Anda di halaman 1dari 12

TEORI CULTURE CARE LEININGER

KELOMPOK 5

•Nurulkhamidah (C1019036)
•OlifiaSiska (C1019037)
•PrilaAuliSolicha (C1019038)
•PutriEkaAnggraeni (C1019039)
•PutriNurAfni (C1019040)
•RestiPrasticia (C1019041)
•Rindiani (C1019042)
•RizkiYulia Amanda (C1019043)
•Salsa Fuji Intani M (C1019044)
•Syahril Ikhlaludin (C1019048)
•Yudha Shandi Winahyu (C1019053)
DEFINISI

Teori Leininger adalah tentang culture care diversity dan


universality, atau yang lebih dikenal dengan transcultural
nursing. Berfokus pada nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan
pelayanan kesehatan berbasis budaya, serta di dalam teorinya
membahas khusus culture, culture care, diversity, universality,
ethnohistory. Tujuan penggunaan keperawatan transcultural
adalah mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang
humanis, sehingga tercipta praktik keperawatan pada kebudayaan
yang spesifik dan universal.
ETIOLOGI

Maksud dari culture care theory adalah untuk membantu para peneliti dan
dokter menemukan, mendokumentsikan, mengetahui, dan menjelaskan saling
ketergantungan antara perawatan dan fenomena budaya sambil mencatat
perbedaan dan kesamaan antara dan diantara budaya. Teori dirancang untuk
membantu membimbing perawat peneliti dalam menemukan makna,, pola,
ekspresi dan praktik baru terkait dengan budaya perawatan yang telah
mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, dan kelompok
budaya.Diproses penemuan, baik persamaan (commonality) maupun keragaman
(perbedaan) yang dapat diidentifikasi sebagai modalitas budayayang spesifik
untukmemberikan perawatan yang sesuai secara budaya terkait dengan tujuan
kesehatan atau kesejahteraan yang diinginkan.
LANJUTAN...
Pendapat leininger bahwa budaya dan pengetahuan perawatan adalah paling
holistik dalam artian merencanakan dan memahami orang mereka adalah pusat dan
penting untuk pendidikan dan praktik keperawatan leininger menyatakan bahwa
keperawatan transkultural adalah bagian yang paling penting baik dalam bidang
studi formal yang relevan dan sangat menjanjikan penelitian dan praktik karena
kita hidup didunia multikultur prediksinya adalah di mana pengetahuan dan
kompetensi keperawatan terkait budaya akan sangat penting Sebagai panduan
untuk semua keputusan dan tindakan keperawatan yang efektif dan hasil yang
diharapkan.

Pada akhirnya, tujuan dari culture care theory adalah untuk membangun
batang tubuh pengetahuan keperawatan transkultural guna menyediakan praktek
perawatan terbaik oleh generasi perawat dimasa mendatang didunia global
(McFarlan, Marilyn R; Wehbe-Alamah, 2019).
JURNAL

Judul Pengalaman Perawat Kamar Bedah dalam


PenerapanKeperawatan Transkulural di Bali, Indonesia: Studi
Deskriptif Analisis Kualitatif-Kuantitatif.

Jurnal Jurnal Keperawatan

Volume & Volume 13 Nomor 2 & Halaman 147-158


Halaman

Tahun Juni 2021

Penulis Nyoman Agus Jagat Raya1 *, I Wayan Winarta2 , I Wayan


Rosdiana2 , I Wayan Purnata2 , Ni Komang Widiari2
Abstr Kompetensi perawat bedah dalam penerapan keperawatan transkultural sangat diperlukan untuk
menghindari dampak negatif selama pelayanan dan pemberian asuhan keperawatan perioperatif yang
ak
profesional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengalaman perawat kamar bedah
dalam penerapan keperawatan transkultural di Bali, Indonesia. Rancangan penelitian adalah deskriptif
cross-sectional dengan metode campuran sekuensial eksploratori yang dilakukan September sampai
Desember 2020. Penelitian diawali dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara dalam Diskusi
Kelompok Terfokus sebanyak 11 partisipan dan dilanjutkan dengan pengisian kuisioner Gambaran
Pengalaman Penerapan Keperawatan Transkultural terhadap 106 perawat kamar bedah di Provinsi Bali.
Analisis tematik digunakan dalam penelitian kualitatif dan analisis statistik deskriptif digunakan untuk
penelitian kuantitatif. Dua tema didapatkan dalam penelitian ini. Tema pertama adalah fenomena
transkultural di kamar bedah dengan 89 (84%) responden menyatakan pasien meminta organ yang telah
dioperasi untuk dibawa pulang. Tema kedua adalah kompetensi perawat kamar bedah dalam penerapan
keperawatan transkultural dengan komunikasi adalah kompetensi yang terpenting (M = 3,77 ± SD =
0,42). Ketidakpahaman perawat kamar bedah terhadap isu agama, adat, budaya, dan sosial dari pasien
dan keluarga pasien memiliki risiko terjadinya konflik di tatanan keperawatan perioperatif. Edukasi dan
pelatihan tentang keperawatan transkultural menjadi pertimbangan penting dalam meningkatkan
kompetensi perawat kamar bedah.
Pendahuluan Era globalisasi seperti saat ini menjadi tantangan bagi dunia
keperawatan perioperatif untuk memberikan asuhan keperawatan
secara komprehensif ditengah pesatnya arus kemajuan teknologi
pembedahan. Perawat kamar bedah tidak hanya bekerja dengan alat
bedah dan teknologi di ruang operasi, namun harus tetap
memperhatikan pasien yang dimulai dari tahapan preoperasi hingga
pascaoperasi. Kebutuhan pasien dalam menjalani operasi tidak hanya
dilayani kebutuhan fisik pasien, namun juga kebutuhan psikologis dan
sosial, sehingga pasien tidak merasa cemas dalam menjalani suatu
pembedahan (Arakelian, Swenne, Lindberg, Rudolfsson, & van
Vogelsang, 2017). Kebutuhan tersebut dapat dikaji dari latar belakang
budaya, kepercayaan, nilai, norma, gaya hidup, dan kehidupan sosial
pasien.
LANJUTAN...

Perbedaan latar belakang dalam konteks lintas budaya atau transkultural menjadi
hal yang harus diperhatikan perawat kamar bedah dalam mempersiapkan pasien
menjalani suatu pembedahan. Memahami keragaman latar belakang terkait budaya,
norma, nilai, kepercayaan, dan kehidupan sosial telah menjadi isu dan bahasan
penting dalam keperawatan transkultural berdasarkan teori Leininger tentang
perawatan budaya (culture care theory) dengan konsep Sunrise Model. Teori ini
melihat suatu permasalahan kesehatan pasien berdasarkan perbedaan dan
keragaman budaya secara universal, sehingga dapat menjadi landasan dalam
penerapan penelitian ini yang akan dibawa dalam implementasi keperawatan, salah
satunya di tatanan keperawatan perioperatif (McFarland & Alamah, 2019). Konsep
teori ini menjadi salah satu acuan bagi perawat kamar bedah dalam memahami
perbedaan budaya pasien guna memberikan asuhan keperawatan perioperatif yang
profesional dan mencegah konflik dengan pasien dan keluarga pasien menjelang
atau setelah pembedahan.
Keberagaman nilai, norma, agama, adat, budaya, dan kehidupan sosial dari warga
negara Indonesia dan adanya warga negara asing menginisiasi peneliti untuk
menjadikan Bali sebagai lokasi penelitian, sehingga tujuan penelitian ini untuk
mengetahui gambaran pengalaman perawat kamar bedah dalam penerapan
keperawatan transkultural di Bali, Indonesia dapat tercapai.
Metod Penelitian deskriptif cross-sectional dengan metode campuran sekuensial eksploratori
e digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan metode campuran sekuensial eksploratori
Penuli adalah metode penelitian kualitatif yang dilakukan terlebih dahulu dan melakukan analisis
san data, kemudian menggunakan temuan tersebut untuk penelitian kuantitatif. Rancangan
kualitatif menggunakan wawancara diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/
FGD) dan selanjutnya rancangan kuantitatif menggunakan survei kuisioner.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data demografi, pertanyaan
semistruktur, dan kuisioner. Proses pengumpulan data diawali dengan diterbitkannya izin
etik dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP
Sanglah Denpasar (No. 1776/UN14.2.2.VII/LT/2020). Peneliti menggunakan Google
Form untuk menyebarkan kuisioner dan telah diatur untuk mengisi informed consent
sebelum responden melanjutkan mengisi kuisioner secara daring. Data dari karakteristik
demografi dan kuisioner Pengalaman Penerapan Keperawatan Transkultural dianalisis
menggunakan aplikasi statistik deskriptif yaitu menggunakan frekuensi, persentase, rata-
rata, dan standar deviasi.
Hasil Studi kualitatif dengan diskusi kelompok terfokus (FGD) dilakukan kepada 11
Penelitian partisipan dengan 7 laki-laki dan 4 perempuan. Partisipan merupakan kepala
ruangan kamar bedah (55%) dan wakil kepala ruangan (45%). Asal partisipan dari
Kota Denpasar (5), Kabupaten Badung (4), Karangasem (1), dan Buleleng (1).
Hasil analisis tematik memperoleh dua tema yaitu (a) fenomena transkultural di
kamar bedah dan (b) kompetensi perawat kamar bedah dalam penerapan
keperawatan transkultural. Fenomana transkultural di kamar bedah diperoleh dari
beberapa kategori, seperti isu agama, adat, tradisi, budaya, dan sistem pelayanan
di kamar operasi.
Seluruh responden berasal dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Bali. Dominan
responden berjenis kelamin laki-laki (55,7%) dengan rentang usia 41-50 tahun
(33%) dan beragama Hindu (94,3%). Sebagian besar responden memiliki level
pendidikan D3/D4 keperawatan (59,5%) dengan lama bekerja paling dominan
adalah 1-5 tahun dan lebih dari 10 tahun, masing-masing 38,7%. Spesialisasi
bedah para responden didominasi bedah umum (57,5%) dan sebagian besar
sebagai tim perawat bedah instrumen atau sirkuler di kamar bedah (76,4%).
LANJUTAN...
Berdasarkan hasil survei kuisioner dari Tema 1 tentang fenomena
transkultural di kamar bedah didapatkan tiga pengalaman dominan oleh
responden yaitu pasien meminta organ yang telah dioperasi untuk dibawa
pulang (84%), pasien dipercikan dan meminum air suci (tirta) sebelum
dilakukan operasi (52,8%), dan tradisi mendoakan bayi segera setelah lahir
di ruang operasi (27,4%). Sementara itu, pengalaman dari Tema 1 yang
sangat jarang dialami oleh responden yaitu pasien dan/atau keluarga tidak
menerima aturan/prosedur medis yang berlaku dengan alasan
bertentangan dengan budaya dan keyakinan yang dianut (2,8%) (Tabel 2).
Tema 2 tentang kompetensi perawat kamar bedah dalam penerapan
keperawatan transkultural didapatkan tiga skor rata-rata tertinggi yaitu
kemampuan komunikasi menjadi hal terpenting dalam penerapan
kompetensi transkultural (M = 3,77 ± SD = 0,42); kemampuan menjelaskan
tentang aturan RS dan prosedur medis melalui KIE dan informed consent
(M = 3,75 ± SD = 0,45); dan kemampuan menghargai dan menghormati
setiap kepercayaan, agama, budaya, nilai, dan norma yang dianut oleh
pasien (M = 3,66 ± SD = 0,48). Sementara itu, skor rata-rata paling rendah
dari Tema 2 yaitu tidak menerima negosiasi di luar standar operasional
prosedur rumah sakit (M = 2,04 ± SD = 0,70).
Simpulan Fenomena transkultural di kamar bedah menjadi hal sensitif karena
berkaitan dengan agama, adat, tradisi, budaya yang masih dipegang teguh
oleh pasien termasuk ketika menjalani proses pembedahan, salah satunya
membawa pulang organ tubuh yang telah dibedah untuk dibawa
dilakukan upacara adat, dikubur, atau dibuang ke laut. Oleh karena itu,
kompetensi perawat kamar bedah dalam penerapan keperawatan
transkultural menjadi sangat penting untuk mencegah dan meminimalisir
konflik. Komunikasi menjadi kompetensi yang utama, selain kompetensi
lainnya seperti menghormati perbedaan budaya, manajemen konflik,
penerapan transkultural dalam proses keperawatan, dan etika profesi.
Dengan demikian, edukasi dan pelatihan tentang keperawatan
transkultural menjadi pertimbangan penting dalam meningkatkan
kompetensi perawat kamar bedah. Selain itu, penelitian selanjutnya
mengenai keperawatan transkultural di Indonesia sangat diperlukan
mengingat keberagaman budaya, agama, adat, istiadat masyarakat
Indonesia yang cukup banyak, dengan mengacu pada hasil penelitian ini
sebagai data dasarnya.

Anda mungkin juga menyukai