Anda di halaman 1dari 6

AKAL DAN WAHYU

Oleh
Kelompok 4

Nur Aulia Irsyad


Mawarti
Saiful
Sahriani Sahril
Suryani
A. Pengertian Akal Dan Wahyu
Akal berasal dari kata Arab (‘aqal).Dalam bahasa Indonesia orang biasa menyalinnya dengan
pikir atau pikiran.Jadi kejadian berakal, disalin dengan berpikir.Menurut bahasa Arab, arti akal
mula-mula “mengikat” (menahan) dan “membedakan”.Dalam rangka ini orang menghubungkan,
bahwa akal merupakan tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari pada
perbuatan buruk atau jahat, membedakannya dari makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal itu
dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Umumnya akal dimaknakan sebagai alat
untuk berpikir, menimbang buruk-baik atau merasakan segala perubahan keadaan, sehingga
dapat mengambil manfaat daripadanya.
Kata wahyu berasal dari kata arab ‫ الوـحـي‬, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan
pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan dan ketika Al-Wahyu
berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering
disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah
terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
B. Fungsi akal dan wahyu
Syarat mempelajari ilmu pengetahuan

Sarana untuk memahami kebenaran

Sarana untuk berfikir

Syarat utama taklif (pewajiban/pembebanan dalam syariat)

Sebagai alat dan kendali bagi seorang mukmin

6. Sebagai pencegah
C. Landasan hukum akal dan wahyu
1. Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada
orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan
syari'at-Nya. Dalam (QS. Shaad (38): 43) Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan
mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak
mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai fikiran".

2. Rosulullah bersabda:
‫جنُ ْو ُن َحَتّـَّى َ ِفيـــيَْ"ق‬
ُ ‫ لاــ‬: ‫َاث ِوـمـن ْ َهـا‬
َ ‫ثــــ‬ َ‫“ ُرـ ِف َعـ لق‬
ٍ ‫اــل َُم َعْن َ ل‬
(HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156). "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar
(berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).

3. QS. 067. Al Mulk [67]: 10. Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". 
4. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti
tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun"
(mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal),
atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-
Qur'an) dan lainnya.

5. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:


Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)

6. Dalam QS. Al Baqarah [2]: 170 yang Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami
Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". 
D. Hubungan akal dan wahyu
 Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk 
mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan
bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan,
sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan
juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk,
maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan
menjauhi keburukan juga wajib.

 Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui
wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal
tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan
kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
            Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu
dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena
sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut  baik, jika dapat pujian
syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber
dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.

Anda mungkin juga menyukai