Anda di halaman 1dari 42

MATERI KULIAH SEJARAH

SOSIAL
DOSEN : AGUS GUNAWAN, M.Pd.
ASISTEN : YADI KUSMAYADI,
S.Pd.
PRODI PEND SEJARAH
FKIP UNIVERSITAS GALUH
Gerakan-gerakan keagamaan, masing-masing memiliki ciri umum,
menurut Sartono ada empat jenis gerakan petani, yaitu :
 MILLENARIANISME :
 Gerakan yang banyak/spontan bersama-sama didalam gerakan
ini petani menghendaki adanya kehidupan yang lebih baik dan
makmur pada masa yang akan datang. Diyakini oleh para
petani akan lebih baik apabila mereka mengadakan gerakan-
gerakan ini--> dipengaruhi oleh ramalan-ramalan Jawa tentang
akan lahir seorang tokoh Ratu Adil atau Eru Cakra--- Ratu
Tanjung Putih ---> ada dalam ramalan-ramalan Jawa tokoh
khayalan Ja.wa “menginginkan masyarakat yang idealis”.
• MESSIANISME :

• Lebih tertuju pada tokoh pemimpinnya, mereka


memperjuangkan datangnya seorang juru
selamat yang akan menegakkan keadilan dan
kedamaian dalam memimipin sebuah negara
yang makmur. Dalam masyarakat petani yang
Islam yakin akan muncul “Imam Mahdi”.
NATIVISME :

Seringkali disebut gerakan kepribumian


dan dalam gerakan ini para petani
menginginkan masa lampau yang penuh
kejayaan, misalnya; di Jawa Barat --->
Gerakan Nyi Aciah, tekanan gerakan ini
adalah masa lalu yang penuh kejayaan.
 FISABILILLAH :
 Perang Jihad/Suci -->motivasi mendirikan
negara Islam dengan ajaran Islam, agama
Islam yang ada pada abad 19 menjadi
panutan. Penjajahan merupakan kekafiran,
sikap militan lahir karena sesuai dengan
ajaran mereka.
• Aspek yang mengiringi gerakan-gerakan keagamaan pada pokoknya
muncul di daerah pedesaan adalah stempel yang tidak meragukan
yaitu tradisionalisme. Hal ini lebih mencakup pikiran daripada
revivalisme seperti yang terdapat dalam tradisionalisme nativisme,
dan merupakan bentuk yang menyolok dari reaksi penduduk
pedesaan. Kebencian kepada yang berbau asing dan sikap anti asing
untuk sebagian dapat dipahami berdasarkan pengertian tentang
kecenderungan tradisionalistik ini, dilihat dari sudut pertentangan
sosial-kebudayaan, ‘reaksi’ hampir sama artinya dalam protes, yaitu
protes sosial terhadap dampak westernisasi. Menurut Belandier,
gerakan-gerakan keagamaan pada umumnya menyandang watak
reaksi total, yaitu menolak kehadiran Eropa.
Disamping itu dapat dilihat bahwa millenarianisme biasanya
mencakup penolakan keadaan waktu itu, sikap negatif yang
radikal terhadap keadaan yang berlaku. Dengan demikian
millenarianisme pada asasnya berwatak revolusioner karena
berkaitan dengan perombakan status-quo secara total, dan
inilah yang memberikan alat kepada rakyat untuk mengadakan
perlawanan, khususnya mereka yang beragama Islam melalui
para pemimpin agama yang berkharisma seperti yang terjadi
dibeberapa daerah di Jawa dengan ideologi Jihad Fii
Sabilillah.
Pada bagian lain Sartono melukiskan tentang peristiwa Sistem Tanam
Paksa 1830-1870 terdapat hubungan Patron-Client. Aturan Sistem
Tanam Paksa ini memanfaatkan desa sebagai suatu alat produksi untuk
meningkatkan penghasilan dari tanam paksa, yang terutama adalah
tanah (sebagai lahan yang bisa ditanami oleh tanaman wajib). Kondisi
lain adalah perangkat desa/struktur pemerintah desa sudah dimanfaatkan
seperti; Lurah-Camat-Bupati, merekalah yang bisa berhubungan dengan
masyarakat dan mampu untuk memerintahkan tanaman wajib kepada
penduduk dimana pola feodal diterapkan terutama dengan adanya
golongan priyayi. Disini rakyat dituntut loyalitas kepada Lurah sebagai
pemimpin terendah dalam pemerintahan kolonial Belanda sehingga
sistem tanam paksa menjadi sangat berhasil.
Aturan Sistem Tanam Paksa pada teorinya tidak memberatkan
tetapi pada prakteknya sebaliknya terjadi penyelewengan,
antara lain :

 Adanya pemberian hadiah dari golongan Pribumi kepada golongan


Birokrat pribumi “cultuur procenten” dari kondisi ini melahirkan sikap
berlomba dari para Lurah untuk meningkatkan sistem tanam paksa
tersebut. Dari kondisi ini berkembang untuk memperluas dari tanah-tanah
yang dimiliki petani, sehingga merugikan petani akibatnya tidak dapat
mengurus hasil tani sendiri.
 Wajib kerja 60 hari tidak cukup--> kurang lebih 1 tahun, sehingga petani
akan kehilangan waktu untuk mengerjakan tanah.
 Pengerahan tenaga kerja, sehingga petani-petani dapat mengerjakan
tanah di luar desanya, dari kondisi ini putus hubungan antara desa tempat
tinggal dengan tempat dia bekerja di luar desa.
Berpindahnya tanah-tanah milik pribadi menjadi tanah
milik komunal dilakukan dalam rangka meningkatkan
pajak, ada peraturan yang membayar pajak adalah
yang mempunyai lahan pertanian dan penggarap tidak.
Petani kuli kenceng yang memiliki lahan pertanian luas
diserahkan kepada petani yang tidak punya tanah
sehingga yang mengelolanya harus bayar pajak
sehingga status pemilikan tanah tidak jelas lagi,
dengan demikian berdirilah tanah yang statusnya
komunal.
• Menurut Sartono : kondisi para petani dalam sistem
tanam paksa sangat menderita dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Sebelumnya kondisi masyarakat di
Indonesia sama dengan di Eropa. Sejalan dengan aturan-
aturan penetrasi kehidupan kolonial -->rakyat lebih
menderita sehingga terjadi beberapa kelaparan di
Indonesia, misalnya; di Cirebon. Tahun 1843 dan 1848,
sistem tanam paksa yang baru dilakukan kurang lebih 15
tahun, sudah ada hal-hal tersebut-- adanya kemerosotan
dalam jumlah penduduk 360 ribu menjadi 120 ribu,
(mungkin mati atau mobilitas ke tempat lain).
Kelaparan lain juga terjadi di Grobogan (Samin),
penderitaan lain dari sistem tanam paksa dengan sistem
baru dari pajak berupa uang pajak tersebut. Lebih dari 50 %
dari pendapatan yang ia terima juga petani tergantung pada
uang. Fluktuasi dari harga nasional sehingga berpengaruh
pada pendapatan petani. “ Jangankan untuk makan, pajak-
pun sudah berat “. Sistem Tanam Paksa==> penguasaan
pribumi ternyata kemudian menjadi kepunyaan dari tangan
Lurah---> menjadi pangreh praja--> mementingkan diri
sendiri dan atasan sehingga petani kehilangan pegangan
dari penguasa untuk memecahkan masalah--> tidak
memperoleh jawaban dari penguasa pribumi. Dalam
masyarakat dikenal ‘Radikalisme Agraria’ sebagai gerakan
petani melawan terhadap tata tertib sosial yang dilakukan
dengan cara kekerasan diwujudkan dengan bentuk
perlawanan yang menentang penguasa.
Terjadinya gerakan tersebut, antara
lain dikarenakan :
 Mereka yakin tentang adanya agama yang mereka
anut/miliki sehingga mampu melenyapkan
ketidakadilan dan dalam alam yang mistik mereka
yakin terhadap sesuatu yang bersifat sakral “Jimat”
untuk menangkal dari kekuatan-kekuatan asing.
 Sekularisme yang diterapkan pemerintah kolonial
untuk menghilangkan alam gaib petani/religius-->
tindakan ini banyak yang ditentang oleh petani
radikal.
Statistik tahun 1985 70 %, golongan petani. Tekanan-
tekanan golongan petani abad 19 :

 Tindakan-tindakan Belanda lebih mendalam terhadap


Indonesia.
 Sebelum abad 19 kurang sekali data-datanya.
 Kaum Elit
 Golongan Menengah
 Kelas Bawah
 Pada sejarah konvensional hanya aktor-
aktor raja/tokoh besar. Dalam sejarah
sosial yang menjadi aktor adalah
golongan bawah. Golongan menengah--
> intelektual-->mobilitas mereka--> sosial
mereka golongan bawah, yang
mendominasi golongan bawah bukan
hanya petani tetapi golongan buruh.
Golongan buruh mulai dari setting budaya
petani yaitu Desa.
Sebagai wadah utama tempat
tinggal desa :
• Lingkungan sosial.
• Gemeinschaft.
• Hubungan yang bersifat kekerabatan.
• Nilai gotong royong.
Realisasi sosial diantara mereka
--> interaksi sosial ada dua :
Horizontal ; hubungan atas dasar
timbal balik diantara warga desa
--> petani dengan petani yang
sederajat. Ciri-cirinya ; tulung-
temulung, pada-pada, samarata.
Vertikal ; hubungan atasan
dengan bawahan, antara petani
penggarap dengan petani pemilik---
> ada jasa atau pamrih.
Seseorang dikatakan petani biasanya dihubungkan dengan
tanah, tanah sekaligus akan menjadi stratifikasi sosial-->
berapa luas tanah yang dimilikinya, semakin tinggi maka
status sosialnya juga naik. Stratifikasi petani menurut
Sartono Kartodirdjo :
 Kuli Kenceng : pemilik tanah --> selalu
dihormati dan disegani.
 Kuli Ngindung : petani penyewa dari
kuli kenceng.
 Kuli Kopek : buruh tani--> penggarap
tanah pertanian milik kuli kenceng.
(Adanya ketergantungan diantara
mereka)
Ciri-Ciri lain dalam stratifikasi sosial
di desa :
 Keberadaan mereka di desa tersebut
sudah berapa lama. Sikep ngarep -->
memiliki status yang tinggi--> setelah
mereka mati kemudian dikeramatkan -->
diziarahi oleh kerabat-kerabatnya.
 Sikap buri--> pendatang.
Kepemimpinan formal ==> ciri ini
terutama pada desa yang berkembang
sekitar abad 19. Kepemimpinan di desa :
 Lurah/Kuwu.
 Juru tulis.
 Manteri Ulu-Uli.
 Jagabaya--> penjaga keamanan lingkungan desa.
 Modin/Lebu--> yang menjurus perkawinan dan
kematian
(Jabatan di atas berkaitan dengan stratifikasi
berdasarkan tanah bengkok, pemimpin inilah
pada masa kolonial abad 19 dijadikan alat)
 Kepemimpinan non formal--> Santri, Alim
Ulama, Kyai, Dukun, keberadaannya
semakin penting didalam menghadapi
pemimpin formal karena tidak bisa
memberikan aspirasi. Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda,
pemimpin ini dicurigai karena selalu
mempengaruhi masyarakat.
Kepercayaan ; pada umumnya masyarakat desa
atau petani percaya kepada hal-hal yang bersifat
gaib, karena mereka beranggapan:
• Inilah yang mempunyai kekuatan sendiri yang mengatur kekuatan
alam pada masyarakat yang animisme dan dinamisme.
• Ketidaktahuan mereka menghadapi alam/segala sesuatu yang
merugikan mereka sehingga untuk itu mereka mengadakan
upacara selamatan agar tidak mengganggu, inilah
ketidakberdayaan mereka sehingga mencari kedigjayaan-->
ngelmu yang dilakukan di luar desa berguru kepada dukun dan
sebagainya (kepada tokoh kharismatik).
• Jimat sebagai penangkal dari segala bahaya yang akan menimpa
mereka (abad 19) merupakan penangkal yang ampuh untuk
mengalahkan Belanda--> memberikan keyakinan untuk
melakukan sesuatu.
• Konsep mikrokosmos dan makrokosmos (gaib). Percaya kepada
hal-hal kecil dan besar sehingga harus ada ikatan kerjasama
selain itu mereka diidentikkan bahwa desa dengan negara,
pemimpin dan yang lebih besarnya. Primus interparest--> yang
pertama.
Patron-Client Relationship ==> hubungan antara
atasan dengan bawahan, mengharapkan sesuatu.
Pada masa kolonial Belanda ada hubungan ini, yaitu :

Camat ----------------- Kepala Desa


Belanda --------------- Bangsa
Indonesia
(Bawahanlah yang selalu tergantung
pada atasan sehingga
berkembanglah hubungan yang
bersifat feodalis)
Pada abad 19 Patron yang dihadapi bangsa
Indonesia bukan hanya pemimpin saja tetapi
juga sebagai kolonial Belanda, misalnya;
 Belanda : Pribumi :
 Gubernur Jenderal Bupati
 Residen Wedana
 Asisten Residen Camat
 Kontrolir Lurah
 Mandor Petani

(Hubungan ini terjadi untuk mengintensifkan tanam paksa,


hubungan bersifat pengabdian terhadap pemimpin dirinya baik
yang pribumi maupun Belanda)
Karena pemimpin formal tadi tidak bisa diharapkan, maka
petani inilah yang lari ke pemimpin non formal sehingga
inilah yang menjadi penggerak untuk gerakan sosial,
seperti;
 K.H. Hasyim ( Tahun 1888 ) di Banten.
 K.H.Z.Mustofa ( Tahun 1844 ) di
Sukamanah.
Menurut Geertz petani Indonesia mengalami involusi
(agrarian involution). Statisnya para petani yang mengalami
penderitaan sangat mendalam dan yang paling memberatkan
yaitu involusi budaya. Dimulai dari sistem tanam paksa yang
menunjukkan pada sistem irigasi yang dibangun para
kolonial untuk lahan-lahan pertanian pada masa tanam
paksa, itu tidak terlepas karena adanya pengairan :
 Daerah perkebunan tebu--> masyarakat yang dikenakan
wajib tanam paksa ternyata memperoleh hasil yang baik,
bisa di tanam di tanah-tanah subur.
 Satu indikasi lain sistem tanam pakasa cukup
mensejahterakan petani--> ada pertambahan penduduk -->
terjadinya kelaparan.
 Dia mengungkapkan, dilihat dari pertambahan penduduk
yang menjadikan tanah-tanah penduduk menjadi bagian
kecil dengan demikian tanah-tanah pertanian menjadi
sempit --> daerah perkebunan menjadi incaran
pendatang untuk kerja diantara perkebunan tersebut.
Penduduk banyak dan pengeksploitasian tanah
menimbulkan bencana alam yang menyebabkan petani-
petani tersebut merosot pendapatannya, tetapi kondisi
ini dialami para petani yang digambarkan oleh Geertz
sebagai involusi budaya. Hal demikian menimbulkan
kemiskinan struktural yang petani pikirkan bagaimana
cari makan untuk sekarang tanpa menghiraukan pada
masa yang akan datang, ini menunjukkan budaya
subsisten, yang hanya mementingkan budaya
cekap/cukup (menurut Sartono Kartodirdjo).
 Di bagian akhir Sartono menggambarkan berbagai rentetan peristiwa yang
berkaitan dengan land reform yang diundangkan, di pedesaan terjadi
pergolakan khususnya di Jawa Timur, mereka / para petani menuntut
diberikannya tanah yang luas, tentu saja dengan adanya perbedaan struktur
sosial ini memberikan kesempatan kepada PKI dan BTI untuk
memanfaatkan kaum tani ini sehingga dalam tahun 1959 telah terjadi 2000
aksi massa sehari. Tetapi organisasi petani ini terpecah-pecah, ada yang
masuk BTI, Pertanu dan Petani (organisasi tani nasionalis). Karena sejak
tahun 1964, PKI dan BTI menjalankan politik yang radikal dan memusuhi
elite lokal yang konservatif, pergolakan sosial berlangsung jauh lebih sengit
daripada seandainya PKI tidak menempuh jalan itu. PKI berusaha
mengubah ketegangan antara para pemilik tanah dengan kaum buruh tani
menjadi perjuangan revolusioner untuk menghapuskan dominasi kaum
kapitalis birokrat atau kontemprador. Sejak akhir 1963, PKI dan BTI
berupaya keras untuk memperoleh tanah bagi kaum tani melalui tindakan
yang revolusioner sehingga terjadi ketegangan khususnya dengan golongan
Islam dengan melakukan coup, yang pada akhirnya meletus pada tahun
1965 tetapi mengalami kegagalan.

• Dalam tulisannya Michael Adas menggunakan pendekatan lintas wilayah
meluas yang sering tertinggal dalam sejarah non-Barat yang baru dalam
dasa warsa terakhir. Salah satu contohnya adalah peristiwa yang terjadi di
Birma sekitar tahun 1931 mengenai pemberontakan Saya San yang
merupakan pergerakan kelas sosial, dimana terminologi Anthony Wallace
“revitalisasi”adalah label yang paling mewakili dan berguna. Dia
mendefinisikan revitalisasi sebagai “ikhtiar yang disengaja, diorganisasi dan
disadari oleh para anggota masyarakat untuk membentuk budaya yang
lebih memuaskan”. Proses ini menganggap bahwa para partisipan dalam
gerakan ini merasa bahwa aspek utama dalam budaya mereka saat itu
tidak lagi mampu bertahan. Revitalisasi tidak saja melibatkan perubahan,
yang mempengaruhi hal-hal yang hampir lenyap, tetapi juga akan mengarah
pada penciptaan budaya baru. Konsep revitalisasi Wallace mencakup
pergerakan sosial, termasuk nativistik, millenial, mesianik, nostalgik,
sektarian dan revivalis sebagai contoh label yang saat ini paling luas
digunakan. Pergerakan semacam ini telah bergolak di dalam masyarakat
mana saja dan lokasi yang berbeda di dunia.
 Tulisannya juga menyajikan bentuk-bentuk tertua dari
berbagai tingkah laku kelompok yang beragam, mulai
dari pemberontakan lokal dan spontan sampai kepada
gerakan yang terorganisasi yang dapat
menghanyutkan seluruh masyarakat. Beberapa bentuk
pergerakan ‘revitalisasi’ berbeda-beda, misalnya; ada
yang menggunakan kekerasan dan perlawanan yang
rapi, ada yang menekankan pada pembaharuan yang
bersifat damai atau menarik diri secara pasif, ada yang
memusatkan diri pada pembentukan sekte-sekte
agama baru atau gereja-gereja separatis dan sering
organisasi semacam ini aktif menghembuskan
pertikaian politik.
• Dalam gerakan-gerakan tertentu para partisipan secara sadar berjuang
untuk menghidupkan kembali adat tradisional atau kepercayaan mereka
dan membersihkannya dari elemen-elemen asing. Disisi lain pendukung
gerakan seperti gerakan Kargo di Melanesia, telah dirasuki keinginan
memperoleh barang-barang asing dan mencontoh bentuk organisasi dan
tingkah laku asing. Gerakan-gerakan revitalisasi dan berbagai situasi yang
menimbulkannya memberikan bahan bagi pengkajian dislokasi dan
deprivasi, demikian pula sebagai pendorong inovasi, yang dihasilkannya
dari kontak budaya dan proses akulturasi, contohnya; beberapa masyarakat
di zaman kolonial atau sesudah kolonial di Afrika, Asia dan Oceania,
gerakan ‘revitalisasi’ telah terlihat sebagai kunci dari protes sosial terhadap
kondisi yang dihasilkan oleh pemerintah Eropa. Hal tersebut dipandang
sebagai usaha untuk menciptakan ideologi-ideologi baru, lembaga-lembaga
dan persatuan sosial dalam situasi dimana pandangan dunia lama dan
hubungan adat terkikis oleh transformasi yang dihasilkan oleh penaklukan
Eropa. Gerakan revitalisasi ini merupakan mobilisasi awal politik massa
dan pengungkapan cikal-bakal sentimen nasionalis dikalangan mayarakat
yang terjajah.
• Michael Adas, berupaya memusatkan perhatian pada gerakan “revitalisasi”
berbentuk pemberontakan yang diilhami oleh Nabi pada masyarakat non-Barat
terhadap rezim kolonial Eropa yang mendominasi, sebab setiap karakteristik ini
memainkan peranan kunci dalam contoh-contoh setiap kasus sebagai perbandingan,
penjelasan tentang penggunaan terminologi dalam suatu kajian. Tujuan penulisan ini
yaitu mengkaji hubungan antara kebangkitan para pemimpin kenabian (prophetic
leaders) dengan protes kekerasan. Para pengikut gerakan ini berusaha mengubah
sistem sosial-budaya mereka dengan cara di luar hukum daripada agitasi
konstitusional, dengan kekerasan dibanding pembaharuan, penarikan diri atau
perlawanan pasif. Setiap kelompok memberontak dengan maksud tidak hanya
menggulingkan rezim politik yang ada tetapi juga ingin mengubah keteraturan sosio-
budaya yang ada. Tujuan mereka adalah revolusioner, walaupun pandangan mereka
terhadap orde alternatif sangat berbeda dari yang diasosiasikan oleh para ahli ilmu
sosial dengan revolusi yang sesungguhnya. Tulisan ini bermaksud memberikan
analisa tentang gambaran sekilas mengenai pengaruh difusi dari beberapa aspek
revolusi komersial-industrial Eropa Barat ke dalam masyarakat Afrika, Asia dan
Oceania yang sangat berbeda, proses difusi transformasi ini merupakan isu sentral
dalam sejarah dunia modern, memberikan kerangka umum yang digunakan untuk
membandingkan beberapa gerakan yang dipilih dalam usaha mengidentifikasi pola-
pola umum.
Seperti telah disebutkan bahwa setiap kasus yang
melibatkan protes kekerasan diiringi dengan munculnya
pemimpin kenabian. Nabi didefinisikan sebagai seorang
yang percaya dan mampu meyakinkan orang lain bahwa ia
mempunyai kontak khusus dengan kekuatan supernatural
melalui mimpi-mimpi, ramalan dan wahyu-wahyu khusus.
Para pengikut nabi diyakinkan bahwa ia memiliki kekuatan
yang melebihi manusia biasa yang sering ditunjukkan dalam
kemampuan meramal atau menyembuhkan, dalam
beberapa kasus nabi itu mengaku atau dianggap oleh
pengikutnya yang setia sebagai penjelmaan Tuhan. Nabi
tersebut menjanjikan keselamatan bagi para pengikutnya,
diungkapkan melalui bayangan masa depan yang penuh
kesejahteraan (millenarian vision) yang beraneka ragam
sesuai dengan idiom kebudayaan dimana ia berada.
• Setiap gerakan memiliki keyakinan akan tercapainya keselamatan abadi
yang melibatkan perubahan radikal di dunia. Kekuatan supernatural
diharapkan berperan dalam perubahan ini dan menuntun manusia kedalam
dunia yang sempurna, dan hanya dapat dinikmati oleh para pengikut yang
setia sebagai suatu kelompok. Setiap gerakan yang pernah diteliti
menggambarkan adanya suatu kecenderungan nativistik yang beraneka
ragam, seperti; adanya ‘kesadaran’ dan usaha-usaha yang ‘terorganisasi’,
dipihak partisipan untuk menghidupkan kembali atau memelihara aspek-
aspek tertentu dalam budaya mereka. Gerakan-gerakan ini juga berusaha
menghancurkan dan mengusir agen-agen, ide-ide dan peniruan-peniruan
kebudayaan asing yang dominan. Para pengikut gerakan mengharapkan
dapat menghancurkan rezim kolonial Eropa dan mengusir para pendatang
kulit putih dan para misionaris Kristen, demikian pula para penjabat asing
non-Eropa, tentara bayaran dan kelompok pedagang. Setiap gerakan
mencerminkan tingkat akulturasi dalam ideologi, tingkah laku dan pola
organisasi yang beraneka ragam. Gerakan-gerakan ini bukan merupakan
nativisme murni atau asimilasi total melainkan perpaduan dari keduanya.
Pada dasarnya terdapat perbedaan didalam setiap gerakan
pada pihak kolonial dan masyarakat yang dijajah. Tiga
imperialis Eropa, seperti; Inggris, Belanda dan Jerman
digambarkan dalam situasi yang berkisar dari kontrol
langsung yang mendalam oleh Inggris di Birma Bawah
sampai pada pemerintahan tidak langsung yang dilakukan
oleh Belanda terhadap kerajaan di Jawa Tengah. Salah satu
kasus yaitu gerakan Pai Maire Maori melibatkan para
pendatang Eropa. Dalam semua gerakan lainnya kelompok
- kelompok imigran memainkan peranan kunci, misalnya;
administrator, pedagang, tuan tanah dan buruh. Pengaruh
misionaris Kristen memainkan peranan penting dalam
gerakan Pai Maire dan Birsa, peranan perifer dalam
kebangkitan Maji-Maji, tetapi hampir tidak mendapat
tempat dalam pemberontakan di Birma dan Jawa.
 Michael Adas dalam tulisannya mencoba menitikberatkan pada pola
kepemimpinan pribumi, namun tidak berarti mengabaikan gerakan/protes
petani di desa, hal ini didasarkan pada keinginan agar tidak terpaku pada
basis di desa saja. Sebagai contoh bahwa lingkungan sosio-budaya dari
kasus-kasus inti ini mulai dari para wakil “Tradisi Besar” Islam dan Budha
sampai orang Maori yang terisolasi dan didominasi oleh animisme di North
Island, Selandia Baru. Dua dari masyarakat yang dipelajari (di Birma dan
Jawa) telah mengembangkan sistem politik yang cukup tersentralisasi
sebelum penaklukan oleh orang Eropa, sedangkan ketiga masyarakat
lainnya memiliki ciri desentralisasi dan acephalous dengan lembaga-
lembaga politik yang berlandaskan pada campuran hubungan kekeluargaan
dan pengaruh lokal. Geografi kesejarahan dari kelima kasus tersebut
meliputi contoh-contoh daerah perbatasan, pindahnya penduduk di daerah
rendah ke lereng gunung, dan daerah inti yang sangat padat penduduknya.
Skala pemberontakan bervariasi dari perang Jawa, melibatkan ratusan ribu
pemberontak dan mempengaruhi jutaan orang, sampai pada kebangkitan
Birsa, pemberontakan kecil dan relatif terlokalisasi.
 Orang-orang Eropa dalam menjalankan penjajahannya
berusaha untuk mengintensifkan pola yang telah
dibentuk atau sedang dibentuk oleh kekuatan pribumi
tetapi dilain pihak mereka memperkenalkan inovasi dan
perusakkan baru, kedua hal tersebut pada intinya
merupakan suatu kemunduran bahkan menurut Michael
Adas persis pada waktu masa pra-Eropa, mereka
melakukannya secara paksa terhadap orang-orang
pribumi. Dengan adanya pemberontakan yang
diinspirasikan oleh nabi melibatkan restorasi dan
reformasi ide-ide dan lembaga-lembaga adat, demikian
juga pengerahan unsur asing dan pandanganmasa
depan yang penuh kesejahteraan dari masyarakat baru.
 Perlu digarisbawahi bahwa berbagai kasus pemberontakan/protes sosial
dikaitkan dengan konsep/pendekatan yang sesuai untuk memahami hal
tersebut yaitu dengan ‘konsep deprivasi relatif’. Dalam situasi seperti ini,
sejumlah individu dan kelompok diantara orang yang dikolonisasi merasa
adanya kesenjangan yang timbul antara apa yang mereka harapkan dalam
segi status dan perolehan materi dengan apa yang mereka miliki /
kapasitas mereka untuk memperolehnya. Persepsi atas penyimpangan
antara harapan dan kapasitas ini menimbulkan deprivasi perasaan (sense
of deprivation) yang secara relatif dan kolektif telah dialami. Para individu
dan kelompok membandingkan status dan kemampuan mereka satu sama
lain, atau sama pentingnya, terhadap orang-orang yang ada (atau mereka
pikir pernah ada) pada zaman sebelumnya. Dalam proses ini, unsur
perubahan sangat kritis, karena “perubahan itu sendiri menciptakan
penyimpangan antara pengharapan yang dibenarkan dan kenyataan, baik
dengan memperburuk kondisi kelompok/menghadapkan kelompok itu
pada standar baru”. Akibat tekanan dan keputusasaan yang menyertai
perasaan deprivasi relatif cukup berat dan merata, hal itu menimbulkan
gerakan protes kolektif yang direncanakan untuk memperbaiki ketegangan
dengan menutup kesenjangan antara pengharapan partisipan dan
kapasitas mereka.
 Michael Adas, mencoba meneliti kasus yang berkaitan
di atas, antara lain :
 Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran
Diponegoro di Hindia Timur-Belanda (1825-1830).
 Gerakan Pai Maire atau Hau Hau oleh orang Maori di
Selandia Baru (1864-1867).
 Kerusuhan-kerusuhan Birsa diantara Munda di Chota
Nagpur di India Tengah-Timur (1895-1900).
 Pemberontakan-pemberontakan Maji-Maji di Afrika
Timur-Jerman (1905-1906).
 Kebangkitan Saya San di Birma (1930-1932).
 Disamping itu teori deprivasi relatif digunakan untuk kajian perbandingan protes
sosial, karena teori ini cukup fleksibel dalam mengkaji keanekaragaman penyebab
timbulnya gerakan yang berbeda. Konteks historis/ situasi sosio-budaya yang
menghasilkan perasaan deprivasi relatif sangat bervariasi. Tuntutan ekonomi
merupakan salah satu pusat dalam suatu kasus disamping agama/kepercayaan
atau status sosial pada kasus yang lain. Meskipun banyak para ahli yang mengritik
usaha Aberle untuk mengembangkan teori deprivasi relatif sebagai suatu teori
materialistik yang sempit, konsep tersebut dapat diterapkan secara efektif pada
sumber-sumber potensial penyebab ketidakpuasan yang luas, termasuk
kemerosotan individual dan integritas kelompok, kehilangan pengharapan
terhadap diri sendiri, kerasnya adat kebiasaan, dan hubungan yang telah lama
dipelihara. Berbagai kolonialisme pada intinya menerapkan kontrol politik dengan
tingkat yang lebih tinggi seperti; tuntutan ekonomi yang lebih berat tetapi juga
menimbulkan masalah legitimasi, etnik dan norma-norma sosial yang dilanggar
dalam setiap aspek kehidupan yang dijajah. Melalui teori deprivasi relatif ini
diharapkan dapat menghubungkan dan membandingkan berbagai sumber dengan
protes kolektif yang tidak pernah berhenti.
 mengamati
 Dengan demikian Michael Adas melalui
penelitiannya melalui pendekatan lintas
wilayah dapat menelusuri dan mengamati
setiap perubahan yang terjadi didalam
masyarakat seiring dengan waktu yang terus
berjalan, malalui berbagai data dan fakta yang
diperoleh diharapkan dapat membuka tabir
suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai