0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
8 tayangan12 halaman
BP-2 membahas status tanah di Indonesia, termasuk tanah negara, tanah hak, dan persepsi mengenai tanah negara. Terdapat beberapa jenis status tanah seperti tanah negara bekas HGU yang masih dapat dialihkan penguasaannya meskipun masa berlakunya telah berakhir. Pasal 33 UUD 1945 memberikan dasar bagi kewenangan negara atas tanah sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UUPA.
BP-2 membahas status tanah di Indonesia, termasuk tanah negara, tanah hak, dan persepsi mengenai tanah negara. Terdapat beberapa jenis status tanah seperti tanah negara bekas HGU yang masih dapat dialihkan penguasaannya meskipun masa berlakunya telah berakhir. Pasal 33 UUD 1945 memberikan dasar bagi kewenangan negara atas tanah sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UUPA.
BP-2 membahas status tanah di Indonesia, termasuk tanah negara, tanah hak, dan persepsi mengenai tanah negara. Terdapat beberapa jenis status tanah seperti tanah negara bekas HGU yang masih dapat dialihkan penguasaannya meskipun masa berlakunya telah berakhir. Pasal 33 UUD 1945 memberikan dasar bagi kewenangan negara atas tanah sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UUPA.
Oleh: Sarjita, S.H., M. Hum., Cert. MP. Status tanah
Tanah Negara: sejak awal, bekas
tanah hak (jangka waktu berakhir, dilepaskan/diserahkan/dicabut);
Tanah Hak: Hak Milik, Hak Guna
Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa TANAH NEGARA Tanah yang langsung dikuasai negara sbgm dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). ‘Langsung dikuasai negara’ berarti secara langsung menjadi objek dari Hak Menguasai Negara (HMN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (2) UUPA. Hubungan negara dengan tanah pada tanah yang langsung dikuasai negara ini bersifat publik. PERSEPSI MENGENAI TANAH NEGARA Psl 4 (2) UUPA: hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Jika hak atas tanah tersebut berhenti, maka berhenti/habis pula kewenangan untuk menggunakannya. (PP 40/96). Kedalaman isi tanah negara tidaklah sejauh pendapat di atas. ......Misalnya HGB yang telah habis masa berlakunya dan kembali menjadi tanah negara ternyata masih dapat “dijual” (baca: dialihkan penguasaan fisiknya) kepada pihak lain oleh bekas pemiliknya tanpa suatu kesulitan. ...... Pendapat kedua ini mengajukan suatu tesis bahwa hubungan subyek hukum dengan tanah pada hakikatnya berdimensi 2 (dua), yaitu berwujud: (a) hak atas tanah dan (b) pemilikan/penguasaan tanah. (PMNAgr 9/99) Bandingkan Tnh Negara bekas HGU dan HP. Status Tanah Negara Bekas HGU Surat Kepala BPN No. 540-1-434-DI tanggal 22 Februari 2006 (kpd Kakanwil BPN Prov. Sumut), Surat tersebut ditandatangani oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Hukum Pertanahan atas nama Kepala BPN: “meskipun HGU yang sudah berakhir jangka waktunya berstatus sebagai tanah yang langsung dikuasai negara, namun tidak dengan sendirinya menghapuskan aset dari bekas pemegang hak (dalam hal ini PTPN II), termasuk perbuatan- perbuatan hukum oleh PTPN II terhadap tanah tersebut.” HMN berdsrkn Psl 2 ay (2) UUPA a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Soal Uj PPAT Pasal 33 UUD 1945 secara khusus memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana dituangkan dalam Hukum Tanah Nasional, yakni UUPA yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak menguasai Negara, kecuali: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. mengatur dan menyelenggarakan serta memanfaatkan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya agraria; d. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa; Mahkamah Konstitusi ttg HMN a. merumuskan kebijakan (beleid), b. melakukan pengaturan (regelendaad): kwngn legislasi (DPR+ Pem) dan regulasi (Pem); c. melakukan pengurusan (bestuursdaad), spt: pemberian dan pencabutan izin, konsesi, dan lisensi : (dan hubungan hukum yg lain, spt hak atas tanah) d. melakukan pengelolaan (beheersdaad): mekanisme pemilikan saham atau keterlibatan lgsng BUMN/D; , dan e. melakukan pengawasan (toezichthoundendaad): oleh Pemerintah dlm rangka pengendalian. BLACK’S LAW DICTIONARY (Hendry Campbell Black, 1990: 812) Interest: The most general term that can be employed to denote a right, claim, title, or legal share in something. In its application to real estate or things real, it is freguently used in connection with the term “estate”, “right”, and “title”. More particularly it means a right to have the advantage accruing from anything; any rihgt in the nature of property, but less than title.
The word “interest” is used in the Restatement of Property
both generically to include varying aggregates of rights, privileges, powers and immunities and distributively to mean any one of them. Pandangan berbagai Sarjana “… title to land, as well as goods, may be acquired through possession. It is said that possession of land is prima facie evidence seizin in fee, it is prima facie evidence of a right possession, of title.” (Joycey G Tooler, 1997: 16). “A man could be said to be in possession of chattels, or of lands wherein he had an estate for years, but he could not be said to be seised of them. Seisin came finally to mean, in relation to land, possession under claim of a freehold estate therein.” (Corneluys J. Moynihan, 1988: 98-99) “Seisin is posssession but a peculiar possession – possession of land by a man holding a freeehold estate therein. Hence, it is much more than possession – it is the basis of ownership in so far as the common law admints of ownership of land.” ((Corneluys J. Moynihan, 1988: 99).