Anda di halaman 1dari 19

TINDAK PIDANA ANAK

UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pengertian:
Menurut Henry Camp Bell, anak adalah manusia yang
belum dewasa berusia di bawah 18 tahun, apabila
melakukan perbuatan pidana harus diadili di
pengadilan khusus anak.

Ada 4 golongan anak menurut Dept kesehatan RI:


1. Usia 0 - 5 th (usia balita)
2. Usia 5 -10 th (usia anak2)
3. Usia 10 - 20 tn (usia remaja)
4. Usia 20 - 30 thn (usia menjelang dewasa)
Secara legal formal anak nakal adalah anak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak baik menurut UU atau aturan yang
hidup dalam masyarakat.

Secara psikologis kenakalan anak ada 4:


1. Kenakalan wajar (0-5 th)
2. Kenakalan biasa (5-10 th)
3. Kenakalan rawan (10-20 th)
4. Kenakalan kriminal (20-30 th)

Faktor kenakalan anak ada 2:


1. Faktor internal
a. Bawaan sejak lahir (cacat fisik, mental)
b. Bawaan (sifat, watak) yang negatif, bandel
c. Jiwa yg masih labil
d. Tingkat intelegensia, kurang cerdas
e. Kurangnya pendidikan, agama, ilmu yg lain
f. Pemenuhan kebutuhan pokok tidak seimbang
dengan keinginan anak
g. Tidak memiliki bakat, hobi yg kuat

Menurut Made Sadhi Atuti


Seorang anak dapat dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatannya jika berusia 12 th, karena pada
usia tersebut anak sudah memiliki jiwa dan fisik
yang baik, misalnya:
a. Secara kejiwaan
- dapat membedakan baik dan buruk
- dapat menempatkan dirinya
- jika diajak bicara mengerti
- dapat berkomunikasi degan orang lain
b. Secara fisik dapat mengurus dirinya sendiri

2. Faktor eksternal
a. Kasih sayang orang tua
b. Kemampuan ekonomi
c. Rendahnya pendidikan orang tua
d. Kurangnya sosok keteladanan
e. Kurangnya rasa tanggungjawab
f. Lingkungan rumah yang didiami anak
- rumah yang terlalu sempit
- berada ditempat yang kumuh
- berdekatan dengan perjudian
- berdekatan dengan keramaian
- di lingkungan anak2 yang nakal
- tidak ada sarana ibadah yang memadai
- tidak ada sarana yang menampung bakat

Faktor mobilitas
1. Terjadinya urbanisasi akibat pada penduduk
2. Kemajuan ilmu dan teknologi
3. Penyakit masyarakat
4. Pengaruh budaya
5. Prubahan status ekonomi
Kenanakalan Anak Dalam Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup


apabila didasarkan pada hukum materiil seperti
yang diatur dalam KUHP, namun terhadap
peraturan lain dapat dibenarkan sepanjang
bertalian dengan masalah anak dan tidak
bertentangan dengan KUHP (lex specialis derogat
lex generali)

Untuk menentukan perbuatan anak memenuhi unsur


tindak pidana atau tidak, minimal melalui 3 (tiga)
visi:
1. adanya Subyek, anak dapat bertanggungjawab
terhadap perbuatannya
2. adanya kesalahan, perbuatan yang dilakukan
melanggar UU
3. adanya alat bukti, minimal ada 2 alat bukti

Batasan usia minimum anak yang dapat diajukan


dipersidangan 8 – 18 tahun (pasal 4 ayat 1 UU
No.3/1997 tentang Pengadilan Anak)

Setiap perbuatan yang dianggap kriminal jelas di


latar belakangi suatu pemikiran, namun tidak
selalu berdampak negatif.
Teori pemidanaan yang paling tepat bagi anak yang
melakukan tindak pidana adalah Teori
Kebijaksanaan.
Pemidanaan anak tidaklah cukup didasarkan pada
yuridis saja tetapi juga non yuridis, seperti
pertumbuhan fisik, mental dan spiritual
Pemidanaan harus memperhatikan HAM mampu
memberikan bimbingan kesadaran dan
pendidikan kepada terpidana agar secara sadar
tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi anak pada usia 10 – 14 tahun pola berfikirnya
masih lebih ditentukan atau dipengaruhi faktor
situasi (lingkungan) daripada faktor
kepribadiannya sendiri.
Berkaitan dengan pemidanaan anak menurut Made
Sadhi Astuti, hakim dalam mengadili anak
hendaknya memperhatikan:
1. Masa lampau terdakwa
2. Yang menjadi kausa
3. Masa depan anak
4. Hal2 yang memberatkan dan merugikan
5. Sanksi yg dijatuhkan sesuai dg kebutuhan anak
6. Hakim dalam menghadapi anak sama dengan
menghadapi manusia bukan sebagai penguasa
7. Memahami perbuatan anak
8. Sanksi hendaknya setimpal dg kesalahan
Jenis Pemidaaan Anak

KUHP tidak mengatur secara tegas tentang jenis


pemidanaan anak, sebelum pasal 45 KUHP
dihapus, hakim dapat memberikan putusan
alternatif menjadi tiga jenis pemidanaan:
1. dikembalikan kepada orang tua
2. diserahkan kepada pemerintah, di didik
sebagai anak negara tanpa dijatuhi pidana.
3. dipidana atas perbuatan yang dilakukan.

Penjatuhan pidana kepada anak adalah upaya hukum


yang bersifat ultimum remedium artinya upaya
hukum terakhir.
Jika hakim terpaksa menjatuhkan hukuman pidana
terhadap anak yang telah melakukan tindak
pidana, hakim dapat menerapkan pasal 47 ayat 1,
2 dan 3 KUHP, yaitu:
1. mengurangi sepertiga dari pidana pokok
2. pidana penjara 15 th bagi yang diancam pidana
mati atau seumur hidup.
3. meniadakan pidana tambahan

Namun menjadi rancu setelah diberlakukan UU


No.3/1997 tentang Pengadilan Anak, sebab
ancaman hukumannya menjadi ringan:
1. mengurangi setengah dari maximum ancaman
pidana orang dewasa (ps 26 ayat 1)
2. menjatuhkan pidana maximum 10 tahun bagi
yang diancam pidana mati (ps 26 ayat 2)
3. anak yang dapat dijatuhi pidana hanya mereka
yang telah berusia 12 sampai 21 tahun,
sedangkan mereka yang berusia kurang dari 12
tahun sekalipun perbuatannya diancam pidana
mati atau seumur hidup, cukup dijatuhi pidana
tindakan (ps 24)
Di satu sisi ancaman pidana dalam UU No.3/1997
justru menjadi lebih berat dibanding KUHP, sebab
sifat pemidanaan dalam UU No.3/1997
berbentuk komulatif (ps 23 ayat 3) adanya pidana
tambahan berupa perampasan barang dan/atau
pembayaran ganti rugi
Secara psikologis pola pikir anak di bawah umur
termasuk anak remaja, yang pola pikirnya masih
lebih mengedepankan emosi dari pada rasio
apabila menghadapi permasalahan.
Pemidanaan haruslah disesuaikan dengan kondisi
fisik dan kemampuan moral atau akal si pelaku
(ps 44 KUHP), sehingga tidaklah layak apabila
anak dijatuhi pidana yang bersifat komulatif.

Pertimbangan hakim dalam putusan pidana anak


1. Pertimbangan yuridis
kajian pertimbangan hukum normatif berfungsi
untuk menentukan kepastian hukum dalam
menguji actus reus hukum pidana.
kebenaran hukum pidana materiil tidak dapat
diperoleh tanpa di dahului kebenaran hukum
formil, jadi istilah putusan batal demi hukum,
bukan berarti harus menghentikan proses
peradilan pidana, karena kebenaran hukum
pidana materiil belum dibuktikan, kebenaran
hukum pidana materiil telah terbukti apabila
sudah ada putusan pengadilan yang berkeuatan
hukum tetap (in kraach van gewijs de)

2. Pertimbangan sosiologis
hukum tidak selalu normatif, hukum lebih luas
daripada UU, pertimbangan sosiologis adalah
pertimbangan lintas disiplin ilmu.
secara kriminologis, kenakalan anak atau tindak
pidana yang dilakukan anak lebih bersifat
kriminologi sosial dan kriminologi fisik daripada
kriminologi profesional, anak melakukan
delinquency karena adanya faktor sosial baik
intern maupun ekstern.
Jadi anak melakukan delinquency bukan karena
profesionalitas, anak hampir tidak memiliki mens
rea kejahatan seperti yang dimiliki orang dewasa.

3. Pertimbangan filosofis
hukum merupakan hasil kerja akal manusia, oleh
karenanya dalam melihat juvenile delinquency
(kenakalan remaja) hakim harus menggunakan
3 (tiga) kecerdasan:
1. kecerdasan intetelktual (Intelegence Quotient)
2. kecerdasan emosional (Emotional Quotient)
3. kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient)
permasalahan dan tanggungjawab kenakalan remaja
tidak dapat dilepaskan dari peranan orang tua,
masyarakat dan negara, hal ini diatur dalam:
1. UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak
2. UU No.23/2004 tentang KDRT
Konsep kebijakan dalam peradilan anak

1. Legal pluralisme
Indonesia sebagai negara kepulauan, yang
memiliki masyarakat pluralisme, hukum harus
dapat dipahami secara mudah oleh semua orang,
tidak sulit dilaksanakan.
kehadiran hukum pluralisme tidak dapat dilepas
dari pendekatan moral, agama, budaya hukum
dalam masyarakat.
jadi konsep hukum pluralisme adalah konsep
hukum yang terbuka yang memiliki kekuatan
moral, negara dan masyarakat, sehingga dalam
penegakan pidana anak akan tercapai keadilan
2. Peradilan anak yang berbasis Pancasila
pelaksanaan cita hukum di Indonesia telah di atur
dalam UUD 1945 telah memberi amanah kepada
kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
yang pelaksanaannya dilakukan oleh MA dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, agama, milter dan
TUN.
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,
dapat diselesaikan melalui proses peradilan anak
mulai tahap penyelidikan sampai bimbingan
setelah menjalani pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief
Pembaruan UU Pidana Nasional seyogyanya
bersumber pada ide2 dasar Pancasila yang
terkandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/
paradigma:
1. relegius / ketuhanan
2. humanistic / kemanusiaan
3. nationality / kebangsaan
4. democracy / demokrasi
5. social justice / keadilan sosial

3. Sistem Peradilan Pidana anak

Anda mungkin juga menyukai