Anda di halaman 1dari 26

KONSEP

PRAGMATIK

Dr. M. Surif, S.Pd. M.Si.


Kecenderungan antisintaksisme
Pragmatika Linguistik Definisi
Kecenderungan sosial-kritis

Pragmatik Perkembangan Pragmatik Tradisi Filsafat

Tradisi etnometodologi

Beberapa tema dalam pragmatik

Tindak tutur Politenesss/Kesantunan Presuposisi

Hubungan antara sesuatu


Yang Dikatakan dengan
Lokusi Ilokusi Perlokusi K. Berpakaian K. Berbuat K. Berbahasa sesuatu yang lain
Yang dikatakan itu

•Teori Relevansi/Prinsip Teori


Asertif Direktif Komisif Ekspresif Dieklaratif •Prinsip Sopan Santun
•Prinsip Kesantunan Rasional dan Muka
•Prinsip Kerjasama
•Prinsip Kesantunan Formal
Definisi Pragmatik

Pragmatik cenderung berurusan dengan aspek-aspek


informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang
disampaikan melalui bahasa yakni ; (a) tidak dikodekan oleh
konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk
linguistik yang digunakan, namun (b) juga muncul secara
alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang
dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat
penggunaan bentuk-bentuk tersaebut [penekanan
ditambahkan] (Cruse, 2000:16).
Pragmatik merupakan kajian hubungan antara
bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau
terkodifikasi dalam struktur bahasa (Levinson,
1983:9)
George Yule (1996:3) ; Pragmatik adalah studi
tentang makna yang disampaikan oleh penutur
(atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau
pembaca).
Semantik dan Pragmatik

Semantik dan Pragmatik memiliki kesamaan, yaitu cabang-


cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan
bahasa.
Namun, di antara kedua cabang ilmu bahasa itu memiliki
perbedaan, yaitu semantik mempelajari makna satuan bahasa
secara internal sedangkan pragmatik mempelajari makna
satuan bahasa secara eksternal.
Telaah semantik adalah makna yang bebas konteks,
sedangkan makna yang ditelaah pragmatik adalah makna
yang terikat konteks.
Menurut Yule (1996:3) ada empat definisi
pragmatik yaitu
 Bidang yang mengkaji makna pembicara

 Bidang yang mengkaji makna menurut

konteksnya
 Bidang yang melebihi kajian tentang

makna yang diujarkan, mengkaji makna


yang dikomunikasikan atau
terkomunukasikan oleh pembicara
 Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi

menurut jarak sosial yang membatasi


partisipan yang terlibat dalam percakapan
tertentu.
Mey (1998) seperti dikutip oleh
Gunarwan(2004:5),mengungkap-kan bahwa
pragmatik tumbuh dari empat
kecenderungan atau tradisi, yaitu

• Kecenderungan antisintaksisme
• Kecenderungan sosial-kritis
• Tradisi filsafat
• Tradisi etnometodologi
Contoh:
Kata “bagus” secara internal bermakna “baik, atau tidak buruk”, dan kata “presiden”
secara internal bermakna kepala negara, seperti terlihat pada kalimat (1) dan (2)
berikut ini:
(1) Prestasi kerjanya yang bagus membuat ia dapat diangkat untuk masa jabatan
yang kedua.
(2) Presiden itu sedang menuruni anak tangga pesawat.

secara eksternal bila dilihat dari penggunaannya, kata “bagus” tidak selalu bermakna
“baik” atau “tidak buruk”. Begitu pula “presiden” tidak selalu bermakna “kepala
negara”, seperti terlihat pada dialog (3) dan (4)
(3) Ayah : Bagaimana ujian matematikamu?
Anton : Wah, hanya dapat 45, pak.
Ayah : Bagus, besok jangan belajar. Nonton terus saja.
(4) Awas presidennya datang!
kata “bagus” dalam (3) tidak bermakna “baik” tetapi sebailknya. Sementara itu,
kalimat (4) digunakan untuk menyindir, kata “presiden” dalam kalimat (4) tidak
bermakna “kepala negara”, tetapi bermakna seseorang secara ironis pantas
mendapatkan sebutan itu.
Deiksis Relevansi

Implikatur

Pragmatik

Tindak Tutur Kesantunan Presuposisi


TINDAK TUTUR

Di dalam bukunya How to Do Things with Words,


Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang
kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu
konstatif dan performatif.
Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang
menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat
diuji benar atau salah.dengan menggunakan
pengetahuan tentang dunia.
Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak
tutur yang pengutaraannya digunakan untuk
melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat
mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar,
tetapi sahih atau tidak.
Berkenaan dengan tuturan, Austin
membedakan tiga jenis tindakan:

 Tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan


sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan
makna di dalam kamus dan menurut kaidah
sintaksisnya.
 Tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang
mengandung maksud; berkaitan dengan siapa
bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana
tindak tutur itu dilakukan,dsb.
 Tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang
pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82)
membagi tindak tutur menjadi lima kategori:

1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat


penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang
disebutkan di dalam tuturan itu
3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi
tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status,
keadaan, dsb) yang baru.
Contoh:
“Bagaimana kalau kita…kita kawin!”
Tindak tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategori
sekaligus yaitu :
 tindak tutur perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra
tutur agar mau diajak kawin
 direktif karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang
disebutkan di dalam tuturan itu (kawin dengan penutur)
 komisif karena mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa
yang disebutkan di dalam tuturannya (kawin dengan mitra tutur)
 isbati karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan)
 tindak tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’
tidak digunakan secara konvensional untuk menanyakan sesuatu,
melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan sesuatu yang
disebutkan dalam tindak tutur.
Implikatur
Implikatur percakapan mengacu kepada jenis
“kesepakatan bersama”antara penutur dan lawan
tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa
yang dibicarakan harus saling berhubungan.
Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak
terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya,
makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara
harafiah pada ujaran itu.
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di
dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip
dasar, yaitu prinsip kerja sama. Kerja sama yang terjalin
dalam komunikasi ini terwujud dalam empat maksim ;
•Maksim kuantitas, memberi informasi sesuai yang diminta;
•Maksim kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita
benar atau cukup bukti kebenarannya;
•Maksim relasi, memberi sumbangan informasi yang
relevan; dan
•Maksim cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan,
menghindari ketaksaan, mengungkap-kan secara singkat,
mengungkapkan secara beraturan.
Contoh:
A: “Kamu masih di sini.”
B: “Bus ke Sibolga baru saja lewat.”
Kalau hanya melihat kedua ujaran A dan B itu kita tidak memperoleh
keterkaitan, karena A berbicara (mungkin dengan keterkejutan atau
keheranan masih di sini, di Medan) tentang B yang ada di depannya,
sedangkan B berbicara tentang bus yang ke Sibolga. B tidak perlu
heran, karena ada kebenaran bahwa “B ada di sini”. Meskipun A
berujar demikian. Mengapa? Karena B menyadari bahwa A tahu betul
seharusnya B sudah berangkat ke Sibolga (dan tidak “di sini”).
Sebaliknya, A juga tidak perlu heran karena B mengucapkan kalimat itu
karena kalimat B tadi merupakan alasan mengapa dia belum berangkat
(dan arena itu masih di sini). Jadi, implikatur percakapan itu dapat
dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam cakapan yang
dipahami oleh masing-masing partisipan.
Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber
dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim
yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice.
Menurut mereka, maksim yang terpenting dalam
teori Grice adalah maksim relevansi. Dalam teori
relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan
pesan dapat dipahami oleh penerimanya.
DEIKSIS

Menurut Cahyono (1995: 217), deiksis


adalah suatu cara untuk mengacu ke
hakekat tertentu dengan menggunakan
bahasa yang hanya dapat ditafsirkan
menurut makna yang diacu oleh penutur
dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Menurut Nababan (1987)
 Deiksis orang, ditentikan menurut peran peserta dalam
peristiwa bahasa
 Deiksis tempat ialah pemberian tempat pada lokasi
menurut peserta dalam peristiwa bahasa
 Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang
waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam
peristiwa bahasa
 Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian
tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang
dikembangkan
 Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan
berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang
mempengaruhi peran pembicara dan pendengar.
KESANTUNAN
Kesantunan (politiness), kesopansantunan,
atau etiket adalah tatacara, adat, atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu
masyarakat tertentu sehingg kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati
oleh perilaku sosial. Oleh karena itu,
kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
KESANTUNAN

Kesantunan
Kesantunan
Berbahasa
Berpakaian
Kesantunan
Berbuat

Berpakaianlah yang sopan


di tempat umum, Tatacara bertindak atau Tatacara berkomunikasi
berpakaianlah yang rapi gerak gerik ketika meng- Lewat tanda verbal
sesuai dengan keadaan Hadapi sesuatu atau dalam Atau tatacara berbahasa
Situasi tertentu
Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986)
pada hakikatnya harus memperhatikan empat
prinsip.

Penerapan prinsip kesopanan dalam berbahasa

Penghindaran pemakaian kata tabu

Penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus

Penggunaan pilihan kata honorifik


Kesantunan sebagai fenomena pragmatik

Konsep kesantunan ini kemudian berkembang


menjadi lima teori kesantunan berbahasa

Teori Relevansi Sperber dan Wlson (1989)

Leech memperkenalkan sejumlah


Prinsip sopan santun maksim: Principle Politeness

Brown dan Levinson membedakan


P. kesantunan rasional dan muka dua jenis muka: positive face
dan negative face

Prinsip kerjasama Grice (1975) memperkenalkan prinsip


Kerjasama yang memuat 4 maksim
PRESUPOSISI
Intuisi dasar di belakang konsep ‘presuposisi’
itu adalah hubungan antara sesuatu yang
dikatakan (atau bisa dikatakan) dan sesuatu yang
lain dari yang dikatakan itu. Untuk memahami
definisi ini perlu dipahami konsep yang terkait,
yaitu entailment (mengandung serta). Proposisi p
mengandung presuposisi q jika dan hanya jika p
mengandung q dan kenegatifan p juga
mengandung q.
Contoh susunan yang
mengandung presuposisi

Harold menyesal melukai Sandra.

Yang dipresuposisi: Harold melukai Sandra

Penyakit Hubert kambuh lagi.

Yang dipresuposisi: Hubert sebelumnya pernah sakit


SEMOGA BERMANFAAT

Anda mungkin juga menyukai