Hemofilia Dan Leukimia
Hemofilia Dan Leukimia
LEUKIMIA
Pembimbing: drg. M. Aminullah Majedi
Anggota Kelompok
Vaskular
Endotel melekat Endotel Pengeluaran
yang
vaskular saling darah
rusak satu sama lain
menekan diperkecil
tertutup
Tindakan fisik ini saja tidak cukup untuk secara total mencegah pengeluaran darah
selanjutnya, tetapi penting untuk memperkecil pengeluaran darah dari pembuluh darah
yang rusak sampai tindakantindakan hemostatik lainnya mampu menyumbat defect
tersebut.
(Umar dan Sujud, 2020)
ADHESI TROMBOSIT (Hemostatis Primer)
Hemostasis primer mulai terjadi dalam beberapa detik setelah terjadi kerusakan
endotel dan berlanjut dengan pembentukan plak trombosit dalam waktu 5 menit.
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat di permukaan endotel pembuluh
darah, tetapi apabila lapisan ini rusak akibat cedera pembuluh, trombosit akan melekat
ke kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa yang terdapat di jaringan ikat
dibawahnya. Saat endotel mengalami kerusakan, maka kolagen dan matriks lain sub
endotel akan terpapar dan akan memicu adhesi trombosit
Pada aliran yang lebih cepat pada mikrosirkulasi arteriol kolagen, fibronektin, dan
laminin saja tidak adekuat untuk terjadinya adhesi trombosit
(Umar dan Sujud, 2020)
ADHESI TROMBOSIT (Hemostatis Primer)
Untuk itu, diperlukan vWF yang merupakan kompleks pada F VIII dan disintesis oleh
sel endotel dan megakariosit. vWF akan berikatan dengan kolagen sub endotel yang
selanjutnya akan mengikat permukaan reseptor GPIb-IX pada trombosit. Adesi ini
berlangsung dalam 1-2 menit setelah robekan
Trombosit yang beradhesi akan mengalami aktivasi. Aktivasi trombosit menyebabkan
perubahan bentuk trombosit, kontraksi, dan pengeluaran matriks yang terdapat pada
granul sitoplasma trombosit
Trombosit dapat diaktivasi oleh ADP, trombin, atau kolagen
(Malik, 2016)
HEMOFILIA
DEFINISI (Hemofilia)
HEMOFILIA
(Saraswati, 2021)
HEMOFILIA A (Etiologi)
(Saraswati, 2021)
HEMOFILIA A (Epidemiologi)
AHA merupakan sebuah penyakit autoimun yang langka. Insiden AHA pada
populasi di dunia diperkirakan mencapai 1.5 kasus per 1 juta populasi/tahun,
dengan penderita dominan ialah orang berusia lanjut; median usia 64 tahun –
78 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan AHA terjadi pada usia 20 –
40 tahun, yang biasanya berkaitan dengan kehamilan.
(Saraswati, 2021)
HEMOFILIA A (Patofisiologi)
Pada AHA, autoantibodi imunoglobulin G (IgG) terproduksi secara spontan dan mengincar
FVIII endogen.
Timbulnya hemofilia yang didapat dipengaruhi oleh banyak faktor gabungan dari kerentanan
gen-gen serta faktor lingkungan yang belum sepenuhnya dipahami.
Kombinasi dari faktor-faktor tersebut ditambah penuaan sistem imun pada usia lanjut
menyebabkan kerusakan toleransi sistem imun dan berdampak pada terbentuknya
terbentuknya autoantibodi FVIII.
FVIII adalah glikoprotein yang tersintesis sebagai protein prekursor 330-kDa dengan struktur
domain A1-a1-A2-a2-B-a3- A3-C1-C2.
(Saraswati, 2021)
HEMOFILIA A (Patofisiologi)
Dalam kondisi normal FVIII bekerja dengan von Willendrand factor (vWF) dalam jalur
intrinsik koagulasi darah untuk meningkatkan konversi FX menjadi FXa bersama dengan
FIXa, ion kalisum, dan fosfolipid.
Kebanyakan inhibitor FVIII berikatan pada domain A2, A3 atau C2.14, 15 Antibodi anti C2
mennghalangi ikatan FVIII dengan fosfolipid dan vWF sedangkan antibodi terhadap A2 dan
A3 mengganggu ikatan FVIII dengan FX dan FIXa.
(Saraswati, 2021)
HEMOFILIA A (Manifestasi)
Pasien biasanya datang dengan keluhan perdarahan tanpa riwayat perdarahan
baik personal maupun keluarga sebelumnya. Perdarahan pada pasien AHA
bervariasi tingkat keparahannya, dari perdarahan ringan, mengancam
anggota gerak hingga mengancam jiwa.
(Purwanto, 2020)
HEMOFILIA A (Diagnosa)
Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan prothrombin time (PT) dengan hasil yang tipikal berupa
pemanjangan aPTT disertai dengan PT yang normal.
Akan tetapi, pemanjangan aPTT dengan PT normal juga didapatkan pada defisiensi
kongenital faktor VIII, IX, XI, dan XII serta dapat juga disebabkan oleh antikoagulan lupus.
Untuk membedakan antara inhibitor dan defisiensi faktor koagulasi, digunakan mixing test
atau aPTT subtitusi dengan plasma normal. Plasma pasien dicampur dengan plasma normal
dengan rasio 1:1.
(Purwanto, 2020)
HEMOFILIA A (Diagnosa)
Bila plasma pasien mengalami pemanjangan aPTT sekunder akibat defisiensi faktor
pembekuan maka plasma normal akan menyediakan faktor yang hilang sehingga aPTT akan
terkoreksi menjadi normal.
Namun pada pasien dengan inhibitor FVIII maka FVIII pada plasma normal juga akan
terinhibisi dan aPTT tidak akan membaik. Kegagalan plasma normal dalam mengoreksi
aPTT lebih dari 50% dianggap sebagai adanya inhibitor.
Interaksi antara antibodi dengan FVIII bergantung kepada waktu dan suhu sehingga perlu
dilakukan inkubasi pada suhu 37oC selama 2 jam atau lebih untuk meningkatkan sensitifitas
pada kondisi titer inhibitor rendah.
(Purwanto, 2020)
HEMOFILIA A (Diagnosa)
Karena rendahnya standarisasi pada pemeriksaan mixing test maka pemeriksaan ini tidak
dapat mengeksklusi diagnosis AHA dan dilakukan apabila pemeriksaan aktivitas FVIII tidak
segera tersedia.
Tahap selanjutnya adalah pengukuran aktifitas FVIII. Berdasarkan EACH2 dan GTH yang
masuk dalam kriteria inklusi AHA yaitu aktivitas plasma FVIII <50 U/dL, namun biasanya
penurunan mencapai <5 U/dL.
(Purwanto, 2020)
HEMOFILIA A (Diagnosa)
Inhibitor dikatakan positif apabila didapatkan inhibitor FVIII > 0,6 Bethesda unit (BU)/mL.
Antibodi pada AHA memiliki kinetika tipe II yang menginaktivasi FVIII secara cepat dan
non linear sehingga FVIII masih dapat ditemukan in vitro sekalipun titer inhibitor tinggi. Hal
ini juga menyebabkan aktivitas FVIII maupun titer antibodi tidak dapat digunakan sebagai
prediktor keparahan penyakit
(Purwanto, 2020)
HEMOFILIA A (Penatalaksanaan)
Tatalaksana pasien AHA sebaiknya dilakukan oleh ahli hematologi yang berpengalaman
dalam menangani permasalahan gangguan koagulasi dan idealnya pada rumah sakit dengan
fasilitas agen hemostatik serta pemeriksaan FVIII.
Prinsip dalam tatalaksana AHA antara lain mengontrol dan mencegah perdarahan; eradikasi
inhibitor; serta tatalaksana penyakit yang mendasari.
Terapi hemostatik yang dapat digunakan antara lain recombinant porcine FVIII (rpFVIII),
activated prothrombin complex concentrate (aPCC), recombinant activated FVII (rFVIIa),
human FVIII (hFVIII), desmopressin, dan antifibrinolitik. Human FVIII dan rpFVIII
berperan sebagai terapi pengganti, sedangkan aPCC dan rFVIIa sebagai terapi jalur pintas
(Purwanto, 2020)
HEMOFILIA B (Definisi)
Hemofilia B adalah gangguan perdarahan yang bersifat resesif, disebabkan
defisiensi protein koagulasi factor IX akibat mutasi gen F9 pada lengan Panjang
kromosom X
Faktor koagulasi adalah protein yang berperan dalam proses pembentukan darah
saat ada luka atau perdarahan
HEMOFILIA B (Epidemiologi)
Pada pria yang hanya memiliki 1 kromosom X, hanya memerlukan 1 copy mutasi gen
untuk terkena penyakit tersebut, sedangkan pada wanita mutasi harus ada pada 2
kromosom X. Semua anak perempuan dari ayah hemofilia akan menjadi pembawa,
sedangkan tidak ada anak laki-laki yang terkena. Jika ibunya seorang pembawa, ada
kemungkinan 50% anak laki-laki terkena penyakit dan 50% anak perempuan sebagai
pembawa.
1 dari 5000 dan 1 dari 30.000 kelahiran anak laki-laki 15-20% kasus hemofilia B, 80-85%
kasus hemofilia A.
Menurut Annual Global Survey dari World Federation of Hemophilia tahun 2018
melakukan survei pada > 337.000 orang dengan gangguan perdarahan, terdapat 210.454
pasien hemofilia di seluruh dunia, mengalami peningkatan dari 78.629 pada tahun 1999.
Di Indonesia, terdapat 310 pasien hemofilia B. Kasus hemofilia B paling banyak pada usia
19-44 tahun dan 5-13 tahun
HEMOFILIA B (Patofisiologi)
Pada keadaan normal, jika terdapat cedera pembuluh darah maka trombosit diaktifkan pada
tempat cedera yang menyebabkan faktor pembekuan diaktifkan dan terbentuknya fibrin melalui
jalur koagulasi intrinsik.
Faktor faktor IX diperlukan untuk mengaktifkan faktor X yang akhirnya
mengaktifkan aktivator protrombin yang mengubah protrombin menjadi trombin.
Trombin membantu mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang memerangkap trombosit dan
membentuk sumbatan
Pada Hemofilia faktor IX yang berfungsi pada darah terdapat jumlah yang menurun. Jumlah
faktor IX yang menurun ini dapat disebabkan karena memang jumlah faktor IX yang diproduksi
menurun, terdapatnya protein yang abnormal dan tidak fungsional, atau keduanya.
Thrombin yang dibentuk pada pasien hemofilia sangat berkurang. Bekuan darah yang terbentuk
menjadi lemah, mudah tergerak, dan sangat rentan terhadap fibrinolysis.
HEMOFILIA B (Klasifikasi)
Bergantung dari kadar faktor IX dalam plasma darah.
Hemofilia berat, kadar faktor IX < 1%
Hemofilia sedang, kadar faktor IX 1-5%
Hemofilia sedang, kadar faktor IX 5-30%
Kadar hemostatik untuk faktor IX adalah > 25-30%
HEMOFILIA B (Manifestasi)
● Perdarahan persendian 70-80%, pergelangan kaki, lutut, dan siku
● Perdarahan otot/ hematoma
● Tungkai bawah, bokong, otot iliopsoas, dan lengan atas
● Perdarahan sendi berulang menginduksi kaskade inflamasi dan proses
degeneratif yang menyebabkan cedera jaringan sinovial, tulang rawan, dan
tulang
HEMOFILIA B (Diagnosa)
Hemofilia B dapat didiagnosis secara klinis dan laboratorium
Diagnosis dapat ditegakkan segera setelah bayi laki-laki dilahirkan dari ibu yang diketahui
sebagai pembawa.
Jika tidak diketahui, diagnosis ditegakkan melalui perdarahan secara spontan atau setelah
trauma ringan.
Gejala perdarahan adalah perdarahan intrakranial pada bayi dengan kehamilan cukup bulan setelah
lahir, pembengkakan sendi yang nyeri, lebam yang tidak dapat dijelaskan saat bayi belajar berjalan
atau merangkak, perdarahan pasca-bedah, perdarahan subkutan ekstensif setelah venepuncture, dan
perdarahan otot spontan atau setelah vaksinasi intramuskuler.
Pemeriksaan laboratorium adalah activated partial thromboplastin time (aPTT), jumlah
trombosit, PT, TT, dan pengukuran faktor IX.
Pasien hemofilia biasanya mengalami pemanjangan activated partial thromboplastin time
HEMOFILIA B (Penatalaksanaan)
Perdarahan pada pasien hemofilia diterapi dengan pemberian faktor pembekuan yang mengalami
defisiensi berdasarkan jenis dan tingkat perdarahan dan sampai resolusi komplit gejala.
Terapi konsentrat faktor IX yang berasal dari plasma
Terapi inaktivasi virus untuk produksi konsentrat faktor yang berasal dari plasma
diimplementasikan seperti pasteurisasi, metode solvent/detergent dan nanofiltrasi serta dilakukan
skrinning donor secara ketat.
HEMOFILIA B (Penatalaksanaan)
Kloning gen faktor IX pada tahun 1982 telah menghasilkan produk konsentrat faktor IX
rekombinan. Produk rekombinan dihasilkan tanpa protein hewan dan manusia (termasuk albumin)
dalam media kultur ataupun produk akhir, sehingga dikatakan aman dari risiko infeksi.
Produk faktor IX rekombinan: High-purity plasma-derived FIX concentrate recombinant FIX
concentrate
Purifikasi melalui imunoafinitas atau pertukaran ion plus kromatografi ligan karbohidrat atau
heparin; inaktivasi virus single atau double-step. Dari CHO-cultured cell, tanpa human
albumin serum; nanoinfiltrasi
HEMOFILIA B (Penatalaksanaan)
Terapi pengganti non-faktor
Emicizumab, produk ini termasuk antibody monoclonal bispesifik humanized yang diberikan
secara subkutan dan didesain untuk menyerupai aktivitas kofaktor faktor IX.
Terapi Profilaksis
Terapi profilaksis pada hemofilia didefinisikan sebagai pemberian terapi pengganti faktor untuk
mencegah perdarahan terutama perdarahan sendi yang dapat mengakibatkan artropati dan
kecacatan, dan biasanya merujuk pada regimen rutin dan kontinu.7,8 Terapi profilaksis bertujuan
agar pasien hemofilia dapat melakukan sebagian besar aktivitas fisik dan sosial (di rumah,
sekolah, tempat kerja, komunitas) yang serupa dengan populasi normal
HEMOFILIA B (Penatalaksanaan)
Perdarahan pada pasien hemofilia diterapi dengan pemberian faktor pembekuan yang mengalami
defisiensi berdasarkan jenis dan tingkat perdarahan dan sampai resolusi komplit gejala.
Terapi konsentrat faktor IX yang berasal dari plasma
Terapi inaktivasi virus untuk produksi konsentrat faktor yang berasal dari plasma
diimplementasikan seperti pasteurisasi, metode solvent/detergent dan nanofiltrasi serta dilakukan
skrinning donor secara ketat.
HEMOFILIA C (Definisi)
Hemofilia C disebabkan karena tubuh kekurangan faktor pembeku darah XI. Pengidap hemofilia
C, biasanya jarang mengalami pendarahan secara tiba-tiba. Melainkan pendarahan yang terjadi
bila pengidap mengalami cedera atau operasi. Hemofilia C pertama kali ditemukan pada tahun
1953 pada pasien yang mengalami perdarahan hebat setelah pencabutan gigi. Hemofilia C
merupakan kelainan pembekuan darah yang terjadi karena defisiensi faktor XI, hemofilia tipe ini
jarang terjadi dan hanya dijumpai pada 2-3% dari semua penderita hemofilia
HEMOFILIA C (Etiologi)
Sementara itu untuk hemophilia C disebabkan defisiensi kongenital faktor XI yang disebabkan
mutasi gen faktor XI. Hemofilia C yang diturunkan secara autosomal resesif dapat terjadi pada
laki-laki maupun pada perempuan, Akibat dari mutasi ini terjadi kegagalan produksi protein aktif
yang berkaitan dengan disfungsi molekul faktor pembekuan. Peran faktor XI dalam koagulasi
melibatkan pembentukan trombin dan stabilisasi gumpalan baru dengan menghambat
fibrinolisis.
HEMOFILIA C (Epidemiologi)
Perdarahan spontan pada mukosa mulut, gingiva, lidah, dan bibir dapat
terjadi pada pasien dengan hemofilia
Dapat terjadi perdarahan saat dilakukan bedah atau terjadi trauma
Dapat terjadi hematom pada mukosa mulut
PENATALAKSANAAN PASIEN HEMOFILIA
di Kedokteran Gigi
1. Terapi faktor pembekuan pengganti
Merupakan terapi utama yang dilakukan pada pasien hemofilia. Pemberian
faktor pembekuan pengganti ini dilakukan secara intravena. Hal yang paling
penting dalam pemberian faktor pembekuan pengganti ini adalah waktu
pemberiannya karena konsentrasi faktor pembekuan pengganti ini akan
semakin menurun. Jadi, waktu perawatan gigi yang akan dilakukan harus
sedekat mungkin dengan waktu pemberian faktor pembekuan penggantin,
biasanya 30-60 menit sebelum dilakukan perawatan gigi. Selain itu,
faktor pembekuan pengganti ini juga dapat diberikan ketika terjadi
perdarahan selama perawatan. Kelemahan terapi ini adalah harganya yang
mahal dan menyebabkan berkembangnya inhibitor atau antibodi yang
meniadakan efek terapi ini.
(Anderson, 2013)
PENATALAKSANAAN PASIEN HEMOFILIA
di Kedokteran Gigi
2. Desmopressin (Desamino-8-D-Arginine Vasopressin [DDAVP])
Desmopressin merupakan hormon sintetis yang menstimulasi pelepasan F
VIII dan faktor von Willebrand (vWF) dari dalam tubuh pasien sehingga
efektif untuk pasien penderita Hemofilia A dan von Willebrand disease
(vWD). Desmopressin diberikan 60 menit sebelum dilakukan perawatan
secara subkutan dengan dosis 0,3 μg/kgBB dengan kadar 15 μg/ml atau
secara intravena dengan dosis 0,3 μg/kgBB dengan kadar 4 μg/ml yang
dicampur ke dalam cairan infus dan diberikan selama 20-30 menit. Secara
intranasal, desmopressin diberikan dengan dosis 150 μg ke satu lubang
hidung untuk pasien dengan berat <50 kg dan 150 μg ke kedua lubang
hidung untuk pasien dengan berat ≥50 kg. Pemberian desmopressin
dihindari pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dan pasien anak-
anak.
(Anderson, 2013)
.
PENATALAKSANAAN PASIEN HEMOFILIA
di Kedokteran Gigi
3. Antifibrinolytic Agents
Asam traneksamat berfungsi untuk menghambat pengaktifan plasminogen
menjadi plasmin sehingga juga menghambat bekuan fibrin lisis. Asam traneksamat tersedia dalam
sediaan oral dan obat kumur. Asam traneksamat sediaan oral diberikan dengan dosis 15-25 mg/kg
BB dan maksimal kira-kira 1 g untuk sebagian besar orang dewasa setiap 6-8 jam. Pemberian
dilakukan 2 jam sebelum perawatan dan dilanjutkan hingga 7-10 hari setelah perawatan. Asam
traneksamat sediaan obat kumur diberikan tepat sebelum perawatan dan berlanjut setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Pada orang dewasa, obat dikumur selama 2-3 menit kemudian ditelan atau
dibuang, sedangkan pada anak-anak obat setelah dikumur harus dibuang.
(Anderson, 2013)
PENATALAKSANAAN PASIEN HEMOFILIA
di Kedokteran Gigi
4. Hindari penggunaan aspirin dan NSAIDs, pasien dapat diberikan acetaminophen dgn atau
tanpa kodein
5. Hindari injeksi anestesi blok pada pasien tanpa terapi desmopressin, asam aminokaproat,
dan faktor konsentrat
6. Hindari semua obat yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin, obat herbal
tertentu, dan obat2 an yang mengandung aspirin
7. Perdarahan hebat dapat terjadi saat prosedur dental invasif (dapat digunakan dressing atau
gelatin sponge diletakkan di atas luka untuk mengontrol perdarahan), reaksi alergi juga
dapat terjadi pada pasien yang menerima faktor pengganti
8. Pasien harus di follow up mengenai gejala alergi dan perdarahan 24 - 48 jam setelah
prosedur bedah
. (Little, 2018)
LEUKIMIA
DEFINISI (Leukimia)
Leukemia berasal dari bahasa yunani yaitu Leukos = Putih dan Haima = Darah, yang
merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan proliferasi dini yang berlebihan dari sel
darah putih. Leukemia merupakan keganasan yang sering dijumpai tetapi hanya merupakan
sebagian kecil dari kangker secara keseluruhan. Leukemia biasanya terjadi pada orang
-orang paruh usia atau orang lebih tua, meskipun ia juga dapat terjadi pada anak - anak.
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, yang
ditandai oleh proliferasi sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi
ETIOLOGI (Leukimia)
Faktor genetik
Virus Retrovirus Human T-Cell Lymphotropic Virus (HTLV-1) dari orang dewasa yang
menderita leukimia sel-T/limfoma merupakan virus yang telah dibuktikan memiliki peran
terhadap leukemogenesis pada manusia.
Sinar radioaktif berdasarkan penelitian pada tahun 1945 terhadap orangyang selamat dari
serangan bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada tahun ditemukan banyak kejadian
leukemia
Zat kimia erdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa produk yang berasal dari
minyak bumi, cat, dan pestisida berperan sebagai faktor risiko terjadinya kanker darah
KLASIFIKASI (Leukimia)
Tipe Leukimia:
• Limfositik : dominan limfosit
• Mielositik : dominan granulosit
• Akut
• Kronis
KLASIFIKASI (Leukimia)
a. Acute Myelogenous Leukemia (AML) atau Leukimia Mielogenus Akut
b. Chronic Myelogenous Leukemia (AML) atau Leukimia Mielogenus Kronis
c. Acute Lymphoblastic Leukimia (ALL) atau Leukimia Limfoblastik Akut
d. Chronic Lymphocytic Leukimia (CLL) atau Leukimia Limfosit Kronis
MANIFESTASI KLINIS (Leukimia)
Demam dan pucat
Perdarahan: perdarahan kulit (petekie, ekimosis, purpura) dan perdarahan mukosa
(perdarahan gusi, epistaksis, melena)
Tampak lesu
Nyeri tulang dan persendian
Adanya pembesaran hati, limpa dan pembesaran getah bening
Sebagian besar gejala klinis bersifat non spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium yang tepat. Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang berupa aspirasi sumsum tulang dan immunofenotyping
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Definisi)
• Keganasan stem cell precursors turunan myeloid
• Gangguan pada prekursor sel darah produksi berlebihan myeloid dalam
bone marrow dan peripheral blood
• Gejala bisa nampak atau tidak
(Rollig, 2021)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Etiologi)
Penyebab pasti belum diketahui translokasi gen hingga mutasi gen KIT,
FLT3, NPM1, CEBPA
Faktor Risiko:
• Ionisasi
• Radiasi nonionisasi
• Organofosfat
• Agen karsinogenik (benzen)
• Gaya hidup (merokok, obesitas)
• Memiliki blood disorder atau kondisi genetik tertentu
(Rollig, 2021)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Epidemiologi)
• AML merupakan jenis kanker yang jarang terjadi
• Menimbulkan kematian pada lebih dari 40% kasus
• Resiko terkena AML meningkat seiring bertambahnya usia umum pada usia
>75
• 80% kasus terjadi pada orang dewasa
• Pasien usia <60 tahun memiliki prognosis lebih baik
• Rasio resiko perempuan dan laki-laki 1:2,5
(Rollig, 2021)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Klasifikasi)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Klasifikasi)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Patofisiologi)
Produksi leukosit
Proliferasi sel Menyebar ke
Faktor risko di organ
mielogenosa seluruh tubuh
ekstramedular
Sel kanker berdiferensiasi sebagian atau tidak sama sekali semakin berbeda bentuk,
semakin akut kematian sel
Sel yang tidak mampu berdiferensiasi tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi.
(Rollig, 2021)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Manifestasi)
Klinis: Manifestasi oral:
• Weight loss • Pembengkakan dan perdarahan gingiva
• Mudah lelah • Artritis TMJ
• Sulit bernapas • Lesi osteolitik mandibula
• Perdarahan DIC • Hematoma
• Demam • Ulser dan infeksi opurtunistik
• Berkeringat di malam hari
• Kehilangan nafsu makan
(Rollig, 2021)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Diagnosa)
• Medical history dan physical exam
• Pemeriksaan darah lengkap anemia, trombositopenia, neutropenia,
leukositosis
• Pemeriksaan CSF
• Pemeriksaan sampel sumsum tulang belakang
(Rollig, 2021)
ACUTE MYELOGENOUS LEUKIMIA (Penatalaksanaan)
• Terapi induksi complete remission (CR) no measurable residual disease (MRD)
kemoterapi sitotoksis dan pemberian agen hipometilating
• Terapi pasca remisi mencegah relapse menambah dosis kemoterapi sitotoksik dan
transplantasi stem sel hematopoietic
• Perawatan AML dapat menyebabkan masalah pada enamel dan struktur gigi
• Kemoterapi dapat membuat penurunan imun periodontitis, bacteremia
• Sebelum melakukan ekstraksi gigi, harus dilakukan inspeksi menyeluruh full blood count
• Dental procedures harus dijadwalkan pada minggu ke-4 optimal healing dan hemostasis
(Rollig, 2021)
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKIMIA (Definisi)
• Sebuah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak
terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang.
• Merupakan gangguan stem sel sumsum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari
granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya.
• penyakit mieloproliferatif menahun dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik
pada pluripoten sel stem. Kelainan ini mengenai lineage mieloid, monosit, eritroid,
megakariosit.
• Perubahan patologik yang terjadi berupa gangguan adhesi sel imatur di sumsum tulang,
aktivasi mitosis sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan terjadinya
proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi hematopoiesis
ekstramedular.
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKIMIA (Etiologi)
• paparan radiasi
• ankylosing spondilitis pasca
penyinaran
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKIMIA (Epidemiologi)
• Menurut data Surveillance, Epidemiology and End Results, and Medical Research Data CML pada
umumnya lebih cenderung terjadi pada usia 53-60 tahun, namun usia rata-rata dianggap sebagai
usia 40 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif.
• Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua
terbanyak setelah leukemia limfositik kronik.
• Umumnya menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya
lebih progresif, Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3 : 2
• Pada anak-anak dapat di jumpai dengan bentuk juvenile CML.
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKIMIA (Patogenesis)
1. Fase kronis Pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blas dan sel promielosit kurang dari 10%
di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan produksi granulosit berlebihan yang
didominasi oleh neutrofil segmen. Gejala yang dialami ringan dan relatif mempunyai respons
baik terhadap terapi konvensional.
2. Fase akselerasi atau transformasi akut Fase ini sangat progresif, mempunyai blas lebih dari 10%
tetapi kurang dari 20%. Pada fase ini jumlah leukosit bisa mencapai 300 ribu/mm3 yang
didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih
dari satu (selain kromosom Philadelphia).
3. Fase blastik atau krisis blastik Pada fase ini pasien mempunyai blas lebih dari 20% pada darah
serta sumsum tulangnya. Sel blas telah menyebar ke jaringan lain dan organ di luar sumsum
tulang. Pada pasien ini, penyakit berubah menjadi leukemia mieloblastik akut atau leukemia
limfositik akut
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKIMIA (Manifestasi)
Fase Kronik
Gejala hiperkatabolik:
• Berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada malam hari.
• Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
• Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
• Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
• Gangguan penglihatan dan priapismus.
• Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat, dispneu
dan takikardi.
• Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau
pemeriksaan untuk penyakit lain
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKIMIA (Manifestasi)
Fase akselerasi
• Demam
• Lelah
• Respons terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit
menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di berbagai
tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
2. Non-Medikamentosa
• Radiasi Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinarsinar tenaga tinggi
secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala atau sebagian dari
terapi yang diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang
• Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT)
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKIMIA (Prognosis)
Prognosis dari CML dikatakan buruk apabila:
• Ditemukan pada fase accelerasi atau fase blast
• Spleenomegaly
• Area-area bone damage akibat leukemia
• Peningkatan jumlah basofil dan eosinophil dalam sampel darah
• Jumlah platelet yang terlalu tinggi atau rendah
• Usia lebih dari 60 tahun
• Perubahan kromosome multipel
ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Definisi)
Leukemia Limfoblastik Akut (Acute Limphoblastic Leukimia) adalah suatu
penyakit dimana sel-sel yang dalam keadaan normal akan berdiferensiasi menjadi
limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel
normal di dalam sumsum tulang.
ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA
ALL merupakan leukemia yang berasal dari sel induk limfoid
dimana terjadi proliferasi monoklonal dan ekspansi progresif
dari progenitor limfosit B dan T yang immature dalam sumsum
tulang dan beredar secara sistemik.
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Etiologi)
LLK diperkirakan berasal dari mutasi dalam gen yang mengendalikan perkembangan sel darah.
Mutasi tersebut terjadi dalam masa hidup seseorang dan tidak diwariskan ke generasi selanjutnya.
Beberapa faktor risiko tertentu bagi perkembangan LLK telah diketahui:
1. Usia – Risiko terkena LLK meningkat seiring dengan bertambahnya usia. LLK paling sering
terjadi pada orang berusia di atas 60 tahun, dan jarang terjadi pada orang yang berusia dibawah
dari 40 tahun.
2. Jenis kelamin – LLK lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita.
3. Riwayat keluarga – Keluarga derajat pertama (orang tua, saudara kandung, atau anak) dari orang
yang menderita LLK dapat memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena LLK.
4. Etnisitas – Orang yang memiliki saudara yang merupakan Yahudi Eropa Timur atau Yahudi
Rusia memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena LLK.
5. Paparan terhadap zat-zat kimia – Orang yang terpapar dengan Agen Oranye, yaitu suatu herbisida
yang digunakan dalam Perang Vietnam, memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena LLK.
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Manifestasi)
LLK dapat hanya menyebabkan gejala yang ringan dan banyak orang mungkin sama sekali tidak
mengalami gejala. Bahkan LLK dapat ditemukan secara tak sengaja dalam pemeriksaan darah
rutin. Meski demikian, terkadang LLK dapat menyebabkan gejala-gejela berikut ini:
• Kelelahan • Gusi berdarah atau mimisan
• Demam • Mudah memar
• Sesak napas • Adanya bercak merah atau ungu pada kulit
• Merasa lemah • Nyeri tulang atau sendi
• Kulit pucat • Merasa penuh dalam perut atau perut
• Hilangnya nafsu makan bengkak
• Berkurangnya berat badan • Adanya benjolan yang tidak menimbulkan
• Berkeringat pada malam hari atau rasa nyeri pada leher, ketiak, atau
keringat yang berlebihan selangkangan
• Sering mengalami infeksi
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Diagnosa)
• Pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, dan biopsi sumsum tulang akan membantu dalam
melakukan diagnosis dan prognosis LLK. Dalam pemeriksaan fisik, dokter akan memeriksa
tanda-tanda kesehatan umum, dan melihat apakah terjadi pembengkakan pada hati, limpa dan
kelenjar getah bening, pendarahan atau memar yang tidak biasa, dan tanda-tanda adanya
infeksi. Pemeriksaan darah, yang disebut sebagai pemeriksaan hematologi lengkap,
melibatkan sampel darah yang dikirimkan ke laboratorium untuk diteliti. Sampel darah
tersebut akan diperiksa untuk melihat jumlah sel-sel darah yang berbeda. Proporsi limfosit
yang tinggi (lebih dari 5.000 limfosit/mm3) bersama dengan jumlah sel-sel darah merah dan
trombosit yang rendah dapat mengindikasikan LLK. Ketika diperiksa di bawah mikroskop,
apusan darah orang yang menderita LLK juga dapat memperlihatkan sel-sel noda, atau
limfosit yang terlihat tidak normal.
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Diagnosa)
• Biopsi sumsum tulang melibatkan pengambilan sampel sumsum tulang, biasanya dari tulang
pinggul. Tindakan ini dilakukan dengan bius lokal dan memakan waktu 15 – 20 menit.
Sampel tersebut juga akan dikirimkan untuk diteliti di laboratorium, untuk diperiksa apakah
terdapat sel-sel yang bersifat kanker. Sitometri aliran adalah suatu uji yang menggunakan
sebuah mesin untuk membantu mengidentifikasi sel-sel LLK dalam sampel darah atau sampel
sumsum tulang. Sitometri aliran adalah uji yang paling penting untuk mendiagnosis LLK.
Pemeriksaan lebih lanjut yang meliputi pemeriksaan darah, analisis kromosom, dan
pemeriksaan pemindaian (contohnya pemindaian CT) biasanya juga dilakukan untuk
menentukan luasnya LLK dan untuk membantu menentukan pilihan pengobatan yang terbaik.
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Diagnosa)
Penentuan Stadium
Ada beberapa cara untuk menentukan stadium LLK. Sistem penentuan stadium yang sudah lebih
lama digunakan (disebut sebagai sistem Rai dan sistem Binet) sepenuhnya berdasarkan pada
volume LLK di dalam tubuh seperti yang terukur dari jumlah sel LLK di dalam darah, jumlah
kelenjar getah bening dan limpa yang membesar, dan/atau seberapa jauh sumsum tulang terlibat.
Yang lebih penting daripada sistem penentuan stadium klinis seperti Rai dan Binet adalah hasil
dari pemeriksaan yang lebih terperinci, seperti analisis kromosom dan pemeriksaan mutasi gen.
Pemeriksaan ini baru dikembangkan dalam sepuluh tahun terakhir dan jauh lebih baik dari sistem
penentuan stadium klinis yang telah lebih lama digunakan dalam memprediksi prognosis dan
respons terhadap pengobatan.
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Penatalaksanaan)
• Sebagian besar pengobatan LLK tidak menawarkan kesembuhan. Pengobatan bertujuan
untuk mengelola LLK agar pasien dapat menjalani hidup yang cukup normal. Dalam stadium
awal LLK, banyak orang tidak mengalami gejala dan tidak membutuhkan pengobatan. Ini
disebut sebagai LLK tanpa gejala. Pasien akan dipantau secara aktif melalui pemeriksaan dan
tes darah teratur. Pengobatan biasanya hanya akan dimulai ketika timbul gejala dan/atau bila
jumlah sel-sel darah mengalami penurunan. Pilihan pengobatan yang lebih umum meliputi
penghambat molekul kecil (suatu bentuk terapi yang sangat terarah), kemoterapi, dan terapi
biologis (yang juga dikenal sebagai antibodi monoklonal).
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Penatalaksanaan)
• Penghambat Molekul Kecil (Terapi Target)
Dalam LLK, terapi target melibatkan penggunaan obatobatan oral (pil) yang mengganggu protein
spesifik yang terdapat dalam sel-sel kanker untuk menghancurkan atau menghambat
pertumbuhan mereka. Bentuk pengobatan LLK ini telah berada di garis depan pada tahun-tahun
belakangan ini dengan dua obat jenis ini yang telah memperoleh persetujuan dari U.S. FDA dan
Singapore Health Science Authority. Obat-obatan ini sangat efektif dan dalam uji klinik telah
terbukti lebih efektif dari kemoterapi saja dalam jenis LLK yang memiliki mutasi genetik
tertentu.
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Penatalaksanaan)
• Kemoterapi
Kemoterapi menggunakan obat-obatan untuk menghancurkan sel-sel kanker atau menghentikan
mereka memperbanyak diri. Obat-obatan dapat diberikan secara intravena (melalui pembuluh
darah pada tangan atau lengan) atau dalam bentuk tablet. Dapat dikombinasikan dua atau lebih
obat kemoterapi. Kemoterapi dilakukan dalam beberapa siklus dengan masa istirahat di
antaranya agar tubuh dapat pulih dari efek samping obat. Jumlah siklus kemoterapi biasanya
tetap, sebagai contoh 6 – 8 siklus.
(Sahreni, 2019)
CHRONIC LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (Penatalaksanaan)
• Imunoterapi
Imunoterapi melibatkan penggunaan antibodi monoklonal, yang merupakan protein sistem imun
buatan manusia, yang membantu sistem imun pasien untuk mengidentifikasi dan menghancurkan
sel-sel kanker. Antibodi monoklonal diberikan melalui intravena atau sebagai injeksi. Terkadang
imunoterapi dapat dikombinasikan dengan kemoterapi.
• Terapi Radiasi
Dalam terapi radiasi, sinar X berenergi tinggi digunakan untuk menghancurkan sel-sel kanker
dalam tubuh. Terapi radiasi eksternal dilakukan oleh sebuah mesin yang berada di luar tubuh.
Terapi radiasi jarang digunakan dalam LLK.
(Sahreni, 2019)
MANIFESTASI ORAL PENDERITA LEUKIMIA
Kelainan rongga mulut pada leukemia akut pada umumnya berupa perdarahan
gusi dengan echymosis, pembesaran gusi dan ulkus. Sedangkan pada leukemia
kronik dapat terjadi kelainan rongga mulut meskipun keadaannya tidak separah
leukemia akut. Kelainan yang terjadi berupa ulser mukosa, perubahan pada gingival,
aral ptekie, dan perdarahan
Pada leukemia akut gingiva umumnya lunak, berwarna merah gelap dan bengkak.
Pembengkakan biasanya menjadi sangat besar sehingga gingiva dapat menutupi gigi.
Penderita leukemia sering mengalami perdarahan spontan pada gingiva
(Tangka’a, 2015)
DAFTAR PUSTAKA
Aminnudin FH, Gunawan S. 2020. Sistem Pakar Diagnosis Dini Penyakit Leukimia Menggunakan Metode
Forward Chaining (Studi Kasus RSUD Raden Mattaher Jambi). Jurnal Akademika; 12 (2): 42.
Anderson JAM, Brewer A, Creagh D, et al. Guidance on the Dental Management of Patients with Haemophilia
and Congenital Disorders. British Dental Journal. 2013 Nov 23; 215(10): 497-504.
Benson G, Auerswald G, Dolan G, et al. Diagnosis and care of patients with mild haemophilia: practical
recommendations for clinical management. Blood Transfus. 2018;16(6):535-544.
Coulthard P, Horner K, Sloan P, Theaker E. Oral and Maxillofacial Surgery, Radiologi, Pathology and Oral
Medicine Third Edition. London: Elsevier.
Elisafitri R, Arsin AA, Wahyu A. Survival of Patients Acute Lymphoblastic Leukemia in Children at Dr. Wahidin
Sudirohusodo General Hospital Makassar. JKMM. 2018; 3(1): 283-292.
Kurniawan LB, Arif M. Hemostasis Berlandaskan Sel Hidup. Indonesian Journal of clinical Pathology and
Medical Laboratory. 2018; 9(3): 204-210.
Little JW, Falace DA. 2018. Little and Flace’s Dental Management of Medically Compromised Patient. 8 th
Edition. St Louis: Elsevier Mosby.
Malik NA. 2016. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery Fourth Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers.
Purwanto I. Tinjauan Terkini Hemofilia A yang Didapat : Aspek Diagnosis dan Manajemen. SMedJour. 2020; 3
(2): 79 – 89.
DAFTAR PUSTAKA
Rohrbacher M and Hasford J. 2009. Epidemiology of chronic myeloid leukaemia (CML). Advances in Biology
and Therapy of Chronic Myeloid Leukaemia. 22(3): p.295–302.
Rollig C. 2021. Acute Myeloid Leukimia. Springer; Amsterdam.
RottyWAL. 2009. Leukemia Limfositik Kronik.Dalam: Sudoyo, AW dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid2 Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Hal:1276-1282
Sahreni R, Wahid I. Leukemia Limfositik Kronik Pada Limfoma Non Hodgkin. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;
8(1): 84-88.
Said B, Maimun ZA, Budiman. Lineage Switch From Acute Lymphoblastic Leukemia to Acute Myelomonocytic
Leukemia at A 26 Years Old Woman. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
2014; 21(1): 96-101.
Saraswati NY. Fenomena AcquiredHemofilia Sebuah Tinjauan Literatur. Majalah Kesehatan Indonesia. 2020;
2(1): 5.
Sawyers CL. 2004. Chronic myeloid leukemia. N Engl J Med;340(17): p.1330- 40.
Soeprapto A. 2016. Buku Pedoman dan Tatalaksana Praktik Kedokteran Gigi. Yogyakarta: STPI Bina Insan
Mulia.
Tangka’a RRB, Suling PL, Mintjelungan CN. Gambaran Status Gingiva Pada Penderita Leukimia. Kurnal e-Gigi
(eG). 2015; 3(1).
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan ADT, Ariawati K, Widnyana P. 2019. Prevalensi dan karakteristik anak dengan leukemia limfoblastik akut
tahun 2011-2015 di RSUP Sanglah Denpasar. MEDICINA; 50 (2): 391-395.
Umar I, Sujud RW. Hemostasis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Journal of Anaesthesia and
Pain. 2020; 1(2): 19-32.