Anda di halaman 1dari 20

Difteri

Rosi Apriana NIM 25000119120057


Kelas 5A-EPI
Definisi
Difteri merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae yang merupakan
bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Difteri ini termasuk dalam penyakit menular mematikan yang
menyerang saluran pernapasan atas (tonsil, faring, hidung) dan terkadang pada selaput lendir dan kulit.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya Kejadian Luar Biasa
(KLB). Semua golongan umur dapat tertular penyakit ini, namun pada anak usia kurang dari 5 tahun
dan orang yang lanjut usia diatas 60 tahun sangat berisiko tertular penyakit difteri.

Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae. Penularan terjadi secara droplet
(percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit.
Tanda dan gejala berupa infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok,
nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5º C), dan ditemui adanya pseudomembrane
putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila
diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring
Epidemiologi

Penularan disebarkan melalui droplet, kontak langsung dengan sekresi saluran napas penderita atau
dari penderita karier. Pada daerah endemis, 3%-5% orang sehat bisa sebagai pembawa kuman
difteri toksigenik. Kuman C. diptheriae dapat bertahan hidup dalam debu atau udara luar
sampai dengan 6 bulan. Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan jumlah kasus
meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dari 22 provinsi yang melaporkan adanya kasus
difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur, yaitu 295 kasus yang berkonstribusi
sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, 37% tidak mendapakan vaksin campak. Sementara pada
tahun 2015 terdapat 252 kasus difteri dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98% dan
gambaran menurut umur terbanyak pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun
Epidemiologi
Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis dengan penduduk padat
dan cakupan imunisasi rendah. Penularan melalui kontak dengan karier atau individu terinfeksi.
Bakteri ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin, ataupun kontak langsung saat
berbicara. Manusia merupakan karier asimptomatik dan berperan sebagai reservoir C. diphteriae.
Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit individu terinfeksi jarang terjadi. Difteri umumnya
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Menurut WHO, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan insidens tertinggi di dunia khususnya pada
tahun 2005. Indonesia menempati urutan kasus difteri terbanyak kedua setelah India, yaitu 3203
kasus. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, jumlah kasus difteri sebanyak 415
kasus dengan kasus meninggal 24 kasus, sehingga CFR difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak
di Jawa Timur (209 kasus) dan Jawa Barat (133 kasus). Dari seluruh kasus difteri, sebanyak 51%
pasien tidak mendapat vaksinasi sebelumnya. Pada tahun 2016, 59% kasus difteri terjadi pada
kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 tahun.
Agent Penyebab
Agen penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium
diphtheriae. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif,
pleomorfik, tersusun berpasangan, tidak membentuk
spora, dapat memproduksi eksotoksin.
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram
positif anaerob. Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri
terinfeksi oleh virus spesifik (bakteriofage) yang
membawa informasi genetik untuk toksin. Masa inkubasi
bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10 hari). C. diphteriae
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini
telah ditemukan dalam bentuk toksigenik
Gejala
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Bakteri difteri ini akan menghasilkan racun yang akan
membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan, sehingga
akhirnya menjadi sel mati.

Gejala-gejala dari penyakit ini meliputi:


• Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang
menutupi tenggorokan dan amandel
• Demam dan menggigil
• Sakit tenggorokan dan suara serak
• Sulit bernapas atau napas yang cepat
• Pembengkakan kelenjar limfe pada leher atau yang biasa
disebut “Bull Neck”
Patogenesis
• Masuknya C. diphtheriae ke dalam hidung atau mulut dan terlokalisasi pada permukaan
mukosa saluran pernapasan atas
• Setelah periode inkubasi 2-4 hari, strain difteri yang terinfeksi (mengalami lisogenisasi) dapat
menghasilkan toksin.
• Toksin awalnya diserap ke dalam membran sel target melalui ikatan reseptor pada permukaan
sel dan mengalami endositosis..
• Toksin ini terdiri atas 2 komponen, yaitu subunit A dan subunit B. Subunit B berperan dalam
pengikatan reseptor sedangkan subunit A merupakan komponen toksin yang enzimatik aktif
• terjadi sitolisis. Nekrosis luas terjadi pada jaringan tempat kolonisasi kuman difteri dan akan
memicu respons inflamasi lokal
Patogenesis
• Respons inflamasi bersama jaringan nekrosis membentuk eksudat pseudomembran.
• Eksudat ini awalnya dapat diangkat, tetapi seiring berjalannya infeksi, terjadi peningkatan
produksi toksin sehingga terbentuk eksudat dengan komponen fibrin
• Toksin yang dihasilkan di lokasi pseudomembran akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
aliran darah dan limfatik
• Organ dan jaringan di seluruh tubuh dapat mengalami kerusakan akibat toksin ini
• Lesi sistem saraf, jantung, serta ginjal merupakan komplikasi berat; manifestasi klinis
miokarditis tampak setelah periode laten 10-14 hari, sistem saraf, misalnya neuritis perifer,
terjadi pada 3-7 minggu. Strain non-toksigenik juga dapat menyebabkan faringitis ringan
hingga sedang, tetapi tidak terbentuk pseudomembran
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis (latar belakang ekonomi, epidemiologi,
terutama riwayat imunisasi) dan penemuan klinis. Penundaan terapi akan
meningkatkan risiko komplikasi. Konfirmasi diagnosis dapat dengan kultur;
oleh karena itu, penting mendapatkan apusan faring, khususnya dari area
perubahan warna, ulkus, dan kripta tonsil. Jika basil difteri dapat diisolasi,
sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan toksigenitas (pemeriksaan Elek).
Diagnosis
Difteri Hidung Difteri Laring

Bentuk ringan difteri hidung pada individu Difteri laring harus dibedakan dari
dengan imunitas parsial dapat menyerupai croup baik spasmodik maupun non-
common cold. Beberapa penyakit/keadaan lain spasmodik, epiglottitis akut,
yang menyerupai difteri hidung adalah benda laringotrakeobronkitis, aspirasi benda
asing di hidung, sinusitis, adenoiditis, atau sifilis asing, abses peri-dan retrofaringeal
kongenital. Pemeriksaan hidung yang cermat hemangioma, serta limfangioma.
menggunakan spekulum nasal, radiografi sinus, Anamnesis cermat serta visualisasi
dan pemeriksaan serologi sifilis dapat klinis yang baik dapat membantu
membantu menyingkirkan diagnosis sifilis akurasi diagnosis.
Diagnosis

Difteri Faring dan Tonsil

Difteri faring atau tonsil harus dibedakan dari faringitis streptokokal.


Faringitis streptokokal umumnya berhubungan dengan nyeri menelan
lebih berat, demam tinggi, dan membran yang tidak melekat erat dan
terbatas pada tonsil. Diagnosis banding lain antara lain: infeksi
mononukleosis (limfadenopati, pembesaran limpa, dan limfosit atipikal
sering ditemukan), tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsilitis
herpetika primer, Vincent angina, thrush, dan kondisi
pascatonsilektomi.
Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi


toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Pengobatan

Umum Khusus
Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan


tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien
tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama
kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Khusus

• Antibiotik
• Antitoksin
• Kortikoteroid
• Pengobatan Penyulit
• Pengobatan Kontak
• Pengobatan Karier
Pencegahan
&
Pengedalian
Pencegahan & Pengendalian

Menjaga kebersihan dan memberikan


Imunisasi
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak

Melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap


kontak terdekat untuk mencegah penularan yang Menyadari gejala difteri dengan segera
lebih luas

Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus


Cek kesehatan secara rutin
Difteri.
Pencegahan & Pengendalian

Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan


Semua kasus Difteri harus dilakukan
dirawat di ruang isolasi.
penyelidikan epidemiologi

Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus


Menghentikan transmisi Difteri dengan
kontak erat kemudian dikirim ke laboratorium
pemberian prophilaksis terhadap kontak dan
rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan
karier
kultur atau PCR

Melakukan Outbreak Response Immunization Menjaga pola hidup, lingkungan yang bersih dan
(ORI) di daerah KLB Difteri. sehat
Daftar Pustaka
Hartoyo, Edi. 2018. Difteri pada Anak. Sari Pediatri, Vol 19 (5): 300-306.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri. Diakses pada
tanggal 01 November 2021 dari link
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2018/01/buku-pedoman-pencegahan-
dan-penanggulangan-difteri.pdf

Saunders, R., & I Kadek S. 2019. Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. Continuing Medical
Education, Vol 46 (2): 98-101.
Fatoni, C., S., & Friandy D.N. 2018. Case Based Reasoning Diagnosis Penyakit Difteri dengan
Algoritma K-Nearest Neighbor. Citec Journal, Vol 4 (3): 220-232.
Rahman, F., S., dkk. 2016. PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI
KECAMATAN GENENG DAN KARANG JATI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2015.
Jurnal Wiyata, Vol 3 (2): 199-213.
Sariadji, Kambang, dkk. 2014. Epidemiologi Kasus Difteri di Kabupaten Lebak Provinsi Banten
Tahun 2014. Media Litbangkes, Vol 26 (1): 37-44.
Thanks!

Anda mungkin juga menyukai