• Visual Impairment (VI) didefinisikan sebagai suatu
gangguan, hambatan atau keterbatasan pada indera penglihatan, yang meskipun telah dibantu dengan alat tertentu (dikoreksi), kondisi ini tetap memberi pengaruh yang kurang baik terhadap proses dan hasil pendidikan penyandangnya. • Istilah visual impairment ini mencakup tunanetra dan low vision (IDEA, dalam Heward 2017). • Pada setting pendidikan, gangguan ini diklasifikasikan dalam 3 kategori : 1. Totally blind 2. Functionally blind 3. Low vision PENYEBAB VISUAL IMPAIRMENT
Kesalahan pembiasan : Kesalahan dalam membiaskan
cahaya sehingga gambar tidak jatuh tepat pada retina
Gangguan struktural : Gangguan penglihatan disebabkan
oleh buruknya perkembangan atau kerusakan fungsi satu atau lebih bagian dari sistem optik atau otot mata, misalnya glaukoma, katarak, nistagmus, dan strabismus.
Cortical Visual Impairment : mengacu pada penurunan
fungsi visual karena kerusakan bagian – bagian otak yang menginterpretasikan informasi visual. PENDEKATAN INTERVENSI ATAU PEMBELAJARAN UNTUK VISUAL IMPAIRMENT A. TUNANETRA o Braille o Tactile Aids and Manipulative o Technological Aid for Reading Print o Teknologi Asistif o Tongkat pemandu o Anjing Pemandu o Alat Bantu Perjalanan Elektronik B. LOW VISION Efisiensi visual Penggunaan alat optik yang sesuai berdasarkan pemeriksaan profesional Penggunaan tiga pendekatan dasar untuk membaca cetak 1. Pendekatan 2. Perangkat optik 3. Memperbesar ukuran huruf yang dicetak Adaptasi kelas ASPEK PERKEMBANGAN VISUAL IMPAIRMENT MOTORIK • Perkembangan motorik cenderung lambat1 • Memiliki kemampuan orientasi yang buruk dalam bergerak 2 • Memiliki kemampuan gerak yang terbatas 3 • Kesulitan dalam mengambil benda kecil didekatnya 5 • Tidak dapat menulis mengikuti garis lurus5 • Sering meraba-raba dan tersandung sewaktu berjalan 5 • Tidak adanya penglihatan dapat mengurangi motivasi untuk bergerak 7 • Bergerak lebih jarang karena gerakan di masalalu telah mengakibatkan kontak yang kurang menyenangkan dengan lingkungan 7 • Memiliki keseimbangan yang kurang baik7 • Ekspresi wajah yang terbatas, biasanya digantikan dengan gerakan tangan11 • Kemampuan untuk berpindah tempat1 AKADEMIK • Kesulitan dalam kegiatan membaca dan menulis PERILAKU
• Kemampuan imitasi yang lemah dan lebih berhati-hati terhadap ruang 7
• Memiliki rasa curiga terhadap orang lain karena kurangnya berfungsi indera dalam melakukan interaksi dan komunikasi dengan orang lain. • Tidak memahami ekspresi wajah1 • Melakukan adatan (upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera nonvisual) atau perilaku streotip (ex: gerakan mengayunkan badan ke depan ke belakang silih berganti, menekan matanya, meggerakkan kaki saat duduk, menggelengkan kepala, dll)1,2,7 FISIK Mampu mencapai kematangan sama dengan anak normal Kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu Proporsi tubuh tidak ideal Tidak dapat mengurus diri sesuai usia Kurang melihat (low vision) Tidak mampu melihat (buta) Peradangan yang hebat pada mata KOGNITIF • Verbalisme pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrak, analogi dan ekspresi idiomatis mengalami keterbatasaan (ex: pelangi, fatamorgana,dll) 1,7 • Tingkat dan keanekaragaman pengalaman (keterbatasan pengalaman) • Interaksi dengan lingkungan (tidak memiliki kontrol dalam mengenali keadaan ruangan)1 • Memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata2 • Hambatan dalam menerima informasi dan dalam persepi 3 • Memiliki daya ingat yang tinggi namun rendah dalam perkembangan konsep 3 • Pengalaman-pengalaman tidak tersusun secara teritegrasi dan terpisah-pisah 3 • Bergantung pada stimulasi lingkungan3 • Pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh4 • Tidak dapat berinteraksi dan memiliki gambaran tentang lingkungan secara tidak utuh 4 • Kurang mampu melakukan tugas kognitif yang membutuhkan pemahaman atau menghubungkan berbagai item informasi daripada anak dengan penglihatan normal • Kebanyakan anak tunanetra dapat berpikir kritis 1 • Suka berfantasi karena tidak dapat melakukan kegiatan memandang, melihat-lihat dan mencari informasi saat santai seperti anak kebanyakan EMOSI • Perkembangan emosi mengalami hambatan (pola emosi yang ditampilkan tidak sesuai dengan yang di harapkan lingkungan) 1 • Perkembangan emosi akan semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi (keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti: kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan). Deprivasi emosi sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan seperti keterlambatan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan sosial. • Deprivasi emosi: menarik diri, mementingkan diri sendiri, dan menuntut pertolongan atau meminta kasih sayang dari orang disekitarnya 1 • Pernyataan emosi cenderung bersifat verbal 3 • Melampiaskan emosi dengan cara membentak-bentak orang terdekatnya, namun jika marah dengan orang lain selalu dipendam 3 • Mudah tersinggung dengan melampiaskan emosi atau rasa tidak suka dengan cara langsung marah dan bertingkah laku kasar, jika marah seperti memukul meja3 • Memiliki perasaan rendah diri1,3 BAHASA • Cenderung memahami kata dengan pemahaman atau konsep sendiri karena mereka tidak dapat melihat objek kata-kata atau mengetahui kata-kata yang dimaksud8 • Membaca bahasa dalam bentuk cetak sebagai pemahaman makna8 • Memperoleh sistem fonologi (yang mempelajari bunyi) lebih lambat daripada anak normal. Kadang bingung dengan fonem yang mirip dalam pengucapan (ex: n dan m)9 • Memiliki kemampuan meracau yang sama dengan anak normal lain9 • Kurang memvariasikan kata kerja (keterbatasan pengkategorian yang berdampak pada keberagaman kosakatanya)9 • Proses bahasa mengalami hambatan (ex: ketika mendengar kata-kata mobil, rumah, pohon dan gunung) mereka mampu mendengar dan mampu mengucapkan kata-kata tersebut dengan baik, tetapi mengalami kesulitan untuk menghubungkan kata tersebut dengan objek yang dimaksud karena tidak melihatnya10 SOSIAL • Keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan atau melakukan perilaku sosial1,3 • Kurangnya motivasi1,3 • Ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau baru 1,2,3 • Tipe pemalu, kurang percaya diri dan tertutup 1,3 • Perkembangan sosial sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan1 • Kurang mampu beradaptasi2,4 • Tidak memiliki teman curhat dan memilih menyimpan masalah pribadi 3 • Baik pada teman sekelas/beda kelas 3 • Tidak/kurang sekali perhatian terhadap lingkungan 4 • Memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma atau aturan dalam bersosialisasi 4 • Memiliki keterbatasan dalam pengamatan dan menirukan sehingga mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar 4 • Berinteraksi lebih sedikit dan sering tertunda dalam pengembangan keterampilan sosial7 • Ketidakmampuan untuk melihat dan menanggapi sinyal sosial orang lain (ex: kontak mata, ekspresi wajah, dan gerak tubuh yang sesuai) 7 MORAL • Mengalami keterbatasan dalam proses mengidentifikasi, meniru penampilan atau tingkah laku moral orang lain3 • Memiliki ukuran-ukuran terbatas dalam menentukan baik-buruk, benar-salah dari suatu tingkah laku3 • Mampu membedakan perilaku terpuji dan tercela serta akibatnya3 • Sikap dan minat terhadap masalah keagamaan sangat kecil, hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil dan lingkungan agama yang mempengaruhi lingkungan mereka3 • Belum mampu mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah secara mandiri3 • Memiliki moral yang baik dan agama yang baik namun mereka juga pernah melanggar peraturan sekolah3 • Cenderung terlambat dalam menalar moral dibandingkan dengan anak lain yang normal sehingga berpengaruh negatif pada perkembangan etika dan perkembangan pemikiran moral6 KEPRIBADIAN
• Ada kecenderungan tunanetra relatif lebih banyak yang
mengalami gangguan kepribadian yang dicirikan dengan introversi, neurotik, frustasi, dan rigditas (kekakuan) mental4 • Kesulitan menemukan konsep diri karena sering terjadinya krisis identitas4 REFERENSI Kurniawan, I. (2017). Implementasi Pendidikan Bagi Siswa Tunanetra Di Sekolah Dasar Inklusi. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam , 4 (08), 16. Penyesuaian sosial anak penyandang tunanetra (studi kasus mahasiswi uin sunan kalijaga yogyakarta) Setiyoko, P. (2015). Masa Pubertas anak tunanetra. Jurnal Pendidikan Khusus, 7(4). Wardani, I. K., Herani, I., & Rahajeng, U. W. (2018). Strategi Presentasi Diri Pada Mahasiswa Tunanetra. Dermawan, O. (2013). Strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus di slb. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(2), 886-897. Khajeh Hosseini H, Farrokhi N, Asadzadeh H. Comparison of Moral Reasoning among Students with and without Visual Impairment. jcmh. 2019; 6 (2) :194-204 Heward, W.L.(2017). Exceptional Children: An Introduction to Special Education 8th Edition. New Jersey: Merrill Prentice Hall - Pearson Education, Inc Tadić, V., Pring, L. and Dale, N. (2010), Are language and social communication intact in children with congenital visual impairment at school age?. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 51: 696-705. doi:10.1111/j.1469-7610.2009.02200.x Indah, R. N. (2011). Proses Pemerolehan Bahasa: dari Kemampuan hingga Kekurangmampuan Berbahasa. LiNGUA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 3(1). Aldriani, Y. (2017). Penguasaan Kosakata Reseptif Penyandang Tunanetra Totally Blind dengan Menggunakan Indera Peraba. Jurnal Kata: Penelitian tentang Ilmu Bahasa dan Sastra, 1(2), 159-171. Erickson, K. A., Hatton, D., Roy, V., Fox, D., & Renne, D. (2007). Literacy in early intervention for children with visual impairments: