Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH

NAMA : NURUL
FADHILAH
ABSEN : 25
HASIL KEBUDAYAAN PADA
ZAMAN MANUSIA PURBA
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa
lampau melalui benda-benda artefak. Dari hasil penelitian para
arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat praaksara Indonesia
dapat diketahui. Berdasarkan alat-alat atau benda-benda yang
ditinggalkan oleh manusia praaksara, para ahli membagi
periodesisasi perkembangan budaya pada masyarakat awal
Indonesia menjadi dua zaman, yaitu zaman batu dan zaman
logam. Zaman batu dibagi menjadi zaman batutua (Paleolitikum),
batu tengah (Mesolitikum), Batu Muda (Neolitikum), dan Batu
Besar (Megalitikum). Adapun zaman logam dibagi menjadi
Tembaga, zaman perunggu, dan zaman besi. Namun, di asia
tenggara peninggalannya terlalu sedikit dan waktunya juga
bersamaan dengan zaman perunggu. Oleh karena itu, zaman
logam di Indonesia hanya mengenal zaman perunggu.

Zaman ini disebut zaman batu karena pada zaman ini alat
perkakas manusia masih terbuat dari batu. Misalnya, alat untuk
mengolah makanan. Dari alat-alat tersebut bisa diketahui system
pengetahuan dan kehidupan social ekonomi manusia purba.
Zaman Batu Tua (Paleolithikum)
Zaman batu tua diperkirakan berlangsung selama masa Kala Plestosen kira-kira
600.000 tahun yang lalu. Perkembangan kebudayaan pada masa ini diperkirakan sangat
lambat karena pada masa ini berlangsung zaman es (Glasial). Pada zaman batu tua,
alat-alat budya yang ditemukan tersebut dari batu yang dibuat dengan sangat kasar
serta sederhana. Cara pembuatannya hanya dibentur-benturkan antara batu yang satu
dengan batu yang lain sehingga menyerupai kapak dan dipergunakan sebagai alat.
Alat-alat budaya dari zaman batu ini banyak ditemukan di daerah pulau jawa.
Berdasarkan tempat penemuannya, hasil-hasil kebudayaan zaman batu tua dibagi
menjadi dua, yaitu Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
Kebudayaan Pacitan
Alat-alat kebudayaan Pacitan berupa kapak genggam, kapak perimbas, kapak
penetak, pahat genggam, falke (alat serpih). Di samping di daerah Pacitan,
alat-alat batu sejenis juga terdapat di daerah-daerah Sukabumi (Jawa Barat),
Perigi dan Gombong (Jawa Tengah), Tambangsawah (Bengkulu), Lahat
(Sumatera Selatan), Kalianda (Lampung), Awang Bangkal (Kalimantan
Selatan), Sembiran, Truyan (Bali), Batu Tring (Sumbawa), Maumere (Flores),
serta Atambua (Timor).
Kebudayaan Ngandong
Peralatan zaman budaya Batu Tua juga banyak ditemukan di daerah sekitar
Ngandong dan Sidorejo dekat ngawi, Jawa Timur. Alat-alat hidup yang ditemukan di
dearah ngandong berupa kapak-kapak genggam dari batu serta alat-alat serpih
(Flake), dan alat-alat dari tulang berupa alat penusuk (belati). Alat-alat budaya
kebudayaan ngandong juga ditemukan di daerah sangiran (Jawa Tengah) dan di
daerah Cabenge (Sulawesi selatan). Alat-alat yang berhasil ditemukan berupa alat-
alat serpih (Flake) dan alat-alat yang dibuat dari batu Chaldecon.

Antara tahun 1931 dan 1933 Von Koeningswald telah berhasil menemukan 14 fosil
Phitecanthropus di Desa Ngandong, Lembah Bengawan Solo. Fosil-fosil ngandong
tersebut menjadi terkenal dan diperdebatkan para ahli Paleoantropologi. Pada tahun
1976, 14 fosil tersebut dikembalikan kepada pemerintah Indonesia oleh Von
Koeningswald dan selanjutnya disimpan di Lemaba Paleoantropologi Universitas
Gajah Mada.
Zaman Batu Tengah (Mesolithikum)
Zaman batu tengah atau madya (Mesolithikum) berlangsung pada masa Kala Holosen.
Pada zaman batu tengah, alat-alat batu dari zaman batu tua masih terus digunakan dan
telah mendapat pengaruh dari wilayah Asia daratan. Bahkan, alat-alat tulang dan Flake
dari zaman batu tua memegang peranan penting pada zaman batu madya. Manusia
pada masa ini juga telah mampu membuat gerabah yang dibuat dari tanah liat yang
dibakar. Salah satu ciri khas kebudayaan batu tengah ialah adanya sampah-sampah
dapur dari kulit kerang, yang merupakan bekas-bekas tempat tinggal mereka. Sampah
dapur (Kjokkenmoddinger) ini banyak ditemukan di sepanjang pesisir pantai timur
sumatera. ciri khas lain adalah adanya kehidupan di gua-gua (abris sous roche) di
daerah pedalaman jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan lokasi penyebarannya, kebudayaan Madya meliputi
tiga jenis, antara lain :

 Kebudayaan kapak genggam Sumatera (Pubble Culture)

 Kebudayaan tulang sampung (Bone culture)

 Kebudayaan Toala (flake culture)


Di daerah lain alat-alat dari batu dan tulang zaman batu Madya yang sejenis
dengan hasil penemuan beberapa alat-alat dari kerang serta tulang sampung
ditemukan di daerah Besuki dan di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Pendukung
utama kebudayaan tulang sampung adalah manusia ras Papua Melanesoid. Hal
tersebut bisa dibuktikan dengan penemuan fosil-fosil manusia ras Papua
Melanesoid yang menyertai penemuan alat-alat budaya zaman batu madya di
bukit-bukit kerang Sumatera Timur (yang menjadi tempat tinggal pendukung
kebudayaan kapak sumatera), maupun digua-gua di daerah sampung dan
bojonegoro, Jawa Timur. Pada penelitian digua-gua wilayah maros, bone, dan
Bantaeng (Sulawesi Selatan) juga ditemukan alat-alat serpih (flake) dan batu
penggiling, gerabah, dan kapak sumatera (pebble). Ciri khas kebudayaan Toala
ialah flakes bergerigi. Ciri khas kebudayaan toala tersebut juga ditemukan di gua-
gua Pulau Timor, Flores, dan Roti, Nusa Tenggara Timur. Dalam penelitian di
daerah Priangan, Bandung ditemukan flake yang terbuat dari obsidian (batu hitam).
Karena banyaknya alat-alat serpih (flakes) yang ditemukan serta memiliki
keistimewaan (flakes bergerigi) pada alat kebudayaan Toala maka seorang arkeolog
bernama Alfred Buhler menyebutnya dengan istilah Flakes Culture.
Zaman Batu Muda (Neolithikum)
Perkembangan kebudayaan zaman batu Muda (Neolithikum) sudah sangat maju jika dibandingkan
dengan masa sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya migrasi secara bergelombang bangsa Proto
Melayu dari wilayah Yunan di Cina Selaan ke wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Para
pendatang tersebut membawa kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong serta menyebarkannya
ke daerah-daerah yang dituju. Kedua kebudayaan itu akhirnya menjadi ciri khas kebudayaan
Neolithikum. Selain itu, pada masa ini juga muncul keterampilan mengasah benda-benda hingga
halus sehingga benda-benda yang dihasilkan, seperti kapak persegi maupun kapak lonjong sudah
dibuat dengan teknik asahan yang sangat halus. Pada masa Neolithikum, kepandaian membuat
benda-benda gerabah sudah semakin maju dan dibuat dengan teknik yang halus. Peninggalan masa
Neolithikum ini terdapat hampir merata di seluruh Kepulauan Sumatera. Menurut R. Soekmono,
kebudayaan neolithikum menjadi dasar kebudayaan Indonesia sekarang. Kebudayaan Neolithikum
terbagi menjadi dua, yaitu kebudayaan kapak persegi dan kebudayaan kapak lonjong.
Kebudayaan Kapak Persegi
Kapak persegi berbentu persegi panjang trapezium, kapak persegi ditemukan di Sumatera, Jawa, dan Bali,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan. Berdasarkan penelitian arkeologis, penyebaran kapak
persegi diperkirakan dari Asia Tenggara ke Kepulauan Nusantara melalui Jalan barat, yaitu dari Yunan (Cina
Selatan) terus ke semanjung Malaka, dan masuk ke Indonesia melalui Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Maluku. Di beberapa tempat di jawa dan sumatera juga ditemukan pusat-pusat kerajinan
kapak persegi. Misalnya, di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Karawang, dan Tasikmalaya
( Jawa Barat), dan di Pacitan serta lereng selatan gunung Ijen di Banyuwangi (Jawa Timur). Kapak-kapak
persegi itu terbuat dari batu-batu chalchedon yang sangat halus. Para arkeolog memperkirakan bahwa benda-
benda tersebut kemungkinan dibuat sebagai lambang kebesaran, jimat, alat upacara, atau alat tukar.
Kebudyaan Kapak Lonjong
Kapak lonjong adalah kapak yang penampangnya berbentuk lonjong.
Ujungnya yang agak lancip biasanya dipasangi tangkai, sedangkan ujung
lainnya yang berbentuk bulat diasah hingga tajam. Kapak lonjong berukuran
besar dinamakan Wazlenbeil, sedangkan yang berukuran kecil disebut
Kleinbeil. Daerah penyebaran kapak lonjong sebagian besar ditemukan di
Papua. Karena banyak ditemukan di Papua, Kebudayaan kapak lonjong ini
dinamakan Neolithikum papua. Diderah lainnya, kapak lonjong juga
ditemukan di Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Kepulauan Tanimbar,
Leti, dan Maluku.
Zaman Batu Besar (Megalithikum)
Kebudayaan Batu Besar atau Megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan
bangunan-bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar. Tujuan
pembangunan banguna-bangunan monumental tersebut adalah sebagai sarana
pemujaan terhadap nenek moyang. Kebudayaan megalithikum berlansung hingga
zaman logam. Bahkan sampai saat ini, masih banyak dijumpai adanya sisa-sisa tradisi
megalithikum di berbagai wilayah Indonesia. Misalnya, di Pulau Nias (Sumatra);
Sumba dan Flores (Nusa Tenggara); serta Toraja ( Sulawesi Selatan). Adapun
kebudayaan-kebudayaan Megalithikum meliputi menhir, punden berundak, dolmen,
kubur peti batu, sarkofagus (keranda jenazah), waruga (peti jenazah kecil), serta arca-
arca megalithic.
Menhir
Menhir adalah tugu besar dibuat dari batu inti yang masih kasar. Bangunan
itu ditemukan di sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

Dolmen
Dolmen adalah sebuah batu besar seperti meja, daun dan kakinya terbuat
dari batu utuh yang dihaluskan. Bangunan itu ditemukan di Bondowosi
(Jawa Timur).

Sarkofagus
Sarkofagus adalah batu yang dibentuk seperti lesung tetapi agak bulat,
terdiri atas wadah dan tutup. Benda ini banyak ditemukan di Bali.

Peti Kubur Batu


Peti kubur batu adalah bangunan berupa peti batu dengan empat buah
papan batu atau dengan bentuk seperti peti mati zaman sekarang. Benda
itu ditemukan di Sumatera dan Kuningan, Jawa Barat.

Punden Berundak
Punden berundak adalah bangunan pemujaan yang tersusun bertingkat-
tingkat.
Perlu diketahui bahwa munculnya bangunan-bangunan megalithikum itu adalah
sesudah manusia dapat membuat gerabah, tetapi sebelum zaman perunggu dan
zaman besi.

Adanya zaman logam yang menggantikan zaman batu sebenarnya hanyalah untuk
menyatakan bahwa pada saat itu logam mulai dikenal dan dipergunakan orang untuk
bahan membuat alat-alat keperluan hidupnya. Meskipun sudah terdapat alat-alat dari
logam, alat dari batu masih tetap dipergunakan dalam kehidupan manusia. Pada
umumnya para ahli mengatakan bahwa zaman logam Indonesia adalah zaman
perunggu karena disamping alat-alat daribesi yang ditemukan jumlahnya terlalu
sedikit, alat-alat besi juga tidak begitu banyak bedanya dengan alat-alat dari
perunggu. Hasil-hasil kebudayaan dari zaman perunggu yang cukup penting adalah
kapak corong, nekara, barang-barang perhiasan, bejana perunggu, dan arca-arca
perunggu. Kapak corong adalah kapak yang bagian atasnya berlubang berbentuk
corong yang dipergunakan untuk memasukan tangkai kayu. Kapak corong banyak
ditemukan di daerah Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, pulau Selayar dan Papua. Kapak Corong digunakan untuk tanda kebesaran
atau alat upacara dinamakan Candrasa. Daerah penemuan Candrasa adalah di
Yogyakarta dan Pulau Roti, Nusa Tenggara, Kapak-kapak corong banyak dibuat
dengan teknik a cire perdue.
Nekara adalah genderang besar yang dibuat dari perunggu. Nekara banyak
ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Bali, Pulau Sangean, Sumbawa, Roti, Leti,
Selayar, dan Kepulauan Kei. Berdasarkan penyelidikan, nekara dipergunakan
sebagai alat upacara keagamaan. Hiasan pada nekara dapat member petunjuk
adanya kegiatan keagamaan dan kebudayaan masyarakat yang berkembang
saat itu. Di samping itu, lukisan pada nekara juga dapat memberi petunjuk daerah
persebaran kebudayaan perunggu. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui bahwa
kebudayaan perunggu Indonesia merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan
AsiaTenggara. Misalnya, pada nekara yang ditemukan di Pulau Selayar dan
Kepulauan Kei terdapat hiasan gambar gajah, burung merak, dan harimau yang
sama sekali tidak terdapat pada wilayah timur Indonesia. Oleh karena itu, dapat
lah dismpulkan bahwa nekara-nekara itu berasal dari wilayah barat Indonesia.

Meskipun penemuan fosil-fosil manusia furba banyak terdapat di Pulau Jawa,


namun secara umum hasil-hasil budaya peninggalan manusia zaman praaksara
ditemukan hampir diseluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Jenis-jenis manusia
purba dan hasil-hasil budaya yang dihasilkan serta daerah-daerah penemuannya.

Anda mungkin juga menyukai