Anda di halaman 1dari 36

EJ A M E T HO D I S I N DO N ES I A

SEJARAH GE R
IST RIK TIO NEMBANGAN
GHO A/ PE NG
PRO-KONTRA D
NAMA/NIM :
T I S IH O T A N G / 1 9 1 0 0 8 4,
HELENDA YULIAN 8 7 ,
JE SIK A S IN A G A / 1 9 1 0 0
MARISI TUA/1910089,
V T IN S IP A Y U N G /1 9 1 0 0 9 4,
NO
P IN S IN A M O /1 9 1 0 0 9 6 ,
PIN
O N S IM A R M A T A / 19 10 10 0,
RISM
E N D R A T U M A N G G ER / 1 9 1 0102,
R O BY H 7 1 0985.
E S L EY H U T A G A L U N G /1
JOHN W
Keberadaan Gereja-gereja Yang Berlatar
Belakang Tionghoa Di Indonesia Tidak Dapat
Dipisahkan Dari Pekerjaan Misionaris Yang
Dilakukan Oleh Penginjil Eropa Atau Penginjil
Tionghoa. Perkembangan Distrik Tionghoa
Pada Masa Itu Memiliki 3 Masalah Yang Perlu
Kita Ketahui Yang Membuat Jemaat-jemaat Di
Tionghoa Menderita Pada Saat Itu Yaitu Pada
Tahun 1950-an. Yang Mengakibatkan
Pemecahan - Pemecahan Antara Jemaat
Tionghoa
1) kerusakan-kerusakan material dan
spiritual bagi jemaat-jemaat Tionghoa
sebagai akibat pendudukan Jepang dan
perang revolusi kemerdekaan Republik
Indonesia.
2) kedudukan sosial politik kelompok etnis Tionghoa di Indonesia
yang mengalami perubahan mendasar. Selama zaman kolonialisme
Belanda, kelompok ini menikmati berbagai hak istimewa seperti
pedagang perantara serta status sosial setingkat di bawah golongan
Eropa yang setingkat di atas orang pribumi, Namun setelah
kemerdekaan Indonesia, mereka justru menjadi kelompok minoritas
yang menjadi sasaran berbagai prasangka rasial dari pihak pribumi
dan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Munculnya
kebijaksanaan ”politik benteng" tahun 1950-an adalah suatu bukti
adanya diskriminasi rasial terhadap masyarakat Tionghoa.
3) infiltrasi komunis yang menyusupi jemaat-jemaat
yang diasuh Misi Methodist terutama sekolah-sekolah
Methodist. Pada waktu Tiongkok terbagi dua atas
pengikut Kwo Min Tang (yang disebut golongan biru)
dan Mao Tse Tung (yang disebut golongan merah),
maka loyalitas masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara
termasuk Indonesia juga terbagi dua.
Ketiga kondisi di atas melatarbelakangi pekerjaan dan
langkah-langkah konkret yang dilakukan Misi Methodist
di kalangan orang Tionghoa.
Pada Konferensi Tahunan Klaus selaku Pemimpin Distrik
Tionghoa dalam laporannya mengajukan kebutuhan mendesak
membuat pengembangan distrik Tionghoa pada Januari 1950,
A.V.

Pada tahun 1950-an berbagai terobosan dilakukan,


Untuk menjawab kebutuhan mendesak akan tenaga
pelayan ini, misionaris didatangkan untuk melayani di
distrik Tionghoa. Per Eric Lager yang berasal dari
Swedia tiba tahun 1950 setelah belajar bahasa beberapa
bulan di Amoy, Tiongkok.
Tidak bisa lagi memperoleh para pendeta Tionghoa
dari Tiongkok sehingga harus mendirikan tempat
pelatihan lokal. Aku yakin kita telah membuat sebuah
dasar bagi sebuah gereja Tionghoa yang kuat 136 di
Sumatra dan bahwa kini kita menghadapi kebutuhan
akan seseorang yang dapat membantu membimbing
pertumbuhan gereja dan menginspirasi para pemimpin
yang setia".
Tahun 1952–1953, Dixon mengadakan survei untuk
mendiagnosis penderitaan jemaat-jemaat Tionghoa dan
mencari obat untuk menyembuhkannya. Lewat survei
itu, Dixon tiba pada kesimpulan bahwa sekolah yang
sangat dibutuhkan untuk mengadakan tenaga pelayan
di distrik Tionghoa adalah sebuah sekolah setaraf
sekolah menengah, yang diselenggarakan dalam
bahasa Tionghoa (Mandarin).
Dalam sidang Field Committee tanggal 23
Januari 1954, yang memutuskan: Distrik
Tionghoa diizinkan untuk membuka sebuah
Sekolah Alkitab bagi para pekerja
Tionghoa.Pendeta-pendeta Batak yang menjadi
anggota rapat seperti David Hutabarat, Luther
Hutabarat, dan Wismar Panggabean mendukung
rencana itu.
Masalahnya, di kalangan jemaat-jemaat Batak pun
ada kerinduan untuk membuka sekolah latihan
berbahasa Batak untuk menjawab kebutuhan tenaga
di jemaat-jemaat Batak. Pada 25 Januari 1954,
secara resmi dibukalah sekolah latihan Tionghoa
dengan nama Sumatra Methodist Chinese Bible
School melalui suatu acara kebaktian di Gereja
Methodist Jalan Hakka, Medan.
Pada Juni 1956, angkatan pertama ditamatkan dan
ditempatkan untuk melayani di berbagai jemaat dan pos
penginjilan. Kehadiran tamatan-tamatan baru ini memberikan
kepada distrik Tionghoa kemajuan demi kemajuan. Kurun
waktu 1956–1964 adalah masa perkembangan yang pesat. Di
Sumatra Utara lahir jemaat-jemaat baru di Bireuen, Kuala,
Lhokseumawe, Lubuk Pakam, Meulaboh, Pancur Batu,
Rantauprapat, Banda Aceh, dan di daerah Sumatra Selatan
berdiri jemaat di Prabumulih, Lahat, Muara Enim, Tebing
Tinggi, Jambi, dan sebagainya.
Satu ciri khas jemaat-jemaat di Distrik Tionghoa ialah, di tiap
jemaat selalu berdiri sekolah yang berada di bawah asuhan jemaat
itu. Sekolah-sekolah ini berfungsi ganda: tempat mengabarkan Injil
dan sumber uang. Sejak tahun 1950-an ada kebiasaan di distrik
Tionghoa untuk mengadakan retret pemuda-pemudi, retret remaja,
retret wanita, dan retret guru-guru sekolah, masing-masing sekali
setahun. Pada saat-saat retret seperti itulah terjadi penyerahan diri
pemuda-pemuda Tionghoa menjadi hamba Tuhan. Mereka yang
telah memperoleh semangat dan komitmen baru dari retret kembali
ke tempat dan menjadi anggota yang setia dan rajin untuk bersaksi
melalui penginjilan pribadi.
Setelah Bible School menamatkan sepuluh orang angkatan
pertamanya tahun 1956, yang disusul angkatan-angkatan
berikut, maka jemaat-jemaat Tionghoa mengalami
kemajuan yang cukup berarti. Dalam tempo delapan tahun
(1956–1964) terjadi pertambahan anggota penuh lebih dari
seratus persen. Kehadiran tamatan-tamatan Sekolah
Alkitab ini sekaligus menjadi jawaban terhadap
perkembangan politik konfrontasi Indonesia-Malaysia
yang melatarbelakangi otonomi Gereja Methodist
Indonesia tahun 1964.
Gerakan "Kebangkitan GMI"
1981

Konferensi Agung 1981 adalah awal gerakan kebangkitan GMI,


Bishop H Sitorus adalah orang yang menjadi penggerak utama dalam
Hal kebangkitan GMI pada tahun 1981. "Pada pertengahan tahun
1950-an, saya untuk pertama sekali mendengar nama Methodist. Pada
akhir tahun 1950-an, waktu belajar di seminari, saya mempelajari
sedikit tentang Methodisme ... dari Pdt. Ragnar Alm. Tahun 1968 ...
saya terpilih mewakili pendeta-pendeta GMI untuk menghadiri The
Uniting General Conference di Dallas, Texas, USA, dan sebelum
konferensi itu saya mengikuti satu konsultasi di Galveston ... Pada
kedua pertemuan raya itulah, untuk pertama kali saya alami dan saya
lihat keindahan dari Methodisme".
Dikalangan gereja gereja di Sumatra Utara, bahwa
GMI adalah sebuah gereja yang kecil. Secara
kuantitatif GMI memang adalah gereja yang kecil
di
Sumatra Utara, jika dibandingkan dengan HKBP
yaitu tetangga terdekatnya.
Bishop H. Sitorus mengatakan bahwa GMI adalah gereja besar,
yang dimana ia tidak memandang dari segi jumlah. Melainkan
ajaran-ajaran Methodist yaitu tentang hidup baru, pertobatan dan
kesucian sangat diandalkan oleh H. Sitorus sebagai kebesaran.
Realitas GMI juga dilihatnya sebagai gereja multietnis yang
dimana adalah suatu kekayaan dan keistimewaan. Visi untuk
membesarkan GMI yang telah bergejolak dalam roh Bishop H.
Sitorus mendapat momentum yang tepat pada saat perayaan
Yubileum 75 tahun Methodisme di Indonesia, yang diadakan
pada Juli 1980 di Medan secara besar-besaran.
Pada periode ia sering menamai 1981-1985 adalah sebagai periode kebangkitan
GMI. Wisma Methodist di Parapat yang dibangun pada periode ini ia beri nama
Bukit kebangkitan GMI, yang secara kebetulan cocok dengan nama tempat itu:
bangun dolok (bangun = bangkit dan dolok = bukit).
Selama empat tahun pertama (1977–1981), Bishop Sitorus melihat GMI tidak
mengalami kemajuan yang berarti. Ketika Bishop Gultom menyerahkan jabatan
Bishop kepada Sitorus tahun 1977, jumlah anggota GMI sekitar 36.000
(anggota penuh dan persiapan). Selama empat tahun pertama (1977–1981),
Sitorus mencanangkan agar setiap jemaat membuka pos pekabaran Injil. Tujuan
Bishop Sitorus adalah untuk menjadikan GMI yang ”kecil” itu menjadi gereja
yang besar. Namun, sampai berakhirnya satu periode pelayanan Bishop Sitorus,
anggota GMI tahun 1980/1981 masih berkisar 41.000 (penuh dan persiapan).
Dalam hal ini pertambahan tersebut diatas belum menjawab kerinduan Bishop
H. Sitorus dan ia terus mengkhotbahkan perlunya GMI itu bangkit untuk
mengabarkan Injil.
Konferensi Agung IV GMI menyusunprogram kerja untuk satu masa bakti
(empat tahun) di berbagai bidang seperti: pekabaran Injil, pendidikan,
teologi, kemanusiaan, wanita, dan pemuda. Pada Konferensi Agung itu
diputuskan untuk membuat target menambah anggota GMI sebanyak
10.000 jiwa dalam tempo empat tahun (1981–1985). Jadi, sejak tahun
1982, GMI mengerahkan dana dan daya dalam jumlah yang besar dalam
rangka gerakan pekabaran Injil di Tanah Karo. Beberapa kali pembaptisan
massal dilaksanakan, sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ribuan
orang Karo dibaptiskan GMI. Perlu ditambahkan bahwa gerakan ini
dilakukan GMI tanpa keterlibatan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).
Pada gilirannya Pemimpin Pusat GBKP mengajukan keberatan, bahwa
GMI memasuki kawasan orang Karo tanpa persetujuan GBKP. Protes
GBKP ini tidak membuat GMI mundur, dengan argumen bahwa yang
dilayani GMI bukan mereka yang sudah masuk GBKP, tetapi yang masih
beragama suku.
Untuk melayani di semua lapangan pekabaran Injil itu, di tahun 1985 GMI
menugaskan: 5 orang pendeta, 10 orang guru Injil, dan 32 orang penginjil
awam. Dengan pertambahan lapangan pelayanan baru ini GMI merasa perlu
menambah tenaga pelayan dalam jumlah besar. Untuk menjawab kebutuhan
tenaga pekerja inilah maka pada pada 14 Agustus 1983, GMI secara resmi
mendirikan seminari Institut Theologia Alkitabiah (ITA) bertempat di Bandar
Baru, Sibolangit yang berdekatan dengan Tanah Karo. Sebenarnya Konferensi
Agung III GMI tahun 1977 telah memutuskan untuk meningkatkan Institut
Alkitab (IA) GMI di Jalan Yos Sudarso, Medan, menjadi perguruan tinggi
teologi yang bertaraf akademis atau Sekolah Tinggi Teologi (STT). Dalam
notulen Konferensi Agung III dicatat: Meningkatkan Pendidikan di Institut
Alkitab menjadi Akademi Theologia/sederajat. Menambah ruangan-ruangan
belajar dan asrama. Mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari
luar negeri.”
Namun kenyataannya, bukan kampus IA Medan yang dikembangkan melainkan
adalah bahwa GMI membuka kampus baru di Bandar Baru. Sebelum konferensi
Agung tahun 1981,GMI telah membeli sebidang tanah di Bandar Baru dengan
uang yang digunakan hasil penjualan dua buah rumah misionaris di pusat pasar
jalan bulan. Semula areal ini menjadi tempat panti asuhan dan rumah Jompo
GMI. Namun kemudian atas pertimbangan pekabaran Injil di Tanah Karo yang
sedang hangat-hangatnya, timbul ide untuk menjadikan kompleks Rumah
Jompo itu menjadi kampus perguruan tinggi teologi (STT). Maka pada
Konferensi Agung IV GMI bulan Oktober 1981, Bishop H. Sitorus mengajukan
gagasan agar kampus IA dipindahkan ke Bandar Baru. Sebagian peserta sidang
menolak gagasan itu, tetapi sebagian mendukungnya, sehingga diputuskan
dengan jalan pemungutan suara dengan hasil: 27 setuju, 22 menolak dan 11
abstain. Jadi, sejak tahun 1983 GMI mempunyai dua buah seminari (IA dan
ITA) dan baru tahun 1988 keduanya disatukan di Bandar Baru, dan lokasi IA di
Medan dijadikan sekolah umum. Akhirnya tahun 1992 program IA dihapuskan.
Untuk mendukung program kerja di atas, terutama usaha peng¬injilan di
tanah Karo, Konferensi Agung 1981 telah memutuskan agar
”persembahan persepuluhan” (tithing) seperti terdapat dalam Alkitab
(Maleakhi 3:10) mulai dilaksanakan dalam seluruh jajaran GMI. Bishop
Sitorus dan para pendeta GMI tidak bosan-bosannya menyampaikan
masalah persepuluhan ini melalui khotbah, warta gereja, dan tulisan-
tulisan dalam Suara Methodist Indonesia (SMI). Februari 1982, Bishop H.
Sitorus menegaskan: putuskan dalam Konperensi Agung IV yang baru lalu
bahwa 10% Anggaran tahun¬an Gereja-gereja Lokal, lembaga: seperti
sekolah-sekolah, Klinik-klinik, Rumah Sakit, Percetakan, Wisma dan
sebagainya akan kita kumpulkan untuk ”DANA PEMBANGUNAN
UMUM” GMI. Kantor Pusat GMI antara periode 1977–1981 dengan
periode 1981–1985 yang hasilnya berikut.
Kendati pemasukan dari jemaat berada jauh di bawah pemasukan dari
sekolah, persentase kenaikan dari jemaat jauh lebih tinggi daripada pos yang
lain, memberi di kalangan anggota jemaat mengalami peningkatan sejak
praktik persembahan persepuluhan dijalankan. Lebih jauh angka itu
menunjukkan bahwa pemasukan dari sekolah-sekolah Methodist mencapai
sekitar 73 persen Masalahnya, dengan mengandalkan sekolah dalam
pendanaan gereja, timbul pergeseran fungsi sekolah. Sekolah Methodist
bukan lagi pertama-tama berfungsi sebagai sarana pembentukan manusia
seutuhnya dan wahana peka¬baran Injil, tetapi sudah menjadi suatu
komoditas yang menghasilkan uang. ada gilirannya terjadi pula konflik
dalam diri pendeta-pendeta Methodist yang merangkap pendeta jemaat dan
kepala sekolah di satu tempat: antara mengutamakan pekerjaan jemaat dan
pekerjaan seko¬lah. Biasanya kepentingan sekolah mengalahkan
kepentingan jemaat.
Penghapusan Distrik Pengembangan 1983  

Pada Konferensi itu Bishop Sitorus selaku Pemimpin Pusat GMI,


menawarkan konsep pembagian distrik berdasarkan letak geo¬grafis.
Bishop Sitorus menguraikan dasar-dasar pemikiran serta sasaran yang
hendak dicapai olehpenghapusan Distrik Pengembangan antara lain:
a. Agar perpuluhan kita (pribadi atau keluarga), Gereja Lokal,
Lembaga GMI, kita serahkan untuk dana pelayanan Gereja.
b. Marilah kita membuat anggaran Gereja-gereja lokal mengutamakan
dana ’Amanat Agung’ dari semua dana kehidupan Gereja lokal itu.
c. Sudah tiba saatnya Jemaat-jemaat GMI menyatakan diri
sebagai’Jemaat Missioner’.
Sekalipun pemasukan dana ke Kantor Pusat GMI sudah meningkat sejak 1981,
tetapi menurut pertimbangan Bishop H. Sitorus jumlah itu masih bisa
ditingkatkan lagi. Konferensi Agung IV dan imbauan-imbauan Bishop. Dari isi
pengarahan itu tampak bahwa masalah dana untuk program ”amanat agung”
merupakan inti pergumulan Bishop Sitorus. Bishop Sitorus yakin bahwa
dengan terbukanya pintu bagi GMI bermisi di Tanah Karo, kesempatan untuk
membesarkan GMI yang sudah lama ia cita-citakan sedang terbuka lebar.
Momen gerakan kebangkitan GMI ini bagi Sitorus merupakan saat yang tepat
untuk mewujudkan gagasan penghapusan Distrik Tionghoa/Pengembangan
yang sudah lama menjadi pokok perdebatan dalam setiap Konferensi tahunan
GMI. Bagi Bishop H. Jadi, salah satu pertimbangan Bishop H. Sitorus untuk
menggagas penghapusan Distrik Pengem-bangan adalah dalam rangka
mengakhiri perdebatan perlu tidaknya Distrik Pengembangan ditingkatkan
menjadi satu Konferensi Tahunan.
Setelah mengemukakan argumen yang tekanannya
adalah masalah kebutuhan keuangan untuk
pekabaran Injil dan didukung dengan argumentasi
teologis bahwa gereja adalah Tubuh Kristus yang
tidak mengenal perbedaan suku, warna kulit, adat
dan kebudayaan, maka Bishop H. Sitorus
mengajukan konsep pembagian Distrik secara
geografis yang terdiri dari tujuh distrik yang
dinamai Distrik 1–7
Paling sedikit ada dua sebab orang Tionghoa terpaksa
menyatakan setuju kepada penghapusan Distrik
Pengembangan. Pertama, dalam sistem pemerintahan GMI
yang episkopal, yang memberikan kuasa yang sangat besar
kepada Bishop, terutama kuasa untuk memutasikan pendeta,
maka agak berat bagi seorang pendeta atau guru Injil
menyatakan secara terbuka sikap penolakan terhadap gagasan
seorang Bishop. Kedua, para pendeta dan utusan kaum awam
dari Distrik Pengembangan sangat menentang ide itu, tetapi
karena takut dituduh menentang program integrasi (asimilasi)
yang dicanangkan peme¬rintah, tak satu pun berani menentang
gagasan itu di hadapan sidang.
Dengan singkat dapat dirangkum bahwa tanggal 22 Juni 1983
se¬cara resmi eksistensi Distrik Pengembangan (dulu: Distrik
Tionghoa) berakhir setelah berumur kurang lebih 45 tahun (1938–
1983). Faktor-faktor yang berperan dalam proses penghapusan
Distrik Pengembangan antara lain adalah:
(1)Aspirasi orang Batak sejak otonomi GMI yang menghendaki
integrasi distrik-distrik dalam GMI, terutama di Sumatra Utara
supaya jemaat yang kaya (Tionghoa) dapat membantu jemaat yang
miskin (umumnya jemaat Batak) di satu-satu Distrik;
(2)Adanya upaya-upaya orang Tionghoa untuk membentuk
Konferensi Tahunan sendiri yang oleh orang Batak dikhawatirkan
akan semakin memperlebar gap kedua kelompok etnis dalam GMI,
sehingga harapan yang terkandung pada faktor pertama di atas
semakin jauh;
(3)Penggalangan dana besar-besaran untuk mendukung
gerakan kebangkitan GMI terutama usaha pekabaran Injil di
Tanah Karo merupakan faktor ter¬penting dalam kebijakan
penghapusan Distrik Pengembangan;
(4)Supremasi seorang bishop dalam GMI yang mempunyai
kuasa untuk memindahkan seorang pendeta;
(5)Para pendeta Tionghoa pada saat itu tidak bersatu untuk
menolak gagasan penghapusan Distrik Pengembangan; dan
(6)Masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan)
yang sangat sensitif di Indonesia ikut berperan dalam konteks
penghapusan Distrik Pengembangan itu.
Belajar dari Negara Tetangga

Mulai dari tahun 1936, Misi Methodist di Singapura telah mengadakan pemisahan Konferensi
Tahunan berdasarkan kelompok etnis, dengan lahirnya Malaysia Chinese Annual Conference.
Gereja itu mandiri pada tahun 1968, struktur Konferensi Tahunan tetap mengikuti jalur bahasa.
Khusus di Singapura, yang sejak tahun 1976 berpisah dari Gereja Methodist di Malaysia,
Konferensi Tahunannya dibuat sebagai berikut: Chinese Annual Conference, untuk jemaat-
jemaat yang berbahasa Tionghoa; Emmanuel Tamil Annual Conference untuk jemaat-jemaat
yang berbahasa Tamil; dan Trinity Annual Conference untuk jemaat-jemaat yang berbahasa
Inggris. Dan kemudian Konferensi yang terakhir ini pada umumnya terdiri dari jemaat
campuran. Sejalan dengan hal itu, pada masa zending, atau paling sedikit pada tahun 1930-an,
Misi Methodist di Sumatra ingin membuat membuat pengorganisasian demikian. Namun,
karena secara kuantitatif pekerjaan Methodist di Sumatra masih kecil, belum mungkin
mengorganisasinya menjadi beberapa Konferensi Tahunan berdasarkan kelompok etnis atau
bahasa. Langkah yang dilakukan, yaitu dengan lahirnya Distrik Tionghoa di Sumatra tahun
1938, yang menaungi seluruh jemaat Methodist yang berbahasa Tionghoa.
Ada perbedaan yang asasi antara kedudukan orang Tionghoa di
Singapura dan Malaysia dengan di Indonesia. Di kedua negara
pertama kedudukan kelompok etnis Tionghoa diakui, tetapi di
Indonesia menjadi kontroversi. Ada dua aliran di Indonesia yang
bertentangan mengenai kedudukan sosial budaya orang Tionghoa.
Golongan integrasionis menghendaki agar orang Tionghoa diakui
sah sebagai salah satu kelompok etnis di Indonesia. Berlawanan
dengan pendapat ini, golongan asimilasionis menghendaki agar
masyarakat Tionghoa membaurkan diri secara total dengan golongan
pribumi di mana orang Tionghoa berada.
Kontroversi antara aliran integrasionis dan asimilasionis ini dalam
batas-batas tertentu masuk ke dalam GMI. Ada kelompok di dalam
GMI (terutama kelompok etnis Tionghoa) yang menghendaki agar
eksistensi kelompok etnis Tionghoa diakui sebagai sesuatu yang sah.
Dengan demikian, kelompok ini menghendaki agar jemaat-jemaat
Tionghoa dalam GMI bukan saja harus diorganisasikan menjadi satu
distrik, tetapi juga sudah selayaknya menjadi satu Konferensi
Tahunan. Inilah yang mendorong Distrik Pengembangan pada tahun
1977 dan 1979 mengajukan permohonan agar Distrik
Pengembangan diorganisasikan menjadi Konferensi Tahunan, tetapi
ditolak.
Methodist Tionghoa di Sumatra Utara untuk mempunyai
Distrik atau Konferensi Tahunan tersendiri juga didukung
oleh wawasan eklesiologis gereja Methodist yang bercorak
koneksional. Orang-orang Batak dalam GMI kurang peduli
dengan masa depan jemaat-jemaat Tionghoa. Orang-orang
Batak, khususnya para pendetanya, tidak berusaha
memahami bagaimana metode dan strategi pekabaran Injil
yang cocok diterapkan untuk masyarakat Tionghoa,
khususnya di Sumatra Utara.
Hingga sekarang, ada kecenderungan bahwa bagi orang-orang Batak
sudah cukup kalau jemaat-jemaat Tionghoa dan sekolah-sekolahnya
dapat berfungsi sebagai sumber dana bagi GMI. Sementara itu, di
pihak orang Tionghoa ada anggapan bahwa kalau setoran dibereskan
ke kantor Pusat GMI untuk gaki pekerja semuanya telah selesai.
Orang Tionghoa juga kurang peduli dengan pergumulan dan
masalah yang dihadapi jemaat-jemaat Batak. Jadi, kemitraan orang
Tionghoa dan orang Batak dalam GMI belum merupakan
persekutuan sebagai Tubuh Kristus, tetapi lebih cenderung sebagai
kebersamaan yang diikat oleh prinsip simbiose mutualistis
Unsur etnis masih sangat kuat berbicara dalam GMI, baik di
pihak Tionghoa maupun orang Batak. Inilah yang harus
diubah dan dibarui supaya orang Batak dan orang Tionghoa
dalam GMI dapat betul-betul menjadi mitra yang kreatif
yang dapat menjadi model bagi gereja-gereja lain di
Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa bahasa memegang
peranan kunci dalam rangka menuju kesatuan dan
perkembangan dalam suatu gereja. Dalam dunia religius,
bahasa ibu (mother tongue) adalah sarana komunikasi yang
paling menentukan.
Berkaitan dengan eksistensi kelompok etnis
Tionghoa, pertanyaan dasar adalah: sejauh
mana gereja-gereja di Indonesia, khususnya
GMI, memahami dan mengakui bahwa
kelompok etnis Tionghoa adalah juga
manusia yang diciptakan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai