Anda di halaman 1dari 16

Aspek sosial budaya yang berkaitan dengan bayi dan balita

KELOMPOK 5:
1. Dora Putri Susanti 2115401056
2. Ericha Arianti 2115401058
3. Intan Paramita 2115401063
4. Khonita Mir’atus Solehah 2115401065
5. Ratri Setyo Kinanti 2115401077
6. Lia Novita 2115401094
Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Neonatus

1. Bedong

• Membedong bayi dapat memperkuat kaki atau membuat struktur kaki bayi menjadi
lurus
Yang sebenarnya adalah sentuhan kulit ke kulit membuat bayi baru lahir, terutama bayi
premature, lebih baik perkembangannya. Walaupun begitu, tidak diperlukan untuk
memijatnya setiap hari. Yang perlu dilakukan adalah perbanyak sentuhan dan
berkomunikasi dengan si kecil agar ia merasa nyaman danaman.

• Bedong agar kaki bayi tidak bengkok


Tidak ada hubungan antara membedong dengan kekuatan kaki atau struktur kaki bayi.
Justru bayiakan lebih mudah bergerak untuk melatih kaki dan tangannya, jika bedong
dilakukan dengan longgar.Biarkan kaki dan tangan bayi bebas bergerak.Membedong anak
sekuat mungkin tidak ada hubungannya sama sekali untuk meluruskan kaki bayi.Semua
kaki bayi memang bengkok pada awalnya.
Hal ini berkaitan dengan posisi bayi yang meringkuk didalam rahim. Nanti, dengan semakin
kuatnya tulang anak dan kian besarnya keinginan untuk bisa berjalan,kaki anak akan
lempeng sendiri. Perkembangan fisiologis kaki memang seperti itu.

2. Hidung ditarik agar mancung


Faktanya ini jelas salah, karena tidak ada hubungannya menarik pucuk hidung dengan
mancung atautidaknya hidung. Mancung atau tidaknya hidung seseorang ditentukan oleh
bentuk tulang hidung yangsifatnya bawaan.

3. Pemakaian Gurita
Gurita mencegah perut buncit. Faktanya pemakaian gurita pada bayi terutama bayi
perempuan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan upaya pencegahan agar perut bayi
tidak melar ketika ia dewasa. Ketika dilahirkan, semua bayi memang memiliki perut yang
ukurannya lebih besar daripada dada. Seiring pertambahan usia, perut bayi akan kelihatan
mengecil dengan sendirinya.
Pemakaian gurita malah sebaiknya dihindari karena membuat bayi susah bernapas.
Pasalnya, pada awal kehidupan, bayi bernapas dengan menggunakan pernapasan perut
sebelum ia belajar menggunakan pernapasan dada. Pemakaian gurita yang menekan perut
bisa membatasi jumlah udara yang dihirupnya. Mitos ini tak benar, karena organ dalam
tubuh malah akan kekurangan ruangan. Dinding perut bayi masih lemas, volume organ-
organ tubuhnya pun tak sesuai dengan rongga dada dan rongga perut yang ada karena
sampai 5 bulan dalam kandungan, organ-organ ini terus tumbuh sementara tempatnya sangat
terbatas. Jika bayi menggunakan gurita maka ruangan untuk pertumbuhan organ-organ ini
akan terhambat. Kalau mau tetap memakaikan gurita, boleh saja. Asal ikatan bagian atas
dilonggarkan sehingga jantung dan paru-paru bias berkembang.Bila gurita digunakan agar
tali pusar bayi tidak bodong, sebaiknya pakaikan hanya disekitar pusar dan ikatannya
longgar. Jangan sampai dada dan perut tercekik sehingga jantung tidak bias berkembang
dengan baik karena gurita yang terlalu kencang.
4. Menggunting Bulu Mata
Memotong bulu mata bayi agar lentik adalah mitos. Karena bulu mata yang lentik banyak
dipengaruhi oleh faktor hormon, faktor keturunan, serta faktor nutrisi yang dikonsumsi sang
Bayi.
Dalam hal gizi, nutrisi yang dimaksud adalah adalah ASI atau susu formula yang berikan
kepada bayi. Tidak ada suplemen khusus yang harus dikonsumsi oleh bayi untuk membuat
bulu matanya.
Tidak ada manfaat yang akan didapatkan oleh si bayi bila menggunting bulu matanya. Bayi
justru akan mendapatkan efek samping berbahaya yang merugikan dirinya.
Beberapa efek samping yang bisa dialami bayi bila menggunting bulu mata bayi adalah:
a. Kehilangan fungsi bulu mata

b. Resiko terluka akibat guntung

c. Kerusakan bulu mata


5. Khitan  Pada Bayi
Khitan atau sirkumsisi adalah suatu tindakan operasi untuk menghilangkan kulit pada
penis dengan tujuan medis tertentu atau karena faktor budaya atau keagamaan.
Umumnya di Indonesia sunat dilakukan saat anak masuk dalam usia sekolah, akan tetapi
sebenarnya sunat dapat dilakukan saat bayi.
Proses penyembuhan luka setelah sunat diipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
1. Usia
2. Ukuran penis
3. Kebersihan luka
4. Ada/ tidak infeksi pada luka
5. Metode operasi
Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Pola Asuh Gizi
Pada Bayi dan Balita

Pola asuh gizi yang juga merupakan pola perilaku adalah praktek pemberi perawatan
yang dilakukan baik oleh orang tua,; nenek, pengasuh, tenaga perawat atau bahkan
tetangga dan saudara balita yang berkaitan dengan status gizi. Ada tiga faktor yang
mempengaruhi pola asuh gizi, yaitu sosiobudaya, keadaan politik dan keadaan ekonomi.
Pada penelitian ini, dari ketiga faktor tersebut faktor politik dianggap mempunyai keadaan
atau gambaran yang sama dengan daerah-daerah di wilayah Propinsi Jawa Tengah pada
umumnya dan Kabupaten Demak khususnya.
Faktor ekonomi sudah tergambarkan pada saat penentuan lokasi penelitian, dimana daerah
Pecuk mempunyai keadaan ekonomi yang tidak mendukung timbulnya status gizi yang
baik, sehingga faktor keadaan sosiobudaya setempat yang belum didapat gambaran serta
kaitannya dengan pola asuh gizi yang dapat mempengaruhi status gizi balita di daerah
tersebut, yang kemudian di fokuskan pada penelitian ini adalah pada sistem budayanya.
Sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang dalam Bahasa Indonesia lebih lazim
disebut adat istiadat. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
konsep-konsep, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Ide-ide dan gagasan-gagasan
manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada
masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan
selalu berkaitan, menjadi suatu sistem, yang disebut sistem budaya. Fungsi dari sistem
budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia
(Koentjaraningrat, 1990).

Nilai yang merupakan unsur sistem budaya adalah gagasan mengenai apakah pengalaman
berarti atau tidak berarti. Dalam setiap masyarakat beberapa nilai memiliki penghargaan
yang lebih tinggi dari nilainilai lainnya, nilai dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan
nilai-nilai juga mempengaruhi kebiasaan dan tata kelakuan (Horton and Hunt 1984
Sedangkan nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam
alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka
anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai
suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga
masyarakat. Berdasarkan data yang didapat, nilai-nilai yang ada di masyarakat Desa Pecuk
sudah terdapat pergeseran atau dapat dikatakan nilai lama diganti dengan nilai baru.
Perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat Desa Pecuk ini dipengaruhi oleh informasi-
informasi, pengarahan serta penjelasan rasionalisasi yang mereka dapat melalui:
(1) media televisi,
(2) adanya perpindahan penduduk, baik yang bersifat sementara maupun menetap dari
luar daerah, terutama dari kota/desa yang lebih besar (migrasi),
(3) adanya penduduk yang bekerja keluar desa dan
(4) adanya kemudahan transportasi,
(5) serta adanya peran institusi kesehatan setempat.
Perubahan nilai-nilai yang mempengaruhi pola asuh gizi berupa:

1. Adanya nilai balita yang tinggi pada masyarakat Desa Pecuk, sehingga balita
dimanjakan dengan berbagai fasilitas atau keluarga mempunyai kepedulian yang tinggi
terhadap balitanya, khususnya yang berkaitan dengan pola asuh gizi balita, yaitu pada
penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan/pengobatan pada balita.
2. Pemanfaatan pekarangan untuk beternak dianggap mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan menanam sayuran di pekarangan rumah. Keadaan ini
mangakibatkan lingkungan rumah yang tidak sehat. Halaman rumah bahkan didalam
rumahpun kadang terdapat kotoran ternak. Dari sisi lain ternak yang dipelihara
merupakan ketersediaan bahan pangan protein yang sangat berarti bagi balita. Ayam
atau bebek yang dipelihara kebanyakan hanya untuk keperluan makan keluarga, baik
berupa telurnya maupun dagingnya. Pada saat keluarga kehabisan uang, maka ayam
atau bebek ini akan dijual untuk membeli beras atau kadang digunakan untuk biaya
pengobatan balitanya. Hal tersebut mengakibatkan program dari institusi kesehatan
yang banyak digalakan berupa kebun gizi, tidak berjalan dengan baik atau kurang
diminati masyarakat.
3. Banyaknya masyarakat Desa Pecuk yang bekerja ke luar daerah termasuk ibu balita,
menyebabkan perawatan balita diserahkan kepada keluarga (nenek atau saudara lainnya
yang ada di desa), atau membayar orang lain untuk dapat mengganti merawat balitanya.
Biasanya kepada tetangganya. Disisi lain bekerja sebagai buruh di Jepara atau Kudus
memberikan pendapatan yang dapat diterima setiap minggu, yang kemudian dapat segera
digunakan untuk keperluan perawatan balitanya, misalnya untuk uang jajan, membeli susu
formula, bubur bayi atau untuk keperluan asupan makanan balita lainnya termasuk juga
untuk membayar pengasuh selama balita ditinggal bekerja. Ibu balita biasanya bekerja
sebagai buruh rokok, sedangkan laki-laki biasanya sebagai supir pabrik atau buruh bengkel.
Pada kenyataannya setelah dihitung-hitung pemasukan yang didapat ibu balita yang bekerja
sebagai buruh rokok habis untuk menutupi kebutuhan jajan dan makan balita serta
membayar pengasuhnya. Dalam hal ini ibu merasa puas karena sudah melakukan tanggung
jawab memenuhi kebutuhan untuk balitanya.
Pemenuhan makan balita dari makanan jajanan merupakan hal yang diutamakan dari segi
penyediaan dana dan sering menggantikan porsi makan untuk siang atau sore hari bagi balitanya.
Perilaku jajan merupakan salah satu bentuk pilihan asupan makan yang kemudian merupakan
pola kebiasaan makan pada balita di Desa Pecuk. Perilaku jajan ini berkaitan dengan food
ideology yang berdasarkan sudut pandang spesifik dari penentu pemilihan makanan dalam rumah
tangga di masyarakat Desa Pecuk (biasanya adalah ibu). Food ideology tersebut berupa balita
harus mencapai kesehatan yang maksimum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka orang
tua memfasilitasi semua kebutuhan balita termasuk keinginan jajan. Harapan orang tua dengan
memenuhi kemauan makan balita, maka asupan makan balita juga terpenuhi, yang kemudian
dapat menjadikan balita dengan status gizi yang baik dan sehat. Pilihan makan berupa jajan bagi
balita di Desa Pecuk dipengaruhi oleh:

1) Faktor karakteristik lingkungan, dalam hal ini lingkungan budaya, yang berupa hampir
semua balita setiap hari jajan dan banyaknya penjaja jajan yang menawarkan dagangannya di
depan rumah, sehingga memacu balita untuk selalu jajan.
2) Psikologi perilaku makan, dimana perilaku jajan selalu difasilitasi oleh orangtuanya,
oleh karena jika tidak maka balita akan menangis menyebabkan orang tua merasa bersalah
tak dapat memenuhi kebutuhan anaknya, atau orang tua merasa malu kepada tetangganya.

3) Faktor komersial, oleh karena banyaknya penawaran berbagai jenis makanan dari media
televise, radio dan lainlain yang memicu keinginan balita untuk jajan. Pemilihan asupan
makanan dari makanan jajanan ini lebih mempertimbangkan keinginan makan dibandingkan
kebutuhan makan yang memenuhi syarat-syarat sehat bagi balita, terutama berkaitan
dengan resiko makanan jajanan yang terjadi dalam jangka panjang, sehingga pada saat
penelitian belum terlihat efek resikonya.
KESIMPULAN

Aspek sosial berpengaruh terhadap status kesehatan dan perilaku kesehatan


Diantaranya umur, jenis kelamin, dan sosial ekonomi. Selain aspek sosial,
aspek budaya juga berpengaruh terhadap status kesehatan dan perilaku
kesehatan. Aspek budaya tersebut adalah pengaruh tradisi, sikap fatalistis,
sikap ethnosentris, pengaruh perasaan bangga pada statusnya, pengaruh
norma, dan pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku Kesehatan.
TERIMAKASIH

SOSIAL BUDAYA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN

Anda mungkin juga menyukai