Anda di halaman 1dari 15

RANTAI MARKOV

DISKRITMARKOV
(DISCRETE
1.1CHAIN)Pendahuluan

P ada bab-bab terdahulu telah diperkenalkan beberapa teknis


analitik untuk melakukan evaluasi keandalan
sistem.
Meskipun teknik-teknik tersebut dapat diaplikasikan baik
untuk komponen-komponen repairable dan non-repairable,
namun teknik-teknik tersebut mengasumsikan bahwa proses (repair) perbaikan
dilakukan secara cepat atau membutuhkan waktu yang sangat singkat yang
relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan waktu operasi komponen tersebut.
Dengan kata lain, teknik-teknik tersebut tidak mengakomodasi waktu perbaikan
untuk dijadikan pertimbangan dalam evaluasi keandalan sistem.

Hal ini tentunya tidak berlaku untuk semua sistem, malahan sistem-sistem non-
elektronik umumnya memiliki karakter yang berlawanan dengan asumsi di atas.
Karena itu dibutuhkan suatu teknik analitik yang mampu memasukkan komponen
waktu perbaikan kedalam proses evaluasi keandalan sistem. Salah satu teknik
yang mampu mengakomodasi waktu perbaikan kedalam evaluasi keandalan
sistem adalah Markov Modelling.

Metode Markov ini dapat diaplikasikan untuk sistem diskrit (discrete system)
ataupun sistem kontinyu (continuous system). Sistem diskrit adalah sistem yang
perubahan kondisinya (state) dapat diamati/terjadi secara diskrit. Sedangkan
sistem kontinyu adalah sistem yang perubahan kondisi dan perilaku sistem
terjadi secara kontinyu. Penjelasan lebih detail tentang sistem diskrit dan sistem
kontinyu ini akan diberikan pada sub bab berikutnya.

1
Ada beberapa syarat agar metode Markov dapat diaplikasikan dalam evaluasi
keandalan sistem. Syarat-syarat tersebut adalah:

(1) Sistem harus berkarakter lack of memory, dimana kondisi sistem dimasa
mendatang tidak dipengaruhi (independent) oleh kondisi sebelumnya.
Artinya kondisi sistem saat evaluasi tidak dipengaruhi oleh kondisi
sebelumnya, kecuali kondisi sesaat sebelum kondisi saat ini.

(2) Sistem harus stationery atau homogen, artinya perilaku sistem selalu
sama disepanjang waktu atau peluang transisi sistem dari satu kondisi
ke kondisi lainnya akan selalu sama disepanjang waktu. Dengan
demikian maka pendekatan Markov hanya dapat diaplikasikan untuk
sistem dengan laju kegagalan yang konstan.

(3) State is identifiable. Kondisi yang dimungkinkan terjadi pada sistem


harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Apakah sistem memiliki dua
kondisi (state) yakni kondisi beroperasi dan kondisi gagal, ataukah
sistem memeiliki 3 kondisi, yakni 100% sukses, 50% sukses dan 100%
gagal.

Pada bab ini hanya akan dibahas evaluasi keandalan sistem diskrit dengan
pendekatan discrete Markov Chain. Penjelasan tentang metode Markov untuk
sistem kontinyu akan dibahas pada bab selanjutnya.

1.2 Konsep Pemodelan

Seperti terlihat pada gambar 7.1, sistem diwakili oleh dua kondisi (state) yang
teridentifikasi, dan diberi nama kondisi 1 dan kondisi 2. Angka-angka yang terlihat
pada gambar menunjukkan transition probability atau peluang transisi dari satu
kondisi ke kondisi lainnya atau pun peluang tetap berada pada kondisi semula.
Peluang transisi ini akan sama disepanjang waktu (stationery).

Perhatikannlah kondisi yang pertama dan asumsikan bahwa sistem dimulai dari
kondisi ini dimana peluang transisi ke kondisi 2 adalah 0.5. Dengan demikian
peluang tetap berada pada kondisi 1 adalah 1 - 0.5 = 0.5. Demikian juga bahwa
peluang transisi dari kondisi 2 ke kondisi satu adalah 1/4. Dengan demikian

2
peluang tetap berada pada kondisi 2 adalah 1 – 1/4 = 3/4. Kita lihat bahwa
jumlah peluang transisi pada satu keadaan adalah 1 (unity).

1/2

1/2 3/4
1 2
1/4

Gambar 1.2-1 Sistem dengan dua kondisi (state)

Perilaku sistem dapat digambarkan lewat event tree, seperti terlihat pada
gambar
7.2. Gambar ini mengasumsikan bahwa sistem berawal dari kondisi 1 dan
transisi terjadi selama 4 interval waktu. Peluang masing-masing transisi juga
terlihat pada gambar tersebut, yang nilainya konstan disepanjang interval.
Peluang total dari masing-masing cabang pada event tree tersebut didapat
dengan mengalikan semua peluang pada cabang tersebut. Diakhir, peluang total
apakah sistem berpindah dari kondisi 1 ke kondisi 2 atau tetap berada pada
kondisi 1 setelah empat interval didapat dengan menjumlahkan semua peluang
masing-masing cabang yang bersesuaian. Terlihat bahwa setelah empat interval
peluang sistem berpindah dari kondisi 1 ke kondisi 2 adalah 85/128 dan peluang
sistem berada pada kondisi satu adalah 43/128. (peluang total adalah 128/128
atau sama dengan 1). Gambar 7.2 dapat di tuliskan dalam bentuk tabel seperti
terlihat pada tabel 7.1.

Tabel 1.2-2 Sistem dengan dua kondisi (state)


time interval state probabilities
state 1 state 2

1 1/2 = 0.5 1/2 = 0.5


2 3/8 = 0.375 5/8 = 0.625
3 11/32 = 0.344 21/32 = 0.656
4 43/128 = 0.336 85/128 = 0.664
5 171/512 = 0.334 341/512 = 0.666
Tabel diatas mengasumsikan bahwa sistem dimulai dari kondisi 1. Pada tiap time
interval jumlah probabilitas adalah sama dengan 1. Nilai probabilitas transisi dari
kondisi 1 ke kondisi 2 (kolom 3) atau probabilitas transisi tetap berada di kondisi
1 (kolom 2) berangsur-angsur menjadi konstan dengan bertambahnya time
interval. Gambar 7.3 menunjukkan karakter yang lebih jelas dari sistem di atas.

3
Int 1 Int 2 Int 3 Int 4

1/2
1 1/16 8
1
1/2
2 1/16 8
1
1/2 1/4 1 1/32 4

2
2 3/32 12
3/4
1
1/2
1 1/32 4
1
1/2 1/2 2 1/32 4
2
1/4
1 3/64 6
2
3/4
2 9/64 18
1
1/2 1 1/32 4
1
1/2
2 1/32 4

1
1/4 1 1/64 2
2
3/4 2 3/64 6
2
1/2
1 3/64 6
1/4 1
1/2 2 3/64 6
2
1/4
3/4
1 9/128 9
2
3/4
2 27/128 27

total 128

Gambar 1.2-2 Event tree sistem dengan dua kondisi (state)

Gambar 7.3 jelas sekali menunjukka dua daerah pada grafik. Pada daerah
transien, terjadi perubahan nilai probabilitas kondisi (state) hingga memasuki
daerah steady state, dimana nilai probabilitas tersebut menjadi konstan dengan
nilai akhir 0.334 tetap berada pada kondisi 1 dan 0.666 berpindah ke kondisi 2.

Kita juga dapat simpulkan bahwa nilai-nilai probabilitas di daerah transien sangat
tergantung pada kondisi awal apakah sistem dimulai dari kondisi 1 atau dari

4
kondisi 2. Namun demikian, nilai-nilai probabilitas pada daerah steady state tidak
tergantung pada kondisi awal. Pada gambar 7.3 juga terlihat bahwa nilai
probabilitas transisi menjadi konstan setelah kurang lebih melewati 4 interval
waktu.

1.0

0.8 Daerah transien Daerah steady state

0.666
State 2
0.6
probability

0.4
State 1
0.334
0.2

1 2 3 4 5 6

Jumlah interval

Gambar 1.2-2 Grafik state probability

Nilai-nilai probabilitas di daerah transien berubah sesuai dengan jumlah


intervalnya. Karena itu nilai-nilai probabilitas ini sering disebut dengan time
dependent state probabilities. Sementara itu, nilai-nilai pada daerah steady state
akan selalu konstan hingga jumlah interval tidak terhingga. Karena itu nilai-nilai
probabilitas ini sering disebut dengan limiting value atau time independent state
probabilities.

1.3 Stochastic Transitional Probability Matrix

Analisa probabilitas transisi seperti dibahas pada sub bab sebelumnya memeliki
beberapa kelamahan. Kelemahan utamanya adalah panjangnya waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan evaluasi terutama jika jumlah time interval yang
relatif besar. Disamping itu, penentuan daerah transien dan steady state juga
membutuhkan jalan yang panjang karena kita harus mengidentifikasi interval
dimana nilai probabilitasnya tidak lagi akan berubah. Dengan keterbatasan
tersebut, pemakaian stochastic transitional probability matrix akan jauh lebih

5
memudahkan dalam mengevaluasi probabilitas transisi dari masing-masing
kondisi (state) yang teridentfikasi di dalam sistem.

Dalam konteks discrete Markov chain ada beberapa poin yang harus dipecahkan.
Poin-poin tersebut adalah:

(1) Berapakah nilai limiting value-nya?

(2) Berapakah nilai time dependent state probabilities-nya?

(3) Dalam berapa intervalkah limiting value akan tercapai? Atau pada
interval manakah batas daerah transien dan daerah steady state?

Dengan menggunakan stochastic transitional probability matrix maka kita hanya


melakukan beberapa proses manipulasi matrik seperti perkalian, menghitung
determinan, co-factor, invers dan manipulasi matrik lainnya.

Selanjutnya mari kita lihat kasus yang telah dibahas sebelumnya seperti terlihat
pada gambar 7.1. State space diagram tersebut dapat dikonversi menjadi
stochastic transitional probability matrix (P) seperti dibawah ini.


P11 P12  1 / 2 1 /
 
P   21 P22  1 / 4 3 /
2

P
4
Pij menunjukkan probabilitas transisi dari kondisi i ke kondisi j setelah satu
interval waktu dimana sistem mulai dari kondisi i diawal waktu interval. Seperti
terlihat P11 menunjukkan probabilitas tetap berada di kondisi 1 jika sistem dimulai
dari kondisi 1, dimana nilai probabilitasnya adalah 1/2. Begitu pula
P12
menunjukkan probabilitas transisi dari kondisi 1 k kondisi 2 jika sistem dimulai
dari kondisi 1, dimana nilai probabilitas transisinya adalah 1-1/2 = 1/2.

1.4 Time Dependent State Probabilities

Time dependent state probabilities dapat dicari dengan mengalikan matrik P


dengan matrik P itu sendiri sejumlah interval yang diinginkan (Pn, dimana n
adalah jumlah interval waktu). Jika kasus sebelumnya kita cari nilai probabilitas
setelah 2 waktu interval, maka akan diperoleh perkalian matrik seperti berikut.

6
P P12 P11 P12  11P P11 P P12 21 P11 P12  P12 P22 
P 2  1 
 P21 P22  P21 P11  22
 21 P22   P 11P  P P22 22 
P21P 12
P
Jika nilai P11, P12, P21, P21 disubstitusikan ke dalam matrik diatas maka akan
diperoleh :

 3/8 5/8
P2 
5 / 16 11 / 16

Yang menyatakan bahwa jika sistem dimulai dari kondisi 1 maka setelah 2
interval waktu probabilitas tetap di kondisi 1 adalah 3/8 dan probabilitas transisi
ke kondisi dua adalah 5/8. Terlihat bahwa jumlah baris adalah 1. Demikian juga
halnya jika sistem dimulai dari kondisi 2, maka probabilitas transisi ke kondisi 1
adalah 5/16 dan probabilitas tetap di kondisi 2 adalah 11/16. Nilai-nilai tersebut
diatas untum masing-masing kondisi awal didapat dengan mengalikan matrik P2
tersebut dengan probability vector yang nilainya [1 0] jika sistem dimulai dari
kondisi satu, dan [0 1] jika sistem dimulai dari kondisi 2. Nilai-nilai probabilitas
diatas sesuai dengan nilai-nilai probabilitas yang dihasilkan dengan
menggunakan event tree yang dibahas pada sub bab sebelumnya.
P(IC  1)  1  3/ 5/8 
 3/8 5/
11 /

0  85 / 8
16 16

P(IC  2)  0  3/ 5 / 8  5 / 16 11 /
11/ 
1 85/
 16
16 16

1.5 Ringkasan Matrik

Pada bagian ini akan diberikan ringkasan tentang algoritma manipulasi matrik
yang akan menjadi dasar untuk evaluasi pada sub bab pembahasan berikutnya.

Square Matrix, adalah matrik yang jumlah barisnya adalah sama dengan jumlah
kolomnya, m = n, seperti contoh berikut:

A
12 03 0
 1

4 1

3
7
Column Matrix, adalah matrik yang hanya memiliki satu kolom atau sering
disebut dengan vektor kolom.

1
A
2

4
Row
Matrix, adalah matrik yang hanya terdiri dari satu baris saja atau sering
disebut dengan vektor baris.

A   1  3 0

Transposed matrix, adalah matrik dimana nilai baris pada matrik awal berubah
menjadi nilai kolom pada matrik transposenya.

 1 0
4
1 3 2 T 
A   4  1 maka A  
3  2

0 
1
Diagonal matrix, adalah matrik yang semua komponennya bernilai 0 (nol) kecuali
diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang tidak bernilai nol.

1 0 0
A
0 0
5 
0 0
3
Identity Matrix, adalah matrik diagonal yang nilai semua komponen diagonalnya
adalah 1.

1 0 0
A 
0 0

0 0
1
1

Symetric Matrix, adalah matrik yang nilainya sama dengan matrik transposenya.

4 2 0
A  AT  
2 3 

1 0 1 2


8
Co-Factors dari sebuah matrik adalah (-1)i+j dikalikan dengan dengan
Fij
determinannya jika baris ke-i dan kolom ke-j dihilangkan.

A
12  3 0
0
1
01 01 21 2 1
 maka F11 (1) 2 1 3 13 dan F12  (1) 34 3  4 3

4 1

Determinant,
3 dihitung dengan mengalikan semua elemen pada matrik tersebut
dengan co-factor nya dan kemudian menjumlahkannya, seperti pada contoh
berikut.

m n
A ∑ aij Fij atau A ∑ aij Fij
i1 i1

1  3 0 0 1 2 1 2 0
A  0 1 1 3 0  1(0 1)  3(6  4)  0(2 
2  1 3 0) 45 3 41
4 1 3

Addition of matrices, dilakukan dengan menjumlahkan komponen matrik yang


bersesuaian. Sifat penjumlahan matrik juga adalah A + B = B + A, sebagai
contoh:


1 3 4  2 0  3 3 3

 4 5 1
1 2   7

2
3 1 4
Substraction of matrices, dilakukan dengan mengurangkan komponen matrik

yang bersesuaian. Sifat penjumlahan matrik juga adalah A + B K B + A, sebagai

contoh:


1 3 4  2 0  3  1 3
 
 4 5 1
7 2   3

2
3 3 2
Multiplication of matrices, dilakukan hanya jika jumlah kolum matrik pertama
sama dengan jumlah baris matrik kedua untuk menghasilkan matrik yang ketiga
yang memiliki jumlah baris yang sama dengan matrik pertama dan jumlah kolom
yang sama dengan matrik kedua.

9
b11 b12 
a
 11 a12 a13 b    a11b11  a12 b21  a13b31 a11b12  a12 b22  a13b32  
 a 22 a23  b 11a b22 a21b 23 31 a 21b 12  a 22 b22  a23b32
22   21

21b 21b13 b 32 
a a

Inverse of a mtrix, memiliki sifat jika matrik tersebut dikalikan dengan inverse-nya
maka akan menghasilkan matrik identitas, A.A-1 = I. Elemen dari matrik inverse
dicari dengan:

^
a ij  F ji , sebagai contoh kita lihat contoh pada soal sebelumnya:
A

1  3 0
A 0 1kita dapatkan bahwa nilai determinannya adalah 5, maka
2 
4 1 3

^ 0 1 ^ 3 0 ^ 3 0
a11   -1 a12  9 a13   3
1 3 1 0
3 1

Dengan cara yang sama kita cari komponen matrik inverse yang lainnya maka
akan didapatkan:

1
1
59
 3
1
A  1
Cramer’s Rule,
2 3 merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan

simultan.
 Jika persamaan simultan yang dimiliki adalah dalam bentuk seperti
berikut:  2
13 6

a a12 a13 
 x  d 1
 11 a 
 y  
a23 
  d
 21 22
a 2 
a13 a32 a33  z
 dalam 
d 3mencari
 
Maka nilai x, maka kolom pertama pada matrix 3 x 3 diatas
diganti dengan matrik kolom yang paling kanan sehingga:

d1 a12 a13



1 
x d2 a 22
A 
23 
a  a32 a33
d3 

10
Cara yang sama juga dilakukan juga untuk mencari nilai y dan z.

1.6 Limiting Value

Limiting value atau time independent state probabilities didapat dengan


persamaan .P = , dimana  adalah limiting probability vector, atau vektor yang
berisi kumupulan nilai limiting value yang akan dicari.

Jika kasus sebelumnya kita pergunakan dalam mencari limiting value-nya, maka
diperoleh:

P1 P2P  P1 P2 atau

P1 P21/ 2 1 / 2 P1 P2 , yang dapat dituliskan dalam persamaan sebagai

1 / 4 3 /

berikut: 4

1/2 P1 + 1/4 P2 = P1

1/2P1 + 3/4 P2 = P2, jika kedua persamaan ini kita susun ulang maka:

-1/2 P1 + 1/4 P2 = 0 .......................................................................


1/2 P2 - -1/4 P2 = 0. .......................................................................

Kedua persamaan diatas tidak dapat disubstitusikan mengingat sifat saling


meniadakan yang dimiliki oleh kedua persamaan tersebut. Karena itu kita
membutuhkan satu persamaan tambahan yakni:

P1 + P2 = 1 ....................................................................................

Sehingga persamaan yang akan diselesaikan adalah

-1/2 P1 + 1/4 P2 = 0 .......................................................................


P1 + P2 =
1 ......................................................................

Persamaan di atas dapat diselesaikan dengan menggunakan metode Cramer


seperti dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dan akan menghasilkan nilai P1 =
0.333 dan P2 = 0.666

11
7. Absorbing state

Pada konteks discrete Markov chain, kondisi (state) sistem dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu, ergodic state dan absorbing state. Ergodic state adalah state
yang limiting value nya ditentukan oleh kondisi awalnya, dimana state ini bisa
menerima transisi probabilitas dari state lainnya dan bisa memindahkan
/mengeluarkan transisi probabilitas ke state lainnya. Pada ergosic state maka
state ini dapat dicapai dari semua state lainnya baik secara langsung atau
melalui state perantara lainnya. Jika kondisi seperti pada ergodic state ini tidak
dapat terpenuhi, dimana state hanya bisa menerima dan menyerap transisi tanpa
bisa memindahkan atau mengeluarkannya sampai sistem tersebut memulai misi
(operasi) yang baru, maka state tersebut disebut dengan absorbing state.
Absorbing state ini berkaitan erat dengan mission oriented system.

Pada evaluasi keandalan dengan metode Markov maka diperlukan analisa untuk
mencari jumlah interval operasi sebelum sistem memasuki absorbing state atau
sebelum sistem harus dihentikan untuk dimulai lagi dengan misi (operasi) yang
baru.

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menentukan jumlah interval
waktu sebelum sistem memasuki abosrbing state. Langkah-langkah tersebut
adalah:

(1) Buatlah matrik Q dengan menghilangkan komponen baris dan kolom


pada matrik yang berhubungan dengan absorbing state.

(2) Jadikan matrik Q sebagai pengurang dari matrik identitas, dan sebut
matrik baru tersebut dengan matrik N. ( [N] = [ I ] – [ Q ] ).

(3) Cari inverse dari matrik N.

8. Aplikasi Discrete Markov Chain

12
Pada gambar berikut, tentukanlah (a) limiting state probabilities, (b) time
dependent state probabilities setelah 2 interval waktu dan (c) jumlah interval di
masing-masing state jika state 3 adalah absorbing state.

1
1/3
1/4

1/2

2 3
1/3

Gambar 1.8-4 3 states probability

State space diagram diatas dapat dikonversi menjadi stochastic transitional


probability matrix seperti berikut:

3 / 1 / 4 0
P

4

1 / 2 1 / 2
0 
1 / 3 1 / 3 1 /
3
Seperti terlihat, probabilitas dari kondisi 1 ke 2 adalah 1/4, dan dari 1 ke 3 adalah
0, dengan demikian probabilitas tetap di kondisi 1 adalah 1-1/4-0 = 3/4. Demikian
juga halnya, probabilitas transisi dari kondisi 2 ke 3 adalah 1/2, dari kondisi 2 ke
1 adalah 0, maka probabilitas tetap di state 2 adalah 1-1/2-0 = 1/2. Hal yang
sama berlaku untuk kondisi 3 dimana probabilitas transisi ke kondisi 1 dan 2
adalah masing-masing 1/3, sehingga probabilitas tetap di kondisi 3 adalah 1-1/3-
1/3 = 1/3.

Kasus (a) :

Untuk mecari limiting value:

3 / 1/4 0
P1 P2 P3
0 1/ 2 1 / 2 P1 P2 P3
4

1 / 3 1 / 3 1 /
3

13
dan menghasilkan:

3/4 P1 + 1/3 P3 = P1 .......................................................


1/4 P1 + 1/2 P2 + 1/3 P3 = P2........................................................
1/2 P2 + 1/3 P3 = P3 ........................................................

Persamaan bantuannya adalah:

P1 + P2 + P3 = 1............................................................................

Nilai determinan matrik diatas adalah:

1/2 1/2 0 1/2 0 1/


A3/4 1 / 4 2   3 / 4[0] 1 / 4[1 / 6]  0  1 /
1/3 1/30 1/3 1/3 1 / 3 1 / 3 24

Dengan demikian matrik baru dengan memasukkan unsur persamaan pembantu


adalah:


1 /4 0 1 / 3  P2
3
P1 0
01 / 4 1 / 2 1 / 



 1

  mengganti kolom pertama matrik diatas dengan matrik


Nilai P1 didapat dengan
1 1
kolom paling
kanan,
P3 sehingga akan menjadi
1

0 0 1/

3
P1  24   1 / 2 1 /30 0 1 / 3 1 / 0 1 / 2 
1 1 / 2 1 / 3 0
 1 1    24 / 6 
 A 
0 1 1 1 1 1 13 4
  1 

Dengan cara yang sama didapat nilai P2 = 4 dan nilai P3 = 3. Namun ingat
bahwa total nilai P1+P2+P3 =1, dengan demikian nilai P1 = 4/11, P2 = 4/11 dan
P3 = 3/11. Ketiga nilai tersebut adalah nilai limiting value probabilitas sistem
berada pada state 1, state 2 dan state 3.

Kasus (b):

Nilai probabilitas setelah 2 waktu interval didapat dengan mengalikan matrik P


sejumlah 2 kali:

5/
3 / 1 / 4 0 3 / 4 1/4 0   9/ 2 / 16 
16/ 24 10 / 24
10
P 2 

4 1 / 2 1 / 2
 0 1
16/ 2 1 / 2 4 / 24 
1 / 3 1 / 3 1 / 1 / 3 1 / 3 39 /  / 108 30 /
39
0
31 / 3 108 108

14
Sehingga jika sistem dimulai dari state 1, maka setelah dua time interval
probabilitas tetap di state 1 adalah 9/16, berpindah ke state 2 adalah 5/16 dan
berpindah ke state 3 adalah 2/16. Demikian juga penjelasan yang sama dapat
diberikan jika dimulai dari state yang lainnya.

Kasus (c):

Jika state 3 adalah absorbing state, maka:

1/4
3 / 0
3 / 4 1 / 4

Q 1 / 2 1 /2  , dengan menghilangkan kolom dan baris 3
4  1 / 2
0 1 / 3 1 / 3 1 /
0
3
N  1 0 3 / 41 /12/4
 0 1 / 411/ 2/
  
 1
0 4  

0
Inverse dari matrik N adalah:

N 1 4
 2
0 2

Matrik diatas berarti jika kondisi awal adalah state 1, maka sistem akan berada 4
interval di state 1 dan 2 interval di state 2 sebelum masuk ke absorbing state.
Namun jika sistem dimulai dari state 2, maka sistem akan berada 0 interval di
state 1 dan 2 interval di state 2, sebelum masuk absorbing state. Nilai nol pada
komponen inverse matrik N sangat jelas disebebkan karena tidak ada transisi
dari state 2 ke state 1 seperti terlihat pada state space diagramnya.

15

Anda mungkin juga menyukai