Anda di halaman 1dari 11

Teori Pemungutan Pajak

Mardiasmo (2009) menyebutkan beberapa teori untuk


sebagai dasar yang membenarkan negara memungut
pajak yaitu:
1. Teori asuransi
Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara
bertugas untuk melindungi orang dan segala
kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa juga
harta bendanya.
Pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran
dengan pembayaran premi, seperti halnya perjanjian
asuransi (pertanggungan), maka untuk perlindungan
diperlukan pembayaran berupa premi.
Walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak
tepat karena :
a. Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian
dari Negara.
b. Antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa
yang diberikan oleh Negara, tidaklah terdapat hubungan
yang langsung.

Namun teori ini tetap dipertahankan, sekadar untk memberi


dasar hukum kepada pemungutan pajak saja.

Karena pincangnya persamaan tadi, menimbulkan


ketidakpuasan, disamping karena ajaran bahwa pajak bukan
retribusi, maka makin lama makin berkuranglah penganut teori
ini.
2. Teori kepentingan
Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara
melindungi kepentingan jiwa dan harta benda warganya,
teori ini memperhatikan pembagian beban pajak yang
harus dipungut dari seluruh penduduk.
Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan
orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang
bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa
beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara untuk
menunaikan kewajibannya, di bebankan kepada mereka.
Terhadap teori ini banyak yang menyanggah. Karena dalam
ajarannya pajak dikacaukan dengan retribusi.

Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap harta benda


yang lebih banyak harganya dari pada harta si miskin harus
membayar pajak lebih besar dalam hal tertentu, misalnya
dalam perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga
sebagai konsekuensinya harus membayar pajak lebih
banyak, dan inilah suatu hal yang bertentangan dengan
kenyataan.

Untuk mengambil kepentingan seseorang dalam usaha


pemerintah sebagai ukuran, sejak dahulu belumada alat
pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan
tegas. Makin lama teori ini pun ditinggalkan.
3. Teori Bakti.
Orang-orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya
persekutuan, tidaklah akan ada individu. Oleh karena
persekutuan itu (yang menjelma jadi Negara) berhak atas
satu dan lain.
Sejak berabad-abad hak ini telah diakui, dan orang-orang
selalu menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk
membuktikan tanda baktinya terhadap Negara dalam
bentuk pembayaran pajak.
Teori ini mengajarkan bahwa penduduk adalah bagian dari
suatu negara oleh karena itu penduduk terikat pada negara
dan wajib membayar pajak pada negara dalam arti berbakti
pada negara.
4. Teori Daya Beli.
Teori ini tidak mempersoalkan asal mula Negara memungut pajak,
hanya melihat kepada efeknya, dan dapat memandang efek yang
baik itu sebagai dasar keadilannya.
Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk
rumah tangga Negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke
masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat
dan untuk membawanya kearah tertentu.
Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan
masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan
pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan
kepentingan Negara, melainkan kepentingan masyarakat yang
meliputi keduanya. Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada
fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur.
5. Teori Daya Pikul.
Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan
pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh Negara
pada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta
bendanya.
Untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya, biaya ini dipikul
oleh orang yang menikmati perlindungan itu, berupa pajak.
Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan
pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak
harus dipikul menurut gaya pikulnya dan sebagai
ukurannya, dapat dipergunakan selain besarnya
penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau
pembelanjaan seseorang.
6. Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong
royong. Gotong royong berbeda dengan tolong menolong.
Gotong royong adalah usaha yang dilakukan secara bersama
tanpa diberi imbalan, yang ditujukan untuk kepentingan
umum atau kepentingan bersama, seperti membuat jalan
umum, menjaga keamanan daerah, dan sebagainya.
Pajak adalah salah satu bentuk gotong royong yang tidak
perlu dipersyaratkan, melainkan sudah hidup dalam
masyarakat Indonesia, yang hanya perlu dikembangkan lebih
lanjut.
Jadi, berdasarkan Pancasila, pungutan pajak dapat
dibenarkan karena pembayaran pajak dipandang sebagai
uang yang tidak keluar dari lingkungan masyarakat tempat
wajib pajak hidup.
Asas Pengenaan Pajak
Dalam era globalisasi saat ini batas negara menjadi tidak
jelas bagi wajib pajak dalam mencari dan memperoleh
penghasilan, sehingga penentuan cara pemungutan pajak
menjadi penting untuk menentukan negara mana yang
berhak memungut pajak.
Dalam pemungutan pajak penghasilan ada 3 (tiga) macam
cara yang bisa dilakukan:
a. Asas domisili
b. Asas sumber
c. Asas kebangsaan
1. Asas domisili, dalam asas ini pemungutan pajak
berdasarkan domisili atau tempat tinggal Wajib Pajak dalam
suatu negara.
Negara dimana Wajib Pajak bertempat tinggal berhak
memungut pajak terhadap wajib pajak tanpa melihat dari
mana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh,
baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan tanpa
melihat kebangsaan atau kewarganegaraan wajib pajak
tersebut.
2. Asas sumber, yaitu asas pemungutan pajak berdasarkan
pada sumber pendapatan/penghasilan dalam suatu negara.
Menurut asas ini, negara yang menjadi sumber
pendapatan/penghasilan tersebut berhak memungut pajak
tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib
pajak.
3. Asas kebangsaan, yaitu asas pemungutan pajak
berdasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan
dari Wajib Pajak, tanpa melihat dari mana sumber
pendapatan/penghasilan tersebut maupun di negara mana
tempat tinggal (domisili) dari wajib pajak yang
bersangkutan.

Indonesia menganut asas world wide income berdasarkan


Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu:
“yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Anda mungkin juga menyukai