Anda di halaman 1dari 164

HUKUM

PEMBIAYAAN
1
PERBANKAN
Oleh
Prof.Dr.Tan Kamello,SH.MS
Syarifah Lisa Andriati,SH.M.Hum
2 Pengertian Hukum Perbankan :

 peraturan-peraturan hukum yang mengatur segala hal yang


menyangkut tentang bank, meliputi kelembagaan, kegiatan usaha
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha bank.
3 Hukum Perbankan Sebagai
Suatu Sistem :
Peraturan-peraturan hukum perbankan merupakan satu
kesatuan yang masing-masing unsur-unsurnya berkaitan
satu sama lain dan bekerjasama secara aktif untuk
mencapai tujuan keseluruhan dari sistem hukum
perbankan.

Dengan perkataan lain sistem hukum perbankan


merupakan kumpulan asas-asas hukum perbankan yang
menjadi tonggak dibangunnya tertib hukum perbankan.
4

Unsur-unsur yuridis dari sistem hukum


perbankan adalah peraturan-peraturan hukum
(pasal-pasal), pengertian-pengertian yuridis dan
asas-asas hukum.
Pentingnya suatu peraturan hukum perbankan
terletak dalam kaitannya secara sistematis
dengan peraturan-peraturan lain yang ada
dalam UU Perbankan. Dalam konteks yang
lebih luas, peraturan hukum perbankan
berkaitan secara sistematis dengan peraturan
hukum di luar UU Perbankan.
5 Ruang Lingkup Hukum Perbankan
meliputi aspek :
1. Administratif
2. Keperdataan
3. Pidana

Diagram :

Hk.Perb
K P
6 Sumber Hukum Perbankan :

 Undang-undang
 Kontrak-kontrak bank
 Yurisprudensi perbankan
 Pendapat para ahli perbankan
 Kebiasaan yang timbul dalam lalu lintas perbankan
7 Undang-Undang mengenai
Perbankan yang pernah berlaku :
1. UU Bank Sentral / UU Bank Indonesia
a. UU No.11 Tahun 1953 tentang UU Pokok Bank
Indonesia;
b. UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral;
c. UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
d. UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
e. UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU RI No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
8

2. UU mengenai Bank
a. UU No.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan;
b. UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
c. UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun
1992 Tentang Perbankan;
d. Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
9 Lembaga Keuangan

Bank

Lembaga Bukan Bank


Keuangan

Lembaga Pembiayaan
10 Klasifikasi Lembaga Keuangan

 Lembaga keuangan bank (Bank Financial Institution) badan


usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan dengan
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk pinjaman. Terdiri dari:
 Bank Indonesia
 Bank Umum
 Bank Perkreditan Rakyat
11 Klasifikasi Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan bukan bank (Nonbank Financial


Institution) : badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang
keuangan yang secara langsung atau tidak langsung
menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga
dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai
investasi perusahaan. Terbagi :
Asuransi;
Pegadaian;
Dana Pensiun;
Reksa Dana;
Bursa Efek.
12 Klasifikasi Lembaga Keuangan

Lembaga Pembiayaan (Financial Institution) : badan usaha


yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik
dana secara langsung dari masyarakat. Misal:
Sewa guna usaha (leasing);
Modal Ventura (venture capital);
Perdagangan surat berharga (securities trade);
Anjak Piutang (factoring);
Usaha kartu kredit (credit card);
Pembiayaan konsumen (consumers finance).
13 Sejarah Perbankan Di Indonesia :

1. Sebelum Kemerdekaan :
a. Zaman Belanda
b. Zaman Jepang

2. Sesudah Kemerdekaan
a. Masa Orde Lama
b. Masa Orde Baru
1) Tahap stabilisasi dan rehabilitasi
2) Tahap pembangunan
3) Tahap deregulasi

3. Masa Orde Reformasi


a. Tahap likuidasi bank
b. Tahap penyehatan bank oleh BPPN
1) Restrukturisasi
2) Rekapitalisasi
14 Zaman Belanda

Kegiatan lembaga keuangan diperkenalkan operasinya oleh


Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang
membawa serta perangkat sistem keuangan dan pembayaran
dalam usaha dagang, dan mencari keuntungan.
Perusahaan pertama yang menjalankan fungsi sebagai bank
di Indonesia adalah De Nederlandsche Handel Maatschappij
(HMN) pada tahun 1824, yang secara resminya adalah
perusahaan dagang. Perusahaan yang benar-benar resmi
didirikan untuk menjalankan usaha bank yaitu N.V.De
Javasche Bank. Bank tersebut didirikan pada tahun 1828.
15Kehadiran De Davasche Bank menangani tugas di bidang
moneter yang selama ini berada ditangan pemerintah yakni
mengeleuarkan dan mengedarkan uang kertas, menyimpan dan
menguasai dana-dana devisa dan obligasi negara. Bahkan pada
tahun 1909 bank tersebut dijadikan sebagai pusat kliring.
 Berbagai kritik bermunculan akibat peranan ganda De
Davasche Bank yakni sebagai bank sirkulasi dan bank umum.
 Bank-bank yang dapat bertahan pada masa ini : Bank
Tabungan Himpunan 1906 dan bank Tabungan Belanda NISP,
PT.Bank Kesawan di Medan, PT.Bank Jakarta di Jakarta, Bank
Nasional di Bukit Tinggi. Serta munculnya bank-bank devisa
asing untuk mendirikan kantor cabangnya di Indonesia seperti
The Chartered Bank of India, The Overseas Chinese Banking
Corporatin, The Bank of China.
16 Zaman Jepang

Pada tahun 1942-1945 merupakan masa suram bagi


perbankan di Indonesia, dimana pemerintah Jepang
memaksa agar menyediakan biaya untuk keperluan
perang. Usaha ini dilakukan dengan menutup bank-bank
yang ada dengan likuidatornya adalah Nanpo Kaihatsu
Kinko, sebuah bank sirkulasi yang berpusat di Tokyo.
Hanya ada satu bank yang diperkenankan yaitu
Algemene Volkscredit (AVB) dan diganti namanya
menjadi Syomin Ginko.
17 Sesudah Kemerdekaan

Di awal kemerdekaan terdapat gagasan untuk mendirikan


Bank Sirkulasi. Usaha merealisasikannya dengan mendirikan
Pusat Bank Indonesia.
Kemudian apada tanggal 5 Juli 1946 pemerintah mendirikan
Bank Negara Indonesia 1946 yang dikenak dengan BNI 46
melalui Perpu No.2 Tahun 1946. Tujuan didirikannya bank
ini adalah untuk:
Mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank dengan harga
tetap menurut keperluan masyarakat terhadap alat penukaran;
Memperbaiki peredaran alat pembayaran lain;
Memenuhi kredit masyarakat dan umumnya supaya dapat bekerja
untuk kepentingan umum.
18

Pada tanggal 2 Januari 1946 berdasarkan PP No.1 Tahun


1946, didirikan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang
merupakan hasil perubahan dan melanjutkan kegiatan
Algemene Volkscredit Bank beserta cabangnya. Usaha bank
tersebut meliputi :
memberikan pinjaman kepada rakyat,
menerima uang simpanan;
menjalankan tugas-ugas bank umum dan;tugas-tugas lainnya yang
ditetapkan pemerintah.
Di samping itu perkembangan bank-bank swasta cukup
pesat seperti Bank surakarta MAI, Bank Dagang Nasional di
Medan, Bank Sulawesi, dll.
19 Masa Orde Lama

Pada masa Orde lama ditandai dengan peristiwa


Konferensi Meja Bundar (KMB) dimana
diputusakan untuk menyerahkan kedaulatan
Indonesia kepada pemerintah Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Pihak Indonesia menginginkan agar BNI sebagai
Bank Sentral, tetapi usul tersebut tidak diterima
sehingga De Javasche Bank sebagai Bank Sentral
yang berhak mengedarkan uang kertas dan
membiayai perusahaan Belanda di Indonesia.
20

Pada Tahun 1950 RIS dibubarkan dan menjadi


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan pemerintah
menasionalisaikan De Javasche Bank melalui UU
No.24/1951. Dan diganti dengan UU No.11/1953
tentang Pokok Bank Indonesia.
Namun demikian sifat dualistik masih mewarnai UU
Pokok Bank Indonesia dimana selain sebagai bank
sentral juga sebagai bank umum sehingga dunia
perbankan cenderung kurang berkembang.
21 Zaman Orde Baru
 Babak baru kehidupan perbankan dimuali pada masa ini
dimana dikeluarkannya UU No.14 Tahun 1967 ttg Pokok-
pokok Perbankan, dan UU No.13 Tahun 1968 ttg Bank
Sentral.
 Kedua UU tersebut menjadi pilar untuk pembinaan dan
pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan
perbankan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar,
efisien dan memungkinkan perbankan Indonesia melakukan
penyesuaian yang diperlukan sesuai dengan norma-norma
perbankan Internasional.
 Perkembangan bank di masa Orde Baru di bagi 3 tahap :
 Tahap Stabilisasi dan rehabilitasi (1966-1969);
 Tahap Pembangunan (1970-1982);
 Tahap Deregulasi (1983-1997);
22 Tahap Stabilisasi dan Rehabilitasi
 Perkembangan yang tampak pada tahap ini adalah
dengan lahirnya UU No.14/1967 ttg Pokok-pokok
Perbankan dan UU No.13/1968 ttg Bank Sentral.
 Pada masa ini dualistis dari Bank Sentral ditiadakan,
sehingga kegiatan Bank Umum tidak dijalankan lagi.
 Secara sistematis dilakukan rehabilitasi sistem
perbankan sesuai dengan pasar. Tujuan utama nya
untuk menghentikan inflasi dengan pengendalian
fiskal dan moneter yang ketat, akan tetapi dapat
menumbuhkan sistem perbankan yang mampu
berperan aktif dalam pembangunan, sebagai perantara
keuangan.
23 Tahap Pembangunan
 (1970-1982)
Setelah gejolak perkembangan ekonomi dapat dikendalikan, kebijaksanaan moneter
diarahkan untuk mencapai stabiliatas moneter dan meningkatkan ekspor.
 Disamping itu untuk menjaga tekanan inflasi tahun 1973, BI memberlakukan pagu
kredit, yaitu suatu pembatasan kuantitatif kredit bank.
 Pada Tahun 1974, BI mengeluarkan peraturan tentang Pasar Uang di Jakarta,
sehingga bank yang kelebihan dana atau kekurangan dana, dapat secara bebas
melakukan transaksi berupa mentransfer atau meminta dana pada bank lain.
 Di samping itu untuk dapat memantau perkembangan suku bunga di Pasar uang,
Bank Indonesia mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimaksudkan
untuk menampung kelebihan dana dari bank-bank yang tidak dapat disalurkan. Hal
ini mengakibatkan dana dapat berkurang dan suku bunga dapat meningkat kembali.
24 Tahap Deregulasi
(1983-1997)
 Tahap Deregulasi tediri atas :
 Sebelum Pakto 1988;
 Setelah Pakto 1988
Sebelum Pakto 1988
25
 Perkembangan perbankan mengalami perubahan yang
cukup mendasar dengan dihapuskannya pagu kredit
pada tahun 1973. Hal ini mengurangi ketergantungan
bank-bank pada Bank Indonesia dan meningkatkan
mobilisasi dana dari masyarakat. Dan memberikan
kebebasan terhadap bank-bank dalam menentukan
suku bunga, baik dalam pengumpulan dana dari
masyarakat maupun penyaluran kredit.
 Melalui paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988
memberikan kemudahan pembukaan dan pemberian
ijin kantor cabang sehingga jaringan perbankan
menjadi semakin luas.
Setelah Pakto 1988
26
 Dalam perkembangannya Pakto 1988 mengalami
penyempurnaan dalam rangka penyesuaian dengan kondisi
dan perkembangan moneter, serta perbankan di Indonesia.
 Paket terakhir yang dikeluarkan pada tahun 1991 mengenai
Prudential banking (asas kehati-hatian), dan pemenuhan CAR
(Capital Aduquacy Ratio) yakni perbandingan antar modal
sendiri dengan asset tertimbang menurut risiko.
 Puncaknya dengan dikeluarkan UU No.7 tahun 1992 ttg
Perbankan pada tgl 25 Maret 1952. Tujuan penggantian dan
penyempurnaan peraturan perbankan adalah dalam rangka
mendukung kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan
pembangunan, dan juga agar mampu menampung tuntutan
jasa perbankan.
27 Masa Orde Reformasi
 Pada Tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia dimana
nilai tukar rupiah menjadi tertekan dan berdampak pada sendi-
sendi perekonomian Indonesia. Dengan dilikuidasinya 16
Bank pada Tahun 1997 mengakibatkan terjadinya Rush dan
terjadinya kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di
bank.
 Setelah lengsernya orde baru, terjadi pembaharuan di bidang
perbankan dengan dikeluarkannya UU No.10 Tahun 1998 ttg
Perubahan UU No.7/1992 ttg Perbankan.
 Hal yang signifikan adalah dengan didirikannya lembaga yang
berfungsi untuk melakukan program penyehatan terhadap
bank yang sakit. Badan yang dimaksud adalag Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bersifat
sementara.
28

 Selain itu dikeluarkannya UU No.23 Tahun 1999


tentang Bank Indonesia. Dimana diberikan
kewenangan kepada BI untuk menanggulangi
krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-
singkatnya.
 Oleh karenanya dalam rangka pengelolaan
keuangan nasional yang sehat, BI sebagai Bank
Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan
pemerintah dan pihak lainnya, serta kinerjanya
dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan.
29 Kelembagaan Perbankan :

Yang dimaksud dengan kelembagaan perbankan adalah bank dilihat


sebagai organisasi yang meliputi aspek eksternal dan internal.

Aspek internal bank adalah garis ketatalaksanaan bank meliputi


manajemen, laporan keuangan, pembayaran dalam dan luar negeri,
sumber daya manusia, dsb.

Aspek eksternal bank adalah hubungan antara bank yang satu dengan
bank yang lain, yang menyangkut struktur, kepemilikan, usaha,
operasional, dsb. Dalam aspek eksternal bank terdapat dua hubungan
yakni hubungan vertikal dan horisontal. Hubungan vertikal artinya
hubungan antara bank sentral/bank Indonesia dengan bank-bank lain,
sedangkan hubungan horisontal artinya hubungan antara bank yang satu
dengan bank lainnya.
30

Yang dimaksud dengan struktur perbankan adalah


susunan bank dalam hubungannya yang satu
dengan yang lain atau bentuk organisasi bank
tersebut, yang terdiri dari unit banking system
(bank tunggal) dan multiple office bank system.
Yang dikatakan sebagai unit banking system
adalah sejumlah bank yang berdiri sendiri dan
tidak mempunyai cabang atau perwakilan,
sedangkan multiple office bank system adalah
beberapa kantor bank yang beroperasi dalam
kesatuan hukum.
 Ada 3 (tiga) jenis multiple office banking system yakni :
31
1. Branch banking system, yaitu bank yang merupakan satu
kesatuan hukum yang beroperasi pada lebih dari satu kantor
bank. Pada sistem ini, kantor pusat bank mendirikan kantor
cabang yang memiliki hak yang sama dengan kantor pusat,
tetapi dalam hal-hal tertentu masih ada keterbatasan atau
instruksi kantor pusat;
2. Chain banking system, yaitu sejumlah bank yang berdiri
sendiri dalam kedudukannya sebagai suatu kesatuan hukum.
Pada sistem ini operasi dan kebijaksanaan berada di tangan
satu orang atau beberapa orang yang berkuasa atas bank
tersebut;
3. Group banking system, yaitu sejumlah bank yang berdiri
sendiri dalam kedudukannya sebagai suatu kesatuan hukum
yang secara langsung dikuasai oleh suatu perusahaan (holding
company).
32 Pengertian Bank
 Menurut UU No.14 Tahun 1967 : “Bank adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan lalu lintas kredit
dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran
uang”.
 Menurut UU No.7 Tahun 1992 : “Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
 Menurut UU No.10 Tahun 1998 : “Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
33 JENIS - JENIS BANK

1. MENURUT UU NO.14 TAHUN 1967 :

A. BANK SENTRAL

B. BANK UMUM

C. BANK TABUNGAN

D. BANK PEMBANGUNAN
34 BANK UMUM
1. BANK UMUM MILIK NEGARA : BNI, BBD, BDN, BRI, BANK EKSIM
(MERGER).
2. BANK UMUM MILIK SWASTA : BCA, BANK DUTA, BANK DANAMON, BDNI
3. BANK UMUM KOPERASI : BUKOPIN.
4. BANK UMUM ASING : CITY BANK, BANGKOK BANK, BANK OF AMERICA,
BANK OF TOKYO, CHARTERED BANK
35 BANK PEMBANGUNAN
1) BAPINDO
2) BANK PEMBANGUNAN DAERAH : BANK SUMUT, BPD ACEH.
3) BANK PEMBANGUNAN SWASTA : BANK PEMBANGUNAN INDUSTRI
4) BANK PEMBANGUNAN KOPERASI
5) BANK PEMBANGUNAN ASING : ASIAN DEVELOPMENT BANK (ADB).
36 BANK TABUNGAN

BANK TABUNGAN : BANK TABUNGAN NEGARA, BANK


TABUNGAN SWASTA DAN BANK TABUNGAN
KOPERASI.
37 MENURUT UU NO.7 TAHUN
1992

A. BANK SENTRAL

B. BANK UMUM

C. BANK PERKREDITAN RAKYAT

D. BANK CAMPURAN.
38 MENURUT UU NO.10 THN
1998

A. BANK INDONESIA.

B. BANK UMUM MELIPUTI BANK KONVENSIONAL DAN


BANK DENGAN PRINSIP SYARIAH.

C. BANK PERKREDITAN RAKYAT.


39 HUKUM PERBANKAN
SEBAGAI
1.
SUATU SISTEM
PERATURAN - PERATURAN HUKUM PERBANKAN MERUPAKAN SATU
KESATUAN YANG MASING - MASING UNSUR-UNSURNYA BERKAITAN
SATU SAMA LAIN DAN BEKERJASAMA SECARA AKTIF UNTUK
MENCAPAI TUJUAN KESELURUHAN DARI SISTEM HUKUM
PERBANKAN.
40 MAKNA PERATURAN DALAM
SISTEM HUKUM PERBANKAN
 UNSUR-UNSUR YURIDIS DARI SISTEM
HUKUM PERBANKAN ADALAH PERATURAN-
PERATURAN HUKUM (PASAL-PASAL),
PENGERTIAN-PENGERTIAN YURIDIS DAN
ASAS-ASAS HUKUM.
 PENTINGNYA SUATU PERATURAN HUKUM
PERBANKAN TERLETAK DALAM KAITANNYA
SECARA SISTEMATIS DENGAN PERATURAN-
PERATURAN LAIN YANG ADA DALAM UU
PERBANKAN.
41

 DALAM KONTEKS YANG LEBIH LUAS,


PERATURAN HUKUM PERBANKAN
BERKAITAN SECARA SISTEMATIS DENGAN
PERATURAN HUKUM DI LUAR UU
PERBANKAN.

2. SISTEM HUKUM PERBANKAN MERUPAKAN


KUMPULAN ASAS-ASAS HUKUM
PERBANKAN YANG MENJADI TONGGAK
DIBANGUNNYA TERTIB HUKUM
PERBANKAN.
42 ASAS - ASAS
HUKUM PERBANKAN :
 ASAS DEMOKRASI EKONOMI
 ASAS KEHATI-HATIAN
 ASAS PEMERATAAN
 ASAS KESEJAHTERAAN
 ASAS-ASAS DALAM HUKUM KONTRAK
 ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERKREDITAN
 ASAS-ASAS DALAM HUKUM JAMINAN
 ASAS-ASAS DALAM HUKUM KEPAILITAN
43 PENGERTIAN BANK UMUM

 BANK UMUM : BANK YANG MELAKSANAKAN


KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DAN ATAU
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH YANG DALAM
KEGIATANNYA MEMBERIKAN JASA DALAM LALU
LINTAS PEMBAYARAN (PASAL 1 ANGKA 3 UU NO.10/98)
44 BENTUK HUKUM BANK
UMUM MENURUT UU
NO.10/98
1. BENTUK HUKUM BANK UMUM :
A. PERSEROAN TERBATAS
B. KOPERASI
C. PERUSAHAAN DAERAH.
45 KEGIATAN USAHA BANK
UMUM
 DALAM MENJALANKAN KEGIATAN
USAHANYA DI BIDANG JASA PERBANKAN,
BANK UMUM MENERAPKAN 2 (DUA) CARA,
YAITU:
1. KONVENSIONAL ARTINYA MENJALANKAN
KEGIATAN USAHA DI BIDANG JASA
PERBANKAN MENURUT CARA YANG LAZIM
ATAU BIASA, DENGAN MEMPEROLEH
KEUNTUNGAN BERUPA BUNGA;
2. PRINSIP SYARIAH ARTINYA MENJALANKAN
USAHA DI BIDANG JASA PERBANKAN
MENURUT ATURAN PERJANJIAN
BERDASARKAN HUKUM ISLAM, DENGAN
MEMPROLEH KEUNTUNGAN BUKAN
BERUPA BUNGA.
46 USAHA BANK UMUM
UU NO.10 TAHUN 1998
1. MENGHIMPUN DANA DARI MASYARAKAT DALAM BENTUK
SIMPANAN BERUPA GIRO, DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT
DEPOSITO, TABUNGAN DAN/ATAU BENTUK LAIN YANG
DIPERSAMAKAN DENGAN ITU;
2. MEMBERIKAN KREDIT;
3. MENERBITKAN SURAT PENGAKUAN HUTANG;
47
A. KERTAS PERBENDAHARAAN NEGARA DAN SURAT JAMINAN
PEMERINTAH;
B. SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI);
C. OBLIGASI;
D. SURAT DAGANG BERJANGKA WAKTU SAMPAI DENGAN 1 (SATU) TAHUN;
E. INSTRUMEN SURAT BERHARGA LAIN YANG BERJANGKA WAKTU SAMPAI
DENGAN 1 (SATU) TAHUN.
4. MEMBELI, MENJUAL ATAU MENJAMIN ATAS RISIKO SENDIRI
48 MAUPUN UNTUK KEPENTINGAN DAN ATAS PERINTAH
NASABAHNYA;

A. SURAT-SURAT WESEL TERMASUK WESEL YANG


DIAKSEPTASI OLEH BANK YANG MASA
BERLAKUNYA TIDAK LEBIH LAMA DARIPADA
KEBIASAAN DALAM PERDAGANGAN SURAT-
SURAT DIMAKSUD;
B. SURAT PENGAKUAN HUTANG DAN KERTAS
DAGANG LAINNYA YANG MASA BERLAKUNYA
TIDAK LEBIH LAMA DARI KEBIASAAN DALAM
PERDAGANGAN SUART-SURAT DIMAKSUD;
5. MEMINDAHKAN UANG BAIK UNTUK
49
KEPENTINGAN SENDIRI MAUPUN UNTUK
KEPENTINGAN NASABAH;
6. MENEMPATKAN DANA PADA, MEMINJAM
DANA DARI, ATAU MEMINJAMKAN DANA
KEPADA BANK LAIN, BAIK DENGAN
MEMPERGUNAKAN SURAT, SARANA
TELEKOMUNIKASI MAUPUN DENGAN
WESEL UNJUK, CEK ATAU SARANA LAINNYA;
7. MENERIMA PEMBAYARAN DARI TAGIHAN
ATAS SURAT BERHARGA DAN MELAKUKAN
PERHITUNGAN DENGAN ATAU ANTAR PIHAK
KETIGA;
50

8. MENYEDIAKAN TEMPAT UNTUK


MENYIMPAN BARANG DAN SURAT
BERHARGA;
9. MELAKUKAN KEGIATAN PENITIPAN
UNTUK KEPENTINGAN PIHAK LAIN
BERDASARRKAN SUATU KONTRAK;
10. MELAKUKAN PENEMPATAN DANA DARI
NASABAH KEPADA NASABAH LAINNYA
DALAM BENTUK SURAT BERHARGA
YANG TIDAK TERCATAT DI BURSA EFEK;
10.
51
MELAKUKAN KEGIATAN ANJAK PIUTANG,
USAHA KARTU KREDIT DAN KEGIATAN
WALI AMANAT;
11. MENYEDIAKAN PEMBIAYAAN DAN ATAU
MELAKUKAN KEGIATAN LAIN
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH, SESUAI
DENGGAN KETENTUAN YANG DITETAPKAN
OLEH BANK INDONESIA;
12. MELAKUKAN KEGIATAN LAIN YANG LAZIM
DILAKUKAN OLEH BANK SEPANJANG
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-
UNDANG INI DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU.
52 MODAL BANK UMUM

 MENURUT PASAL 2 AYAT (1) PP NO.73 TAHUN 1998


TENTANG PERUBAHAN PP NO.70 TAHUN 1992 TENTANG
BANK UMUM :
“UNTUK MENDIRIKAN BANK UMUM DAN JUGA BANK
CAMPURAN, MODAL DISETOR DITETAPKAN SEKURANG-
KURANGNYA RP.3.000.000.000.000,00 (TIGA TRILIUN
RUPIAH)”
53 IZIN BANK UMUM

 SETIAP PIHAK YANG MELAKUKAN


KEGIATAN MENGHIMPUN DANA DARI
MASYARAKAT DALAM BENTUK SIMPANAN
WAJIB TERLEBIH DAHULU MEMPEROLEH
IZIN USAHA SEBAGAI BANK UMUM ATAU
BANK PERKREDITAN RAKYAT DARI
PIMPINAN BANK INDONESIA, KECUALI
APABILA KEGIATAN MENGHIMPUN DANA
DARI MASYARAKAT DIMAKSUD DIATUR
DENGAN UU TERSENDIRI (PASAL 16 AYAT
(1) UU NO.10/98)
 SELAIN KEGIATAN DI ATAS, BANK UMUM JUGA DAPAT MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA :
54

1) MELAKUKAN KEGIATAN DALAM VALUTA ASING


DENGAN MEMENUHI KETENTUAN YANG
DITETAPKAN OLEH BANK INDONESIA;
2) MELAKUKAN KEGIATAN PENYERTAAN MODAL
PADA BANK ATAU PERUSAHAAN DI BIDANG
KEUANGAN, SEPERTI SEWA GUNA USAHA,
MODAL VENTURA, PERUSAHAAN EFEK,
ASURANSI, SERTA LEMBAGA KLIRING
PENYELESAIAN DAN PENYIMPANAN, DENGAN
MEMENUHI KETENTUAN YANG DITETAPKAN
OLEH BANK INDONESIA;
55

3. MELAKUKAN KEGIATAN PENYERTAAN MODAL


SEMENTARA UNTUK MENGATASI AKIBAT
KEGAGALAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN
PRINSIP SYARRIAH, DENGAN SYARAT HARUS
MENARIK KEMBALI PENYERTAANNYA DENGAN
MEMENUHI KETENTUAN YANG DITETAPKAN
OLEH BANK INDONESIA;
4. BERTINDAK SEBAGAI PENDIRI DANA PENSIUN
DAN PENGURUS DANA PENSIUN SESUAI
DENGAN KETENTUAN DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DANA PENSIUN YANG
BERLAKU.
56 PENGERTIAN BPR

 BANK PERKREDITAN RAKYAT ADALAH BANK YANG


MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA
KONVENSIONAL DAN ATAU BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH YANG DALAM KEGIATANNYA TIDAK
MEMBERIKAN JASA DALAM LALU LINTAS
PEMBAYARAN (PASAL 1 ANGKA 4 UU NO.10/98)
57 BENTUK HUKUM BPR

BENTUK HUKUM BANK PERKREDITAN RAKYAT :


A. PERUSAHAAN DAERAH
B. KOPERASI
C. PERSEROAN TERBATAS
D. BENTUK LAIN YANG DITETAPKAN DENGAN
PERATURAN PEMERINTAH.
58 USAHA BPR
UU NO.10 TAHUN 1998 :
1. MENGHIMPUN DANA DARI MASYARAKAT DALAM
BENTUK SIMPANAN BERUPA DEPOSITO
BERJANGKA, TABUNGAN, DAN/ATAU BENTUK
LAINNYA YANG DIPERSAMAKAN DENGAN ITU;
2. MEMBERIKAN KREDIT;
3. MENYEDIAKAN PEMBIAYAAN DAN PENEMPATAN
DANA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH, SESUAI
DENGAN KETENTUAN YANG DITETAPKAN OLEH
BANK INDONESIA;
4. MENEMPATKAN DANANYA DALAM BENTUK
SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI), DEPOSITO
BERJANGKA, SERTIIKAT DEPOSITO, DAN/ATAU
TABUNGAN PADA BANK LAIN.
60 ESSENSI HUKUM
PERBANKAN :
 ESSENSI MEMPELAJARI HUKUM PERBANKAN
TERLETAK KEPADA FUNGSI PERBANKAN YAITU
MENGHIMPUN DAN MENYALURKAN DANA
MASYARAKAT.
 FUNGSI PERBANKAN TERSEBUT DISEBUT SEBAGAI
ALIRAN DARAH ATAU TULANG PUNGGUNG BAGI
PERKEMBANGAN EKONOMI
61 ARTI YURIDIS DARI ESENSI
HUKUM PERBANKAN
1. KONTRAK ANTARA BANK (KREDITUR) DENGAN NASABAH DEBITUR
DISEBUT PERJANJIAN KREDIT;

2. KONTRAK ANTARA BANK (DEBITUR) DENGAN NASABAH PENYIMPAN


DISEBUT PERJANJIAN SIMPANAN.
62 HUBUNGAN HUKUM DAN
HUBUNGAN MORAL
HUBUNGAN ANTARA NASABAH DEBITUR
DENGAN NASABAH PENYIMPAN BUKANLAH
HUBUNGAN HUKUM MELAINKAN HUBUNGAN
MORAL. OLEH KARENA ITU TIDAK ADA
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM (LAW
LIABILITY), YANG ADA HANYALAH TANGGUNG
JAWAB MORAL (MORAL RESPONSIBILITY).
KEBERHASILAN NASABAH DEBITUR ADALAH
KESUKSESAN BANK DAN KEGEMBIRAAN BAGI
NASABAH PENYIMPAN.
63 SKEMA HUBUNGAN BANK
DAN NASABAH
BANK

NASABAH NASABAH
DEBITUR PENYIMPAN
64 BEBERAPA KONSEP YURIDIS
 NASABAH = PIHAK YANG MENGGUNAKAN JASA
BANK
 NASABAH PENYIMPAN = NASABAH YANG
MENEMPATKAN DANANYA DI BANK DALAM
BENTUK SIMPANAN BERDASARKAN PERJANJIAN
BANK DENGAN NASABAH YANG BERSANGKUTAN.
 SIMPANAN = DANA YANG DIPERCAYAKAN OLEH
MASYARAKAT KEPADA BANK BERDASARKAN
PERJANJIAN PENYIMPANAN DANA DALAM
BENTUK GIRO, DEPOSITO, SERTIFIKAT DEPOSITO,
TABUNGAN DAN BENTUK LAINNYA YANG
DIPERSAMAKAN DENGAN ITU.
65
 GIRO : SIMPANAN YANG PENARIKANNYA DAPAT
DILAKUKAN SETIAP SAAT DENGAN MENGGUNAKAN
CEK, BILYET GIRO, SARANA PERINTAH PEMBAYARAN
LAINNYA, ATAU DENGAN PEMINDAH BUKUAN;
 DEPOSITO : SIMPANAN YANG PENARIKANNYA HANYA
DAPAT DILAKUKAN PADA WAKTU TERTENTU
BERDASARKAN PERJANJIAN NASABAH PENYIMPAN
DENGAN BANK;
 SERTIFIKAT DEPOSITO : SIMPANAN DALAM BENTUK
DEPOSITO YANG SERTIFIKAT BUKTI
PENYIMPANANNYA DAPAT DIPINDAH TANGANKAN.
 66TABUNGAN : SIMPANAN YANG
PENARIKANNYA HANYA DAPAT DILAKUKAN
MENURUT SYARAT TERTENTU YANG
DISEPAKATI, TETAPI TIDAK DAPAT DITARIK
DENGAN CEK, BILYET GIRO, DAN ATAU ALAT
LAINNYA YANG DIPERSAMAKAN DENGAN
ITU.
 NASABAH DEBITUR : NASABAH YANG
MEMPEROLEH FASILITAS KREDIT ATAU
PEMBIAYAAN BERDASAKAN PRINSIP SYARIAH
ATAU YANG DIPERSAMAKAN DENGAN ITU
BERDASARKAN PERJANJIAN BANK DENGAN
NASABAH YANG BERSANGKUTAN.
67
 KREDIT : PENYEDIAAN UANG ATAU TAGIHAN YANG DAPAT
DIPERSAMAKAN DENGAN ITU, BERDASARKAN PERSETUJUAN ATAU
KESEPAKATAN PINJAM MEMINJAM ANTARA BANK DENGAN PIHAK
LAIN YANG MEWAJIBKAN PIHAK PEMINJAM UNTUK MELUNASI
HUTANGNYA SETELAH JANGKA WAKTU TERTENTU DENGAN
PEMBERIAN BUNGA.
68
 PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH = PENYEDIAAN UANG ATAU
TAGIHAN YANG DIPERSAMAKAN DENGAN
ITU BERDASARKAN PERSETUJUAN ATAU
KESEPAKATAN ANTARA BANK DENGAN
PIHAK LAIN YANG MEWAJIBKAN PIHAK
YANG DIBIAYAI UNTUK MENGEMBALIKAN
UANG ATAU TAGIHAN TERSEBUT SETELAH
JANGKA WAKTU TERTENTU DENGAN
IMBALAN ATAU BAGI HASIL.
69 PERJANJIAN KREDIT BANK

PERSOALAN POKOK ADALAH, APAKAH PERJANJIAN KREDIT BANK


IDENTIK DENGAN PERJANJIAN PINJAM UANG ATAU PERJANJIAN
PINJAM MENGGANTI SEBAGAIMANA YANG DIATUR DALAM PASAL
1754 KUH PERDATA ?
70 SIFAT YURIDIS
PERJANJIAN KREDIT BANK
• DALAM KUH PERDATA PEMINJAMAN UANG
ATAU PINJAM MENGGANTI DIKENAL DENGAN
ISTILAH “VERBRUIKLENING” (VERBRUIK =
MEMAKAI HABIS ; LENING = PEMINJAMAN).
• BUKTINYA TERLIHAT DARI PERUMUSAN PASAL
1754 KUH PERDATA PADA KATA-KATA
“MEMBERIKAN (MENYERAHKAN) KEPADA
PIHAK YANG LAIN SUATU JUMLAH TERTENTU
BARANG” BUKAN MENGIKATKAN DIRI KEPADA
PIHAK LAIN.
71 KESEPAKATAN-
PENYERAHAN
• JIKA DILIHAT DARI RUMUSAN PADA AWAL
KALIMAT TERSEBUT YAKNI “PERSETUJUAN
DENGAN MANA PIHAK YANG SATU
MEMBERIKAN (MENYERAHKAN) KEPADA
PIHAK YANG LAIN ...”, MAKA PADA
HAKEKATNYA YANG TERJADI BARU
KESEPAKATAN UNTUK MENYERAHKAN
SESUATU KEPADA PIHAK LAIN.
• PENYERAHANNYA BELUM TERJADI.
• SECARA TEORITIS, ANTARA KESEPAKATAN
DENGAN PENYERAHAN DAPAT DIPISAHKAN.
MUNGKIN PENYERAHAN BARANGNYA
TERJADI BELAKANGAN. DENGAN DEMIKIAN
DALAM PERJANJIAN VERBRUIKLENING
TERDAPAT SIFAT KONSENSUIL DAN RIIL.
72 BUNGA DALAM
UNDANG-UNDANG
• DALAM PERJANJIAN PEMINJAMAN UANG BOLEH
DICANTUMKAN BUNGA (PASAL 1756 KUH PERDATA).
• BUNGA TERDIRI DARI BUNGA YANG DITETAPKAN UU
DAN BUNGA YANG DITETAPKAN DALAM PERJANJIAN.
BERDASARKAN STB. 1848 NO.42, BESARNYA BUNGA
ADALAH 6 % PER TAHUN.
73 PERANAN HAKIM DALAM
PENETAPAN BUNGA
• BUNGA YANG DITETAPKAN DALAM PERJANJIAN BOLEH
LEBIH BESAR DARI BUNGA UU, ASAL TIDAK TERLALU
TINGGI. PEMBATASAN BUNGA ITU MENGINGAT STB.1938
NO.542 TENTANG WOEKER ORDONANTIE YAKNI UNTUK
MEMBRANTAS LINTAS DARAT (TENGKULAK, PEMBUNGA
UANG).
• YANG MENENTUKAN APAKAH BUNGA ITU TERLALU
TINGGI ATAU TIDAK ADALAH HAKIM. BUNGA YANG
TIDAK DICANTUMKAN DALAM PERJANJIAN DIANGGAP
PERJANJIAN ITU DILAKUKAN TANPA BUNGA WALAUPUN
DIPERJANJIKAN SECARA LISAN.
c. Pendapat Ahli Hukum :
1) 74 Wirjono Prodjodikoro : perjanjian peminjaman uang bersifat riil.
2) Marhainis Abdul Hay : perjanjian kredit identik dengan perjanjian pinjam
mengganti. Konsekuensi logis dari pemikiran ini adalah perjanjian kredit bank
bersifat riil.
3) Remy Sjahdeini : perjanjian kredit tidak identik dengan perjanjian pinjam uang
dalam KUH Perdata. Ada ciri khusus dari perjanjian kredit yang
membedakannya dari perjanjian pinjam uang biasa. Ciri-ciri khusus tersebut
adalah :
Ada beberapa bank yang memuat dalam perjanjian kreditnya klausul yang
dinamakan conditions precedent yakni peristiwa atau kejadian yang harus
dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian ditanda tangani oleh para
pihak sebelum penerima kredit dapat menggunakan kreditnya. Conditions
precedent adalah apa yang dikenal dalam KUH Perdata sebagai syarat tangguh
dari suatu perjanjian. Perjanjian kredit yang mengandung conditions precedent
adalah perjanjian konsensuil dan bukan perjanjian riil, sedangkan perjanjian
kredit yang tidak memuat syarat-syarat tangguh dikatakan perjanjian kredit itu
bersifat riil.
75

4) Mariam Darus : perjanjian kredit adalah perjanjian


pendahuluan yang bersifat konsensuil sedangkan
penyerahan uangnya bersifat riil.
5) Asser-Kleyn : perjanjian kredit adalah perjanjian
pendahuluan darri perjanjian pinjam uang.
6) Windscheid : perjanjian kredit adalah perjanjian dengan
syarat tangguh (condition potestative).
7) Felt : perjanjian pinjam mengganti adalah perjanjian riil.
Perjanjian kredit baru lahir pada saat dilakukannya
realisasi kredit. Konsekuensinyya perjanjian kredit
bersifat riil.
8) Goedeket : perjanjian kredit yang di dalamnya terdapat
perjanjian pinjam uang adalah perjanjian yang bersifat
konsensuil.
Kesimpulan :
76 Ada 3 (tiga) ajaran tentang sifat perjanjian kredit
bank yaitu :
1. Ajaran pertama mengatakan bahwa perjanjian kredit bank
danperjanjian pinjam uang merupakan satu perjanjian
yang besifat konsensuil – obligatoir;
2. Ajaran kedua mengatakan bahwa perjanjian kredit bank
dan perjanjian pinjam uang merupakan dua perjanjian
yang bersifat konsensuil dan riil;
3. Ajaran ketiga mengatakan bahwa perjanjian kredit bank
merupakan perjanjian dengan syarat tangguh.
 Pandangan Penulis :
77
Perjanjian kredit bank adalah suatu proses perjanjian untuk
mendapatkan peminjaman uang yang didahului dengan mengadakan
permufakatan dan diakhiri dengan penyerahan uang.
Momentum terjadinya dua hubungan hukum (rechtsbetrekking,
rechtsverhouding) tersebut berbeda yaitu perjanjian kredit lahir pada
saat ditandatanganinya akta perjanjian kredit bank, sifatnya
konsensuil obligatoir, sedangkan penyerahan uang (levering)
menyusul kemudian setelah ada pernyataan dari bank bahwa
nasabah debitur dibolehkan mengambil pinjaman, sifatnya riil. Jadi,
antara permufakatan dengan penyerahan uang ada waktu tunggu
yang menangguhkan untuk kesempurnaan perjanjian kredit bank.
Dilihat dari jenis perjanjian, maka perjanjian kredit merupakan
78
perjanjian yang besifat timbal balik sedangkan penyerahan
uangnya bersifat sepihak.
Dalam perjanjian yang bersifat sepihak, jika bank tidak
mencairkan pinjaman uang maka nasabah debitur tidak dapat
menuntut bank dengan alasan ingkar janji. Demikian juga kalau
nasabah debitur tidak mau mengambil pinjaman uang setelah
diberitahukan oleh bank maka bank tidak dapat menuntut naabah
debitur.
Dalam perjanjian timbal balik, jika para pihak tidak memenuhi
isi perjanjian maka salah satu pihak dapat menuntut pihak
lainnya.
Secara normatif, perjanjian kredit yang sudah disepakati
menimbulkan akibat hukum yang mengikat dan harus dijalankan
dengan itikad baik.
Dilihat dari Pasal 1319 KUH Perdata, apakah perjanjian
79 kredit tergolong perjanjian bernama atau perjanjian tidak
bernama (benoemde overeenkomst atau nominaat
contracten).
Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan di atas terlebih
dahulu harus diketahui pengertian perjanjian bernama dan
tidak bernama.
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian yang oleh
pembentuk UU diberi nama tersendiri dan mengaturnya
secara khusus dalam UU. Jadi, ada 2 (dua) persyaratan
untuk menentukan identitas perjanjian bernama yaitu :
pertama, memiliki nama tersendiri (khusus, tertentu) dan
kedua, diatur dalam UU.
Perjanjian tidak bernama adalah suatu perjanjian yang
memiliki nama tersendiri yang belum mendapat pengaturan
secara khusus dalam UU.
80

Perjanjian bernama dan tidak bernama tunduk pada ketentuan umum


buku III KUH Perdata.
Misal : perjanjian bernama dalam KUH Perdata dan KUH Dagang,
perjanjian bernama dalam UU tersendiri.
Selama perjanjian yang memiliki nama tertentu belum diatur dalam
UU, maka figur hukum tersebut masih dkategorikan sebagai perjanjian
tidak bernama.
Misal : perjanjian beli sewa (hire purchase), sewa guna usaha
(leasing), dsb.
Sebaliknya kalau perjanjian tersebut sudah diatur dalam UU maka
dapat saja perjanjian itu dikelompokkan kepada perjanjian bernama.
Misal : fidusia, sebelum UU No.42 Tahun 1999 dikeluarkan termasuk
dalam perjanjian tidak bernama, tetapi sekarang tergolong perjanjian
bernama.
81

Di Belanda, verbruiklening dalam aspek


konsensuil tergolong kepada perjanjian tidak
bernama, sedangkan dalam aspek riil tergolong
kepada perjanjian bernama.
Di Indonesia, masalah perjanjian kredit belum
ada pengaturannya secara khusus dalam UU
Perkreditan. Jadi belum dapat dikategorikan
sebagai perjanjian bernama. Oleh karena itu,
perjanjian kredit tidak identik dengan perjanjian
verbruiklening.
82

 Dilihat dari obyek perikatan . Pasal 1234 KUH Perdata


mengatakan :obyek perikatan adalah prestasi yang meliputi 3
(tiga) hal yakni memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak
beerbuat sesuatu.
83

 Perjanjian kredit adalah perikatan yang lahir dari kontrak antara


bank dengan nasabah debitur. Perjanjian kredit merupakan
perjanjian yang prestasinya adalah berbuat sesuuatu. Apabila si
berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan
penyelesaian dalam kewajibannya memberikan pengantian biaya,
ganti rugi dan bunga (Pasal 1239 KUH Perdata).
84 Istilah Kredit

 Kredit berasal dari bahasa Romawi “credere”


yang berarti percaya atau credo atau creditum
yang berarti saya percaya.
 Kepercayaan ini merupakan dasar dari setiap
perikatan, yaitu seseorang berhak menuntut
sesuatu dari pihak lain.
 Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak,
kesepakatan pinjam meminjam, kepercayaan,
prestasi, imbalan dan jangka waktu tertentu.
85

 Dalam Pasal 1 angka 10 UU No.10 Tahun


1998 :
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
86 Pemberian Kredit Bank

Apabila Bank menerima permohonan kredit dari


nasabah, Bank perlu melakukan analisis kredit terlebih
dahulu. Analisis kredit meliputi :
Latar belakang nasabah/perusahaan nasabah;
Prospek usaha yang akan dibiayai;
Jaminan yang diberikan;
Hal-hal lain yang ditentukan oleh Bank.
Tujuan analisis kredit adalah untuk meyakinkan Bank
bahwa kredit yang dimohonkan itu adalah layak dan
dapat dipercaya serta tidak fiktif.
87 Konsep 5C

 Character (Watak);
 Capacity (Kemampuan);
 Capital (Modal);
 Collateral (Jaminan);
 Condition (Keadaan)
88 Character (Watak)

Penilaian terhadap character perlu dilakukan untuk


mengetahui itikad baik dan kejujuran calon debitur
untuk membayar kembali kredit yang diterimanya.
Penilaian tersebut meliputi :
Moral;
Sifat;
Perilaku;
Tanggung jawab;
Kehidupan pribadi calon debitur.
89 Capacity (Kemampuan)

 Penilaian terhadap capacity adalah untuk mengetahui kemampuan


calon debitur untuk membayar kembali kredit serta bunganya.
 Penilaian kemampuan tersebut dilihat dari kegiatan usaha dan
kemampuan mengelola usaha yang akan dibiayai melalui kredit.
90 Capital (Modal)

 Penilain terhadap capital perlu dilakukan untuk mengetahui


jumlah modal yang dimiliki calon debitur cukup memadai untuk
menjalankan usahanya.
 Besarnya jumlah modal yang ditanam terutama berupa benda
bergerak dan tidak bergerak akan memberi daya tahan usaha
dalam menghdapi siklus atau fluktuasi ekonomi.
91 Collateral (Jaminan)

 Penilaian terhadap collateral perlu dilakukan


untuk mengetahui nilai barang jaminan yang
diserahkan calon debitur untuk menutupi risiko
kegagalan pengembalian kredit yang akan
diperolehnya.

 Barang jaminan berfungsi sebagai pengaman


terhadap kemungkinan ketidakmampuan calon
debitur melunasi kredit yang diterimanya.
92 Condition (Keadaan)

Penilaian terhadap condition perlu untuk dilakukan


untuk mengetahui kondisi pada suatu saat di suatu
daerah yang mungkin akan mempengaruhi kelancaran
usaha calon debitur.

Kondisi ekonomi ini meliputi juga peraturan atau


kebijaksanaan pemerintah yang memiliki dampak
terhadap keadaan perekonomian yang pada gilirannya
akan mempengaruhi kegiatan usaha calon debitur.
93 Klasifikasi Kredit

 Kriteria kegunaan
 Kriteria Tujuan
 Kriteria Jaminan
 Kriteria jangka waktu
94 Kriteria Kegunaan

1. Kredit investasi (invesment loan) adalah


kredit yang digunakan untuk membiayai
pengembangan atau perluasan usaha atau
pembangunan proyek baru yang
memerlukan jumlah dana besar dalam
jangka waktu yang lama.
2. Kredit modal kerja (productive loan) adalah
kredit yang digunakan untuk membiayai
usaha dalam rangka peningkatan produksi.
95 Kriteria Tujuan

1. Kredit Produktif (productive loan) adalah kredit yang


bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usaha atau
produksi suatu perusahaan, sehingga menghasilkan
barang dan atau jasa dalam jumlah yang besar;
2. Kredit Konsumtif (consumer loan) adalah kredit yang
bertujuan untuk memenuhi keperluan pribadi atau
keluarga dalam kegiatan kehidupan sehari-hari,
misalnya untuk perumahan, kendaraan bermotor;
3. Kredit Perdagangan (commercial loan) adalah kredit
yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan usaha
perdagangan, misalnya usaha pertokoan, kredit ekspor.
96 Kriteria Jaminan

1. Kredit dengan jaminan (secured loan) adalah kredit


yang dilindungi dan didukung oleh jaminan yang
nilainya sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
kredit yang diterima calon debitur.
2. Kredit tanpa jaminan (unsecured loan) adalah
kredit yang tidak dilindungi dan tidak didukung
oleh jaminan barang atau orang. Kredit ini hanya
didasarkan pada kepercayaan terhadap prospek
usaha yang cerah dan kejujuran calon debitur.
97 Kriteria Jangka Waktu

1. Kredit jangka pendek (short term loan) adalah


kredit yang jangka waktu pengembaliannya
kurang dari 1 (satu) tahun, misalnya untuk
modak kerja;
2. Kredit jangka menengah (medium term loan)
adalah kredit yang jangka waktu
pengembaliannya antara 1 (satu) sampai 3
(tiga) tahun, misalnya untuk modal investasi;
3. Kredit jangka panjang (long term loan) adalah
kredit yang jangka waktu pengembaliannya
lebih dari 3 (tiga) tahun, misalnya untuk
investasi proyek perkebunan kelapa sawit.
98 Batas Maksimum Pemberian
Kredit
 Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah batas
maksimum penyediaan dana yang diperkenankan untuk
disalurkan oleh Bank kepada peminjam atau kelompok peminjam
tertentu ( Pasal 1 huruf (a) SK Direksi Bank Indonesia
No.26/21/Kep/Dir).
99

Berdasarkan SK.Direksi Bank Indonesia


No.31/177/Kep/Dir tentang BMPK Bank Umum,
tanggal 31 Desember 1998, maka BMPK
dikelompokkan sbb:
BMPK untuk pihak tidak terkait ditetapkan setinggi-
tingginya 30 (tiga puluh) persen dari modal bank tersebut
berlaku sampai dengan akhir tahun 2001 dan terus
dikurangi setiap tahun 5 (lima) persen dan awal tahun 2003
harus tinggal 20 (dua puluh) persen dari modal bank.
BMPK untuk pihak terkait ditetapkan setinggi-tingginya
sebesar 10 (sepuluh) persen dari modal.
100 Pihak Terkait (Terafilisasi)

Pemegang saham yang memiliki saham sebesar 10


(sepuluh) persen;
Anggota dewan komisaris;
Anggota direksi;
Keluarga dari pihak-pihak tersebut di atas;
Pejabat bank;
Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat
kepentingan dari pihak-pihak dimaksud di atas, yaitu
yang kepemilikannya 25 (dua puluh lima) persen atau
lebih.
101 Perjanjian Kredit merupakan
Kontrak Standar
 Dalam UU Perbankan, tidak dijelaskan
dalam bentuk apa perjanjian kredit harus
dibuat. Hanya disebutkan bahwa kredit
merupakan kesepakatan antara bank
dengan nasabah debitur.
 Dalam ilmu hukum, kesepakatan dapat
dilakukan dengan cara lisan, tulisan dan
bahasa isyarat.
 Dalam praktek perbankan, perjanjian kredit
dibuat dalam model-model tersendiri yang
dituangkan dalam formulir-formulir
tertentu atau dengan akte notaris.
102

 Dengan metode interpretasi teleologis yang


dikenal dalam ilmu hukum bahwa dapat
dibenarkan pengaturan hukum perjanjian
kredit dengan kontrak standar.
 Kontrak standar perjanjian kredit artinya suatu
kontrak yang isinya sudah dipersiapkan
terlebih dahulu oleh bank secara sepihak dalam
formulir-formulir tertentu yang sudah
dibakukan dan pihak nasabah debitur tidak
mempunyai pilihan lain kecuali mengikutinya
atau menolaknya sama sekali (take it or leave
it).
Yang menjadi persoalan, apakah kontrak standar
secara
103
yuridis sah dan mempunyai akibat hukum
?
Ada beberapa pendapat baik dari penulis asing
maupun Indonesia sbb :
 Pitlo : kontrak standar adalah dwangcontract dengan
alasan kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perata sudah dilanggar.
Pihak yang lemah (nasabah debitur) terpaksa
menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat
lain.
 Sluijter : kontrak standar secara materil merupakan
legio particuliere wetgevers (pembentuk UU swasta)
dengan alasan kreditur (bank) secara sepihak
menentukan isi perjanjian.
 Eggens : kebebasan kehendak dalam perjanjian
merupakan tuntutan kesusilaan. Ini berarti kontrak standar
104
bertentangan dengan asas-asas hukum perjanjian (Pasal
1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata) dan kesusilaan, tetapi
dalam praktek perjanjian ini tumbuh karena keadaan
menghendakinya dan harus diterima sebagai kenyataan.
 Asser-Rutten : bahwa setiap orang yang menandatangani
kontrak bertanggung jawab pada isi dan apa yang
ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan
tanda tangan pada suatu formulir perjanjian baku, tanda
tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang
bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi
formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang
menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
105

 F.A.J.Gras : kontrak standar dengan pendekatan


sosiologi hukum menyimpulkan bahwa
perjanjian baku tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat modern yang menggunakan
organisasi dan planning sebagai pola hidup.
Perjanjian ini isinya direncanakan terlebih dahulu
oleh pihak yang berkepentingan karena mereka
mengharapkan agar apa yang dikehendakinya
akan menjadi kenyataan. Kontrak standar tidak
lain dari rasionalisasi hubungan hukum yang
terjadi dalam masyarakat modern.
106

Hondius : perjanjian baku mempunyai kekuatan


mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang
berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas
perdagangan.
Stein : perjanjian baku dapat diterima sebagai
perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan
kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak
mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika nasabah
debitur menerima dokumen perjanjian berarti ia
secara sukarela setuju pada isi perjanjian itu.
107

 Subekti : pelanggaran asas konsensualisme yang terdapat dalam


Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata akan mengakibatkan perjanjian
itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai UU.
108

 Mariam Darus : dasar berlakunya kontrak standar (kredit bank)


didasarkan atas fiksi. Penerima kredit dianggap menyetujuinya,
sungguhpun di dalam kenyataan nasabah debitur tidak
mengetahui isinya. Dalam perjanjian kredit secara formil nasabah
debitur menyetujuinya tetapi secara materil terpaksa
menerimanya. Adanya persesuaian kehendak adalah fiktip.
109 Kontrak standar ada 2 (dua) jenis
yaitu :
 Kontak standar umum yaitu kontrak yang bentuk dan isinya
telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur dan
disodorkan kepada debitur.
 Kontrak standar khusus yaitu kontrak standar yang ditetapkan
oleh pemerintah baik adanya dan berlakunya perjanjian itu
untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.
 Remy Sjahdeini : keabsahan berlakunya kontrak baku
110tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena kontrak baku
eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baku
lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat
belangsung tanpa kontrak baku.
 Yang masih dipersoalkan adalah sifat berat sebelah dan
tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat
memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian itu
merupakan perjanjian menindas dan tidak adil. Yang
dimaksud dengan berat sebelah adalah kontrak itu hanya
atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak
saja yaitu pihak yang mempersiapkan kontrak standar itu,
tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajibannya.
Demikian pula sebaliknya bagi pihak yang menerima
kontrak baku tersebut.
111

 Di Belanda : kontrak standar diatur dalam UU (NBW) untuk


melindungi ekonomi lemah dan juga diatur dalam yurisprudensi.
 Di Amerika : mengingat sistem common law, persoalan kontrak
standar merupakan persoalan tentang sikap hakim dalam
memeriksa perkara kontrak standar.
112

 Whitman dan Gergacz menyimpulkan bahwa hakim di AS dalam


beberapa perkara enggan untuk memberlakukan kontrak-kontrak
yang bersifat adhesi (kontrak standar).
 Corley dan Shedd menjelaskan adanya perbedaan sikap dari
pengadilan-pengadilan sebelum dan sesudah tahun 60 an.
113 Sebelum tahun 1960

 Mula-mula common law tidak mengacuhkan


kenyataan bahwa perjanjian baku dibuat oleh
pihak-pihak yang tidak seimbang pengetahuan
dan kedudukannya, dengan berpegang pada
doktrin caveat emptor, yang intinya let the buyer
beware. Jadi, pengadilan (hakim) mengharapkan
bahwa para pembeli yang bertransaksi dengan
pemilik manufacture (pelaku usaha) hendaknya
dapat menjaga diri mereka sendiri.
114 Sesudah tahun 1960

pengadilan mengawasi penyalahgunaan oleh


pihak yang lebih kuat dalam kontrak standar.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
dipakai doktrin baru yaitu doktrin
unconscionability, yang intinya memberikan
wewenang kepada hakim untuk
mengenyampingkan sebahagian bahkan seluruh
perjanjian demi menghindari hal-hal yang
dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani.
Dengan doktrin ini, kontrak standar tetap saja
bukan tidak sah tetapi perlu diteliti sehubungan
dengan keadilan dari kontrak itu.
115 Dasar Berlakunya Syarat Baku

1. Segi hukum : keterikatan pihak-pihak dapat


dibuktikan dengan penandatanganan perjanjian
atau penerimaam dokumen perjanjian.
2. Segi kemasyarakatan :
Menurut ajaran penundukan kemauan
(wilsonderwerping) dari Zeylemaker bahwa
orang mau tunduk karena ada pengaturan yang
aman dalam lalu lintas masyarakat, yang
disusun oleh orang ahli dalam bidangnya dan
tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak
dapat berbuat lain daripada tunduk.
116

 Stein : kebutuhan praktis dalam lalu lintas masyarakatlah


yang menyebabkan pihak lain terikat pada semua syarat
baku tanpa mempertimbangkan apakah ia memahami
syarat-syarat itu atau tidak asal ia dapat mengetahuinya.
 Hondius : memberi tanggapan terhadap Zeylemaker bahwa
pendapat Zeylemaker dipakai sebagai dasar keterikatan
konsumen tetapi dengan ketentuan bahwa keterikatan itu
dilengkapi dengan alasan kepercayaan. Jadi,
penandatanganan tidak hanya terikat karena ia mau
melainkan juga percaya pada pihak lain berdasarkan
perhitungannya.
117

3. Segi ekonomi : Zonderland mengggunakan pendekatan riil


bahwa keterikatan konsumen pada syarat-syarat baku karena
konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus menerima
apapun yang tercantum dalam syarat-syarat baku dengan
harapan ia luput dari musibah (halangan), satu harapan yang
dilihat secara statistik kemungkinan besar terpenuhi.
118 Kesimpulan penulis

1. Hukum memiliki dua unsur yakni unsur ideal dan riil


hukum. Unsur ideal hukum adalah unsus-unsur yang
membentuk hukum dari nilai, asas-asas yang dituangkan
dalam hukum positif, sehinggga sifatnya normatif (hukum
dogmatis). Unsur riil hukum adalah masyarakat sebagai
wadah berlangsungnya hukum dapat mempengaruhi nilai,
asas-asas dan noram hukum melalui faktor-faktor non
hukum (ekonomi, politik, sosial, budaya, dsb).
2. Perjanjian kredit sebagai kontrak standar tidak identik
dengan kontrak standar pada umumnya karena tujuannya
bukan semata-mata untuk kepentingan bisnis tetapi juga
pembangunan bangsa.
119 Kesimpulan penulis

3. Perjanjian standar dapat dilihat dari 2 (dua)


aspek yaitu :
a. Aspek teoritis yuridis normatif, bahwa perjanjian
standar tidak memenuhi asas-asas yang terdapat
dalam Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata;
b. Aspek praktis ekonomis sosiologis, bahwa
perjanjian standar merupakan suatu kebutuhan
masyarakat (kebiasaan) yang memberikan
keuntungan bagi penggunaannya dengan menerima
segala persyaratan yang telah dirancang dan percaya
bahwa persyaratan tersebut memberikan rasa aman
karena sudah direncanakan oleh ahli-ahli dari
organisasi perusahaan.
120 Kesimpulan penulis

4. Keabsahan kontrak standar tidak perlu dipersoalkan namun


substansinya masih dipertanyakan karena tidak mencerminkan
keadilan khususnya perimbangan hak dan kewajiban para
pihak.
121 Kredit Macet dan Kredit
Bermasalah (problem loan)
 Istilah kredit macet di lingkungan perbankan
dipakai berdasarkan SEBI No.23/12/BPPP
tanggal 28 Februari 1991 jo SEBI
No.26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993, yang
membagi kredit bank berdasarkan tingkat
kelancaran atas 4 (empat) kategori yaitu :
1. Kredit lancar
2. Kredit kurang lancar
3. Kredit diragukan
4. Kredit macet.
122

 Kredit lancar, apabila semua pembayaran kembali baik ditinjau


dari sudut pinjaman pokok maupun bunga berjalan dengan baik.
Kurang lancar, apabila terdapat penunggakan untuk waktu yang
tidak terlalu lama. Diragukan, apabila terdapat penunggakan yang
semakin membesar. Macet, apabila penunggakan tersebut
berjalan dalam waktu lama.
Yang menjadi persoalan, apakah kredit macet
identik
123 dengan kredit bermasalah

Menurut penulis, tidak sama karena kredit bermasalah


terjadi apabila bank menghadapi kategori kredit kurang
lancar, diragukan dan macet. Ini berarti bahwa kredit
macet adalah bagian dari kredit bermasalah. Akibatnya
bahwa dalam penyelesaian hukumnya juga tidak sama.
Jika bank dalam perjalanan pemberian kreditnya
melihat nasabah debitur dalam posisi kredit bermasalah
maka bank yang bersangkutan harus berupaya
menyelamatkan kreditnya.
124

 Cara penyelesaian kredit bermasalah dan kredit macet dapat


dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu : pertama dengan SEBI dan
kedua melalui eksekusi.
125

 Menurut SEBI No.23/12/BPPP tahun 1991


angka 9 bahwa kredit yang diselamatkan
adalah kredit yang semula tergolong
diragukan atau macet kemudian diusahakan
untuk diperbaiki sebagaimana tercermin
dalam akad penyelamatan kredit.
 Penulis berpendapat bahwa kredit yang perlu
diselamatkan adalah kredit yang bermasalah,
jadi bukan hanya kredit macet.
126 Bentuk dari penyelamatan kredit
menurut SEBI tersebut adalah :
1. Penjadwalan kembali (resccheduling) yaitu
perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut
jadwal pembayaran atau atau jangka waktu
termasuk masa tenggang baik yang meliputi
perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
2. Persyaratan kembali (reconditioning) yaitu
perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat
kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal
pembayaran, jangka waktu, dan persyaratan lainnya
sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum
saldo kredit;
127

3. Penataan kembali (restructuring) yaitu perubahan syarat-syarat


kredit yang menyangkut penambahan dana baik dan atau
konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi
pokok kredit baru dan atau konversi seluruh atau sebagian dari
kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
128

Penyelamatan kredit dapat juga dilakukan dengan cara


penyertaan (equity participation) yakni bank ikut serta
dan ambil bagian dalam usaha yang semula hanya
dalam keadaan pembiayaan saja kemudian ambil bagian
dalam permodalan atau pengelolaan (manajemen).
Tindakan ini bersifat sementara bukan permanen sambil
mengatasi kesulitan-kesulitan nasabah debitur.
Cara lain yang sedang dipikirkan adalah melalui
Restrukturisasi Hutang Perusahaan (RUU lagi
diperbincangkan) bukan dengan memfailitkan
perusahaan tersebut. Kalau UU Restrukturisasi Hutang
sudah dikeluarkan maka Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) tidak diperlukan lagi.
129 Penyelesaian kredit dengan
eksekusi :
1) Melalui Pengadilan Negeri
2) Melalui Arbitrase
3) Melalui BUPN
4) Melalui Parate eksekusi
5) Melalui Usaha Factoring.
130

 Menyelesaikan kredit macet melalui grosse akta yang


memiliki titel eksekutorial, perlu fiat pengadilan.
Menyelesaikan kredit macet melalui parate eksekusi
sebagaimana Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata
mengalami kesulitan karena kantor lelang tidak
berani menjual sebelum ada izin Pengadilan Negeri.
Bahkan bedasarkan putusan Mahkamah Agung
No.3201 K/Pdt/1984 tgl 30 Januari 1986 mengatakan
penjualan lelang berdasarkan parate eksekusi yang
telah dilakukan tanpa melalui ketua Pengadilan
Negeri (PN Bandung) adalah perbuatan melawan
hukum dan lelang yang bersangkutan adalah batal.
131 Pengaturan Kredit Macet
Dalam UU No.10 Tahun 1998
 Dalam UU No.10 Tahun 1998 mengenai kredit macet dijumpai
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c yang mengatakan “dalam hal
suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan agar bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang macet dan memperhitungkan
kerugian bank dengan modalnya”.
132

Istilah penghapusbukuan kredit macet di


dalam literatur disebut “Write off” kredit macet.
Menurut Black’s law Dictionary, write off
memiliki arti to remove from books of account
a debt which has become worthless.
Yang menjadi persoalan, bagaimana
persyaratan write off dapat dilakukan oleh bank
? Berdasarkan pasal 37 UU Perbankan bahwa
bank-bank yang telah memiliki cadangan yang
cukup dapat melakukan write off kredit macet
setelah memperoleh pertimbangan dan izin
Bank Indonesia.
133

 Bagaimana dengan pemegang saham, apa izin tersebut perlu


diminta juga ? Menurut penulis, bank-bank yang melakukan write
off kredit macet perlu meminta persetujuan dari pemegang
saham. Oleh karena itu tidak mudah untuk mengambil tindakan
write off kredit macet sebab cadangan dana itu adalah untuk
pengembangan dan jaminan kelangsungan usaha bank.
 Menurut Soedrajad Djiwandoono, persyaratan unttuk
134 melakukan write off adalah :
1. Kredit yang dihapusbukukan adalah kredit yang
dikategorikan macet sejak 3 tahun atau lebih;
2. Kredit yang akan dihapusbukukan itu merupakan kredit
yang macet kurang dari 3 tahun, jika :
a. Nasabah debiturnya tidak diketemukan lagi atau tidak
diketahui dimana rimbanya.
b. Nasabah debitur sudah tidak sanggup melunasi kreditnya.
c. Usaha nasabah debitur sudah tidak memiliki prospek usaha.
d. Nasabah debitur yang nilai agunan kreditnya yang dikuasai
bank di bawah saldo kredit.
e. Nasabah debitur yang meskipun nilai agunannya di atas saldo
kreditnya tetapi pengikatan agunannya secara yuridis lemah.
135

3. Bank yang akan menghapuskan kredit


macetnya sudah memiliki cadangan
yang mencukupi untuk
penghapusbukuan tersebut.
136 Jaminan Dalam Perjanjian
Kredit Bank
 Analisis jaminan dalam perjanjian kredit bank harus dilihat
dengan pendekatan sistem, artinya jaminan yang diatur dalam UU
Perbankan tidak terlepas dari keterkaitannya dengan buku II dan
II KUH Perdata.
137

 Dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.10 Tahun 1998 dikatakan bahwa


“dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.
 Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut
dikatakan bahwa kredit atau pembiiayaan
138berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank
mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya
bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat.
Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
dalam arti keyakinan atas kemmapuan dan
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan
merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemapuan,
modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah
debitur.
139

 Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur


pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-
unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas
kemampuan nasabah debitur mengembalikan
utangnya, agunan dapat berupa barang, proyek, atau
hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan
pada hukum adat, dan lain-lain yang sejenis dapat
digunakan sebagai agunan. Bank tidak wqjib
meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan
langusng dengan obyek yang dibiayai, yang lazim
dikenal dengan agunan tambahan.
140

 Di samping itu, bank dalam pemberian kredit, atau pembiayaan


berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi
perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi agar
proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
141 Beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam pemberian kredit
sebagai berikut :
1. Pemberian kredit tidak selalu harus diikuti dengan
pengikatan jaminan tambahan yang bersifat
materil;
2. Kredit hanya diberikan berdasarkan kemampuan
dan kesanggupan nasabah debitur untuk
mengembalikan utangnya;
3. Jaminan utama dalam pemberian kredit adalah
proyek yang dibiayai dengan kredit tersebut dapat
berupa barang berwujud atau tidak berwujud (hak
tagih);
4. Sebelum memberikan kredit, bank wajib menganalisis
142 mengenai faktor The five C’s yaitu watak (character),
kemampuan (capacity), modal (capital), agunan
(collateral) dan prospek usaha (contidition of
economy);
5. Untuk menghindari risiko dalam pemberian kredit,
bank wajib memperhatikan tingkat kesehatannya;
6. Pemberian kredit harus memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan;
7. Pemberian kredit didasarkan kepada asas kesepakatan
dan dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis.
143

 Sebagai bahan perbandingan, pemberian kredit dalam UU No.14


Tahun 1967 Pasal 24 mengatakan bahwa bank umum tidak memberi
kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga. Adanya larangan secara
normatif dalam pemberian kredit disebut dengan istilah
Commandeteringsverbod. Dalam UU ini secara jelas ditegaskan
persyaratan jaminan (collateral) yang ditafsirkan sebagai hal yang
mutlak. Dengan perkataan lain jaminan tersebut bersifat yuridis
materil yang bertujuan sebagai tindakan pencegahan (preventif) dari
kreditur terhadap perbuatan ingkar janji nasabah debitur. Selain itu
juga dapat mengurangi tingkat risiko dan menyelamatkan (safety)
kredit dari nasabah debitur yang nakal (beritikad buruk, te kwader
trouw).
144

 Dalam UU No.10 Tahun 1998, dengan tidak ada


aturan tersebut, secara normatif memberikan
peluang kepada nasabah debitur yang te kwader
trouw untuk memanfaatkan celah yuridis yang
dapat merugikan kreditur. Oleh karena itu,
menurut penulis, perlu ketentuan Pasal 8 UU
Perbankan dikaji ulang dengan mengambil alih
kembali norma hukum yang tercantum dalam
Pasal 24 UU No.14 tahun 1967.
145

 Kalau dilihat dalam KUH Perdata landasan


sistematika hukum jaminan secara umum dapat
dijumpai pada Pasal 1131 yang mengatakan “segala
kebendaan, baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatannya perseorangan”. Dalam
praktek pasal tersebut belum memberikan rasa
kepuasan dan keamanan bagi bank karena tidak
memberikan kedudukan yang preferen. Oleh karena
itu selalu, bank memintakan jaminan yang bersifat
khusus dari nasabah debitur baik yang bersifat
kebendaan maupun perorangan.
146 Pengertian Jaminan
 Dalam ilmu hukum jaminan, yang dimaksud dengan
jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari
suatu perikatan hukum.
 Pengertian ini lebih cenderung mendekati arti
jaminan secara materil karena menjamin kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang pada hakekatnya
menyerahkan sesuatu benda yang bernilai ekonomis.
 Perikatan hukum dalam pengertian jaminan
maksudnya adalah perjanjian jaminan yang bersifat
khusus yang memberikan hak istimewa kepada
krediturnya.
147 Sistem Hukum Jaminan Nasional

 Secara garis besar sistem hukum jaminan


(Nasional) terdiri dari:
1. sistem hukum jaminan perorangan
(persoonlijke zekerheidsrecht) yang
meliputi borgtocht (Pasal 1820 – 1850
KUH Perdata) dan avalist (Pasal 129- 131
KUH Dagang) dan
2. sistem hukum jaminan kebendaan
( zakelijke zekerheidsrecht) yang meliputi
hipotek (Pasal 1162 – 1232 KUH Perdata),
hak tanggungan (UU No.4 Tahun 1996),
pand atau gadai (Pasal 1150 – 1160 KUH
Perdata) dan fidusia (UU No.42 Tahun
1999).
148 Jaminan Perorangan

Jaminan perorangan adalah jaminan yang


tidak bersifat kebendaan dari seseorang sebagai
penjamin bagi kreditur baik menjamin
pemenuhan kewajibannya sendiri maupun
pemenuhan kewajiban orang lain berdasarkan
suatu perikatan hukum.
Ciri dari jaminan perorangan adalah bersifat
assesor, tidak memberikan hak yang
didahulukan atas benda-benda tertentu tetapi
hanyalah dijamin oleh harta kekayaan
seseorang melalui orang yang menjamin
pemenuhan perikatan hukum tersebut.
149 Jaminan kebendaan

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa


hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai
ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak
yang didahulukan di atas benda-benda tertentu
(droit de preference) dan mempunyai sifat melekat
dan mengikuti benda yang bersangkutan (droit de
suite).
Dalam jaminan kebendaan, bank dan nasabah
debitur memperjanjikan secara khusus mengenai
benda yang menjadi obyek jaminan. Oleh karena
itu, jaminan kebendaan tergolong ke dalam
jaminan yang bersifat khusus.
150

 Dalam praktek perbankan, jaminan yang bersifat kebendaan lebih


disukai oleh kreditur dibandingkan dengan jaminan yang bersifat
perorangan, karena jika nasabah wanprestasi maka kreditur dapat
merealisir kredit melalui penjualan barang jaminan.
151 MERGER, KONSOLIDASI
DAN PELEBURAN
 Dasar Hukum :
a) Diatur dalam Pasal 102 - 109 UU No.1 Tahun
1995 dengan istilah Penggabungan, Peleburan
dan Pengambilalihan;
b) Diatur dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 37
ayat (1) huruf d UU No.10 Tahun 1998 dengan
istilah Merger, Konsolidasi dan Akuisisi;
c) Diatur dalam Pasal 84 UU No.8 Tahun 1995
dengan istilah Penggabungan, Peleburan atau
Pengambilalihan;
152

d) Diatur dalam Pasal 15 - 20 Peraturan Pemerintah No.


70 Tahun 1992 dengan istilah Merger, Konsolidasi dan
Akuisisi;
e) Diatur dalam Pasal 2 A Peraturan Pemerintah No.40
Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No.68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Dan
Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran Dan
Likuidasi Bank dengan istilah Penggabungan,
Peleburan atau Pengambilalihan bank;
f) Diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan R.I
No.222/KMK.017/1993 Tentang Persyaratan dan Tata
Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank;
153 Kesimpulan

 Penggunaan istilah baik yang diatur dalam UU,


Peraturan Pemerintah maupun SK Menteri
Keuangan masih bervariasi alias tidak konsisten.
Walaupun demikian secara khusus mengenai
perbankan terdapat keseragaman pemakaian
istilah yakni Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
Bank kecuali dalam PP No.40 Tahun 1997.
Dalam UUPT dan UU Pasar Modal dipakai
istilah Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan.
154 Istilah
 Dari keanekaragaman istilah yang diberikan oleh peraturan perundangan
menunjukkan bahwa lemahnya pembentukan undang-undang dalam menggunakan
unsur-unsur yuridis sehingga tidak berada dalam suatu sistem.
 Sebelum keluarnya UUPT, di bidang perbankan telah dipakai secara lebih dahulu
istilah Merger, Konsolidasi dan Aukisisi Bank (UU No.7 Tahun 1992, PP No.70
Tahun 1992 dan SK Menteri Keuangan No.222/KMK.017 Tahun 1993). UUPT
menggunakan istilah Penggabungan untuk arti yang sama dengan Merger,
Konsolidasi untuk arti yang sama dengan Peleburan dan Akuisisi untuk arti yang
sama dengan Pengambilalihan. Perbedaan ini mungkin disebabkan bahwa istilah
aslinya dari bahasa asing merger, consolidation and acquisition yang pada awalnya
belum dicarikan padanan katanya, kemudian setelah UUPT dipergunakan istilah
Indonesianya.
155 Pengertian

 Dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 dan


Pasal 1 SK Menteri Keuangan No.222/KMK.017 Tahun 1993
dikemukakan :
 Merger (penggabungan usaha) adalah penggabungan dari dua
bank atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu bank dan melikuidasi bank-bank lainnya.

 Konsolidasi (peleburan usaha) adalah penggabungan dari dua


bank atau lebih dengan cara mendirikan bank baru dan
melikuidasi bank-bank yang ada.

 Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank.


156 Merger

Menurut Remy Sjahdeini, baik merger maupun konsolidasi


yang terjadi adalah suatu perusahaan mengambil alih semua
aktiva (assets) dan semua pasiva (liabilities) dari perusahaan
lain. Dengan demikian, merger dan konsolidasi akan
menghasilkan suatu kombinasi baik aktiva maupun pasiva
dari perusahaan yang mengambil alih dan perusahaan yang
diambil alih.
Dilihat dari sisi hukum merger dan konsolidasi berbeda
yaitu merger adalah absorbsi suatu perusahaan oleh
perusahaan lainnya. Perusahaan yang mengambil alih (the
acquiring firm) tetap memakai nama dan identitasnya.
Setelah merger terjadi maka perusahaan yang diambil alih itu
berhenti eksistensinya sebagai suatu business entity yang
mandiri.
157 Konsolidasi

 Pada konsolidasi, yang terjadi adalah


terbentuknya perusahaan yang baru sama sekali.
Dalam suatu konsolidasi, baik perusahaan yang
diambil alih (the acquired firm) berakhir
eksistensi yuridisnya dan menjadi bagian dari
perusahaan yang baru itu. Dalam konsolidasi ini
tidak dipersoalkan secara spesifik siapa yang
mendapatkan siapa. Hal ini untuk menghindari
perasaan yang tidak mengenakkan antara kedua
perusahaan tersebut.
158 Akuisisi

 Akuisisi terdiri dari dua jenis yakni akuisisi saham dan


akuisisi aset (aktiva). UU Perbankan dan UUPT mengenal
akuisisi saham (acquition of stock) bukan akuisisi aset
(acqution of assets).
 Dalam Pasal 103 ayat (1) dikatakan bahwa
pengambilalihan perseroan dapat dilakukan oleh badan
hukum atau orang perseorangan, sedangkan ayat (2)
mengatakan pengambilalihan dapat dilakukan melalui
pengambilalihan seluruh atau sebagian besar saham yang
dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
perseroan tersebut.
159

 Secara yuridis, pembelian saham dilakukan secara langsung antara pembeli dengan
para pemegang saham dan bukan dengan direksi perusahaan tersebut. Namun hal
ini harus dilakukan dengan bersahabat artinya dengan pendekatan kepada direksi
agar tidak terjadi hambatan. Jika proses akuisisi saham tanpa mendapat hambatan
dari direksi maka hal ini disebut Friendly takeover.
 Sebaliknya jika akuisisi saham akan merugikan kepentingan direksi perusahaan
maka biasanya mendapat tantangan berupa adanya keberatan pembelian atas saham
dari perusahaan itu. Akuisisi saham yang tidak bersahabat ini disebut Unfriendly
takeover atau hostile takeover.
 Akuisisi aktiva adalah cara pengambilalihan dengan membeli aktiva perusahaan
lain. Pembelian dilakukan kepada perusahaan yang diwakili oleh direksi
perusahaan dan bukan kepada pemegang sahamnya.
160 Merger

Mengenai merger, dalam praktek dikenal adanya


3 jenis merger yakni merger horisontal, merger
vertikal dan merger konglomerat.
Merger horisontal adalah merger yang terjadi
antara 2 buah perusahaan yang mempunyai line of
business yang sama atau tingkatan yang sama.
Misalnya merger antara bank umum dengan bank
umum (merger bank Duta, Bukopin dan bank Tugu
dengan nama Palapa pada bulan Juli 1998. Merger
bank Sertivia, bank Hastin, bank Central Dagang
dan bank Prima Ekspres).
161 Merger

 Merger vertikal adalah merger yanag dilakukan oleh suatu


perusahaan karena perusahaan itu bermaksud untuk melalukan
ekspansi ke hulu ke arah sumber bahan baku atau ke hilir ke arah
konsumen akhir dari perusahaan itu. Dapat juga dikatakan merger
vertikal adalah merger antara perusahaan yang tidak setingkat
seperti merger antara bank umum dengan bank perkreditan
rakyat.
162

 Merger konglomerat adalah merger yang tidak termasuk


dalam horisontal dan vertikal yang meliputi 3 jenis yaitu :
 Geographic extention merger yaitu merger yang terjadi pabila
perusahaan yang mengambil alih menjadi mendominasi pasaran.
 Product extention merger yaitu merger yang terjadi apabila
perusahaan yang saling melebur memproduksi barang atau jasa yang
saling berkaitan satu sama lain.
 Merger konglomerat yaitu merger yang terjadi antara perusahaan
yang line of businessnya tidak berkaitan. Dengan perkataan lain,
perusahaan yang saling melebur merupakan perusahaan yang
produksinya tidak berkaitan dan sebelumnya tidak terdapat hubungan
ekonomi secara fungsional.
163

 Menurut Pasal 3 SK Menteri Keuangan No.222/KMK.017 Tahun


1993, merger atau konsolidasi antar bank dapat dilakukan : antar
bank umum, antara bank umum dengan bank perkreditan rakyat
dan antar bank perkreditan rakyat. Menurut UU No.10 tahun
1998, merger atau konsolidasi ini dapat dilakukan dengan izin
Bank Indoneesia. Sebelumnya adalah izin Menteri Keuangan.
164 Akuisisi Bank

 Mengenai akuisisi bank, Pasal 17 ayat (1) SK


Menteri Keuangan No.222 tersebut mengatakan
bahwa akuisisi bank yang wajib memperoleh
izin Menteri Keuangan (sekarang cukup izin
Bank Indonesia) ialah :
1. Akuisisi bank umum yang mengakibatkan
penguasaan kepemilikan saham bank umum
lebih dari 50 % dari seluruh saham bank umum
yang diambil alih;
2. Akuisisi bank perkreditan rakyat yang melebihi
50 % dari seluruh saham bank perkreditan
rakyat yang diambil alih.
165

 Merger atau konsolidasi antara bank umum


dengan bank perkreditan rakyat hanya dapat
dilakukan apabila tingkat kesehatan bank bank
perkreditan rakyat tergolong kurang sehat atau
tidak sehat dan tingkat kesehatan bank hasil
merger atau konsolidasi sekurang-kurangnya
menjadi cukup sehat. Selain bahwa bank umum
yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk
membuka kantor cabang

Anda mungkin juga menyukai