. dalam rutinitas normal individu, fungsi pekerjaan atau
akademis, hubungan sosial atau individu terlihat
tertekan dengan fobia yang dialaminya.
Penanganan pada anak‐anak yang mengalami school refusal harus bertujuan untuk mengembalikan
mereka ke sekolah seawal mungkin (Fremont, 2003).
Dalam Fremont (2003) disebutkan bahwa pilihan tritmen antara lain meliputi edukasi dan
konsultasi, pendekatan perilaku, interfensi yang melibatkan keluarga, dan mungkin juga dengan
cara farmakoterapi. Terapi dengan pendekatan educational‐support menunjukkan hasil yang efektif
sebagai terapi perilaku untuk manajemen school refusal. Terapi yang melibatkan sesi secara
individu memasukkan latihan relaksasi (untuk membantu anak ketika dia mendekati lingkungan
sekolah atau ditanyai teman sebayanya), terapi kognitif (untukmengurangi kecemasan yang
memunculkan berbagai pemikiran dan menyiapkan pernyataan coping), training social skills (untuk
mengembangkan kompetensi sosial dan interaksi dengan teman sebaya), dan desensitisasi
(misalnya emotive imagery, sentisisasi yang sistematis).
Contoh Kasus
Siswa “Gugun”
Gugun merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya perem‐ puan, mahasiswa. Ayah Gugun
mening‐ gal karena sakit saat Gugun masih di TK sehingga ibu Gugun yang bekerja sebagai dosen di sebuah
PTS menjadi orangtua tunggal bagi Gugun dan kakaknya. Hubungan Gugun dengan ibunya sangat dekat, dan
hanya ibunya‐ lah satu‐satunya orang yang dekat dengan Gugun. Sehari‐hari Gugun mela‐ kukan aktivitas
apapun dengan ibunya. Hingga saat ini Gugun masih tidur satu kamar dengan ibu dan kakaknya. Gugun tidak
terlalu dekat dengan kakaknya, sebab sejak kuliah kakaknya lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Ibu dan
kakak Gugun pernah mengalami gangguan kecemasan. Gugun mengalami kecemasan dengan sekolah sejak
kelas I SMP. Penyebab awalnya adalah pengalaman traumatik Gugun dengan pelajaran Olahraga yaitu
dimarahi oleh guru karena tidak bisa mengikuti baris‐ berbaris dengan benar. Pada waktu itu ia masih siswa
baru. Pengalaman itu tampaknya sangat membekas dan mem‐ buatnya tidak nyaman dengan sekolah,
terutama dengan pelajaran Olahraga. Ketika naik ke kelas II, Gugun meng‐ alami kecelakaan terjatuh ketika
berangkat ke sekolah naik sepeda sehingga tangannya retak dan harus digips. Sejak saat itu Gugun menjadi
sering bolos sekolah. Wali kelas menyebutkan bahwa selama satu semester terakhir, Gugun sudah membolos
70 kali dari 114 hari sekolah. Saat ujian akhir pun Gugun tidak datang sehingga harus mengikuti ujian susulan.
Saat ini Gugun terancam tidak naik kelas atau dikeluarkan dari sekolah.
Alasan Gugun tidak sekolah adalah karena sakit, yaitu sakit perut (mual, ingin muntah, dan diare), dada
berdebar‐debar, dan pusing kepala. Pada pagi hari menjelang berangkat sekolah biasanya Gugun mengeluh
sakit perut dan ia akan berulangkali ke kamar mandi untuk buang air besar. Pada awalnya keluhan itu masih
bisa diatasi dan Gugun bisa berangkat meskipun kemudian sering menelpon ibunya minta dijemput pada jam
istirahat pertama (sekitar jam 9); namun akhir‐ akhir ini keluhan tersebut semakin menjadi‐jadi hingga Gugun
tidak berangkat ke sekolah. Ibu telah mengupayakan berbagai alternatif, antara lain berkomunikasi secara
intensif dengan pihak sekolah, berobat ke dokter umum maupun ke psikiater, serta berobat secara spiritual
ke Kyai. Namun demikian hingga saat dibawa ke Unit Konsultasi Psikologi (UGM), Gugun belum menun‐
jukkan tanda‐tanda membaik. Gambaran kepribadian Gugun sebagaimana dilihat dari hasil asesmen adalah:
tertutup, tergantung, kekanak‐ kanakan, pasif, pencemas, kurang percaya diri, memendam agresi, keras
kepala, merasa dirinya lemah (powerless) dan kurang menarik, mudah menyerah dan cenderung mencari
jalan pintas, mudah sedih. Guru memberi informasi bahwa ibu Gugun kurang tegas dalam mendidik Gugun.
(a) Pola asuh dalam keluarga yang overprotective,
keterdekatan Gugun dan ibu yang tidak proporsional;