SEJARAH GE R
IST RIK TIO NEMBANGAN
GHO A/ PE NG
PRO-KONTRA D
NAMA/NIM :
T I S IH O T A N G / 1 9 1 0 0 8 4,
HELENDA YULIAN 8 7 ,
JE SIK A S IN A G A / 1 9 1 0 0
MARISI TUA/1910089,
V T IN S IP A Y U N G /1 9 1 0 0 9 4,
NO
P IN S IN A M O /1 9 1 0 0 9 6 ,
PIN
O N S IM A R M A T A / 19 10 10 0,
RISM
E N D R A T U M A N G G ER / 1 9 1 0102,
R O BY H 7 1 0985.
E S L EY H U T A G A L U N G /1
JOHN W
Keberadaan Gereja-gereja Yang Berlatar
Belakang Tionghoa Di Indonesia Tidak Dapat
Dipisahkan Dari Pekerjaan Misionaris Yang
Dilakukan Oleh Penginjil Eropa Atau Penginjil
Tionghoa. Perkembangan Distrik Tionghoa
Pada Masa Itu Memiliki 3 Masalah Yang Perlu
Kita Ketahui Yang Membuat Jemaat-jemaat Di
Tionghoa Menderita Pada Saat Itu Yaitu Pada
Tahun 1950-an. Yang Mengakibatkan
Pemecahan - Pemecahan Antara Jemaat
Tionghoa
1) kerusakan-kerusakan material dan
spiritual bagi jemaat-jemaat Tionghoa
sebagai akibat pendudukan Jepang dan
perang revolusi kemerdekaan Republik
Indonesia.
2) kedudukan sosial politik kelompok etnis Tionghoa di Indonesia
yang mengalami perubahan mendasar. Selama zaman kolonialisme
Belanda, kelompok ini menikmati berbagai hak istimewa seperti
pedagang perantara serta status sosial setingkat di bawah golongan
Eropa yang setingkat di atas orang pribumi, Namun setelah
kemerdekaan Indonesia, mereka justru menjadi kelompok minoritas
yang menjadi sasaran berbagai prasangka rasial dari pihak pribumi
dan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Munculnya
kebijaksanaan ”politik benteng" tahun 1950-an adalah suatu bukti
adanya diskriminasi rasial terhadap masyarakat Tionghoa.
3) infiltrasi komunis yang menyusupi jemaat-jemaat
yang diasuh Misi Methodist terutama sekolah-sekolah
Methodist. Pada waktu Tiongkok terbagi dua atas
pengikut Kwo Min Tang (yang disebut golongan biru)
dan Mao Tse Tung (yang disebut golongan merah),
maka loyalitas masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara
termasuk Indonesia juga terbagi dua.
Ketiga kondisi di atas melatarbelakangi pekerjaan dan
langkah-langkah konkret yang dilakukan Misi Methodist
di kalangan orang Tionghoa.
Pada Konferensi Tahunan Klaus selaku Pemimpin Distrik
Tionghoa dalam laporannya mengajukan kebutuhan mendesak
membuat pengembangan distrik Tionghoa pada Januari 1950,
A.V.
Mulai dari tahun 1936, Misi Methodist di Singapura telah mengadakan pemisahan Konferensi
Tahunan berdasarkan kelompok etnis, dengan lahirnya Malaysia Chinese Annual Conference.
Gereja itu mandiri pada tahun 1968, struktur Konferensi Tahunan tetap mengikuti jalur bahasa.
Khusus di Singapura, yang sejak tahun 1976 berpisah dari Gereja Methodist di Malaysia,
Konferensi Tahunannya dibuat sebagai berikut: Chinese Annual Conference, untuk jemaat-
jemaat yang berbahasa Tionghoa; Emmanuel Tamil Annual Conference untuk jemaat-jemaat
yang berbahasa Tamil; dan Trinity Annual Conference untuk jemaat-jemaat yang berbahasa
Inggris. Dan kemudian Konferensi yang terakhir ini pada umumnya terdiri dari jemaat
campuran. Sejalan dengan hal itu, pada masa zending, atau paling sedikit pada tahun 1930-an,
Misi Methodist di Sumatra ingin membuat membuat pengorganisasian demikian. Namun,
karena secara kuantitatif pekerjaan Methodist di Sumatra masih kecil, belum mungkin
mengorganisasinya menjadi beberapa Konferensi Tahunan berdasarkan kelompok etnis atau
bahasa. Langkah yang dilakukan, yaitu dengan lahirnya Distrik Tionghoa di Sumatra tahun
1938, yang menaungi seluruh jemaat Methodist yang berbahasa Tionghoa.
Ada perbedaan yang asasi antara kedudukan orang Tionghoa di
Singapura dan Malaysia dengan di Indonesia. Di kedua negara
pertama kedudukan kelompok etnis Tionghoa diakui, tetapi di
Indonesia menjadi kontroversi. Ada dua aliran di Indonesia yang
bertentangan mengenai kedudukan sosial budaya orang Tionghoa.
Golongan integrasionis menghendaki agar orang Tionghoa diakui
sah sebagai salah satu kelompok etnis di Indonesia. Berlawanan
dengan pendapat ini, golongan asimilasionis menghendaki agar
masyarakat Tionghoa membaurkan diri secara total dengan golongan
pribumi di mana orang Tionghoa berada.
Kontroversi antara aliran integrasionis dan asimilasionis ini dalam
batas-batas tertentu masuk ke dalam GMI. Ada kelompok di dalam
GMI (terutama kelompok etnis Tionghoa) yang menghendaki agar
eksistensi kelompok etnis Tionghoa diakui sebagai sesuatu yang sah.
Dengan demikian, kelompok ini menghendaki agar jemaat-jemaat
Tionghoa dalam GMI bukan saja harus diorganisasikan menjadi satu
distrik, tetapi juga sudah selayaknya menjadi satu Konferensi
Tahunan. Inilah yang mendorong Distrik Pengembangan pada tahun
1977 dan 1979 mengajukan permohonan agar Distrik
Pengembangan diorganisasikan menjadi Konferensi Tahunan, tetapi
ditolak.
Methodist Tionghoa di Sumatra Utara untuk mempunyai
Distrik atau Konferensi Tahunan tersendiri juga didukung
oleh wawasan eklesiologis gereja Methodist yang bercorak
koneksional. Orang-orang Batak dalam GMI kurang peduli
dengan masa depan jemaat-jemaat Tionghoa. Orang-orang
Batak, khususnya para pendetanya, tidak berusaha
memahami bagaimana metode dan strategi pekabaran Injil
yang cocok diterapkan untuk masyarakat Tionghoa,
khususnya di Sumatra Utara.
Hingga sekarang, ada kecenderungan bahwa bagi orang-orang Batak
sudah cukup kalau jemaat-jemaat Tionghoa dan sekolah-sekolahnya
dapat berfungsi sebagai sumber dana bagi GMI. Sementara itu, di
pihak orang Tionghoa ada anggapan bahwa kalau setoran dibereskan
ke kantor Pusat GMI untuk gaki pekerja semuanya telah selesai.
Orang Tionghoa juga kurang peduli dengan pergumulan dan
masalah yang dihadapi jemaat-jemaat Batak. Jadi, kemitraan orang
Tionghoa dan orang Batak dalam GMI belum merupakan
persekutuan sebagai Tubuh Kristus, tetapi lebih cenderung sebagai
kebersamaan yang diikat oleh prinsip simbiose mutualistis
Unsur etnis masih sangat kuat berbicara dalam GMI, baik di
pihak Tionghoa maupun orang Batak. Inilah yang harus
diubah dan dibarui supaya orang Batak dan orang Tionghoa
dalam GMI dapat betul-betul menjadi mitra yang kreatif
yang dapat menjadi model bagi gereja-gereja lain di
Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa bahasa memegang
peranan kunci dalam rangka menuju kesatuan dan
perkembangan dalam suatu gereja. Dalam dunia religius,
bahasa ibu (mother tongue) adalah sarana komunikasi yang
paling menentukan.
Berkaitan dengan eksistensi kelompok etnis
Tionghoa, pertanyaan dasar adalah: sejauh
mana gereja-gereja di Indonesia, khususnya
GMI, memahami dan mengakui bahwa
kelompok etnis Tionghoa adalah juga
manusia yang diciptakan Tuhan.