اع
َ استَ َطْ اه َصفْقَ َة يَ ِد ِه َوثَ َم َر َة َقل ْ ِب ِه َفل ْيُ ِط ْع ُه ِإ ْن ْ َ اما َفأ
ُ ع َط ً َو َم ْن بَايَ َع ِإ َم
ْآخ ِر
َ عن ُ َقال
ُ ع ُه َفا ْضـ ِربُوا ُ آخ ُر يُن َ ِاز
َ اء َ َف ِإ ْن َج
“Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu ia
memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya jika
ia mampu Apabila ada orang lain hendak merebutnya (kekuasaan itu) maka
penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].
KAIDAH-KAIDAH KEPEMIMPINAN
1. Kepemimpinan Bersifat Tunggal
2. Kepemimpinan Islam Itu Bersifat Universal
3. Kepemimpinan Itu Adalah Amanah
4. Kepemimpinan Adalah Tugas Pengaturan, Bukan Kekuasaan Otoriter
5. Kepemimpinan Itu Bersifat Manusiawi
6. Kepemimpinan Ditegakkan Untuk Menerapkan Hukum Allah
Dalam khazanah politik Islam, kepemimpinan negara itu bersifat
tunggal. Tidak ada pemisahan, ataupun pembagian kekuasaan di dalam
Islam. Kekuasaan berada di tangan seorang Khalifah secara mutlak.
Al-Qur’an telah menjelaskan hal ini dengan sangat jelas. Allah
SWT berfirman:
ون َاس ِش ًيرا َون َ ِذ ًيرا َول َ ِك َّن أَكْثَ َر الن ّ ِ ل
َ َاسَا يَ ْعل َُم ََو َما أ َ ْر َسلْنَا َك ِإلَّا ك َا ّفَ ًة لِلن ّ ِ ب
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (Qs. Saba’[34]: 28).
Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-
sifat tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk
memegang amanah kepemimpinan. Atas dasar itu, tidak semua orang mampu memikul
amanah
kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan.
Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak permintaan
dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh
Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw,
“Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?”
Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang
lemah.
b. Al-taqwa (ketaqwaan).
Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin
maupun penguasa. Sebegitu penting sifat ini, tatkala mengangkat pemimpin perang maupun
ekspedisi perang, Rasulullah Saw selalu menekankan aspek ini kepada para amirnya.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa tatkala Rasulullah Saw melantik seorang amir
pasukan atau ekspedisi perang belia berpesan kepada mereka, terutama pesan untuk selalu
bertaqwa kepada Allah SWT dan bersikap baik kepada kaum Muslim yang bersamanya.
[HR. Muslim & Ahmad].
c. Al-rifq (lemah lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya.
Sifat ini juga sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan
semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata, ”Saya mendengar Rasulullah
Saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi
urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa
yang
diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut,
maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” [HR. Muslim].
Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam Islam merupakan jabatan yang berfungsi
untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang pemimpin adalah pengatur bagi urusan
rakyatnya
dengan aturan-aturan Allah SWT. Selama pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan
sesuai dengan aturan Allah, maka ia layak memegang jabatan pemimpin. Sebaliknya,
jika ia telah berkhianat dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka
pemimpin
semacam ini tidak wajib untuk ditaati.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah
mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya
menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:
اء تَكْث ُُر َقال ُوا ُ ي َو ِإن ّ َُه ل َا ن َ ِب َّي بَ ْع ِدي َو َستَك ٌ ّ اء كُل َّ َما َهل ََك ن َ ِب َ َ تبَنُو ِإ ْس َرا ِئ
ُ ُون ُخل َ َف ٌ ّ خل َ َف ُه ن َ ِب َ ي ُ َ وس ُه ْم ال ْأن ْ ِبي
ُ يلتَ ُس ْ َ ك َان
اه ْمُ ع َ استَ ْر
ْ ع َّما َ وه ْم َح ّق َُه ْم َف ِإ َّن الل َّ َه َسا ِئل ُُه ْم
ُ ع ُطْ َ الفُوا ِببَيْ َع ِة ال ْأ َ َّو ِل َفال ْأ َ َّو ِل َوأَ َف َما تَأ ْ ُم ُرنَا َق
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap
kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak
akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat
bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab,
“Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada
mereka haknya karena
Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang
dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim]
Kepemimpinan di dalam Islam bersifat manusiawi. Artinya, seorang pemimpin bukanlah
orang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ia bisa salah dan lupa, alias tidak ma’shum
(terbebas dari dosa). Untuk itu, syarat kepemimpinan di dalam Islam bukanlah kema’shuman
akan tetapi
keadilan. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak harus ma’shum (bahkan tidak boleh
menyakini ada pemimpin yang ma’shum), akan tetapi cukup memiliki sifat adil.
Bukti yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, diantaranya adalah firman
Allah
swt berikut ini;
“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” ]TQS Al Maidah (5): 44].
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [TQS Al Maidah (5): 45]
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [TQS Al Maidah (5):47].
KRITERIA PEMIMPIN YANG BAIK
Dalam islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut,diantaranya
sebagai berikut:
2. Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai
dengan apa yang telah Allah perintahkan.Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan
keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban,
bukan kesempatan dan kemuliaan.
3. Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan.Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim
oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
1. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu.
"Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang
memintanya, tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya“
(HR Muslim).
"Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan dijawab demikian
oleh Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan
mendatangkan
penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan
melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR Muslim).
4. Kuat dan amanah
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (28: 26).
5. Profesional
"Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara kalian jika
dilakukan dengan profesional" (HR : Baihaqi)
6. Tidak aji mumpung karena KKN
Rasulullah SAW, "Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat,
sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya dia telah
mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". HR Al Hakim.
Umar bin Khatab; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu,
karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas
pertimbangan itu, maka seseungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya
dan kaum mukminin".
7. Menempatkan orang yang paling cocok
"Rasulullah menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang yang
tidak semestinya (bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat (kehancurannya)".
HR Bukhari).
8. Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman, ”Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
9. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan
datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari
Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).