Anda di halaman 1dari 11

OM SWASTIASTU

NAMA KELOMPOK :
1. I MADE JULIAWAN WISNU NUGRAHA /1714101024
2. KADEK DWI AYU LESTARI NINGSIH /1714101026
3. SELLI HANDINI /1714101027
PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
PADA KAWASAN PARIWISATA LOMBOK
(STUDI KASUS TANAH TERLANTAR DI
GILI TRAWANGAN LOMBOK)
KASUS :
Pemanfaatan tanah di pulau lombok yang sebelumnya adalah
tanah perkebunan, kemudian beralih menjadi tanah lokasi
pariwisata dalam skala besar telah memicu terjadinya konflik
pertanahan di Gili Trawangan. Konflik pertanahan tersebut terjadi
karena peruntukan tanah yang semula dihajatkan untuk
mempercepat proses kesejahteraan rakyat melalui pengembangan
pariwisata di daerah, ternyata dalam praktik telah disalahgunakan
menjadi barang komoditi yang diperjual belikan oleh para investor
yang bertindak sebagai spekulan tanah.
Dan salah satu kasus yang terjadi antara masyarakat Gili Trawangan
dengan PT. WAH (Wanawisata Hayati). Dimana kasus pertanahan
pariwisata di pulau lombok dan gili trawangan bersumber dari
pemberian Hak Guna Usaha. Semakin tajamnya konflik ketika
Pemerintah Daerah Lombok Barat dan Badan Pertanahan Propinsi
NTB memberikan rubahan status dari Hak Guna Usaha (HGU)
menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT. Wanawisata Hayati
(PT. WAH) di atas tanah HGU yang dulu pernah diberikan kepada
Sudarti BA seluas 25 Ha.
Namun di atas tanah tersebut telah dikuasai dan digarap oleh
masyarakat sehingga pemberian HGB di atas kertas tercantum atas
nama PT. WAH seluas 13,9. Dokumen kebijakan pertanahan dalam
menunjang investasi khususnya sektor pariwisata di propinsi NTB
yang dikeluarkan oleh kantor wilayah pertanahan nasional NTB juni
2003, terungkap bahwa PT. WAH telah menelantarkan tanahnya dan
tanah yang diperoleh dengan HGB tersebut telah di duduki oleh
masyarakat karena sejak tahun 1996 tanah tersebut belum pernah
dikelola oleh PT. WAH sesuai dengan rencana setelah memperoleh
HGB.
Analisis
1. Dalam hal penelantaran tanah sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah
No 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
didalamnya telah diamanatkan agar penertiban tanah terlantar
dikembalikan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
2. Peraturan badan pertanahan nasional No. 4 tahun 2010 tentang tata cara
peretiban tanah terlantar, dalam pasal 1 angka 6 digariskan tentang tanah
terlantar, yaitu tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai, Hak
Pengelolaan yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak di
manfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya dan tujuan
pemberian.
Penjelasan umum UUPA bagian II angka 4 ditegaskan bahwa berhubungan
dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu
harus dipelihara baik – baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah
kerusakannya.
Berdasarkan landasan yuridis diatas maka seharusnya pemanfaatan tanah
terlantar harus memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dan menciptakan
suasana damai dan harmonis di daerah tersebut tetapi dalam hasil yang didapat
bahwa secara pidana terbukti dengan dilaporkannya masyarakat yang menggarap
tanah tersebut dalam perkara pidana atas laporan PT. WAH. Akibatnya
masyarakat harus mendekam di dalam tahanan karena dianggap menyerobot
tanah PT. WAH yang tidak memiliki bukti yang sah atas kepemilikan tanah
tersebut (putusan pengadilan negeri mataram no. 132/PID.Rin/2010/PN.Mtr
tanggal 28 Desember 2010, dan Putusan PN Mataram No. 3/Pid.Rin/2011/PN.Mtr
tanggal 31 Maret 2011)
Dan dalam hal penyelesaian konflik PT. WAH dengan masyarakat seharusnya pemerintah lebih tegas dalam hal ini.
Dan PT. WAH dalam obyek sengketa hal ini tanah , maka seharusnya harus dicabut HGU dan seluruh perizinan yang
melekat sehingga tidak lagi HGU digunakan sebagai tameng untuk membenarkan tindakannya secara perdata dan
pidana. Dan hal ini dapat dilihat bahwa tidak adanya rasa keadilan, kemanfaatan, dan jaminan perlindungan hukum
terhadap hak masyarakat.
Jadi dalam hal yang sudah dijelaskan diatas bahwa PT. WAH jelas – jelas sudah melanggar dan tidak menaati aturan
yang dijelaskan, bahwa PT. WAH tidak merawat dan memanfaatkan tanah dengan baik serta dilantarkan tetapi
dalam aturan tanah yang dilantarkan haruslah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat tetapi PT. WAH
bukan memberikan kesejahteraan melainkan melaporkan masyarakat tersebut.
3. Dalam pp no 40 tahun 1996 pasal 3 menjelaskan bahwa :
1. Pemegang Hak Guna Usaha yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka
waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau
dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara.
Terkait dengan hal ini seharusnya pemerintah lebih tegas terhadap pencabutan izin hak guna usaha yang dipegang
oleh pengusaha tersebut.
SESI TANYA JAWAB
OM SANTIH SANTIH SANTIH OM

Anda mungkin juga menyukai