Anda di halaman 1dari 19

KETELADANAN

MAZHAB FIQIH

ABSEN 1-18 (COWOK)


BIOGRAFI IMAM
Kelahiran SYAFI’I

Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh,
yaitu menuju kampung Gaza, Palestina, di mana saat itu umat Islam sedang berperang
membela negeri Islam di kota Asqalan. Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang
mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, "Jika engkau
melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil
dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib.“ Akhirnya Fatimah
melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu
dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di
antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota
yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i
lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang
bernama Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah
mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan
akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami
berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan
pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i."
MASA BELAJAR
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia
tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al
Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,”
Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya
memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para
Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali
bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-
Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih
hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah
Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam
Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelisnya ini, Imam Syafi’i menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam
Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya.
Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-
Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Di Yaman
Imam Syafi’i menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang Imam Syafi’i kemudian pergi
terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan ke Yaman dan bekerja sebentar di
hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga ia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: sana. Disebutkanlah sederet Ulama’
“Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Ia juga Yaman yang didatangi oleh dia ini
sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga ia menyatakan: “Tidak ada seperti: Mutharrif bin Mazin,
kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Ia juga Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku. banyak lagi yang lainnya. Dari
Yaman, dia melanjutkan tour
ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq
dan di kota ini dia banyak
Dari berbagai pernyataannya di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling ia kagumi adalah mengambil ilmu dari Muhammad
Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, Imam Syafi’i juga bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di
duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin negeri Iraq. Juga dia mengambil
Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan
ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, gurunya yang disebutkan terakhir ini adalah Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan
pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah masih banyak lagi yang lainnya.
yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika
pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayatnya,
ia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari
Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir
Di Mesir Imam Syafi'i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad bin
Abdillah bin Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (qaul
qadim). Kemudian dia pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (qaul
jadid). Di sana dia wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis

Akhir Hayat

Pada suatu hari, Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik
kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus
kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung
sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu ia
terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.
Pada suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, "Bagamana kondisi Anda wahai guru?" Imam Syafi'i menjawab, "Aku
telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus terucap.
Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka
sehingga aku harus berkabung?". Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, "Jika aku meninggal, pergilah kalian
kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku," lalu sepupunya berkata, "Kami akan turun sebentar untuk salat."
Imam menjawab, "Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu dan murid-muridnya salat, sang Imam
bertanya, "Apakah engkau sudah salat?" lalu mereka menjawab, "Sudah", lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka
berkata, "Biar kami campur dengan air hangat," ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal". Setelah itu ia wafat. Imam Syafi'i wafat pada
malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.

Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah
ingin membawa jenazah di atas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain
permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.
Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan
Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?", "Benar!" jawab mereka serempak. Lalu
wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.

Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang
jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, dia
turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu
dengan baik."
Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan
Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus
menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya
peziarah.
KARYA TULIS IMAM ASY-SYAFI’I

Mazhab
Ar-Risalah
Syafi’i

Al-Hujjah Al-Umm
KETELADANAN IMAM ASY-
SYAFI’I
1. Memuliakan guru

2. Sabar dan tidak dendam

Tidak sewenang wenang


3. mekipun sama muridnya

4. Mendamaikan perselisihan

5. Orang yang cerdas


KATA KATA MUTIARA IMAM ASY-SYAFI’I
KATA KATA MUTIARA IMAM ASY-SYAFI’I
BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN HANBAL
Nasab dan Masa Kecilnya
Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
asy-Syaibani. Imam Ibnu al-Atsir mengatakan, “Tidak ada di kalangan Arab rumah
yang lebih terhormat, yang ramah terhadap tetangganya, dan berakhlak yang mulia,
daripada keluarga Syaiban.”  Banyak orang besar yang terlahir dari kabilah Syaiban
ini, di antara mereka ada yang menjadi panglima perang, ulama, dan sastrawan. Beliau
adalah seorang Arab Adnaniyah, nasabnya bertemu denga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.

Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat
peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan
lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan
Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.
Imam Ahmad berhasil menghafalkan Alquran secara sempurna saat berumur 10 tahun. Setelah itu ia baru memulai mempelajari
hadits. Sama halnya seperti Imam Syafii, Imam Ahmad pun berasal dari keluarga yang kurang mampu dan ayahnya wafat saat Ahmad
masih belia. Di usia remajanya, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga. Hal itu ia lakukan
sambil membagi waktunya mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadits di Baghdad.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Guru pertama Ahmad bin Hanbal muda adalah murid senior dari Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf al-Qadhi. Ia belajar dasar-
dasar ilmu fikih, kaidah-kaidah ijtihad, dan metodologi kias dari Abu Yusuf. Setelah memahami prinsip-prinsip Madzhab Hanafi, Imam
Ahmad mempelajari hadits dari seorang ahli hadits Baghdad, Haitsam bin Bishr.
Tidak cukup menimba ilmu dari ulama-ulama Baghdad, Imam Ahmad juga menempuh safar dalam mempelajari ilmu. Ia juga
pergi mengunjungi kota-kota ilmu lainnya seperti Mekah, Madinah, Suriah, dan Yaman. Dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan
Imam Syafii di Mekah, lalu ia manfaatkan kesempatan berharga tersebut untuk menimba ilmu dari beliau selama empat tahun. Imam
Syafii mengajarkan pemuda Baghdad ini tidak hanya sekedar mengahfal hadits dan ilmu fikih, akan tetapi memahami hal-hal yang lebih
mendalam dari hadits dan fikih tersebut.
Walaupun sangat menghormati dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama Madzhab Hanafi dan Imam Syafii, namun Imam Ahmad
memiliki arah pemikiran fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang tidak fanatik dan membuka diri.

Menjadi Seorang Ulama


Setelah belajar dengan Imam Syafii, Imam Ahmad mampu secara mandiri merumuskan pendapat sendiri dalam fikih. Imam
Ahmad menjadi seorang ahli hadits sekaligus ahli fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berebagai penjuru negeri
Islam. Terutama setelah Imam Syafii wafat di tahun 820, Imam Ahmad seolah-olah menjadi satu-satunya sumber rujukan utama bagi
para penuntut ilmu yang senior maupun junior.
Dengan ketenarannya, Imam Ahmad tetap hidup sederhana dan menolak untuk masuk dalam kehidupan yang mewah. Beliau
tetap rendah hati, menghindari hadiah-hadia terutama dari para tokoh politik. Beliau khawatir dengan menerima hadiah-hadiah
tersebut menghalanginya untuk bebas dalam berpendapat dan berdakwah.
Abu Dawud mengatakan, “Majelis Imam Ahmad adalah majelis akhirat. Tidak pernah sedikit pun disebutkan perkara dunia di
dalamnya. Dan aku sama sekali tidak pernah melihat Ahmad bin Hanbal menyebut perkara dunia.”
Masa-masa Penuh Cobaan
Pada tahun 813-833, dunia Islam dipimpin oleh Khalifah al-Makmun, seorang khalifah yang terpengaruh pemikiran Mu’tazilah.
Filsafat Mu’tazilah memperjuangkan peran rasionalisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk teologi. Dengan demikian, umat Islam
tidak boleh hanya mengandalkan Alquran dan sunnah untuk memahami Allah, mereka diharuskan mengandalkan cara filosofis yang
pertama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno. Di antara pokok keyakinan Mu’tazilah ini adalah bahwa meyakini bahwa Alquran
adalah sebuah buku dibuat, artinya Alquran itu adalah makhluk bukan kalamullah.

Al-Makmun percaya pada garis utama pemikiran Mu’tazilah ini, dan ia berusaha memaksakan keyakinan baru dan berbahaya
tersebut kepada semua orang di kerajaannya –termasuk para ulama. Banyak ulama berpura-pura untuk menerima ide-ide Mu’tazilah demi
menghindari penganiayaan, berbeda halnya dengan Imam Ahmad, beliau dengan tegas menolak untuk berkompromi dengan keyakinan
sesat tersebut.
Al-Makmun melembagakan sebuah inkuisisi (lembaga penyiksaan) dikenal sebagai Mihna. Setiap ulama yang menolak untuk
menerima ide-ide Muktazilah dianiaya dan dihukum dengan keras. Imam Ahmad, sebagai ulama paling terkenal di Baghdad, dibawa ke
hadapan al-Makmun dan diperintahkan untuk meninggalkan keyakinan Islam fundamentalnya mengenai teologi. Ketika ia menolak, ia
disiksa dan dipenjarakan. Penyiksaan yang dilakukan pihak pemerintah saat itu sangatlah parah. Orang-orang yang menyaksikan
penyiksaan berkomentar bahwa bahkan gajah pun tidak akab bisa bertahan jika disiksa sebagaimana Imam Ahmad disiksa. Diriwayatkan
karena keras siksaannya, beberapa kali mengalami pingsan.

Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap memegang teguh keyakinannya, memperjuangkan akidah yang benar, yang demikian
benar-benar menginspirasi umat Islam lainnya di seluruh wilayah Daulah Abbasiah. Apa yang dilakukan Imam Ahmad menunjukkan
bahwa umat Islam tidak akan mengorbankan akidah mereka demi menyenangkan otoritas politik yang berkuasa. Pada akhirnya, Imam
Ahmad hidup lebih lama dari al-Makmun dan Khalifah al-Mutawakkil  mengakhiri Mihna pada tahun 847 M. Imam Ahmad dibebaskan,
beliau pun kembali diperkenankan mengajar dan berceramah di Kota Baghdad. Saat itulah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang terkenal
itu ditulis
Wafatnya Imam Ahmad
Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 855 M.
Banan bin Ahmad al-Qashbani yang menghadiri
pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah laki-laki
yang mengantarkan jenazah Imam Ahmad berjumlah
800.000 orang dan 60.000 orang wanita .”
Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas
pada permasalahn fikih yang ia hasilkan, atau hanya
sejumlah hadits yang telah ia susun, namun beliau juga
memiliki peran penting dalam melestarikan kesucian
keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik
yang sangat intens. Kiranya inilah yang membedakan
Imam Ahmad dari ketiga imam lainnya.
Semoga Allah Ta’ala menerima amalan Imam
Ahmad bin Hanbal dan menempatkannya di surga yang
penuh kenikmatan.
KARYA TULIS IMAM AHMAD BIN HANBAL
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini
memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab at-Tafsir, tetapi Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah
hilang”.
3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
4. Kitab at-Tarikh
5. Kitab Hadits Syu'bah
6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
7. Kitab Jawabah al-Qur`an
8. Kitab al-Manasik al-Kabir
9. Kitab al-Manasik as-Saghir
10. Kitab Ushul as-Sunnah
KETELADANAN IMAM
AHMAD BIN HAMBAL

1. Dikenal sebagai pemuda yang


cerdas dan gigih

2. Mengajarkan bagaimana menegur


kesalahan orang lain
KATA KATA MUTIARA IMAM
AHMAD BIN HANBAL
KATA KATA MUTIARA IMAM
AHMAD BIN HANBAL
ALHAMDULILLA
H

Anda mungkin juga menyukai