Anda di halaman 1dari 21

Peluang dan Tantangan

Restorative Justice [RJ] di


Indonesia
Seminar Nasional “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia: Menggali
Pemikiran Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia"

17 Juli 2019

- Zainal Abidin, SH, Mlaw&Dev -


“Tumbuhnya minat di Indonesia terhadap masalah korban ini cukup
menggembirakan. Perlu diperhatikan bahwa pengertian korban ini sangatlah
luas. Hal ini menyebabkan bahwa dimensi permasalahannya pun dapat
berbeda, tergantung pada kategori korban tersebut. Suatu badan resmi yang
berusaha memantau permasalahan korban ini sudah dirasakan perlunya.”

“Mekanisme kompensasi dan restitusi masih harus dikaji, untuk mencari


bentuk-bentuk mana dan menentukan kategori-kategori korban mana yang
sudah dapat mempergunakan mekanisme ini di Indonesia”

[Mardjono Reksodiputro, “Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah


Korban”, dalam buku “Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana”, Kumpulan
Karangan, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,
1994, hlm. 94-95]
“…bahwa inti dari berbagai cabang teori konflik adalah pandangan:
bahwa konflik sosial adalah penyebab kejahatan. Andaikata konflik
sosial dapat diredusir, angka kriminalitas dapat berkurang. Usaha untuk
meredusir konflik sosial ini adalah antara lain dengan pendekatan
“restorative justice” (keadilan restorative-RJ). Dikatakan pendekatan ini
menekankan pada “non-punitive strategies to prevent and control
crime”.”

[Mardjono Reksodiputro, dari Makalah “Pemikiran Kriminologi:


Restorative Justice”, disampaikan di Departemen Kriminologi FISIP-UI, 2
Juni 2010]
Sejarah – Akar RJ
• Istilah dan konsepsi RJ berkembang pada tahun 1970an, namun konsep dan praktik ‘RJ’ dapat
dilihat dari sejak masa peradaban manusia.
• Bahkan, meski pandangan ini tidak sepenuhnya disepakati, RJ telah menjadi model yang dominan
dalam penyelesaian masalah kejahatan di sebagian besar sejarah umat manusia.
• Kini, RJ kembali menjadi agenda dalam konsepsi peradilan pidana. Pemahaman tentang ‘kejahatan’
juga sekarang berbeda.
• Masyarakat masa lalu memahami dan menyelesaikan konflik dengan fokus pada memulihkan yang
‘pertalian yang rusak’ dari anggota komunitas akibat dari kejahatan. Mereka tidak disebut ‘korban’
atau ‘pelaku’ tapi pihak-pihak yang terdampak dari kejahatan.
• Kondisi penerapan RJ saat ini menujukkan bahwa ada kesamaan dalam melihat kejahatan dan
penanganannya dengan masyarakat masa lalu.

[Theo Garvielides, “Restorative Practices: From the Early Societies to the 1970”, Internet Journal of
Criminology, 2011, hlm. 15]
Retributif ke Restoratif

Dari konsepsi
menghukum, kemudian
membuka peran korban
RJ: Masalah kejahatan
dan pelaku untu
Retributif: Masalah dipertimbangkan sebagai
mengungkapkan cerita
kejahatan dianggap domain atau juga hak
dan perasaan mereka,
domain Negara, peran para pihak [korban,
mencari penyelesaian,
korban dan komunitas pelaku, komunitas] untuk
memperbaiki
terbatas berpartisipasi dalam
kerusakakan, termasuk
penyelesaiannya.
membuka ruang untuk
meminta maaf fan
pemberian maaf
RJ – Prinsip-Prinsip Kunci
Personalism
• Kejahatan adalah pelanggaran terhadap orang dan relasinya, dan bukan sekedar pelanggaran hukum.

Reparasi
• Tujuan utama adalah untuk memperbaiki kerusakan/penderitaah korban dari pada sekedar menghukum
pelaku.

Reintegrasi
• Bertujuan untuk mengembalikan pelaku ke masyarakat daripada mengisolasi dan mengalienasi pelaku
dari masyarakat.

Partisipasi
• Bertujuan untuk mendorong semua pihak, baik langsung maupun tidak langsung, untuk
mengatasi/menghadapi kejahatan secara bersama-sama.
RJ – Healing Justice
• ‘Healing justice’ adalah suatu cara dalam mendekati masalah kejahatan
dengan menangani kerusakan dengan tujuan mengurangi kerusakan,
dengan proses yang holistik, penghormatan pada para pihak,
memperbaiki kerusakan dan menciptakan perubahan. Mengubah konsep
yang sekedar menghukum dan mengisolasi pelaku.
• Konsep ‘healing’ yang lebih luas, yakni penyembuhan yang terkait dengan
korban dan pelaku, komunitas, masyarakat dan negara.
• Memfokuskan pada perbaikan [redress] semua bentuk kerusakan [fisik,
psikologi, materi, komunitas] yang berdampak pada semua pihak yang
terlibat [korban, pelaku, komunitas, dan masyarakat] akibat dari
terjadinya kejahatan.
RJ – Perkembangan 4 Wilayah Kunci
Lingkar –Lingkar Perdamaian Perluasan RJ –
Mediasi korban – pelaku Conferencing
[Peace Circles] [Healing Justice]
• Mediasi korban dan pelaku • Memperluas partisipasi yang • Dianggap sebagai praktik RJ • Kenyataan dalam kejahatan
yang membahas kejahatan terlibat, mencakup keluarga yang paling lengkap dan internasional [kejahatan
yang terjadi dan memahami para pihak. terbuka. terhadap kemanusiaan,
konflik. • Memberikan ruang bagi • Melibatkan lebih banyak genosida, kejahatan perang] –
korban untuk menghadapi pihak dalam konflik, untuk yang dilakukan dan terjadi
pelaku, mengungkapkan mencapai tujuan yang lebih dalam masa konflik.
perasaan mereka, dan banyak melalui proses-proses • Penerapan RJ dalam berbagai
mengajukan pertanyaan. perdamaian. mekanisme penyelesaian
• Sebagai metode penyelesaian • Adanya motivasi para pihak dalam konteks konflik dan
masalah yang langsung untuk membuka penyebab paska konflik.
menyasar pokok masalah. konflik dan menyelesaikan. • Contoh: Komisi Kebenaran
• Forum bagi warga untuk • Komunitas dapat digunakan dan Rekonsiliasi – dalam
menyelesaikan masalah yang dan diaktifkan untuk konteks Keadilan Transisional.
muncul. membantu pelaku dan • Catatan: praktik RJ dilakukan
mengawasi pemenuhan sesuai dengan prinsip-prinsip
tindakan yang diperlukan hukum HAM internasional.
untuk mengatasi kerusakan
yang timbul.
Peluang RJ di Indonesia
• Apa urgensi menerapkan RJ? Atau RJ akan mengatasi dan menjawab
apa?
• Kondisi-kondisi dimana RJ dipertimbangkan sebagai tindakan yang
harus dilakukan dan layak, atau apa yang perlu dilakukan terlebih
dahulu sebelum RJ dipertimbangkan sebagai langkah yang
diperlukan?
• Pertanyaan tersebut penting untuk membantu pemajuan gagasan,
praktik, integrasi RJ dalam sistem peradilan pidana serta pengaturan
yang diperlukan, model-model RJ yang akan dibentuk, dan
sebagainya.
Peluang RJ – Adanya Urgensi Penerapan RJ
di Indonesia
• RJ telah ditempatkan dalam konteks menjawab permasalahan yang bersifat
subtantif dan praktis.
• Subtantif: peradigma tentang korban kejahatan, pendekatan yang berorientasi
pada pemulihan korban dan membuka ruang partisipasi masyarakat.
• Praktis: mengurangi beban penjara – overkapasitas yang berdampak pada sulitnya
memperbaiki perlakukan para pelaku sesuai dengan standar. Meski, ini dapat
dipandang sebagai adanya kesadaran untuk memastikan adanya perlakukan
terhadap orang dalam penjara.
• Namun, RJ belum ditempatkan dalam konteks yang lebih besar – sebagai jalan
untuk me ‘restore’ kondisi sebagai dampak dari konflik yang terjadi dan mengatasi
‘social injustice’, sebagai salah satu masalah kontemporer yang dihadapi Indonesia.
Peluang RJ - Mengintegrasikan RJ dalam
Sistem
• Praktik RJ lebih berakar dari kebutuhan dan pengalaman keseharian
masyarakat, bukan dari konsepsi yang dibangun ‘ahli’.
• Di Indonesia banyak mekanisme [misalnya hukum adat] yang secara
prinsip menggunakan pendekatan RJ.
• Sejumlah kasus juga telah diupayakan untuk sebagian ‘diselesaikan’
dengan pendekatan konsep RJ [misal KKR, dll].
Peluang RJ dalam Sistem
• Secara umum adanya pengakuan hak-hak korban kejahatan baik hak-hak subtantif dan
prosedural, maupun hak atas bantuan kepada korban kejahatan tertentu [lihat UU
Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Lainnya].
• Hal ini berpengaruh pada perubahan paradigma penegak hukum dalam memandang
kejahatan dan korban kejahatan.
• Mengubah pandangan konvensional yang sebelumnya menganggap masalah kejahatan
adalah domain Negara untuk mewakili ‘kepentingan publik’, sebagai pertimbangan
utama dalam memutuskan apakah pelaku akan dituntut, menjadi adanya pertimbangan
untuk mencari keseimbangan hak dan tanggung jawab korban, pelaku, komunitas dan
pemerintah.
• Sejumlah UU telah membuka ruang ‘alternatif’ penyelesaian perkara yang tidak sekedar
berorientasi menghukum dengan penjara, termasuk membuka adanya bentuk-bentuk
sanksi non penjara.
Peluang integrasi RJ dalam Sistem
• Penegasan dalam konsepsi menempatkan RJ dalam sistem peradilan pidana, apakah
akan menempatkan RJ dalam:
• Subsidiary model: menambal kekosongan dalam sistem, misalnya pengadilan hanya ‘dapat’
memberikan perintah ganti kerugian, tapi tidak dapat ‘memulihkan’ relasi yang rusak akibat
kejahatan.
• Stand-alone model: dapat diterapkan diluar sistem peradilan pidana yang ada, dan tidak ada
kewajiban secara hukum untuk melaksanakan program.
• Partially integrated model: Program RJ secara terbatas dimasukkan dalam sistem, terbatas pada
kejahatan tertentu dan pelaku dengan kategori tertentu.
• Fully integrated model: RJ sebagai respon utama yang menjadi ‘jantung’ beroperasinya sistem
peradilan pidana. Komponen kunci model ini adalah: adanya kerangka hukum yang memadai,
penciptaan budaya yang terbuka, adanya lembaga-lembaga pendukung RJ yang dapat berkembang.
• RJ perlu diintegrasikan dalam sistem, karena jika tidak maka praktik RJ hanya akan
menjadi peran ‘pinggiran’ dalam merespon kejahatan.
Parameter integrasi agar RJ efektif: Dari sisi
model dan mekanisme penghukuman
• Isu utama dari RJ adalah menyeimbangkan berbagai kepentingan, diantaranya
adalah kepentingan ‘penghukuman’ dan ‘pemulihan’.
• Agar dapat efektif untuk menyeimbangkan upaya ‘pemulihan’ dan
penghukuman, maka bentuk dan mekanisme penghukuman dan bentuk-bentuk
hukuman yang disediakan haruslah multi-fungsi dan responsif.
• Pertanyaannya adalah, dalam konsepsi RJ di Indonesia yang sudah diatur dan
yang akan dibangun, misalnya melalui RKUHP dan RKUHAP, telah menunjukkan
atau memfasilitasi proses-proses untuk mencapai tujuan RJ?.
• Regulasi dan rencana untuk menerapkan RJ masih ditempatkan dalam ‘partially
integrated model’, sehingga masih sangat terbatas, baik subtansi maupun
prosedurnya, tersubordinasi, dan masih akan ‘diangap’ kurang penting.
Tantangan RJ di Indonesia
• Telah banyak yang menguraikan [dalam sejumlah studi dan kajian] tentang
faktor-faktor penghambat RJ di Indonesia, diantaranya kurang memadainya
regulasi, kesiapan penegak hukum, minimnya infrastrukur untuk mendukung
pelaksanaan RJ, serta minimnya partisipasi masyarakat.
• Berbagai faktor tersebut telah cukup lengkap menjelaskan tantangan yang
dihadapi dalam menerapkan RJ di Indonesia, tetapi belum menjawab kerangka
penempatan ‘RJ’ dalam sistem peradilan pidana yang ada maupun yang hendak
dibangun.
• Dengan kerangka penempatan RJ yang masih terbatas, potensi penerapannya
selain terbatas, akan rentan diabaikan. Pengalaman menunjukkan, misalnya
adanya berbagai sanksi alternatif non-penjaraan di KUHP, jarang digunakan
[dengan berbagai alasan yang menyertainya].
Tantangan Penerapan RJ: Konflik dan
menguatnya Politik Identitas
• Dari sisi pendekatan konflik sosial, RJ mungkin menghadapi hambatan
terkait dengan fungsinya sebagai peneguh politik identitas dengan konteks
pertentangan status/kekuasaan versus nilai-nilai yang dianut dalam suatu
komunitas tertentu.
• Konsepsi tentang hubungan antara pihak-pihak yang terdampak, tergantung
pada apakah pelaku dan korban, serta pihak terkait lainnya, mengganggap
mereka dalam keanggotaan yang sama dalam komunitas atau kelompoknya.
• Dalam situasi korban dan pelaku kurang mempunyai identitas yang sama,
maka yang menonjol adalah retributive justice. Sebaliknya jika mereka
mempunyai kesamaan identitas, maka yang menonjol adalah restorative
justice.
Konflik dan Identitas Sosial
• RJ, yang salah satunya bertujuan untuk menyembuhkan/memperbaiki komunitas dan
relasi sosial. Hal ini terkait bagaimana korban dan pelaku melihat diri mereka, apakah
mereka dalam komunitas yang sama, mereka terikat pada relasi sosial yang harus
dipertahankan, dan apakah mereka menginginkan menjadi bagian dari komunitas yang
sama?
• Cara korban dan pelaku mendefinisikan identitas sosial dan relasi mereka akan
mengindikasikan apakah pihak-pihak tersebut ingin menegaskan identitasnya dengan
membangun konsensus, mempertahankan nilai yang sama dan mengupayakan
penyelesaian masalah.
• Ketika ‘korban’ berpandangan bahwa pelaku bukan dalam identitas yang sama, mereka
mungkin lebih memilih untuk mendorong adanya penghukuman yang keras, dengan
mempercayai bahwa langkah ini akan berdampak pada anggota kelompok lainnya.
• Sebaliknya, korban yang memiliki identitas sosial yang sama dengan pelaku, cenderung
lebih memilih untuk membuka ruang dialog, mendengarkan argumen, memilih langkah
persuasi, sebagai proses yang penting dalam penerapan RJ.
Berbagai Kejahatan dalam RKUHP dan
Dampaknya pada RJ
• Dalam berbagai dokumen, RKHUP dirancang dengan memperhatikan hak-hak asasi warga
masyarakat.
• Salah satu parameternya, bahwa dalam menggunakan hukum pidana, harus diusahakan dengan
sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu
tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektivitas masyarakat demokratik yang
modern.
• Artinya, KUHP kedepan mengarah pada perlindungan kebebasan sipil [civil liberties] dan bukan
justru mengkriminalisasi tindakan yang menjadi bagian bentuk dari kebebasan sipil tersebut.
• Melihat berbagai tindak pidana yang dirumuskan di RKUHP, masih banyak perumusan tindak
pidana yang sebetulnya tidak perlu karena menjadi bagian dari perlindungan kebebasan sipil,
terlebih dengan adanya ancaman hukuman penjara yang cukup tinggi.
• Perumusan berbagai tindak pidana tersebut akan semakin memperlemah upaya penggunaan
RJ, selain karena hukumannya cukup tinggi yang tidak masuk dalam berbagai skema sanksi non-
pemenjaraan, berbagai tindakan yang dirumuskan sebagai tindak pidana merupakan tindakan
yang secara nilai masih dipertanyakan, apakah layak sebagai tindak pidana.
Mendekatkan RJ di Indonesia dengan
Standar-Setting Ideal
• Berbagai panduan termasuk prinsip-prinsip dan komponen RJ dalam sistem
peradilan pidana telah dibangun oleh komunitas internasional
• Misalnya dalam Basic principles on the use of restorative justice
programmes in criminal matters [ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc.
E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000)], diantaranya:
• RJ secara umum tersedia di semua tahapan proses peradilan pidana.
• Hanya bisa diterapkan dengan kehendak bebas dari para pihak.
• Semua pihak paham fakta-fakta kasus sebagai bagian penting dari partisipasi.
Partisipasi tidak bisa digunakan sebagai bukti pengakuan kesalahan dalam proses
peradilan.
• Adanya penghormatan atas faktor-faktor yang terkait dengan ketidakseimbangan
kekuatan, usia para pihak, serta kedewasaan atau kapasitas intelektual para pihak.
Mendekatkan RJ di Indonesia dengan
Standar-Setting Ideal
• Prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi panduan ideal, untuk
memastikan penerapan RJ menjamin prinsip-prinsip akuntabilitas dan
keadilan dalam penegakan hukum.
• Merujuk pada prinsip-prinsip tersebut, salah satu faktor kunci adalah
kesediaan para pihak [korban, pelaku, komunitas] untuk menggunakan
pendekatan RJ dalam menyelesaian kejahatan yang terjadi.
• Dalam konteks ini, tantangan akan dihadapi, selain regulasi yang
memadai, termasuk bentuk sanksi dan mekanisme pelaksanaannya,
adalah faktor ‘penerimaan’ dan kemauan para pihak untuk
melaksanakan proses-proses RJ yang ‘genuine’.
Rekomendasi
• Mendorong RJ dalam pembaruan hukum pidana di Indonesia perlu menegaskan tentang
penempatan proses-proses RJ dengan lebih jelas, dengan memberikan pendasaran
tentang tujuan RJ baik secara subtantif maupun praktis.
• Model integrasi RJ dalam sistem sedapat mungkin mendekatkan pada ‘fully-integrated
model’, yang menggunakan penggunaan RJ dalam menyelesaian berbagai masalah
kejahatan.
• Adanya model sanksi yang diperkenalkan di RKUHP harus diimbangi dengan pengaturan
dalam hukum acara yang mampu memfasilitasi proses-proses terjadinya RJ.
• Selain bahwa ada kebutuhan untuk menyiapkan regulasi dan pendoman yang jelas serta
infrastruktur yang memadai, aspek penting lainnya adalah adanya ‘gerakan kultural’
untuk mengubah paradigma dan meyakinkan publik bahwa RJ adalah proses yang
mempunyai tujuan yang lebih luas dan lebih bermanfaat bagi korban, pelaku, komunitas
dan masyarakat, serta Negara.

Anda mungkin juga menyukai