Peran Ayah Yang Terabaikan
Peran Ayah Yang Terabaikan
Terabaikan
ZAINAL ARIFIN
Ayah yang Dulu vs Ayah yang Sekarang
Pada generasi kakek nenek kita, para ayah belum sesibuk ayah-ayah zaman sekarang. Karena
kondisi masa itu, seorang ayah umumnya hanya memegang satu atau dua peran dalam
kesehariannya. Sementara saat ini, seorang ayah bisa jadi berperan sebagai manajer di kantor,
sekaligus pedagang, anggota takmir masjid, pengurus organisasi sosial, dan turut aktif dalam
klub olah raga.
Keadaan menjadi semakin rumit ketika ayah beranggapan bahwa mengurus anak, termasuk
pendidikan mereka di rumah, semata-mata tugas ibu. Sementara sang ayah mencukupkan
dirinya dengan berbagai peran di luar rumah, dengan alasan, yang penting dapat memenuhi
nafkah seluruh keluarga. Anak pun seolah tumbuh tanpa memiliki ayah.
Ketika Ayah Ada = Tidak Ada
Sebagai pencari nafkah, kebanyakan ayah bekerja di luar rumah. Semakin tinggi posisinya di
tempat kerja, semakin besar pula beban tanggung jawabnya. Sayangnya, setelah sampai di
rumah, sebagian ayah masih memikirkan pekerjaan. Ayah hadir bersama anak-anak, namun
perhatiannya tertinggal di tempat kerja.
Dengan sikap seperti ini, seorang ayah cenderung sulit menjalankan perannya. Ayah lupa
bermain dengan anak, lalai dalam memberi bimbingan akhlak, untuk sekadar mengobrol pun
enggan, karena sudah terlalu lelah fisik maupun mentalnya. Tidak mustahil, anak-anak akan
memandang ayah sebagai sosok yang dingin, kurang peduli, bahkan tidak suka kepada anak-
anaknya sendiri.
Efek Negatif Ayah yang Terlalu Sibuk
Seorang ayah yang workaholic alias gila kerja cenderung akan memiliki anak yang mengalami
gangguan perilaku. Dalam sebuah studi di Australia, anak laki-laki berusia 5-10 tahun yang
ayahnya bekerja sebanyak 55 jam atau lebih dalam seminggu cenderung menunjukkan perilaku
agresif, jika dibandingkan dengan anak yang jam kerja ayahnya lebih pendek.
"Penelitian ini penting karena selama ini baru sedikit studi yang secara spesifik merujuk pada
pengaruh jam kerja ayah terhadap perkembangan mental anak," kata ketua peneliti Jianghong Li
dari pusat penelitian ilmu sosial di Berlin, Jerman.
Dapatkah Ibu Menggantikan Ayah?
Seorang ibu bisa saja mengambil alih tugas-tugas ayah, namun ia tidak mungkin menirukan
segala ciri yang dimiliki umumnya ayah. Dalam bermain, misalnya. Kita dapat melihat bahwa
cara ibu bermain dengan anak tidaklah sama dengan ayah. Ibu lebih suka mengajak bermain
yang melibatkan instruksi verbal seperti bermain peran (contohnya, rumah-rumahan).
Sementara ayah cenderung lebih suka mengajak bermain yang sifatnya fisik dan mengandung
unsur timbal-balik (misalnya, bermain sepak bola). Dari cara bermain ini saja, kita akan
menyadari bahwa ada hal-hal yang hanya akan dipelajari anak dari seorang ayah, dan tidak dari
ibunya.
Sosok Ayah dalam Islam
Dalam Islam, sebagaimana ibu, ayah pun memiliki tanggung jawab yang tak kalah penting dalam
sebuah keluarga. Keduanya, yaitu peran ayah dan ibu, bersinergi demi terciptanya mutiara-mutiara
umat yang kelak meninggikan kalimat tauhid.
Islam memberi batasan yang sangat jelas terhadap laki-laki dan perempuan, akan tugas dan tanggung
jawab mereka masing-masing di muka bumi. Tanggung jawab di dalam keluarga, juga kehidupan
bernegara dan berbangsa dalam koridor mereka sebagai hamba Allah.
Peran ayah sebagai pemimpin, mengarahkan orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya agar
senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah. Maka diperlukan sosok ayah yang berilmu dilandasi
keimanan yang mantap.
Mempersiapkan anak-anak agar menjadi bagian dari kebangkitan peradaban. Bukan sekadar generasi
yang mengisi hari-hari tanpa ilmu atau larut dalam aktivitas sia-sia, bahkan membebani negara. Akan
tetapi bersungguh-sungguh menjadikan anak-anak bangsa sebagai manusia yang berkualitas dengan
visi akhirat.
Sebagai Pengingat