Anda di halaman 1dari 13

Thinking Pair Share dan Realistic Mathematic

Educational

Sofia Nurlaili A40119143


Ni Komang Rani A40119107
Zaimul Afif Mahzum A40119199
Lisa A40119120
Nurnila A. Pilok A40119112
Eka Rahayu A40119134
Andi Dian Adriyanti A40119132
Think Pair Share (TPS)
Think pair share merupakan salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman, dkk dari
Universitas Maryland pada tahun 1985 sebagai salah satu
struktur kegiatan cooperative learning. Think pair share
memberikan waktu kepada para siswa untuk berpikir dan
merespon serta saling bantu satu sama lain. Think pair share
memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja
sama dengan orang lai
teknik belajar mengajar think pair share mempunyai beberapa keuntungan
sebagai berikut:
 Mudah dilaksanakan dalam kelas yang besar,
 Memberikan waktu kepada siswa untuk merefleksikan isi materi pelajaran,
 Memberikan waktu kepada siswa untuk melatih mengeluarkan pendapat
sebelum berbagi dengan kelompok kecil atau kelas secara keseluruhan.
Karakteristik pembelajaran
Ciri utama pada model pembelajaran kooperatif tipe think pair share adalah tiga langkah utamanya
yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Yaitu langkah think (berpikir secara individual), pair
(berpasangan dengan teman sebangku), dan share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau
seluruh kelas)
Tahapan-tahapan pembelajaran dalam model pembelajaran kooperatif tipe think
pair share
a. Tahap pendahuluan
b. Tahap think (berpikir secara individual)
c. Tahap pair (berpasangan dengan teman sebangku)
d. Tahap share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas)
e. Tahap penghargaan
Realistic Mathematics Education (RME)
Pendidikan matematika realistis atau Realistic Mathematics Education “RME” adalah
sebuah pendekatan belajar matematika yang menempatkan permasalahan
matematika dalam kehidupan sehari-hari sehingga mempermudah siswa menerima
materi dan memberikan pengalaman langsung dengan pengalaman mereka sendiri.

AWESOM SLIDE
Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)
Menurut Treffers (dalam Soviati, 2011: 82) karakteristik RME:
1. Menggunakan masalah kontekstual (The use of Context)
2. Menggunakan berbagai model (Use Models, Bringing by vertical instrument)
3. Konstribusi siswa (Student Contribution)
3. Konstribusi siswa (Student Contribution)
4. Interaktif (Interactivity)
5. Keterkaitan (Intertwinment)
Prinsip Realistic Mathematics Education “RME”

Menurut Gravemeijer “1990:90”, terdapat tiga prinsip dalam Realistic


Mathematics Education “RME” yaitu sebagai berikut:

1. Guided Reinvention Dan Progressive Mathematization

2. Didactial Phenomenology

3. Self Developed Models


Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME)
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan
melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan RME:
a. Memahami masalah kontekstual.
b. Menyelesaikan masalah kontekstual.
c. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
d. Menarik Kesimpulan
e. Menarik Kesimpulan
1. Kelebihan Realistic Mathematics Education “RME”
a. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa
tidak mudah lupa dengan pengetahuannya.
b. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena
menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan
untuk belajar matematika.
c. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban
siswa ada nilainya.
d. Memupuk kerja sama dalam kelompok.
e. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya.
f. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan
pendapat.
g. Pendidikan berbudi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan
menghormati teman yang sedang berbicara.
2. Kekurangan Realistic Mathematics Education “RME”
a. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih
kesulitan menemukan sendiri jawabannya.
b. Membutuhkan waktu yang lama bagi siswa yang memiliki kemampuan
yang rendah.
c. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya
yang belum selesai.
d. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat
itu.
e. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam
evaluasi atau memberi nilai.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai