Tinjauan umum Rosulullah SAW menjelaskan bahwa mencari yang halal itu merupakan suatu kewajiban setiap muslim, kita wajib dan harus selektif dalam memilih makanan dan minuman termasuk obat-obatan dan kosmetika serta produk farmasi lainnya yang kita konsumsi, harus dipilih yang halal lagi baik. Jika suatu produk farmasi telah memiliki nomer registrasi seperti dari badan POM berarti produk tersebut telah dianggap aman (thoyyib) akan tetapi belum tentu halal dan tidak ada lembaga yang berwenang yang menjamin kehalalannya, begitu pula sebaliknya. Kita harus meningkatkan pengetahuan kita sehingga bisa memilih mana produk yang diragukan kehalalannya dan mana yang tidak. Dengan adanya label dan sertifikat halal pada produkkefarmasian kita akan lebih mudah untuk memilih produk farmasi yang akan kita gunakan seperti beberapa produk kosmetika yang sekarang telah ada yang memilki sertifikasi halal. “Menuntut yang halal itu wajib atas setiap muslim” (H.R. Ibnu Mas’ud) “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat yang oantas baginya” (H.R. At- Thurmudzi) Syarat kehalalan produk Sertifikasi Halal yang dikeluarkan LPPOM MUI menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syariat Islam. Yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi kehalalan sesuai syari’at Islam, yaitu; Tidak mengandung babi atau produk- produk turunannya serta tidak menggunakan alkohol sebgai bahan dengan sengaja. Daging dari hewan halal yang disembelih menurut syariat Islam. Minuman yang tidak beralkohol. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan dan pengelolaan tidak digunakan untuk babi atau barang haram lainnya. Semuanya harus lebih dahulu dibersihkan (disucikan) dengan tata cara menurut syari’at Islam. Tantangan analisis produk farmasi halal Seorang pakar analisis sekalipun tidak dapat langsung menentukan keberadaan unsur alkohol atau babi dalam gelatin yang digunakannya secara visual. Penelitian laboratorium pun tidak selalu bisa mendeteksi keberadaan unsur alkohol atau babi pada produk akhir. Metode penentuan spesifik untuk lemak babi menurut sidang pleno LPPOM MUI adalah dengan menggunakan analisis protein. SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis) adalah teknik analisis pemisahan fraksi protein menggunakan perbedaan sifat migrasi protein bila dilairi medan listrik tertentu dengan menggunkan poliakrilamid sebagai penyangga. Metode ini dapat dengan akurat mengidentifikasi lemak babi, karena ternyata dalam lemak babi terdapat protein spesifik Desmin dan Tropomiosin 1 yang tidak ada dalam lemak sapi. Metode SDS PAGE masih mahal harganya, dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menciptakan metode yang lebih akurat, cepat dan ekonomis. Apa itu sertifikasi halal ??? Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Di dalamnya tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika. Tujuan pelaksanaan sertifikat halal pada produk pangan termasuk produk farmasi seperti obat-obatan dan kosmetik adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga dapat mententramkan batin yang mengkonsumsinya. Sertifikat halal MUI diberikan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI sebagai lembaga otonom bentukan MUI yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baiki pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari segi kesehatan dan dari sisi agama Islam yakni halal atau baik dikonsumsi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu juga memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat. Guna sertifikat halal Sertifikasi halal dapat digunakan untuk pembuatan label bagi produk yang bersangkutan dengan mengikuti prosedur Departemen Kesehatan. Selain itu pemegang sertifikasi halal LPPOM MUI bertanggung jawab memelihara kehalalan produk yang diproduksinya, dan sertifikat tidak dapat dipindahtangankan. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada sertifikasi halal yang telah diberikan adalah; Sertifikat halal yang sudah berakhir masa berlakunya termasuk fotokopinya tidak boleh digunakan kembali atau dipasang untuk maksud-maksud tertentu. Jika sertifikat hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LPPOM-MUI. Sertifikat halal yang dikeluarkan LPPOM-MUI adalah milik LPPOM MUI. Jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh LPPOM MUI, pemegang sertifikat wajib menyerahkannya. Label halal Label halal yang sah secara hukum adalah label halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI, bukan label halal yang dikeluarkan sendiri oleh produsen. Prosedur sertifikasi halal Pada tahap awal produsen mengisi formulir yang disediakan LPPOM MUI. Formulir pengajuan dibedakan tiga macam produk: makanan dan minuman olahan, usaha restoran dan hewan potong. Surat pengajuan sertifikasi harus dilampiri sistem mutu, termasuk panduan mutu dan prosedur baku pelaksanaan. Kemudian setelah produsen menandatangani pernyataan kesediaan menerima tim pemeriksa (audit) dari LPPOM MUI dan memberikan contoh produk termasuk bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan produk untuk diperiksa. Pada tahap ini pengusaha wajib memperlihatkan semua dokumen asli yang dapat dijadikan jaminan atas kehalalan produk yang diajukan, dan memberikan fotokopinya kepada LPPOM MUI. Kemudian surat pengajuan sertifikasi halal dan formulir yang sudah diisi lengkap beserta seluruh lampirannya dikembalikan ke LPPOM MUI. Kelengkapan dokumen akan diperiksa oleh LPPOM MUI. Jika tidak lengkap, LPPOM MUI akan mengembalikan seluruh dokumen untuk dilengkapi produsen. Setelah persyaratan dokumen lengkap, dilakukan audit ke lokasi produsen oleh LPPOM MUI. Berikutnya hasil dievaluasi dan memenuhi syarat halal, akan diproses sertifikasi halalnya. Hal yang harus diperhatikan adalah jika ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan penolong, atau bahan tambahan dalam proses produksinya, produsen wajib segera melapor ke LPPOM MUI untuk mendapatkan persetujuan atau pernyataan ‘ketidakberatan menggunakannya’. Sertifikat halal berlaku selama setahun, kecuali untuk daging impor sertifikasi halal hanya berlaku selama pengapalan. Dua bulan sebelum berakhir masa kadaluarsa setifikat, LPPOM MUI akan mengirim surat pembertahuan kepada produsen. Satu bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus mendaftar kembali untuk mendapatkan sertifikat tahun berikutnya. Bagi produsen yang tidak memperbarui sertifikat halal, untuk tahun berikutnya tidak diizinkan lagi menggunakan label halal dan akan diumumkan di berita berkala LPPOM MUI. Pada saat berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus segera mengembalikan sertifikat halal kepada LPPOM MUI. Copy right : Hendri.apt@gmail.com Audit dan Pemberian Sertifikasi Halal Audit dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan oleh tim LPPOM MUI yang dilengkapi dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan (audit) ke perusahaan produsen pengaju sertifikat halal. Selama pemeriksaan (audit) berlangsung, produsen diminta bantuannya memberikan informasi yang jujur dan jelas. Tim audit akan mengambil contoh secara acak untuk kemudian diuji di laboratorium. Hasil audit ditunggu sampai pengujian di laboratorium selesai dan jika diperlukan, audit dapat dilakukan sewaktu-waktu secara tiba-tiba jika diperlukan. Selanjutnya hasil audit di lokasi produsen serta hasil analisis laboartorium diserahkan kepada MUI untuk mendapatkan fatwa halal. Kemudian sertifikat halal dikeluarkan LPPOM MUI. Pengambilan sertifikat halal dapat dilakukan oleh produsen di LPPOM MUI setelah melunasi seluruh biaya sertifikasi. Regulasi produk farmasi halal di Indonesia Menurut UU no 7/ 1996 tentang Pangan, dalam Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30 ayat 1 : “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan” Dalam Kepmenkes RI No. 924/ Menkes/ SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Kepmenkes RI No. 82/ Menkes/ SK/ I/ 1996 tentang pencantuman tulisan “Halal” diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Fatwa MUI. UU tersebut menjadi landasan LPPOM MUI untuk ‘memaksa’ produsen mensertifikasi halal produknya melalui pengawasan Tim Auditor Internal LPPOM MUI. Tetapi penjelasan lanjutan dari UU di atas mengandung keanehan yang mementahkan konsep ‘pemaksaan’ dalam UU pasal 30 ayat 2 (e). Penjelasan itu berbunyi; “ …Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat islam…” Karena dalam penjelasan di atas pelabelan halal hukumnya tidak wajib, maka sertifikasi halal pun menjadi tidak wajib pula. Regulasi produk farmasi halal di Indonesia … (2) Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan tegas yang mengatur kehalalan obat dan kosmetik. Pada tahun 1996 Depkes, Depag, dan MUI membuat kesepakatan tentang labelisasi halal. Agrement Tripartit (kesepakatan tiga pihak) menyatakan bahwa permintaan Sertifikasi dan Label Halal dilakukan melalui satu pintu pemeriksaan yang dilakukan tim gabungan dari unsur-unsur ketiga pihak. Hasil pemeriksaan kemudian disidangkan oleh tim Pakar MUI untuk selanjutnya dibahas dalam Komisi Fatwa MUI. Berdasarkan Fatwa MUI yang dituangkan dalam Sertifikasi Halal, Depkes memberikan izin pencantuman label halal atas produk yang bersangkutan. Regulasi halal di belahan dunia Regulasi halal telah menjadi isu yang dikaji umat muslim di belahan dunia. Setiap negara memiliki regulasi dan pola pengawasan produk halal yang berbeda-beda. Nota kesepahaman antar lembaga umat Islam tingkat Internasional menjadi penting dalam mencanangkan regulasi halal yang bersifat global. Karena setiap negara memiliki parameter yang berbeda-beda dalam penentuan kehalalan dan lembaga yang memiliki legalitasnya. Kendala sertifikasi halal Industri farmasi besar dan menengah belum melakukan sertifikasi halal karena kurang adanya desakan dari konsumen akan pentingnya jaminan produk halal karena sertifikasi halal itu belum wajib untuk di berlakukan dan akan dilakukan sertifikasi halal bila ada permintaan dari produsen tersebut. Untuk industri kecil diakibatkan oleh ketidak tahuan mereka disamping masalah biaya dan kesulitan berkomunikasi dengan LPPOM MUI Daerah maupun Pusat. Selain faktor rendahnya kesadaran praktisi kesehatan terhadap obat dan kosmetika halal, tantangan terbesar dalam mencanangkan regulasi halal obat dan kosmetika di Indonesia adalah minimnya bahan baku lokal untuk obat dan kosmetik. Ketergantungan industri farmasi di Indonesia pada bahan baku impor, mempersulit pengawasan yang dilakukan oleh LPPOM MUI. Penutup Saat ini banyak beredar produk farmasi di masyarakat yang belum mencantumkan label halal serta belum memproses sertifikat halal untuk produk yang diproduksinya. Untuk dapat mewujudkannya, dibutuhkan tenaga farmasis muslim yang benar–benar mengerti dibidangnya dan memiliki sikap sesuai profesi yang disandangnya. Penjaminan hak konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, farmasis dan masyarakat pada umumnya. HATUR NUHUN ….
“Menuntut yang halal itu wajib atas setiap muslim”
(H.R. Ibnu Mas’ud)
“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram,
maka nerakalah tempat yang pantas baginya” (H.R. At-Thurmudzi) Studi kasus Jika kita kaji, amatlah banyak titik kritis kehalalan obat dan kosmetika. Hal ini belum menjadi perhatian banyak pihak karena seringkali para praktisi di dunia kesehatan baik dokter,apoteker maupun konsumen sendiri berlindung pada status darurat. Selaian itu juga berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sertifikasi halal yang banyak terjadi di lapangan.
Usaha apakah yang dapat dilakukan oleh pemerintah,
farmasis, mahasiswa, lembaga akademisi, dokter dan masyarakat pada umumnya untuk memberikan solusi atas permasalahan ini ?