Anda di halaman 1dari 52

GANGGUAN SISTEM

TUBUH IMUNITAS
OLEH : dr. H. Mudzakkir Sp.An
Myastenia Gravis

PENGERTIAN

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara


sistem saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit
miastenis gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada
beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut diperburuk
dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang.
KLASIFIKASI

Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang.
Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.
Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan,
atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat.
Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan.
Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan
derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan
intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
ETIOLOGI
 
1. Kongenital
Merupakan cacat genetik sejak lahir yang disebabkan adanya mutasi pada
saluran ionatau subunit AChR. Mutasi ini mengakibatkan ACh tidak dapat
berikatan degan AChR yang berdampak pada saluran ion yang tidak
dapat terbuka. Sehingga Ca2+ tidak dapat masuk kedalam otot, hal itu yang
menyebabkan kontraksi otot tidak dapat dimulai dan terjadi kelemahan otot
progresif ringan hingga berat dan keletihan abnormal pada otot. Sehingga
menyebabkan penyakit Miastenia Gravis.
2.  Juvenile
Merupakan gangguan autoimun yang mengakibatkan antibodi (anti AChR)
berikatan dengan subunit α AChR (Acetyl Choline Receptor), sehingga
terjadi pelemahan, penyekatan dan penghancuran lokasi AchR (Acetyl
Choline Receptor) pada membran post sinaptik. Proses tersebut
mengakibatkan Ach (Acetyl Choline) tidak dapat berikatan dengan AChR
(Acetyl Choline Receptor) yang berdampak pada saluran ion yang tidak dapat
terbuka. Sehingga Ca2+ tidak dapat masuk kedalam otot, hal itu yang
menyebabkan kontraksi otot tidak dapat dimulai dan terjadi kelemahan otot
progresif ringan hingga berat dan keletihan abnormal pada otot. Sehingga
menyebabkan penyakit Miastenia Gravis.
Manifestasi Klinis

Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya


kelemahan dan kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring
dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin
berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang
atau membaik dengan istirahat.
Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis
gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia
gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih
dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebut, muncul
gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada
dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secara
abnormal (ptosis).
- Kelemahan otot yang progresif pada penderita
- Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
- Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
- Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
- Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia), atau otot faring
lainnya (disfagia, suara sengau)
- Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
- Kadang-kadang, kekuatan otot tiba-tiba memburuk
- Tidak ada atrofi atau fasikulasi
PATOFISIOLOGI

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline


Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang
tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial
aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran
ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah
serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian
menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini
dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak
membran post-synaptic.
Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak
sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus
turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75 %
pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65%
pasien menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya
respon imun dan 10 % berhubungan dengan timoma
ANAMNESA

Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah


aktivitas dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang
otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat
disertai kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan
ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang
dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot
pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak.
TES KLINIK SEDERHANA

a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang


antara kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi
ptosis (tes positif).

b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka


suara akan menghilang secara bertahap (tes positif).
PEMERIKSAAN PENUNJANG

- EMG,
- Serologi untuk antibodi AchR
- CT-Scan atau MRI toraks
- Tes antikolinesterase,
KOMPLIKAS
I
DIAGNOSA BANDING

a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus
III pada beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :
Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika), Infiltrasi karsinoma
anaplastik dari nasofaring, Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii,
Paralisis pasca difteri, Pseudoptosis pada trachoma
b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks.
c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Stephen Jhonson

Pengertian

Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa


yangmempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis
terpisahdari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi
hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun
pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui
adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan
KLASIFIKASI

Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari


10%
Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30% 
Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
ETIOLOGI

• Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus


herpessimpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis,
virus Epstein-Barr, atau sejenisnya)
• Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak,
fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat,
sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin,
nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
• Keganasan (karsinoma dan limfoma)
• Faktor idiopatik (hingga 50%).
• Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai
efeksamping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng.
Sindrom steven johnson juga mungkin disebabkan oleh karenapenggunaan
kokain
• Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau
reaksialergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya
karenapenggunaan antibiotik dan sulfametoksazole
Manifestasi Klinis

Tanda-tanda awal sindrom steven johnson antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal,


nyeri tekan kutaneus,demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan
mialgia(nyeri dan sakit). Dilanjutkan dengan awitan eritema yang cepat yangmengenai
sebagian besar permukaan tubuh dan membran mukosa, munculnya bula yang kaku dan
luas dibeberapa area. Di area lain, lapisan epidermis yangluas mengelupas sehingga
jaringan dermis dibawahnya terlihat kuku kaki, kuku tangan, alis dan bulu mata dapat
rontok, begitu juga dengan epidermis disekitarnya. Kulit yang sangat sensitif dan kulit yang
mengelupas akan menghasilkan permukaan kulit yang mengeluarkan cairan, mirip seperti
luka bakar partial thickness burn di seluruh tubuh, kondisi ini disebut juga sindromkulit
melepuh. Pada kasus berat yang mengenai mukosa, mungkin terdapat bahaya kerusakan
pada laring, bronki, dan esofagus akibat ulserasi.
PATOFISIOLOGI

Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III danIV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yangmembentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan
lisozim danmenyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe
IV terjadiakibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yangsama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia.


Biladisangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.2.

• Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema,


danesktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis
selepidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.3.
 
• Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah
dermalsuperficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG,
IgM, IgA
SLE (Sindrom Lupus Eritmatosus)

Pengertian

Sindrom Lupus Eritmatosus (SLE) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ
tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Sistemik lupus erythematosus adalah suatu penyakit
kulit menahun yang ditandai dengan peradangan dan
pembetukan jaringan parut yang terjadi pada wajah,
telinga, kulit kepala dan kandung pada bagian tubuh
lainnya.
ETIOLOGI

Penyebab penyakit lupus adalah karena kelebihan sistem


kekebalan tubuh dimana seharusnya kekebalan tubuh
menyerang virus atau penyakit yang ada didalam tubuh tapi
disini kekebalan tubuh malah menyerang sistem organ yang
ada di dalam tubuh seperti ginjal, paru-paru, jantung, hati dll.
MANIFESTASI KLINIS

• Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa arthritis
(93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal, peradangan
tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, selain pembengkakan dan
nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Arthritis biasanya simetris, tanpa
menyebabkan deformitas, konfraktur atau ankilosis.

• Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
• Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut,
discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak
menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-
kupu (butterfly rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan
kedua pipi.

• Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi kerikard),
iskemia miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks)
• Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis
penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus,
jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.

• Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke
dan emboli paru.
PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, stress, infeksi). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan
ANAMNESA

• Nyeri
• gatal-gatal
• nyeri sendi karena gerakan
• kekakuan pada sendi
• kesemutan pada tangan dan kaki
• sakit kepala
• demam
• merasa letih, lemah
• kesulitan untuk makan
• nausea, vomitus
• sesak nafas
• nyeri dada
• ancaman pada konsep diri, citra diri
PEMERIKSAAN FISIK

• Aktivitas dan latihan


•  Keterbatasan rentang gerak
•  Deformitas
• Kontraktur
• Nyeri dan kenyamanan
•  Pembengkakan sendi
•  Nyeri tekan
• Perubahan gaya berjalan/pincang
• Gerak otot melindungi yang sakit
• Kardiovaskuler
• Fenomena raynoud
• Hipertensi
• Edeme
• Pericardial friction rub
• Aritmia
• Murmur
• Nutrisi dan metabolic
• Lesi pada mulut
• Penurunan berat badan
•  Pola eliminasi
• Peningkatan pengeluaran urin
• Konstipasi /diare
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Tes Laboratorium
• Ruam kulit atau lesi yang khas.
• Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
• Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
• Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
• Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
• Biopsi ginjal.
• Pemeriksaan saraf.
KOMPLIKASI

- Gagal ginjal
- Perikarditis
- Peradangan membran pleura
- Vaskulitis
- Stroke
- Kejang
DIAGNOSA BANDING

- Atritis Rematika
- Sklerosis Sistemik
- Dermatomiositis
- Purpura Trombositopenik
Pengertian

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit kekurangan sistem


imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV tipe 2.

Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih
infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada
orang dewasa)
ETIOLOGI

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh


Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada
manusia yang termasuk dalam keluarga lentivirus (termasuk pula
virus imunodefisinsi pada kucing, virus imunodefisiensi pada kera,
visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada kuda).
Penularan HIV ke Bayi dan Anak, bisa dari ibu ke anak,
penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seksual
(pelecehan seksual pada anak). Penularan dari ibu ke anak
terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar
(85%) berusia subur (15-44 tahun), sehingga terdapat risiko
penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in uteri).
Transmisi lain juga terjadi selama periode postpartum melalui
ASI, risiko bayi tertular melaui ASI dari ibu yang positif sekitar
10%
PATOFISIOLOGI

Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami dengan menggunakan kaidah saling
memengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang
mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase akut pada
tahap awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap
akhir.

Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang imunokompeten


terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khas merupakan penyakit yang
sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang deawasa selama 3-6
minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri
tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis aseptik
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami
infeksi oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster
selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian
virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut.

Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran pertahanan penjamu


yang sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah,
penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500
sel/μL.
ANAMNESA

pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang


memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan
demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta
penurunan berat badan drastis.
PEMERIKSAAN FISIK

- Keadaan umum tampak sakit sedang, berat


- Kulit terdapat rush, steven jhonson
- Mata merah, icterik, gangguan penglihatan
- Leher: Pembesaran KGB
- Telinga dan Hidung: Sinusitis berdengung
- Rongga mulut: Candidiasis
- Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo
KOMPLIKASI

- Penyakit paru-paru utama


- Penyakit saluran pencernaan utama
- Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
- Komplikasi saraf
- Kanker dan tumor ganas (malignan)

Anda mungkin juga menyukai