Epistemologi Positivisme
Pada abad ke-19 timbul filsafat yang disebut
Positivisme, yang diturunkan dari kata ―positif‖.
Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah
diketahui, yang faktual, yang positif. Oleh karena
itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara
positif adalah segala yang tampak.
• Pengertian a priori
Pengertian yang sudah ada sebelum
pengalaman. Jenis pengertian ini
merupakan bawaan sejak lahir.
• Pengertian a posteriori
Pengertian yang baru ada setelah
pengalaman. Jenis pengertian ini
merupakan hasil pengamatan terhadap
sesuatu.
Untuk membedakan keduanya, dapat dilihat contoh
berikut ini, rasa hormat ada pada setiap manusia
adalah sebagai pengertian apriori, tetapi cara
menghormati yang perlu dipelajari adalah sebagai
pegertian aposteriori. Sebagaimana yang diketahui,
cara hormat itu beragam. Inilah yang membedakan
antara positivisme dan empirisme, positivisme hanya
membatasi diri pada pengalaman-pengalaman objektif,
sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-
pengalaman batiniah atau pengalaman yang subyektif.
Kesamaan keduannya mengutamakan pengalaman.
Filsafat positivisme diantarkan oleh
Auguste Comte (1798-1857). Comte
menjadi juru tulis pada de Saint Simon.
Kebanyakan idenya memang berasal dari
de Saint-Simon.
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran
filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-
dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang
menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini
adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual
dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini,
yang dimaksud dengan ―positif‖ adalah segala
gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah
fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur
sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam
asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh
terpenting dari aliran filsafat Positivisme.
Menurut Comte, dan juga para penganut aliran
positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi
fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme.
Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau
penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti
apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga
filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang
terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum
positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat,
diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan
kebenarannya.
Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan
hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini
supaya dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Tidak ada gunanya untuk mencari hakekat
kenyataan. Hanya satu hal yang penting,
mengetahui, supaya siap untuk bertindak,
mengetahui supaya manusia dapat menantikan
apa akan terjadi. Lawan filsafat positif itu
bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan filsafat
spekulatif atau metafisika.
Menurut Comte, perkembangan
manusia berlangsung dalam tiga tahap.
Pertama, tahap teologis,
kedua, tahap metafisik,
ketiga, tahap positif
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa
dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-
kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan
gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini
dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio
dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang
percaya bahwa mereka berada pada tingkatan
lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain
insani.
Tahap Teologis
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap.
• Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif,
dimana orang menganggap bahwa segala benda
berjiwa (animisme).
• Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-
hal tertentu, di mana seluruhnya diturunkan dari
suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya
sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala
memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-
gejala ―suci‖ dapat disebut ―dewadewa‖, dan
―dewa-dewa‖ ini dapat diatur dalam suatu sistem,
sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada
dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya.
Ketiga, adalah tahapan tertinggi, di mana
pada tahap ini orang mengganti dewa yang
bermacam-macam itu dengan satu tokoh
tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia
mengarahkan pandangannya kepada
hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di
sini, manusia percaya kepada kemungkinan
adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di
balik setiap kejadian tersirat adanya maksud
tertentu.
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi
dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya
hanya merupakan varian dari cara berpikir
teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa
hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan
abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-
benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan
dalam sesuatu yang bersifat umum, yang
disebut dengan alam.
Tahap Metafisik
Terjemahan metafisis dari monoteisme itu
misalnya terdapat dalam pendapat bahwa
semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan
dalam konsep ―alam‖, sebagai asal mula
semua gejala.
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk
berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak,
baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau
mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau
melacak hakekat yang sejati dari ―segala sesuatu‖ yang berada
di belakang segala sesuatu.
Tahap Positif
Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya
berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat
manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, Comte menerangkan
bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh
pengertian-pengertian teologis, sesudah itu
dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya
dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan
perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku
bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga
individu dan ilmu pengetahuan.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif
merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya
sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat
dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut
memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan
kongkrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk
memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu
pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta
sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat
mengungkapkan kebenaran yang positif Sesuai dengan
pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam
metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam
kenyataan.
Positivisme melembagakan pandangan dunia objetivistiknya
dalam suatu doktrin kesatuan ilmu. Doktrin kesatuan ilmu
mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun
manusia, harus berada di bawah payung paradigma positivistik.
Doktrin kesatuan ilmu mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu
pengetahuan sebagai
berikut:
1. Bebas nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai,
emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan
yang objektif.
2. Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-
empiris.
3. Bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa
dibenarkan atau disahkan secara logis), bisa
diperiksa secara empiris.
4. Bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya
diperbolehkan melakukan penjelasan
akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia
hanya menjawab pertanyaan how dan tidak
menjawab pertanyaan why.
1. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan
nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari
realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta
yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun
dan
menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-
impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas
berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang
diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan
ditolak (antimetafisika).
Ciri-ciri Positivisme
antara lain:
3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang
mewakili realitas partikularlah yang nyata.
4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta
yang dapat diamati.
5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa
di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural
(adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan
mengasalkan strukturnya sendiri.
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan
dengan prinsip-prinsip mekanis.
1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham
ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan
suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas
kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi
mutlak, teratur dan valid.
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk
bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta,
tetapi juga meramalkan masa depannya.
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan
teknologi.
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology
ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
Kelebihan Positivisme
1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis
sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan
bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia
tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang
tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan
mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak
percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka.
Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah
benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai
pada saat paham positivisme berkembang pada abad ke 19,
jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin
meningkat.
Kelemahan Positivisme
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau
keindahan, sehingga manusia tidak dapat
merasa bahagia dan kesenangan itu tidak
ada. Karena dalam positivisme semua hal itu
dinafikan.
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak
dan empiris sehingga tidak dapat
menemukan pengetahuan yang valid.
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada
sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya,
di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera.
Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah
terbatas dan tidak sempurna.
6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan
dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar –
seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan
untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat
positivisme. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang
bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni
realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir
sebuah tujuan sejarah yang final.