Anda di halaman 1dari 26

FARMAKOTERAPI PPOK

DAN ASMA
SITI PANDANWANGI TW
FARMAKOTERAPI
ASMA
Definisi Asma
Asma merupakan gangguan peradangan kronis pada
saluran udara yang menyebabkan sumbatan aliran
udara dan episode berulang berupa mengi, sesak nafas,
sesak dada, dan batuk.
Epidemiologi
 Di amerika, 14 sampai 15 juta orang mengidap asma, dan
kurang lebih 4,5 juta di antaranya adalah anak-anak.
 Di Indonesia?
 Merupakan salah satu penyakit utama yang
menyebabkan pasien memerlukan perawatan. Baik
dirumah sakit maupun di rumah.
 Setengah dari semua kasus asma berkembang sejak masa
kanak-kanak, sedangkan sepertiganya pada masa dewasa
sebelum umur 40 tahun.
 Dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan
wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang
pada segala etnis.
Faktor Resiko Asma

Stress

Alergen

Makanan

Virus

Umur

Genetik

Jenis Kelamin
Penyebab Gejala
Spasme Otot
Asma

Bronkokontriksi

Diameter ↓ Kecepatan
Bronkiolus ↓ Aliran Udara
• Inspirasi → aktif

•Ekspirasi →pasif
Sesak lebih parah
saat Ekspirasi
Mudah kolaps saat
ekspirasi
Patofisiologi
Asma diawali ketika ada suatu alergen seperti HDM yang merangsang pelepasan
mediator inflamasi yang kemudian mengaktifkan sel imun di sel target di saluran nafas,
yang kemudian menimbulkan bermacam-macam efek seperti bronkokontriksi,
hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf. Pada asma terjadi mekanisme
hiperreponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler
dan kerusakan saraf.
Hiperresponsif bronkus merupakan respon bronkus yang berlebihan
berupa penyempitan bronkus akibat suatu rangsangan. Limfosit t memiliki
peran penting dalam patogenesis asma, karena adanya suatu alergen akan
melalui dendrit kemudian dipresentasikan ke sel T berikatan dengan
reseptor sel T (TCR) CD4 dan CD8 yang kemudian melepaskan mediator
inflamasi seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-13, TNF-α, dan TGF-β
Manifestasi Klinik
ASMA KRONIK
 Asma klasik ditandai dengan episode dispenia yang disertai dengan
bengek, tetapi gambaran klinik asma beragam. Pasien dapat
mengeluarkan sempit dada, batuk (terutama pada malam hari), atau
bunyi saat bernafas. Hal ini sering terjadi saat latihan fisik tetapi
dapat terjadi secara spontan atau berhubungan dengan alergen
tertentu.
 Tanda-tandanya termasuk bunyi saat ekspirasi dengan pemeriksaan
auskulasi, batuk kering yang berulang, atau tanda atopi.
 Asma dapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai gejala yang
berselang. Terdapat keparahan dan remisi berulang, dan interval antar
gejala dapat mingguan, bulanan, atau tahunan.
 Keparahan ditentukan oleh fungsi paru-paru dan gejala sebelum
terapi disamping jumlah obat yang diperlukan untuk mengontrol
gejala
ASMA PARAH AKUT
 Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi keadaan akut ketika inflamasi,
edema saluran udara, akumulasi mukus berlebihan, dan bronkospasmus parah
menyebabkan penyempitan saluran udara yang serius yang tidak responsif terhadap
terapi bronkhodilator biasa.
 Pasien mungkin mengalami kecemasan dan mengeluhkan dispnea parah, nafas
pendek, sesak dada, atau rasa terbakar. Mereka mungkin hanya dapat mengatakan
beberapa kata dalam satu nafas. Gejala tidak responsif terhadap penanganan yang
biasa.
 Tanda termasuk bunyi yang terdengar dengan auskultasi saat inspirasi san ekspirasi,
batuk kering yang berulang, takhipnea, kulit pucat atau kebiruan dan dada yang
mengembang disertai dengan retraksi interkostal dan supraklavilar. Bunyi nafas
dapat hilang bila obstruksi sangat parah.
Terapi
A. Tujuan Terapi
ASMA KRONIK
Tujuan penanganan asma kronik:
1. Mempertahankan tingkat aktivitas normal (termasuk latihan fisik)
2. Mempertahankan fungsi paru-paru (mendekati) normal
3. Mencegaj gejala kronis dan yang mengganggu (misalnya: batuk atau kesulitan
bernafas pada malam hari, pada pagi hari, atau setelah lathan berat)
4. Mencegah memburuknya asma secara berulang dan meminimalisasi kebutuhan
untuk masuk ICU atau rawat inap
5. Menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak ada atau sedikit efek samping
6. Memenuhi keinginan pelayanan terhadap pasien dan keluarga.
ASMA PARAH AKUT
Tujuan penanganan adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan hipoksemia signifikan
2. Pembalikan cepat penutupan saluran udara (dalam hitungan menit)
3. Pengurangan kecenderungan penutupan aliran udara yang parah
timbul kembali
4. Pengembangan rencana aksi tertulis jika keadaan memburuk.
Terapi Non Farmakologi
 Pendidikan pasien adalah wajib untuk meningkatkan kepatuhan
pengobatan, manajemen diri keterampilan, dan penggunaan layanan
kesehatan
 Pengukuran obyektif aliran udara obyektif dengan pengukur aliran
puncak rumah mungkin tidak meningkatkan hasil pasien. NAEPP
menganjurkan pemantauan DTP hanya untuk pasien dengan asma
persisten berat yang mengalami kesulitan mempersepsikan obstruksi jalan
napas.
 Menghindari pemicu alergi yang diketahui dapat memperbaiki gejala,
mengurangi pengobatan gunakan, dan kurangi BHR. Pemicu lingkungan
(misalnya, hewan) harus dihindari di pasien yang sensitif, dan perokok
harus didorong untuk berhenti.
 Pasien dengan asma berat akut harus menerima oksigen untuk
mempertahankan PaO2 lebih besar dari 90% (> 95% pada kehamilan dan
penyakit jantung). Dehidrasi harus diperbaiki; berat jenis urin dapat
membantu mengarahkan terapi pada anak-anak ketika penilaian status
hidrasi sulit dilakukan.
Terapi Farmakologi
1. Agonis β2
2. Kortikosteroid
3. Metilxantin
Teofilin tampaknya menghasilkan bronkodilatasi melalui fosfodiesterase
nonselektif inhibisi. Methylxanthine tidak efektif oleh aerosol dan harus
dikonsumsi sistemik (secara oral atau IV). Teofilin lepas lambat lebih disukai
untuk pemberian oral, sedangkan bentuk kompleknya dengan ethylenediamine
(aminofilin) ​lebih disukai sediaan parenteral karena meningkatkan kelarutannya.
Teofilin IV juga tersedia.
Teofilin dieliminasi terutama oleh metabolisme melalui enzim CYP
P450 (terutama CYP1A2 dan CYP3A4) dengan 10% atau kurang
diekskresikan melalui ginjal. Enzim sitokrom P450 hati rentan
terhadap induksi dan inhibisi dari pengaruh lingkungan dan obat-
obatan. Pengurangan yang signifikan secara klinik pada bersihan
disebabkan oleh ko-terapi dengan simetidin, eritromisin,
klaritromisin, allopurinol, propranolol, siprofloksasin, interferon,
tiklopidin, zileuton, dan obat lain. Beberapa senyawa yang
meningkatkan bersihan adalah rifampisin, karbamazepin,
fenobarbital, fenitoin, daging yang dipanggang dengan arang, dan
merokok.
4. Anti kolinergik
Ipratropium bromida dan tiotropium bromida merupakan inhibitor
kompetitif reseptor muskarinik. Zat ini menghasilkan bronkodilatasi
hanya pada bronkokontriksi yang dimediasi kolinergik. Antikolinergik
merupakan bronkodilator efektif tetapi tidak sekuat agonis β2.
Waktu untuk mencapai bronkodilatasi maksimum dari ipratropium
aerosol lebih lama dari pada agonis β2 aksi pendek aerosol (2 jam vs
30 menit). Dengan demikian hal ini memberikan efek atau manfaat
yang kecil dalam keadaan klinik karena efek beberapa bronkodilator
terlihat dalam 30 detik, 50% dari respon maksimum muncul dalam 3
menit dan 80% respon maksimal tercapai dalam 30 menit durasi kerja
Ipratropium bromida adalah 4 hingga 8 jam.
5. Kombinasi terapi pengontrol
Advair merupakan sediaan kombinasi yang mengobati inflamasi dan
bronkokontriksi asma persisten sedang hingga parah. Kombinasi
flutikason (100, 250, atau 500 ucg) dengan salmeterol dosis tetap (50
μg) mempunyai onset yang tepat (dalam satu minggu), dan
salmoterol dapat mengurangi dosis kortikosteroid hidup hingga 50%
pada pasien asma persisten.
Definisi PPOK

Menurut “The National Heart, Lung and Blood Insitute


(NHLBI)” dan WHO, PPOK didefinisikan sebagai penyakit
yang ditandai oleh terbatasnya saluran udara yang
progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali.
Kondisi paling umum yang menyebabkan PPOK adalah
bronkitis kronis dan enfisema.
Manifestasi PPOK
•Gejala awal PPOK termasuk batuk kronik dan produksi sputum:
pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun
sebelum berkembangnya dispnea.
•Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang
berada pada tahap PPOK yang lebih ringan. Bila keterbatasan
aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis
membran mukosa, “barrel cheest” karena pengembangan paru-
paru berlebuhan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas
dangkal, dan penggunaan otot respirasi pelengkap.
•Pasien dengan PPOK yang memburuk dapat mengalami dispnea
yang lebih parah, peningkatan volume sputum, atau peningkatan
kandungan nanah pada sputum.
Terapi farmakologi kronik PPOK
1

Baru 0:Resiko 1:Ringan 2:Sedang 3:Parah 4:Sangat parah


• Gejala
Karakteristi kronik • FEV1 /FVC • FEV1 /FVC • FEV1 /FVC
• FEV1 /FVC <70 %
k • Paparan <70 % <70 % <70 %
• FEV1<30% atau
• 50 % <FEV1 • 30 % <FEV1
terhadap • FEV1≥80 % adanya kegagalan
<80% <50%
faktor risiko • Dengan atau respirasi kronik atau
• Dengan atau • Dengan atau gagal jantung kanan
• Spirometri tanpa gejala tanpa gejala tanpa gejala
normal
Dari faktor risiko hindari faktor risiko, vaksinasi, influenza, vaksin pneumokokus

Tambahkan bronkodilator aksi pendek jika diperlukan


Tambahkan penanganan reguler dengan satu atau lebih
bronkodilator aksi panjang
Ditambahkan rehabilitasi
Tambahkan glukokortikoid inhalasi
jika keadaan terulang

Tambahkan oksigen
jangka panjang jika
terjadi gagal
pernafasan kronik
Pertimbangkan
penanganan melalui
operasi
Terapi PPOK

•Gejala awal PPOK termasuk batuk kronik dan produksi sputum: pasien
dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum
berkembangnya dispnea.
•Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada pada
tahap PPOK yang lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi
parah, pasien dapat mengalami sianosis membran mukosa, “barrel cheest”
karena pengembangan paru-paru berlebuhan, peningkatan laju respirasi
istirahat, nafas dangkal, dan penggunaan otot respirasi pelengkap.
•Pasien dengan PPOK yang memburuk dapat mengalami dispnea yang lebih
parah, peningkatan volume sputum, atau peningkatan kandungan nanah
pada sputum.
Terapi PPOK Yang Memburuk
1.Bronkodilator
•Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan pada keparahan
akut untuk memberikan peredaan gejala. Agonis β2 aksi pendek
lebih disukai karena onset aksi yang cepat. Zat antikolinergik
dapat ditambahan jika gejala bertahan meskipun dosis agonis
ditingkatkan β2.
•Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau nebulisasi dengan
efek yang serupa. Nebulisasi dapat dipertimbangkan untuk pasien
dengan dispnea parah yang tidak dapat menahan nafas setelah
pemakaian MDI.
•Bukti klinis yang mendukung penggunaan teofilin saat keadaan
memburuk hampir tidak ada, dan oleh karenanya penggunaan
teofilin sebaiknya dihindari
 2. Kortikosteroid
Hasil pengujian klinik menyarankan pada pasien dengan PPOK yang
memburuk secara akut untuk menerima kortikosteroid oral atau intravena
dalam jangka pendek.
Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9-14 hari) sama efektifnya dengan
terapi jangka panjang dan dengan resiko efek samping yang lebih rendah.
Jika terapi dilanjutkan lebih dari 2 minggu, jadwal oral yang dturunkan
bertahap sebaiknya diberikan untuk menghindari supresi poros
hipotalamus-pituitari-adrenal
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai