Hi!
Kelompok 1
Nama Anggota :
Kelompok 1
Pasal 1
Ditetapkan Perubahan Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat sebagaimana tercantum dalam
Lampiran.
Pasal 2
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Obat yang telah disetujui pendaftarannya sesuai
dengan penggolongan dan pembatasan obat sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan
masih tetap berlaku.
(2) Penggolongan dan pembatasan Obat, pada ayat (1) harus disesuaikan dengan ketentuan dalam
Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
Pasal 3 (Saat Peraturan Menteri mulai berlaku)
1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 925/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar Perubahan
Golongan Obat No. 1 sepanjang mengatur selain obat Oxymetazoline, Hexetidine, Benzoxonium,
dan Choline Theophyllinate,
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1527/Men.Kes/SK/XII/1997 tentang Daftar Perubahan
Golongan Obat No. 2 sepanjang mengatur selain obat Crotamiton
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1175/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Perubahan
Golongan Obat No. 3, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
DAFTAR PERUBAHAN PENGGOLONGAN,
1. Perubahan Penggolongan Obat
PEMBATASAN, DAN KATEGORI OBAT
NO NAMA GENERIK OBAT GOLONGAN SEMULA GOLONGAN BARU PEMBATASAN
1 Terbinafine Obat Keras Obat Bebas Terbatas Sediaan topical untuk
kulit
Kadar ≤ 1%,
kemasan tidak lebih
dari tube 10 g
2 Famotidine Obat Keras Obat Bebas Terbatas Tablet, kapsul ≤ 10
mg, kemasan tidak
lebih dari 10 tablet,
kapsul
3 Diclofenac diethylamine Obat Keras Obat Bebas Terbatas Sediaan topikal,
kadar ≤1%
4 Selenium Sulfide Obat Keras Obat Bebas Terbatas Sediaan topikal
untuk ketombe
Kadar > 1 % dan
tidak lebih dari 2,5%
5 Piroxicam Obat Keras Obat Bebas Terbatas Sediaan topikal
untuk ketombe
Kadar > 1 % dan
tidak lebih dari 2,5%
6 N-Acetylcysteine Obat Keras Obat Bebas Terbatas Sediaan oral, kadar ≤
200 mg per takaran
7 Bifonazole Obat Keras Obat Bebas Terbatas Sebagai obat luar untuk infeksi
jamur
Kadar ≤ 1%, kemasan tidak lebih
dari tube 15 g & botol 15 ml
8 Cetirizine Obat Keras Obat Bebas Terbatas tablet kapsul kadar ≤ 10 mg kemasan
tidak lebih dari 10 tablet kapsul
Sirup kadar ≤ 5 mg/5 ml, kemasan
tidak lebih dari 60 ml
9 Loratadine Obat Keras Obat Bebas Terbatas Tablet kapsul kadar ≤ 10 mg kemasan
tidak lebih dari 10 tablet kapsul
Sirup kadar ≤ 5 mg/5 ml, kemasan
tidak lebih dari 60 ml
10 Fexofenadine HCl Obat Keras Obat Bebas Terbatas Tablet, Kadar ≤ 60 mg, kemasan tidak
lebih dari 10 tablet, indikasi hanya
untuk allergic rhinitis, serta
penggunaan untuk dewasa dan anak
diatas 12 tahun
11 Tolnaftate Obat Bebas Obat Bebas Terbatas Sebagai obat luar untuk infeksi jamur
lokal, kadar ≤1%
12 Lidocaine Obat Bebas Obat Keras -
Terbatas
13 Benzocaine Obat Bebas Obat Keras -
Terbatas
2. Perubahan Pembatasan Obat DAFTAR PERUBAHAN PENGGOLONGAN,
PEMBATASAN, DAN KATEGORI OBAT
NO NAMA OBAT GOLONGAN PEMBATASAN
GENERIK
1 Bromhexine Obat Bebas Terbatas • Tablet, kapsul ≤ 8 mg, kemasan tidak lebih dari 10 tablet,
kapsul −
• Sirup, suspensi ≤ 4 mg/5ml, kemasan tidak lebih dari 60 ml
2 Diphenhydramine Obat Bebas Terbatas • Tablet, kapsul ≤ 25 mg, kemasan tidak lebih dari 10 tablet,
kapsul −
• Sirup, suspensi ≤ 12,5 mg/5 ml, kemasan tidak lebih dari 60
ml
3 Docusate Sodium Obat Bebas • Sediaan oral: Tablet, kapsul: <100 mg, kemasan tidak lebih
dari 6 tablet, kapsul. Dalam hal kapsul 100 mg termasuk obat
bebas terbatas
• Tetes telinga: Kadar ≤ 0,5% Tidak boleh dipakai lebih dari 2
hari berturut-turut . Tidak boleh untuk perforasi (pecahnya
gendang telinga
4 Ibuprofen Obat Bebas Terbatas • Tablet, kapsul: ≤ 200 mg, kemasan tidak lebih dari 10 tablet,
kapsul
• Sirup, suspensi ≤ 100 mg/5ml, kemasan tidak lebih dari 60 ml
5 Mebendazole Obat Bebas Terbatas • Tablet, kapsul ≤ 500 mg
• Sirup, suspensi ≤ 100 mg/5 ml, kemasan tidak lebih dari 30 ml
6 Ketoconazole Obat Bebas Terbatas • Sebagai obat luar untuk infeksi jamur lokal, kadar < 2%
DAFTAR PERUBAHAN PENGGOLONGAN,
PEMBATASAN, DAN KATEGORI OBAT
7 Tioconazole Obat Bebas Terbatas Sebagai obat luar untuk infeksi jamur lokal, kadar
< 2%
8 Benzoyl Peroxide Obat Bebas Terbatas Sediaan topikal untuk acne (jerawat) − Kadar ≤ 10%,
kemasan tidak lebih dari tube 5 g
9 Dexpanthenol Obat Bebas Terbatas Sediaan topikal untuk kulit, kadar < 5%
10 Ranitidine Obat Bebas Terbatas − Tablet ≤ 75 mg, kemasan tidak lebih dari 10 tablet
− Sirup ≤ 75 mg/5 ml, kemasan tidak lebih dari 30 ml.
Hanya untuk dewasa dan anak lebih dari 12 tahun
11 Trioprolidine Obat Bebas Terbatas Kombinasi tripolidine dengan pseudoephedrine,
dengan kadar pseudoephedrine ≤ 30 mg per takaran
12 Dexbrompheniramine Obat Bebas Terbatas − Tablet ≤ 2 mg, kemasan tidak lebih dari 20 tablet. −
Maleate Sirup ≤ 2 mg/5 ml, kemasan tidak lebih dari 60 ml.
13 Theophyline Obat Bebas Terbatas Penggunaan tidak lebih dari 1 tablet per kali,
maksimum 2 kali sehari. Kadar ≤ 150 mg pertablet,
kemasan tidak lebih dari 4 tablet.
14 Aminophylline Obat Bebas Terbatas Penggunaan tidak lebih dari 1 tablet per kali,
maksimum 2 kali sehari. Kadar ≤ 150 mg pertablet,
kemasan tidak lebih dari 4 tablet.
DAFTAR PERUBAHAN PENGGOLONGAN,
3. Perubahan kategori obat PEMBATASAN, DAN KATEGORI OBAT
Kelompok 1
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:
1. Peredaran Obat dan Makanan secara Daring adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
penyaluran dan/atau penyerahan Obat, Obat Tradisional, dan Suplemen kesehatan dengan menggunakan
media transaksi elektronik.
2. Obat adalah obat jadi termasuk produk biologi, untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
peningkatan kesehatan.
3. Narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
4. Psikotropika adalah obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, berkhasiat psikoaktif susunan
saraf pusat.
5. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
6. Suplemen Kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi,
memelihara, meningkatkan dan/atau memperbaiki fungsi kesehatan.
7. Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar
tubuh manusia, digunakan untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau
memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh.
8. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan metode tertentu tanpa
bahan tambahan.
9. Pangan Olahan Siap Saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap
untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha.
10. PKMK adalah Pangan Olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk manajemen
diet bagi orang dengan penyakit/gangguan tertentu.
11. BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
Pangan.
12. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
pembuatan Obat atau bahan obat.
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
13. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran Obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar.
14. Pedagang Besar Farmasi Cabang adalah cabang Pedagang Besar Farmasi yang telah memiliki
pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam
jumlah besar.
15. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker.
16. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter kepada apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun
elektronik.
17. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum.
18. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi.
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
19. PSEF adalah badan hukum yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem
Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
20. PSE adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang
menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik.
21. Pihak Ketiga adalah pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengiriman obat dan makanan
kepada pasien atau konsumen.
22. Media Sosial adalah laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna dapat membuat dan
berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial.
23. Daily Deals adalah salah satu bentuk dari e-commerce yang menawarkan diskon produk atau
jasa dalam jangka tertentu.
24. Classified Ads adalah iklan kecil yang singkat.
25. Pengawas adalah pegawai di lingkungan BPOM yang diberi tugas melakukan pengawasan
peredaran obat dan makanan secara daring.
26. Kepala Badan adalah Kepala BPOM.
BAB II
Peredaran Obat Secara Daring
Pasal 3
Obat yang diedarkan wajib memiliki izin edar serta memenuhi persyaratan cara pembuatan dan
distribusi Obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Pedagang Besar Farmasi Cabang, dan Apotek dapat
melaksanakan peredaran Obat secara daring memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peredaran Obat secara daring wajib memberikan
laporan secara berkala.
Laporan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat informasi:
a. Nama dan alamat Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Pedagang Besar Farmasi Cabang, dan
Apotek;
b. Tanggal, bulan, dan tahun mulai penyelenggaraan peredaran Obat secara daring;
c. Nama PSEF dan alamat website/Uniform Resource Locator (URL) untuk Apotek yang bekerja sama
dengan PSEF dalam menyelenggarakan peredaran Obat secara daring;
d. Daftar Obat yang diedarkan secara daring; dan
e. Data transaksi Obat yang diedarkan secara daring.
BAB II
Peredaran Obat Secara Daring
Pasal 5
Peredaran Obat secara daring yang dilakukan oleh Industri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi hanya dapat
dilakukan menggunakan Sistem Elektronik yang dimiliki Industri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi.
Pasal 6
Penyerahan Obat secara daring yang dilakukan oleh Apotek dapat menggunakan Sistem Elektronik yang
dimiliki oleh Apotek dan/atau yang disediakan oleh PSEF. menjamin Sistem Elektronik yang digunakan memenuhi
ketentuan:
a. mampu menginformasikan secara benar paling sedikit mengenai:
1. nama Apotek penyelenggara sesuai izin;
2. izin Apotek penyelenggara;
3. pemilik sarana;
4. nama apoteker penanggung jawab;
5. nomor surat izin praktik apoteker penanggung jawab;
6. alamat dan nomor telepon Apotek penyelenggara;
7. lokasi sistem pemosisian global;
8. nama dagang/generik, zat aktif, kekuatan, isi kemasan dan nomor
izin edar produk.
BAB II
Peredaran Obat Secara Daring
Pasal 6
b. Menjamin akses dan keamanan penggunaan sistem oleh pengguna sesuai dengan otoritas yang
diberikan;
c. Menyediakan sistem backup data secara elektronik;
d. Dapat diakses oleh Pengawas sewaktu-waktu;
e. Menyediakan fungsi pengecekan dan pencarian secara otomatis dan berurutan mengenai pemesanan
Obat oleh pasien kepada Apotek penyedia, berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
1. Kelengkapan atau ketersediaan Obat;
2. Keterjangkauan/lokasi terdekat dengan pasien; dan/atau
3. Harga Obat.
f. Menyediakan fungsi penyampaian Resep elektronik dan salinan Resep elektronik;
g. Menyediakan fungsi salinan Resep elektronik;
h. Menyediakan pemberian pelayanan informasi Obat sesuai dengan label;
i. Menyediakan fungsi komunikasi realtime antara pasien dengan apoteker;
j. Menampilkan informasi kewajiban menyerahkan Resep asli Obat keras oleh pasien.
BAB II
Peredaran Obat Secara Daring
Pasal 7
Peredaran Obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat yang termasuk dalam
golongan Obat bebas, Obat bebas terbatas dan Obat keras.
Pasal 8
Obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib berdasarkan Resep yang ditulis
secara elektronik. Penyerahan Resep atau salinan Resep untuk golongan Obat keras dilaksanakan
menggunakan fungsi penyampaian Resep elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Huruf
F. Obat yang diserahkan kepada pasien harus dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan terapi.
Pasal 9
Penyerahan Obat yang diedarkan secara daring dapat dilaksanakan secara langsung kepada pasien
atau dikirim kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II
Peredaran Obat Secara Daring
Pasal 10
Apotek wajib memastikan pasien menyerahkan Resep asli Obat keras kepada Apotek. Penyerahan
Resep asli Obat keras oleh pasien kepada Apotek dapat melalui Pihak Ketiga. Dalam hal pasien
mengambil sebagian dari keseluruhan jumlah Obat yang tertulis pada Resep, pada saat
penyerahan Obat, Apotek dan/atau Pihak Ketiga wajib menyerahkan salinan Resep kepada pasien.
Kewajiban pasien untuk menyerahkan Resep asli pada saat Apotek dan/atau Pihak Ketiga
menyerahkan Obat wajib ditampilkan dalam fitur yang memuat mengenai penafian syarat dan
ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf J.
Pasal 11
Seluruh data informasi transaksi elektronik yang terkait dengan kegiatan peredaran Obat secara
daring wajib diarsipkan dan mampu tertelusur paling singkat dalam batas waktu 5 (lima) tahun.
BAB III
Peredaran Obat Tradisional, Suplemen
Kesehatan, dan/atau Kosmetika Secara Daring
Pasal 12
Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika yang diedarkan wajib memiliki izin edar
serta memenuhi cara pembuatan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
1. Pelaku Usaha dapat mengedarkan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan/atau
Kosmetika secara daring.
2. Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjamin Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika yang diedarkan secara daring memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
Peredaran Pangan Olahan secara Daring
Pasal 16
1. Pangan Olahan yang diedarkan secara daring wajib memiliki izin edar dan memenuhi cara
produksi yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Dikecualikan dari kewajiban izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. Pangan Olahan Siap Saji; dan
b. Pangan Olahan yang digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku oleh Pelaku Usaha dan
tidak dijual secara langsung kepada konsumen akhir.
3. Pangan Olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
BAB V
Peredaran PKMK secara Daring
Pasal 20
PKMK yang diedarkan secara daring wajib memiliki izin edar serta memenuhi persyaratan
cara produksi Pangan Olahan yang baik dan sistem pengendalian bahaya pada titik kritis
(Hazard Analysis and Critical Control Point/HACCP) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
( 1 ) Peredaran PKMK secara daring hanya dapat dilakukan oleh Apotek.
( 2 ) Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjamin keamanan dan mutu PKMK
yang diedarkan secara daring.
Pasal 22
( 1 ) Peredaran PKMK secara daring oleh Apotek dapat menggunakan Sistem Elektronik yang
dimiliki sendiri atau yang disediakan oleh PSEF.
( 2 ) Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
BAB V
Peredaran PKMK secara Daring
Pasal 23
1. Penyerahan PKMK secara daring yang dilakukan oleh Apotek dapat menggunakan Sistem
Elektronik yang dimiliki oleh Apotek dan/atau yang disediakan oleh PSEF.
2. Apotek dan PSEF sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3. Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
4. PSEF wajib melakukan pemantauan dan evaluasi secara aktif untuk setiap kegiatan peredaran
PKMK yang dilaksanakan melalui Sistem Elektronik yang digunakan sebagai media peredaran
PKMK secara daring.
Pasal 24
Ketentuan mengenai penyerahan, pengiriman dan pengarsipan data dan/atau informasi transaksi
elektronik untuk PKMK secara daring mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, dan/atau Pasal 11 secara mutatis mutandis.
BAB VI
Pengawasan
Pasal 25
(1) Pengawasan terhadap obat dan makanan yang diedarkan secara daring dilaksanakan melalui
pemeriksaan oleh Pengawas.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Pengawas dalam melaksanakan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah
Daerah terkait, dan/atau asosiasi PSE.
(4) Pengawas dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(5) Pelaku Usaha yang bertanggung jawab atas tempat dilaksanakannya pemeriksaan oleh Pengawas
dapat menolak pemeriksaan jika Pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan surat
perintah tugas dan tanda pengenal.
BAB VII
Pembinaan
Pasal 26
(1) Kepala Badan melakukan pembinaan kepada:
a. Pelaku Usaha yang mengedarkan obat dan makanan
secara daring; dan
b. masyarakat sebagai konsumen obat dan makanan
yang diedarkan secara daring.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Pemberian bimbingan teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
BAB VIII
Larangan
Pasal 27
Apotek dan/atau PSEF dilarang mengedarkan secara daring untuk Obat yang termasuk dalam:
a. Obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
b. Obat yang mengandung prekursor farmasi;
c. Obat untuk disfungsi ereksi;
d. Sediaan injeksi selain insulin untuk penggunaan sendiri;
e. Sediaan implan yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga kesehatan; dan
f. Obat yang termasuk dalam golongan Narkotika dan Psikotropika.
Pasal 28
(1) Pelaku Usaha dilarang mengedarkan Kosmetika tertentu yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan harus diaplikasikan oleh tenaga medis.
(2) Kosmetika tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
BAB VIII
Larangan
Pasal 29
Minuman beralkohol dilarang diedarkan secara daring.
Pasal 30
(1) Apotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)dilarang melakukan kegiatan promosi dan
iklan untuk Obat.
(2) Apotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang melakukan kegiatan promosi dan iklan
untuk formula bayi, formula lanjutan, dan PKMK wajib melalui media cetak khusus tentang
kesehatan setelah mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31
Peredaran Obat dan PKMK secara daring dilarang melalui Media Sosial, Daily Deals, dan Classified
Ads
“PERMENKES NO. 007 TAHUN 2012
TENTANG REGISTRASI OBAT
TRADISIONAL”
Kelompok 1
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
1) Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian(galenik) atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
2) Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat tradisional untuk
dapat diedarkan di wilayah Indonesia.
3) Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat tradisional
untuk mendapatkan izin edar.
4) Importir adalah badan hukum yang bergerak di bidang perdagangan
obat tradisional yang memiliki izin importir sesuai peraturan
perundang-undangan.
BAB I
Ketentuan Umum
5) Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) adalah seluruh aspek kegiatan
pembuatan obat tradisional untuk menjamin agar produk yang dihasilkan memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
6) Industri Obat Tradisional (IOT) adalah industri yang dapat membuat semua bentuk sediaan
obat tradisional.
7) Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) adalah usaha yang dapat membuat semua bentuk
sediaan obat tradisional, kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen.
8) Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) adalah usaha yang hanya membuat sediaan obat
tradisional dalam bentuk param, tapel,pilis, cairan obat luar dan rajangan.
9) Usaha jamu racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot jamu, dimiliki perorangan
dengan melakukan pencampuran sediaan jadi dan/atau sediaan segar obat tradisional untuk
dijajakan langsung kepada konsumen.
BAB I
Ketentuan Umum
10. Usaha jamu gendong adalah usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan
bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan untuk dijajakan
langsung kepada konsumen.
11. Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan
belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari 600C.
12. Sediaan galenik adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia
nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.
13. Obat tradisional produksi dalam negeri adalah obat tradisional yang dibuat dan/atau dikemas
di dalam negeri.
14. Obat tradisional kontrak adalah obat tradisional yang seluruh atau sebagian tahapan
pembuatan dilimpahkan kepada industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional
berdasarkan kontrak.
15. Obat tradisional lisensi adalah obat tradisional yang seluruh tahapan pembuatan dilakukan
oleh industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional di dalam negeri atas dasar lisensi.
BAB I
Ketentuan Umum
16. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang seluruh proses pembuatan atau sebagian
tahapan pembuatan sampai dengan pengemasan primer dilakukan oleh industri di luar negeri,
yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia.
17. Pemberi kontrak adalah industri obat tradisional, usaha kecil obat tradisional, atau usaha mikro
obat tradisional yang melimpahkan pekerjaan pembuatan obat tradisional berdasarkan kontrak.
18. Penerima kontrak adalah industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional yang
menerima pekerjaan pembuatan obat tradisional berdasarkan kontrak.
19. Sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional (CPOTB) adalah bukti tertulis atas pemenuhan Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
21. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut Kepala Badan adalah
Kepala Badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengawasan obat dan makanan.
BAB II
Izin Edar
Pasal 2
1) Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar
2) Izin edar sebagaiman dimaksud pada ayat 1 diberikan oleh kepala badan
3) Pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaksanakan melalui mekanisme
registrasi sesuai tatalaksana yang ditetapkan
Pasal 3
Izin edar berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
Pasal 4
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terhadap:
obat tradisional dibuat oleh usaha jamu racikan dan jamu gendong
simplisia dan sediaan galenik digunakan untuk keperluan industri dan keperluan layanan
pengobatan tradisional
Obat tradisional digunakan untuk penelitian, sampel registrasi, pameran yang jumlahnya
terbatas dan tidak diperjual belikan
BAB II
Izin Edar
Pasal 6
1. Obat tradisional yang diberikan izin edar harus memenuhi kriteria:
a. menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu serta dengan
menerapkan CPOTB
b. memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain yang diakui,
berkhasiat secara empiris, turun temurun atau secara ilmiah dan penandaan berisi
informasi yang objektif, lengkap, serta tidak menyesatkan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Badan.
BAB II
Izin Edar
Pasal 7
(1) Obat tradisional dilarang mengandung:
a. etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan
pengenceran;
b. bahan kimia obat merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;
c. narkotika atau psikotropika dan bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan atau
berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.
(2) Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Badan.
Pasal 8
Obat tradisional dilarang dibuat atau diedarkan dalam bentuk sediaan intravaginal, tetes mata,
parenteral dan supositoria, kecuali digunakan untuk wasir
BAB VI BAB III
PERSYARATAN REGISTRASI
PengawasanBagian Kesatu
Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri
Pasal 9
Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh IOT, UKOT, atau UMOT
yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Registrasi Obat Tradisional Kontrak
Pasal 10
Registrasi obat tradisional kontrak hanya dilakukan oleh pemberi kontrak dengan melampirkan
dokumen kontrak.
Pemberi kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa IOT, UKOT, atau UMOT yang
memiliki izin sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemberi dan penerima kontrak bertanggung jawab atas keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu obat
tradisional yang diproduksi berdasarkan kontrak, serta penerima kontrak hanya berupa IOT atau
UKOT yang memiliki izin sesuai peraturan perundang-undangan dan sertifikat CPOTB
BAB III
PERSYARATAN REGISTRASI
Bagian Kesatu
Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri
Bagian Ketiga
Registrasi Obat Tradisional Lisensi
Pasal 11
Registrasi obat tradisional lisensi hanya dilakukan oleh IOT atau UKOT penerima lisensi yang
memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Registrasi Obat Tradisional Impor
Pasal 12
(1) Registrasi obat tradisional impor hanya dilakukan oleh IOT, UKOT, atau importir obat tradisional
yang mendapat penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi dari industri di negara
asal.
(2) Importir harus memenuhi persyaratan seperti, fasilitas distribusi obat tradisional sesuai ketentuan
yang berlaku dan memiliki penanggung jawab Apoteker.
(3) Penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi yang dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat diberikan untuk satu nama produk kepada satu IOT, UKOT, atau importir.
BAB III
PERSYARATAN REGISTRASI
Bagian Kesatu
Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri
(4) Pemenuhan persyaratan CPOTB bagi industri di luar negeri dibuktikan dengan sertifikat
cara pembuatan yang baik untuk obat tradisional dan jika diperlukan dilakukan pemeriksaan
setempat oleh petugas yang berwenang.
(5) Sertifikat harus dilengkapi dengan data inspeksi terakhir paling lama 2 tahun yang
dikeluarkan oleh pejabat berwenang setempat.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.
Bagian Kelima
Registrasi Obat Tradisional Khusus Ekspor
Pasal 13
(1) Registrasi obat tradisional khusus ekspor dilakukan oleh IOT, UKOT, dan UMOT yang memiliki
izin sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) Obat tradisional khusus ekspor harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bila ada persetujuan tertulis
dari negara tujuan.
BAB IV
TATA CARA REGISTRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
(1) Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan dan ketentuan mengenai tata laksana
registrasi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.
(2) Dokumen registrasi merupakan dokumen rahasia yang dipergunakan terbatas hanya untuk
keperluan evaluasi oleh yang berwenang.
Pasal 15
(1) Permohonan registrasi dikenai biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, maka biaya yang
telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.
BAB IV
TATA CARA REGISTRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Evaluasi dilakukan terhadap dokumen registrasi dalam rangka pemenuhan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 18
1. Kepala Badan memberikan persetujuan berupa izin edar atau penolakan registrasi berdasarkan
rekomendasi yang diberikan oleh Tim Penilai Keamanan, Khasiat/Manfaat, dan Mutu, dan/atau
Komite Nasional Penilai Obat Tradisional.
2. Kepala Badan melaporkan pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Menteri setiap 1 (satu) tahun sekali.
BAB VI
Kewajiban Pemegang Nomor Izin Edar
Pasal 22
1. Pemegang nomor izin edar wajib melakukan pemantauan terhadap keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu produk yang beredar.
2. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian terhadap keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu
produk, pemegang nomor izin edar wajib melakukan penarikan produk dari peredaran
dan melaporkan kepada Kepala Badan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan, penarikan produk dari peredaran, dan
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan.
BAB VII
Sanksi
Pasal 23
1. Kepala Badan dapat memberikan sanksi administratif berupa pembatalan izin edar apabila:
a. obat tradisional tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berdasarkan data
terkini;
b. obat tradisional mengandung bahan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c. obat tradisional dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8
d. penandaan dan informasi obat tradisional menyimpang dari persetujuan izin edar;
e. pemegang nomor Izin edar tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22;
f. izin IOT, UKOT, UMOT, dan importir OT yang mendaftarkan, memproduksi atau mengedarkan
dicabut;
g. pemegang nomor izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi dan/atau peredaran obat
tradisional;
.
BAB VII
Sanksi
h. pemegang nomor izin edar memberikan dokumen registrasi palsu atau yang dipalsukan;
atau
i. terjadi sengketa dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap
2. Selain dapat memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Badan dapat memberikan sanksi administratif lain berupa perintah penarikan dari peredaran
dan/atau pemusnahan obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan.
BAB VIII
Ketentuan Peralihan
Pasal 24
1. Permohonan registrasi yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap
diproses berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat
Tradisional.
2. Izin edar obat tradisional yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan
Pendaftaran Obat Tradisional dinyatakan masih tetap berlaku.
3. Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diperbarui sesuai dengan persyaratan
dalam Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini
diundangkan.
PEDOMAN PENGGUNAAN OBAT BEBAS DAN
BEBAS TERBATAS
Kelompok 1
INFORMASI UMUM TENTANG OBAT
4. Cara Pemilihan Obat, Untuk menetapkan jenis obat yang dibutuhkan perlu diperhatikan :
a. Gejala atau keluhan penyakit
b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus dan lain-lain.
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu
d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan interaksi obat
yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
e. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi obat dengan obat
yang sedang diminum.
f. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan kepada Apoteker.
5. Cara Penggunaan Obat
a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.
b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.
c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan penggunaan
dan tanyakan kepada Apoteker dan dokter.
d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.
e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap, tanyakan kepada Apoteker.
6. Efek Samping, adalah setiap respons obat yang merugikan dan tidak diharapkan yang terjadi
karena penggunaan obat dengan dosis atau takaran normal pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi.
7. Cara Penyimpanan Obat
a. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
b. Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung atau seperti yang
tertera pada kemasan.
c. Simpan obat ditempat yang tidak panas atau tidak lembab karena dapat menimbulkan
kerusakan.
d. Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin agar tidak beku, kecuali jika
tertulis pada etiket obat.
e. Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
f. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
8. Tanggal Kadaluarsa, Tanggal kadaluarsa menunjukkan bahwa sampai dengan tanggal yang
dimaksud, mutu dan kemurnian obat dijamin masih tetap memenuhi syarat. Tanggal kadaluarsa
biasanya dinyatakan dalam bulan dan tahun
9. Dosis, Dosis merupakan aturan pemakaian yang menunjukkan jumlah gram atau volume dan
frekuensi pemberian obat untuk dicatat sesuai dengan umur dan berat badan pasien
Kelompok 1
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi
untuk manusia.
Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam
pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi termasuk baku
pembanding.
Narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang
Narkotika.
Psikotropika adalah obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan
sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk
antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine,
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
● Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Puskesmas,
dan Toko Obat.
● Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
● Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah bagian dari rumah sakit yang merupakan unit pelaksana
fungsional yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur
dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis
kefarmasian di rumah sakit.
● Instalasi Farmasi Klinik adalah bagian dari klinik atau balai pengobatan yang bertugas
menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di klinik atau balai pengobatan.
● Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
● Toko Obat/Pedagang Eceran Obat yang selanjutnya disebut Toko Obat adalah sarana yang memiliki
izin untuk menyimpan obat bebas dan obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
TENAGA KESEHATAN
● Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
● Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker
● Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan
kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian.
● Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang selanjutnya disingkat SIPTTK adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada tenaga teknis kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
● Petugas adalah Pegawai di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang diberi tugas
melakukan pengawasan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor
Farmasi berdasarkan surat perintah tugas.
● Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB II
PENGELOLAAN OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA,
PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR FARMASI
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 3
(1) Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memiliki izin edar.
(2) Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat, dan mutu.
(3) Persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengelolaan
Pasal 4
Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. pengadaan;
b. penerimaan;
c. penyimpanan;
d. penyerahan;
e. pengembalian;
f. pemusnahan; dan
g. pelaporan
Pasal 5
(1) Pengelolaan Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat dilakukan di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian berupa Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas.
(2) Pengelolaan Bahan Obat oleh Apotek dan Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat digunakan untuk keperluan peracikan (produksi sediaan secara terbatas).
(3) Pengelolaan Bahan Obat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk keperluan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) dan untuk
keperluan memproduksi obat.
Pasal 6
(1) Seluruh kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib berada di bawah tanggung jawab seorang Apoteker
penanggung jawab.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi, Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu
oleh Apoteker lain dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
(3) Kegiatan pengelolaan Obat dan Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Toko
Obat wajib berada di bawah tanggung jawab seorang Tenaga Teknis Kefarmasian penanggung
jawab.
(4) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Apoteker lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki SIPA di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut.
(5) Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib memiliki
SIPTTK di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut.
Pasal 7
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika dan
prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian harus sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
Pasal 8
Kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 wajib dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Teknis Pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Bagian Ketiga
Pembinaan
Pasal 9
Dalam rangka pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, Badan
Pengawas Obat dan Makanan melakukan pemantauan, pemberian bimbingan teknis, dan pembinaan
terhadap fasilitas pelayanan kefarmasian.
BAB III
PENAWASAN
Pasal 10
(1) Pengawasan terhadap Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dilaksanakan melalui pemeriksaan oleh Petugas.
(2) Petugas dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh
segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi;
b. membuka dan meneliti kemasan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi;
c. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan
pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau
d. mengambil gambar dan/atau foto seluruh atau sebagian fasilitas dan peralatan yang digunakan
dalam pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
(3) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dapat mengikutsertakan petugas instansi lain
yang terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(4) Jika Petugas tidak dilengkapi dengan surat perintah dan tanda pengenal maka penanggung jawab
fasilitas pelayanan kefarmasian dapat melakukan penolakan terhadap pemeriksaan.
Pasal 11
Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran pidana
di bidang Obat dan Bahan Obat termasuk pidana di bidang Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi, dilakukan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
SANKSI
Pasal 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. Peringatan tertulis;
c. Pencabutan izin
(2) Sanksi administratif berupa sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat berupa peringatan atau peringatan keras.
(3) Sanksi administratif berupa sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
berupa rekomendasi kepada Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Organisasi Perangkat Daerah penerbit izin.
PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN OBAT DAN BAHAN OBAT
DI FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN
1. Pengadaan
a. Pengadaan Obat dan Bahan Obat harus bersumber dari Industri Farmasi atau Pedagang Besar
Farmasi
b. Pengadaan Obat di Puskesmas yang bersumber dari Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah harus
berdasarkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang ditandatangani atau
diparaf Apoteker Penanggung Jawab dan ditandatangani Kepala Puskesmas
c. Pengadaan Obat dan Bahan Obat dari Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi harus
dilengkapi dengan Surat Pesanan
d. Surat Pesanan dapat dilakukan menggunakan sistem elektronik. Ketentuan surat pesanan secara
elektronik sebagai berikut :
2. Penerimaan
● Penerimaan Obat dan Bahan Obat harus berdasarkan Faktur pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang
yang sah.
● Penerimaan Obat oleh Puskesmas dari Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah harus berdasarkan Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
● Fasilitas Pelayanan Kefarmasian hanya dapat melakukan penerimaan Obat dan Bahan Obat yang
ditujukan untuk Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut sebagaimana tertera dalam Surat Pesanan
● Penerimaan Obat dan Bahan Obat harus dilakukan oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
Penanggung Jawab
● Bila Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian Penanggung Jawab berhalangan hadir, penerimaan Obat dan
Bahan Obat dapat didelegasikan kepada Tenaga Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian Penanggungjawab.
● Pada saat penerimaan, Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus melakukan pemeriksaan
a. kondisi kemasan termasuk segel, label/penandaan dalam keadaan baik;
b. kesesuaian nama, bentuk, kekuatan sediaan Obat, isi kemasan antara arsip Surat Pesanan (SP) / Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dengan Obat/Bahan Obat yang diterima;
c. kesesuaian antara fisik Obat/Bahan Obat dengan Faktur pembelian /Laporan Pemakaian dan Lembar
Permintaan Obat (LPLPO) dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:
1) Kebenaran nama produsen, nama pemasok, nama Obat/Bahan Obat, jumlah, bentuk, kekuatan
sediaan Obat, dan isi kemasan;
2) Nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.
3. Penyimpanan
Penyimpanan Obat dan Bahan Obat harus :
a. Dalam wadah asli dari produsen.
b. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, dalam hal diperlukan pemindahan dari
wadah asli nya untuk pelayanan resep, Obat dapat disimpan di dalam wadah baru yang dapat
menjamin keamanan, mutu, dan ketertelusuran obat dengan dilengkapi dengan identitas obat meliputi
nama obat dan zat aktifnya, bentuk dan kekuatan sediaan, nama produsen, jumlah, nomor bets dan
tanggal kedaluwarsa.
c. Pada kondisi yang sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi yang memproduksi Obat/Bahan
Obat sebagaimana tertera pada kemasan dan/atau label sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
d. terpisah dari produk/bahan lain dan terlindung dari dampak yang tidak diinginkan akibat paparan
cahaya matahari, suhu, kelembaban atau faktor eksternal lain;
e. sedemikian rupa untuk mencegah tumpahan, kerusakan, kontaminasi dan campur-baur; dan
f. tidak bersinggungan langsung antara kemasan dengan lantai
g. dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
h. memperhatikan kemiripan penampilan dan penamaan Obat (Look Alike Sound Alike, LASA) dengan
tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya
kesalahan pengambilan Obat
i. memperhatikan sistem First Expired First Out (FEFO) dan/atau sistem First In First Out (FIFO)
4,PENYERAHAN
● Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian Penanggung Jawab wajib bertanggung jawab terhadap
penyerahan Obat
● Penyerahan Obat Golongan Obat Keras kepada pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan resep
dokter.
● Instalasi Farmasi Rumah Sakit hanya dapat melayani resep Obat berdasarkan resep dari rumah sakit
tersebut.
● Instalasi Farmasi Klinik selain melayani resep dari klinik yang bersangkutan, dapat melayani resep
dari dokter praktik perorangan atau resep dari klinik lain.
● Resep yang diterima dalam rangka penyerahan Obat wajib dilakukan skrining.
● Resep yang dilayani harus asli; ditulis dengan jelas dan lengkap; tidak dibenarkan dalam bentuk
faksimili dan fotokopi, termasuk fotokopi blanko resep.
● Resep harus memuat:
a. Nama, Surat Izin Praktik (SIP), alamat, dan nomor telepon dokter;
b. Tanggal penulisan resep;
c. Nama, potensi, dosis, dan jumlah obat;
d. Aturan pemakaian yang jelas;
e. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien;
f. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep.
5. Pengembalian
● Pengembalian Obat kepada pemasok harus dilengkapi dengan dokumen serah terima pengembalian
Obat yang sah dan fotokopi arsip Faktur Pembelian.
● Setiap pengembalian Obat wajib dicatat dalam Kartu Stok.
● Seluruh dokumen pengembalian harus terdokumentasi dengan baik dan mampu telusur
6. Pemusnahan
● Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian Penanggung Jawab wajib memastikan kemasan termasuk
label obat yang akan dimusnahkan telah dirusak
● Pemusnahan Obat/Bahan Obat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
PERATURAN BADAN PENGAWASAN
OBAT DAN MAKANAN NOMOR 32 TAHUN
2019 TENTANG PERSYARATAN
KEAMANAN DAN MUTU OBAT
TRADISIONAL
Kelompok 1
Pasal 1
1. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Jamu adalah Obat Tradisional yang dibuat di Indonesia.
3. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang seluruh proses pembuatan atau
sebagian tahapan pembuatan sampai dengan pengemasan primer dilakukan oleh
industri di luar negeri, yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia.
4. Obat tradisional lisensi adalah obat tradisional yang seluruh tahapan pembuatan
dilakukan oleh industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional di dalam
negeri atas dasar lisensi.
5. Obat Herbal Terstandar adalah produk yang mengandung bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan
bahan bakunya telah distandardisasi.
6. Fitofarmaka adalah produk yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan baku dan produk jadinya telah
distandardisasi.
Terima Kasih
—Kelompok I