Anda di halaman 1dari 72

JOURNAL

READIN
G
Presentator : Sri Wulan Dhari
Moderator : dr. Dian Paramita Wulandari, M.Sc., SpT.H.T.K.L (K)
VISI
PROGRAM STUDI
IK THTKL
Menjadi program studi berstandar global yang
inovatif dan unggul, serta mengabdi kepada
kepentingan bangsa dan kemanusiaan dengan
dukungan sumber daya manusia yang
professional dan dijiwai nilai-nilai Pancasila
1. Meningkatkan kegiatan pendidikan, penelitian
dan
pengabdian masyarakat yang berlandaskan kearifan lokal.

2. Mengembangkan sistem tata kelola Program Studi


Kesehatan T.H.T.K.L yang mandiri dan berkualitas (Good
Governance).

3. Membangun kemitraan dan kerjasama dengan rumah sakit


dan seluruh pihak yang berkepentingan dalam rangka
mendukung kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat.

MISI PROGRAM STUDI KESEHATAN T.H.T.K.L


Hasil guna kombinasi Amoxicillin,
Prednisolon, Ibuprofen dibandingkan
terapi tunggal dalam mengurangi
nyeri post tonsilektomi pada anak :
studi acak terkontrol
Azebedo, C.B., et al., 2021, “Does ibuprofen, prednisolone, or amoxicillin
reduce post-tonsillectomy pain in children? A prospective randomized
controlled trial”, International Journal of Pediatric Otolaryngology, Vol. 148, Hal. 1-
6
PENDAHULUA
N
• Pada anak-anak  post tonsilektomi  gejala paling sering yaitu
nyeri butuh manajemen yang tepat selama periode tersebut.
• Nyeri pasca tonsilektomi terkait dengan beberapa morbiditas
termasuk lambatnya memulai kembali aktivitas rutin, absen
sekolah, pengurangan asupan makanan, dan dehidrasi  butuh
langkah-langkah untuk menghindari morbiditas tersebut.
• Sampai saat ini, baru sedikit RCT untuk menilai efek dari
bermacam-macam medikasi untuk mengurangi nyeri pada anak.
• Tujuan penelitian ini untuk menilai apakah penggunaan kombinasi
amoxicillin, ibuprofen, prednisolone dapat mengurangi nyeri pada
anak dibandingkan kontrol post tonsilektomi cold knife
• Tonsilektomi
Kata • Manajemen nyeri
• Anak-anak
Kunci • Antibiotik
• Antiinflamasi
• Analgetik
PERTANYAAN PENELITIAN

Apakah kombinasi Amoxicillin, Prednison, Ibuprofen berhasil guna dibandingkan


terapi tunggal dalam mengurangi nyeri post tonsilektomi pada anak

TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui hasil guna kombinasi Amoxicillin, Prednison, Ibuprofen
dibandingkan terapi tunggal dalam mengurangi nyeri post tonsilektomi
pada anak

HIPOTESIS PENELITIAN

Kombinasi Amoxicillin, Prednison, Ibuprofen berhasil guna dibandingkan


terapi tunggal dalam mengurangi nyeri post tonsilektomi pada anak
METODE PENELITIAN

Desain Penelitian : Randomized


Controlled Trial

Tempat Penelitian : Ribeirao


Preto State Hospital, Sao Paulo, Brazil

Waktu penelitian : tidak disebutkan dalam


penelitian
POPULASI PENELITIAN

Populasi Target

Semua pasien anak usia 4 sampai dengan 10 tahun


dengan OSA dan tonsilitis rekuren

Populasi Terjangkau
Semua pasien anak usia 4 sampai dengan 10 tahun dengan OSA
dan tonsilitis rekuren di Ribeirao Preto State Hospital, Sao Paulo,
Brazil
Sampel Penelitian
Semua pasien anak usia 4 sampai dengan 10 tahun dengan OSA dan
tonsilitis rekuren di Ribeirao Preto State Hospital, Sao Paulo, Brazil
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
KELAYAKAN DAN SELEKSI

KRITERIA
EKSKLUSI
KRITERIA
a) Anak dengan gangguan kognisi
INKLUSI atau neuropsikiatri
b) Formulir evaluasi yang tidak
a) Pasien anak lengkap
usia 4-10 c) Pemakaian obat-obatan yang
mempengaruhi morbiditas post
tahun op
b) Pasien d) Alergi obat-obatan tertentu
dengan e) Butuh operasi tambahan selain
OSA dan adenotonsilektomi
Tonsilitis
Rekuren
c) Risiko
anestesi
rendah
(ASA 1 atau
ALUR PENELITIAN

Populasi

Kriteria Inklusi

N=421
Kelompok Intervensi
 Kelompok 1: Kelompok Kontrol- Sodium metamizole (25 mg/kg/
dose, up to 4 times/day). Pada nyeri refrakter, orang tua diarahkan
memberi asetaminofen (15 mg/kg/dose, 4xsehari) sesuai kebutuhan
dengan rentang minimum pemberian 6 jam

 Kelompok 2: Amoxicillin sirup (250 mg/5 mL, dosis 50 mg/kg/day)


dibagi 3 dosis dengan interval 8 jam + metamizole/acetaminophen

 Kelompok 3: Prednisolone sirup (3 mg/mL, dosis 0.5 mg/kg) peroral,


1x sehari tiap pagi + metamizole/ acetaminophen

 Kelompok 4: Ibuprofen sirup (50 mg/mL, 10 mg/kg/dose) 3x sehari


dengan interval 8 jam + metamizole/ acetaminophen

 Kelompok 5: Amoxicillin + prednisolone +


metamizole/acetaminophen (dosis sama seperti di atas)
Instrumen Post Op

Orang tua  PPPM dan FPS-R


menerima buku  Jumlah analgesik
harian dimana yang dibutuhkan untuk
selama 7 hari untuk setiap hari nya
mencatat :
 Jenis makanan yang
dimakan anak (cair,
pasta atau padat)
 PPPM  untuk anak
3-12 tahun yang
menjalani prosedur
bedah

 Level cutoff > 6 :


untuk membedakan
nyeri yang signifikan
secara klinis

Azevedo C.B et al, 2013


Faces Pain Scale – Score

Skor 0-10
Skor Cutoff : 4  memisahkan moderate sampai severe pain
<4 : nyeri tidak signifikan secara klinis
>6 : nyeri signifikan secara klinis

Azevedo C.B et al, 2013


Intervensi
 Setelah kelompok intervensi ditentukan, orang tua diberi
label medikasi tanpa mengetahui medikasi mana yang
digunakan

 Asesor outcome ( Azevedo CB dan Tamashiro E) dan


petugas statistic blind terhadap alokasi kelompok

 Semua anak diberi Dexamethason ( 0.15 mg/kg) dan


metamizole (30mg/kg) secara intravena pada awal
pembedahan
ANALISIS STATISTIK

• Analisis statistic menggunakan model


regresi linier dengan efek campuran
untuk PPPM
• Friedman dan Post-Friedman test
untuk FPS-R
• The Kruskal Wallis Test untuk
membandingkan evolusi FPS-R
diantara grup
• Waktu Kembali ke makanan padat
dianalisis dengan Wilcoxon Test
HASIL
HASIL
• Dari 170 peserta penelitian, 94 anak
berjenis kelamin laki-laki dan 76 anak
berjenis kelamin perempuan.
• Usia rata-rata 6.6 tahun (SD = 1.9)
• Tidak ada perbedaan bermakna antara
kedua grup perihal distribusi gender
maupun usia (p > 0.05)
• Regresi logistik menunjukkan bahwa anak
laki-laki dan perempuan memiliki
intensitas nyeri post op yang sama
(p>0.05)  data tidak ditampilkan
HASIL
• Karena diberikan intervensi farmakologi, semua
kelompok menunjukkan gambaran nyeri yang sama
ketika dinilai dengan skor nyeri atau pemberian
analgetik (Gambar 2A-C, p>0.05)
• Secara keseluruhan, dijumpai nyeri sedang sd
berat, terutama pada 3 hari pertama setelah
operasi dengan skor lebih dari 6 menggunakan
PPPM  Gambar 2A
• Hari I : 9.86
• Hari II : 8.33
• Hari III : 6.23
• Semua kelompok menunjukkan penurunan rasa
nyeri, mulai dari rata-rata 9,86 poin di PPPM pada
hari 1 dan menurun menjadi 2,07 pada hari 7 (Gbr.
2A).
HASIL
 Tingkat FPS-R yang tinggi (Persentase PFS-R > 4:
 Hari 1= 67%
 Hari 2 = 46%
 Hari 3 = 29%
 Hari 4 = 23%
 Skor FPS ≥ 4 juga turun dari 67% pada hari 1-3
 9% pada hari 7 (Gbr. 2B).
PENELITIAN
 Semua kelompok mengkonsumsi dosis analgesik yang
sama selama periode pasca operasi
(p>0,05 untuk semua perbandingan, Gambar 2C).

 Secara keseluruhan, konsumsi rata-rata :


- 1,1 dosis analgesik diambil per hari (SD = 1.23)
- rata-rata intake 2,2 (SD = 0,53) pada hari 1
- menurun menjadi 0,4 (SD = 0,17) pada hari ke 7

 Peneliti tidak menilai jumlah asetaminofen yang


digunakan sebagai tambahan pereda nyeri, diperkirakan
metamizole sudah cukup untuk mengatasi nyeri, bahkan
pada saat periode pasca operasi dimana ambang nyeri
tinggi
PENELITIAN

 Pada awal pasca operasi, semua pasien di tiap kelompok lebih


memilih makanan cair hingga hari ke-3

 Secara keseluruhan, pada minggu pertama :


 56% pasien kembali ke makanan padat
 40% pasien masih dengan makanan pasta
 4% pasien masih mengkonsumsi makanan cair

 Tidak ada perbedaan antar kelompok


mengenai perubahan asupan pola makan
(p = 0,41, uji Wilcoxon) (Gbr. 3A dan B).
DISKUSI
 Secara alami, nyeri pasca operasi pada anak-anak setelah
cold knife tonsilektomi ± adenoidektomi menuntut
perawatan khusus dalam empat pertama hari pasca operasi,
di mana perlu diamati :
 tingkat nyeri sedang hingga berat (PPPM >6, FPS-R >4)
 kebutuhan analgesik
 waktu kembali ke makanan padat

 Penambahan amoksisilin, prednisolon, ibuprofen atau


kombinasi amoksisilin dan prednisolon untuk obat
pengurang rasa nyeri yang umum dilakukan tidak
mengurangi nyeri pasca tonsilektomi pada anak-anak
setelah tonsilektomi
DISKUSI
• Metamizole, juga dikenal H. Huber, et al. 2014. Drug-induced
agranulocytosis in the Berlin case-
sebagai dipyrone, adalah control surveillance study, Eur. J.
analgesik yang tidak disetujui Clin. Pharmacol. 70 (2014) 339–345

di beberapa negara di seluruh


dunia karena risiko
agranulositosis dilaporkan
dalam beberapa seri
• Namun, obat ini telah
T.G. De Leeuw, et al. 2017. The use
terbukti aman dan efektif of dipyrone (metamizol) as an
analgesic in children: what is the
untuk mengendalikan rasa evidence? A review, Paediatr.
sakit pada anak-anak dengan Anaesth. 27 (2017) 1193–1201

kekuatan analgesik mirip A. Jasiecka, et al. 2014.


Pharmacological characteristics of
dengan asetaminofen metamizole, Pol. J. Vet. Sci. 17
(2014) 207–214
DISKUSI

Peneliti memilih metamizole untuk


mengontrol nyeri karena :

 umumnya digunakan di negara


peneliti
 memiliki biaya rendah
 disediakan oleh sistem kesehatan
masyarakat
 obat yang efektif dalam J. Edwards, et al. 2010.
mengendalikan nyeri pasca operasi Single dose dipyrone for
akut, dengan aktivitas anti-inflamasi acute postoperative pain,
Cochrane Database Syst.
yang rendah Rev.
DISKUSI
 Penggunaan antibiotik setelah
F.F. Warnock, J. Lander. 1998.
tonsilektomi pada anak-anak bervariasi di Pain progression, intensity and
seluruh dunia dan masih kontroversial outcomes following
dalam literatur dalam mengurangi nyeri tonsillectomy, Pain 75
pasca operasi
 Karena inkonsistensi data saat ini, R.F. Baugh, et al. 2011. Clinical
penggunaan rutin antibiotik pasca operasi practice guideline: tonsillectomy
tidak dianjurkan saat ini in children, Otolaryngol. Head
 Di sebuah meta-analisis, Dhiwakar et al. Neck Surg. 144

menyimpulkan bahwa penggunaan D. Dhiwakar, et al. 2012.


antibiotik mengurangi rasa sakit atau Antibiotics to reduce post-
mengurangi jumlah konsumsi analgetik. tonsillectomy morbidity,
Cochrane Database Syst. Rev.
 meta-analisis lain tidak dapat
menunjukkan manfaat antibiotik dalam A. Al-Layla, T.M. Mahafza.
mempercepat kembalinya anak ke pola 2013. Antibiotics do not reduce
makan teratur. post-tonsillectomy morbidity in
children, Eur. Arch. Oto-Rhino-
Laryngol. 270 (2013) 367–370,
DISKUSI

Mirip dengan kesimpulan dari temuan meta-analisis


ini, penelitian ini menunjukkan bahwa amoksisilin
tidak mengurangi rasa sakit, tidak mengurangi
konsumsi kebutuhan analgetik, atau mempercepat
kembalinya ke asupan makanan padat pasca
tonsilektomi.
DISKUSI

A.F. Merry, et al. 2013.


 Penggunaan obat antiinflamasi
Randomized comparison
nonsteroid, ibuprofen pada 24 between the
mg/kg/hari atau asetaminofen 48 combination of
mg/kg/hari, telah terbukti memiliki acetaminophen and
efek analgesik yang penting ibuprofen and each
constituent alone for
analgesia following
tonsillectomy in
children.
Studi ini menunjukkan tingkat nyeri yang sama antara
kelompok yang diobati dengan kombinasi ibuprofen
dengan kelompok kontrol dan tidak mengurangi jumlah
analgetik yang dikonsumsi atau waktu pemulihan untuk
kembali ke konsumsi makanan biasa (makanan padat)
DISKUSI

 Penggunaan obat anti inflamasi yang lebih E. MacAssey, et al. 2012.


poten, seperti steroid, berpotensi The effect of a
mengurangi morbiditas pasca tonsilektomi postoperative course of
oral prednisone on
postoperative morbidity
 Namun, sedikit diketahui tentang potensi
following childhood
analgesik steroid dibandingkan dengan tonsillectomy
obat-obat lainnya

 Beberapa penelitian menggambarkan


manfaat penggunaan deksametason J.P. Windfuhr, et al. 2009.
intraoperatif untuk mual dan muntah, The effect of
tetapi tidak untuk menghilangkan rasa dexamethasone on post-
tonsillectomy nausea,
sakit
vomiting and bleeding
DISKUSI

Sama dengan penelitian RCT lainnya dalam


E. MacAssey, et al.
mengevaluasi nyeri pasca tonsilektomi tidak 2012. The effect of
a postoperative
ditemukan manfaat apa pun dalam kelompok yang course of oral
prednisone on
menggunakan prednisolone, penelitian ini juga
postoperative
tidak mengamati adanya pengurangan rasa sakit morbidity
following
pada anak-anak yang menerima amoksisilin dan childhood
tonsillectomy
prednisolon dibandingkan dengan kontrol.
DISKUSI

 Penelitian ini menunjukkan bahwa empat hari pertama pasca


tonsilektomi merupakan waktu kritis dalam kebutuhan kontrol nyeri
 Dalam kasus ini, resep analgetik sepanjang waktu lebih diinginkan dari
yang dibutuhkan selama hari-hari awal pasca tonsilektomi.
 Seperti yang diamati dalam penelitian kami, penambahan amoksisilin,
ibuprofen, prednisolon, atau kombinasi amoksisilin plus prednisolon tidak
mengurangi intensitas nyeri, tidak mengurangi asupan analgesik, atau
tidak mempercepat pasien kembali ke konsumsi makanan biasa pada
pasien anak pasca tonsilektomi.
 Manajemen control untuk nyeri post tonsilektomi pada anak harus
dilakukan pada empat hari pertama setelah tonsilektomi
DISKUSI
Kekurangan Penelitian

 Dalam percobaan ini, peneliti tidak dapat mengevaluasi pengaruh


sleep apnea atau tonsilitis berulang pada nyeri pasca tonsilektomi
sebagai variable outcome, karena perhitungan ukuran sampel yang
diperoleh terlalu besar dan tidak cukup kuat untuk menarik
kesimpulan.
 Meskipun demikian, pengumpulan data apnea dan tonsilitis akan
penting untuk studi metaanalisis masa depan yang mencoba
membedakan pola nyeri pada anak yang menjalani tonsilektomi.
Kesimpulan

Kombinasi ibuprofen, prednisolon atau amoxicillin tidak


berhasil guna dibandingkan terapi tunggal dalam
mengurangi nyeri post tonsilektomi pada anak
Critical Appraisal
HASIL
1 Apakah perkiraan efek terapi diberikan? 2 1 0 TDD
2 Apakah bermakna secara klinik? 2 1 0 TDD
3 Apakah perkiraan pengaruh terapi ini hasil akhirnya 2 1 0 TDD
tepat?

VALIDITAS
4 Apakah spektrum pasien ini didefinisikan dengan baik? 2 1 0 TTD
5 Apakah diagnosis dari penyakit didefinisikan dengan 2 1 0 TTD
baik?
6 Jika pragmatis, apakah digunakan kriteria yang pantas 2 1 0 TTD
dan memenuhi syarat?
7 Jika dijelaskan, apakah kriteria tersebut dipersempit? 2 1 0 TTD
VALIDITAS
8 Apakah perlakuan dilakukan secara acak? 2 1 0 TDD
9 Jika ya, apakah dijelaskan metode acaknya? 2 1 0 TDD
10 Apakah semua pasien diperhitungkan? 2 1 0 TDD
11 Apakah loss to follow up rendah? 2 1 0 TDD
12 Apakah kelompok perlakuan mirip pada awal uji 2 1 0 TDD
dilaksanakan?
13 Apakah semua pasien diperlakukan sama? 2 1 0 TDD
14 Apakah pasien, pekerja kesehatan, dan peneliti buta 2 1 0 TDD
terhadap perlakuan?
15 Apakah penilaian hasil tetap buta? 2 1 0 TDD
16 Apakah ditunjukkan efek samping yang terjadi? 2 1 0 TDD
17 Jika ya, apakah frekuensi dan keparahannya ditunjukkan? 2 1 0 TDD
PENGUKURAN
18 Apakah analisis utama dilakukan “intention to 2 1 0 TTD
treat?”
19 Jika tidak, apakah dilakukan analisis sensitivitas? 2 1 0 TTD
20 Apakah ditambahkan faktor klinik yang relevan? 2 1 0 TTD
21 Apakah digunakan uji statistic yang sesuai? 2 1 0 TTD
22 Apakah metode yang tidak lazim dijelaskan? 2 1 0 TTD
23 Jika analisis subgroup dilakukan, apakah 2 1 0 TTD
diperlihatkan secara eksplisit?

KEGUNAAN
24 Apakah hasilnya membantu untuk memilih 2 1 0 TTD
terapi?
TOTAL : 26 (A)

Jumlah pertanyaan yang dipakai pada artikel ini (maksimum=24) : 18 (B)

Skor maksimal (2xB) : 36 (C)

Nilai keseluruhan (A/C dalam prosentase) : 72 %

Skor 2 : Jawaban Ya
Skor 1 : Jawaban Unclear/Possibly
Skor 0 : Jawaban Tidak
Tidak dapat diterapkan (TDD) : Tidak punya nilai karena data tidak tersedia

> 70% : Valid


50-70% : Sedang
< 50 : Tidak Valid
Jurnal ini : 72%  Valid/Tidak Valid
Mohon Asupan
Terima kasih
Randomized Controlled Trials (RCT) adalah golden standard
(baku emas) untuk penelitian eksperimental guna pembuktian
kausal (causation). Apabila kita ingin membuktikan apakah
suatu “intervensi tertentu” akan menghasilkan/menyebabkan
“outcome tertentu”, maka kita harus menggunakan disain
penelitian RCT. Bahkan, tidak cukup hanya RCT saja, tetapi
harus double blind (tersamar ganda). Dengan kata lain, baku
emas penelitian eksperimental secara prinsip adalah RCT
double blind.
The Friedman test is a non-parametric statistical test developed by Milton Friedman.Similar to the 
parametric repeated measures ANOVA, it is used to detect differences in treatments across multiple test
attempts. The procedure involves ranking each row (or block) together, then considering the values of
ranks by columns. Applicable to complete block designs, it is thus a special case of the Durbin test. The
Friedman test is used for one-way repeated measures analysis of variance by ranks. In its use of ranks it
is similar to the Kruskal–Wallis one-way analysis of variance by ranks.
The Friedman test is widely supported by many statistical software packages.

Post-hoc Tests. When significant differences are detected between treatments, i.e., the null hypothesis
of Friedman's test is rejected, there are several post-hoc tests that can be applied to find out which
treatments differ from the others (unplanned comparisons).
Uji kruskal Wallis adalah salah satu uji statistik non
parametrik yang dapat digunakan untuk menguji
apakah ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok variabel independen dengan variabel
dependennya. Karena untuk melihat perbedaan yang
signifikan antar kelompok, uji ini jelas digunakan
untuk melihat perbandingan lebih dari 2 kelompok
populasi dengan data berbentuk ranking. Umumnya
Uji ini juga disebut sebagai uji kruskal-wallis H, atau
H-test.
standar deviasi adalah nilai statistika yang digunakan untuk
menentukan bagaimana persebaran data dalam suatu sampel dan
melihat seberapa dekat data-data tersebut dengan mean atau
rata-rata dari sampel tersebut

Standar deviasi adalah sebuah rumus yang kerap dimanfaatkan


para ahli statistika untuk mengetahui apakah sampel data bisa
mewakili seluruh populasi. Ada banyak kegunaan standar deviasi,
seperti memberikan gambaran tentang persebaran data terhadap
data rata-rata. Dengan standar deviasi, seseorang bisa memberi
gambaran kualitas data sampel yang diperolehnya.

semakin kecil nilai standar deviasi, nilai2 pada sample data


cenderung dekat dengan nilai reratanya.
Penghitungan Sampel
 Ukuran sampel yang diperoleh untuk penelitian ini (n = 225)
dihitung dari studi percontohan yang dilakukan pada 55
pasien.
 Relevansi statistic klinisnya tegak bila Skor PPPM berbeda
setidaknya pada 3 poin atau pada skor FPS-R berbeda
sedikitnya 2 poin pada tiap kelompok  yang
memperlihatkan signifikansi statistic p-value <0.05,
kekuatan tes 80% dan perkiraan loss 20%
 Penyebab Loss to follow up :
 Tidak menggunakan dosis yg dijadwalkan
 Bukan karena ketidakhadiran janji temu pasca operasi
 Masalah lain yang bisa diangkat adalah bagaimana menggambarkan skala
rasa sakit satu catatan harian
Instrumen Post op
untuk menilai nyeri
 Setelah keluar dari RS, orang tua menerima buku harian 7 hari untuk mencatat :
 PPPM dan FPS-R
 Jumlah analgesik yang dibutuhkan untuk setiap hari nya
 Jenis makanan yang dimakan anak (cair, pasta atau padat)

 Anak-anak dan orang tua diperintahkan untuk mengisi formulir di akhir malam,
sebelum tidur, untuk menunjukkan perubahan perilaku dan untuk pilih wajah
yang sesuai dengan rasa sakit yang paling parah yang dirasakan seharian.

 Protokol dikumpulkan pada kunjungan pertama setelah operasi (7-10 hari) dan
diarsipkan untuk analisis selanjutnya

 Anak yang hanya menerima metamizole dan acetaminophen (kelompok 1)


digunakan sebagai kelompok control untuk membandingkan pengaruh medikasi
lain (obat-obat NSAID, steroid dan antibiotic) terhadap nyeri post tonsilektomi
pada anak
Refractory pain
DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis

Anamnesis
Questioner OSA Modifikasi Kenny Pang
Curiga OSA bila gejala di bawah ini >3x
seminggu :
Terbangun dari tidur karena tersedak (batuk)
Apnea saat tidur
Bangun tidur dengan perasaan tidak segar
Modul Kolegium THTKL, 2015
DIAGNOSIS

Anamnesis

Modul Kolegium THTKL, 2015


Indeks masa tubuh (BMI)

PEMERIKSAAN
Lingkar leher (deposit lemak) – pada anak >36cm
FISIK

Posisi lidah dan palatum (kriteria Friedman Tongue


Position atau Modifikasi Malampati)

Ukuran tonsil

Uvula yang panjang dan besar

Ukuran dan bentuk rahang bawah


(Mikrognatia dan Retrognatia)
(Bambang S, 2010)
(Mukhlis dan Bakhtiar, 2015)
Derajat OSA menurut Fujita

Modul Kolegium THTKL, 2015


PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Nasolaringoskopi static
dan dinamik dengan
Muller Manuever
Sleep endoskopi

Gold Standar Pemeriksaan


Penunjang :
Polisomnografi (PSG)
Dlm buku petunjuk penulisan tesis ugm, bila peneliti lebih dari 5 orang
dapat di buat dengan et al untuk mempersingkat penulisan.

Disini terlihat pada tiap-tiap kelompok terdapat loss to follow up karena


beberapa sebab
1 pasien di kelompok 5 mengalami perdarahan yang memerlukan cairan
infus untuk control hemodinamik

Gambar A menunjukkan skor PPPM H1 sd 7 dimana di smua kelompok


masih menunjukkan ambang nyeri yang cukup tinggi pada H1 dan turun
bertahap sampai hari ke 7
Gambar B menunjukkan rerata nyeri menggunakan FPS-R dimana pada
semua kelompok ambang nyeri masih tinggi di atas skor 4 pada semua
kelompok dengan ambang nyeri tertinggi pada kelompok 2 yaitu
kombinasi dengan amoxicillin dan tampak pada hari ke 5 sd 7 semua
kelompok dengan penurunan nyeri yang sama
Gambar C menunjukkan intake analgetic/hari yang dikonsumsi pada
semua kelopok H1 sd H7 dengan kebutuhan nalgetik terbanyak di H1 oleh
kelompok 3 yaitu kombinasi dengan prednisone dan kebutuhan analgetic
turun bertahap sampai H7 dimana semuakelompok hanya butuh pereda
nyeri < 1 tablet/hari
Pada table bisa kita lihat progresi penurunan nyeri dari H1 sd H3 hampir semua
kelompok menunjukkan hasil yang cukup signifikan kecuali pada kelompok control dan
ibuprofen, tetapi progresi H1-H4 semua kelompok menunjukkan progresi yang
signifikan. Bila kita melihat progresi penurunan nyeri mulai H5 sd H7 terlihat tidak
signifikan pada semua kelompok

Tabel 2 memperlihatkan progresi nyeri post op dengan PPPM. Perbedaan rerata interval
2 hari skor PPPM selama rentang 7 hari penilaian, sampai H4 skor PPM interval 2 hari
tampak menunjukkan progresi nyeri post op yang cukup bermakna dgn pvalue <0.05,
paling tinggi di interval H1 dan H3 pada kelompok prednisolone disusul kelompok
kombinasi amox dan prednisolone
Gambar 3A memperlihatkan persentase kelompok yang bertahan dengan
makanan non solid selama 7 hari post op, terlihat yang kelompok 3 (kombinasi
prednisolone) paling tinggi persentase nya dari H1-H7, dimana trend yang
terlihat semua kelompok semakin menurun kebutuhan makanan non solidnya
dari H1-H7 walaupun tidak begitu signifikan penurunannya (dengan tes
Wilcoxon p=0.41 p>0.05)

Gambar B memperlihatkan trend makanan cair meningkat di H1-H2 pada semua


kelompok dan H3-H4 meningkat kebutuhan makanan nonslid pasta di semua
kelompok, setelahnya H6-7 trend makanan padat terlihat di semua kelompok

Anda mungkin juga menyukai