a. kematian;
b. perceraian;
c. atas keputusan Pengadilan.
Akibat Putusnya Perkawinan Karena
Perceraian
Menurut Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan karena
perceraian adalah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan
Anak
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, terdapat hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang
tetap berlangsung walaupun terjadi putusnya perkawinan, yaitu antara lain :
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.
Harta Benda dalam Perkawinan
Dalam setiap perkawinan, pastilah ada yang dinamakan harta benda bersama yang diperoleh selama
perkawinan tersebut berlangsung. Bagaimanakah hukum harta benda dalam perkawinan tersebut
apabila perkawinan tersebut putus?
Penetapan hak asuh anak akibat perceraian menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991,
untuk anak yang belum dewasa atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah
hak ibunya. Sedangkan untuk anak yang sudah berumur lebih dari 12 (dua belas)
tahun diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah dan ibunya sebagai
pemegang hak anaknya. Atau menurut pertimbangan hakim berdasarkakn kondisi
perilaku istri maupun suami untuk mengasuh anak. Penetapan pengadilan tentang
hak asuh anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua
kandungnya dan tidak menghilangkan kewajiban kedua orang tuanya untuk
membiayai hidup anaknya.
Penerapannya di Wilayah Nusantara
Penyebutan harta bersama suami-istri berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan harta suarang,
di Kalimantan disebut barang perpantangan, di Bugis disebut dengan cakkara, di Bali disebut dengan druwe gabro, di Jawa disebut dengan barang
gini atau gono-gini, dan di Pasundan disebut dengan guna kaya, barang sekaya, campur kaya, atau kaya reujeung. Di beberapa daerah terdapat
pengecualian terhadap harta bersama tersebut. Di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri, apabila istrinya tidak memberikan
suatu dasar materiil (misal yang berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman) bagi keluarga atau tidak memberi bekal kepada suaminya
yang mengadakan suatu perjalanan. Sementara di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan istri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan
nyalindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi milik istri sendiri. Di Kudus Kulon (Jawa Tengah) dalam
lingkungan para pedagang, maka suami dan istri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga
barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama perkawinan. Adanya harta bersama dalam perkawinan merupakan gejala umum dan
telah menjadi azas umum dalam hukum adat seiring dengan pertumbuhan somah (suami dan istri sebagai suatu kesatuan bersama anak-anaknya
dalam masyarakat adat) yang semakin kuat di dalam masyarakat yang menggeser kedudukan dan pengaruh keluarga besar atau kerabat dalam