Anda di halaman 1dari 17

CHAPTER

12

Revenue and Inventory Related


Financial Statement Frauds
TUJUAN
1. Identifikasi skema penipuan laporan keuangan terkait pendapatan
2. Membuat daftar cara untuk mencari gejala penipuan laporan keuangan terkait pendapatan
3. Memahami pentingnya dan cara menindaklanjuti, gejala penipuan terkait pendapatan
4. Identifikasi cara untuk mencari gejala penipuan laporan keuanagn terkait inventaris
Jenis Transaksi Yang Digunakan Berbagai Skema Penipuan
Identifying Revenue-Related Fraud Symptoms
Analytical symptoms

Accounting or documentary symptoms

Lifestyle symptoms

Control symptoms

Behavioral and verbal symptoms

Tips and complaints


Pendahuluan Kasus BLBI
◦ Lahirnya BLBI tidak lepas dari krisis ekonomi dan moneter, terutama sejak pemerintah memberlakukan
system kurs mengambang terkendali (managed floating) dan mengambangkan nilai rupiah (free floating).
Kebijakan moneter tersebut bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas pada pengendalian
moneter sekaligus menyelamatkan devisa.

◦ Namun ternyata kebijakan tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan kebijakan moneter sangat ketat
(tight money policy) untuk menstabilkan nilai rupiah, justru menciptakan rumor negatif pada dunia
perbankan.

◦ Pada bulan Januari 1998 terjadi restrukturisasi sistem perbankan, yang ditandai dengan lahirnya Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang berfungsi untuk menyehatkan industry perbankan, juga
diputuskan pemberian independensi kepada Bank Indonesia.
Pendahuluan Kasus BLBI
◦ Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun Satu per satu mata uang negara-
negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh
banyak pihak sebelumnya.

◦ Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah,
Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah dari Rp. 192 (8%),
menjadi Rp. 304 (12%).

◦ Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah,Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan
menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Pendahuluan Kasus BLBI
◦ Kebijakan ini juga diikuti dengan dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari kisaran 14%-
17% sampai 28%-30%. Strategi lain yang dipergunakan oleh otoritas moneter adalah dengan menyimpan
dana-dana dari BUMN dan yayasan milik pemerintah ke SBI.

◦ Kebijakan uang ketat ini mengakibatkan melonjaknya tingkat suku bunga inter-bank.Tingkat suku bunga yang
awalnya hanya berkisar 16%-17% melonjak hingga 100%. Bahkan pada tanggal 22 Agustus 1997, suku bunga
inter-bank melonjak hingga 300% yang membuat bank mengalami kelangkaan likuiditas.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
◦ Akibat rush, bank kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Istilah ini merujuk
pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat.Dana talangan yang
dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI2.

◦ Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup
memenuhinya.Apalagi di saat krisis ekonomi, aktivitas sektor riil praktis berhenti dan tingkat kredit
bermasalah (non-performingloan) semakin meningkat.
 Audit Oleh BPK
◦ Tanggal 31 Desember 1999, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengeluarkan laporan audit kinerja pada
Bank Indonesia per 17 Mei.

◦ Dalam laporan tersebut BPK mengungkapkan jumlah BLBI yang telah disalurkan oleh BI kepada bank
penerima telah mencapai jumlah Rp ,10 miliar dan jumlah BLBI yang tidak layak dialihkan kepada pemerintah
sebesar Rp. 80,24 triliun.

◦ Untuk membayar pengalihan hak tagih tersebut, pemerintah pada tahun 1998/1999 telah menerbitkan Surat
Utang (Obligasi) senilai Rp. 164,53 triliun.

◦ Surat Utang tersebut berjangka. waktu 20 tahun, termasuk masa tenggang 5 tahun dan suku bunga 3% per
tahun. Bunga dan angsuran surat utang tersebut dibayar oleh pemerintah dari dana APBN.
Pembahasan BLBI
Pada kasus ini terungkap bahwa adanya penyusutan asset BPPN sehingga dengan sendirinya menjadi potensi
permasalahan baru dalam kinerja perekonomian nasional.

Dari sisi financial kerugian terbuka bagi negara mencapai Rp. 567,1 triliyun.

Dari sisi akuntabilitas, penyusutan ini akan memberikan oponi yang tidak sehat terhadap kinerja BPPN, yang
diduga melakukan pengelolaan asset secara melanggar hokum.

Dari sisi transparansi, penyusutan asset BPPN berpotensi menciptakan opini yang tidak sehat, baik terhadap
kinerja BPPN maupun asset yang dikelolanya.

Pada akhirnya akan berdampak negative terhadap kinerja perekonomian nasional secara umum. Dengan
melakukan penjualan asset BPPN yang selama itu menjadi penerimaan bagi APBN, menjadi secara potensial
menurun sebagai dampak langsung dari opini investor atau pun strategic partner terhadap asset APBN.
◦ Dalam prinsip prudential banking, setiap kredit wajib disertai dengan jaminan yang lebih besar dari
jumlah kredit yang dikucurkan.

◦ Dalam pengucuran dan BLBI, para pemilik bank juga menjaminkan asset-asset yang dimilikinya.

◦ Nilai asset uang dijaminkan pada debitur hanya Rp. 129,42 triliyun sedangkan nilai dana BLBI yang
dikucurkan berdasarkan akta penyerahan dan pengalihan dari Bank Indonesia kepada BPPN mencapai
Rp. 144,54 triliyun. Sehingga potensi kerugian negara sebesar Rp. 15,12 triliyun, oleh karena itu nilai riil
dari jaminan yang sangat jauh diharapkan.
Berdasarkan audit BPK dari Rp 129,42 triliyun sebgai jaminan, hanya sebagian kecil saja yang memiliki nilai komersil,
yakni:

 Tanah/bangunan senilai Rp. 11,02 triliyun atau 8,52% dari total jaminan

 Surat-surat berharga lainnya Rp 12,22 triliyun atau 9,44% dari total jaminan

Selebihnya hanyalah jaminan tidak mempunyai nilai komersil, seperti:

 Surat sanggup atau promes dari bank penerima BLBI yang tidak di endors oleh bank lain senilai Rp 46,89 triliyun
atau 36,16% dari total jaminan

 Promes nasabah bank penerima BLBI senilai Rp 50,11 triliyun atau 38,72% dari total jaminan

 Personnel guarantee/corporate guarantee (PG/CG) senilai Rp 9,27 triliyun atau 7,16% dari total jaminan.
◦ Menurut estimasi BPK nilai komersil dari keselurahan jaminan yang diserahkan penerima BLBI, hanya
sebesar 12,35 triliyun atau 9,54% dari nilai hak jaminan atau 8,54% dari piutang BLBI yang di cessie
kan oleh Bank Indonesia kepada BPPN.

◦ Banyaknya kejanggalan yang ditemukan pada asset jaminan BLBI di BPPN, telah mendorong BPK
melaporkan hasil auditnya kepada Kejaksaan Agung dan Kapolri. Kejanggalan tersebut bukan hanya
menyangkut akuntabilitas dan tranparansi nilai jaminan maupun penjualannya saja, melainkan ditemukan
indikasi tindak pidana pencucian uang oleh pihak terkait yakni BPPN.
Kesimpulan
Potensi kerugian negara akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut disebabkan adanya fakta-fakta sebagai berikut:
◦ BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp. 144,53 triliun (posisi 29 Januari 1999).
◦ Pemerintah harus membayar bunga kepada BI sebesar 3% per tahun dari nilai BLBI setelah disesuaikan dengan Indeks Harga
Konsumen.
◦ Bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah.
◦ Apabila BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai dengan pedoman akuntansi BI, BLBI kepada
BBO/BBKU/BDL akan disisihkan sebagai kerugian 100% dan untuk BLBI kepada BTO akan disisihkan sebagai kerugian 2-20%.
◦ BPPN dan tim likuidasi Bank-Bank Dalam Likuidasi melakukan upaya pengembalian BLBI. Tetapi karena membutuhkan waktu,
potensi kerugian negara saat audit dilakukan belum bisa dihitung.
◦ BLBI kepada BTO akan dikonversi menjadi penyertaan (equity) pemerintah. Pengembalian BLBI akan sangat tergantung dari
divestasi yang dilakukan.
Kesimpulan
Pada kasus BLBI tersebut jika dilihat dari Materi Chapter 12, menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan oleh
pemerintah dan BI adalah kurangnya pengawasan secara internal dan eksternal serta dapat dikaitkan dengan 6 kategori
gejala kecurang didalam kasus BLBI tersebut diantaranya:

1. Gejala Analitis

2. Gejala akuntansi atau dokumentasi

3. Gejala kontrol

4. Gejala perilaku

5. Gejala gaya hidup

6. Gejala Tip dan Keluhan


Agar kecurangan laporan keuangan dapat dideteksi, gejala kecurangan harus diamati dan dikenali. Dalam
beberapa kasus penipuan laporan keuangan yang paling terkenal, gejala seharusnya sudah dapat diamati,
tetapi tidak dikenali oleh auditor dan lainnya. Dalam beberapa kasus, gejala diamati dan bahkan
ditanyakan, tetapi penjelasan alternatif dari manajemen diterima.

Anda mungkin juga menyukai