Anda di halaman 1dari 12

PAJAK UMUM

Pajak-pajak umum dibagi dalam 7 golongan :

1. Pajak-pajak perseorangan atas sisa-sisa didalamnya termasuk pajak pendapatan atas


penduduk (seperti telah diuraikan dalam 155 mengenai pajak subjektif) yang
dimaksud dengan sisa adalah jumlah sisa sebelum pemungutan pajak. Dalam pajak
ini diperhatikan gaya pikul wajib pajak.
2. Pajak-pajak perbedaan atas sisa-sisa yang didalamnya termasuk pajak pendapatan
atas bukan penduduk, pajak perseroan, pajak upah, verpending bukan bangunan.
Untuk pajak-pajak ini keadaan wajib pajak tidak diperhatikan.
3. Pajak-pajak atas kekayaan seperti pajak kekayaan, verponding bangunan.
4. Pajak-pajak atas tambahannya kekayaan seperti bea balik nama dan bea
pemindahan karena memperoleh harta tetap sebagai warisan atau dalam hibah
wasiat.
5. Pajak langsung atas pemakaian seperti Pajak Rumah Tangga, Pajak Anjing, Bea
lelang.
6. Pajak tidak langsung atas pemakaian seperti bea masuk, cukai-cukai, pajak
peredaran dan pajak potong hewan.
7. Pajak-pajak yang menaikan ongkos-ongkos produksi seperti Bea balik nama atas
Perjanjian penyerhan dan atas akta – akta mengenai kapal, dan juga Bea Materai
atas tanda-tanda yang bersifat hukum perdata. Pajak ini ditujukan sebagai pengganti
kerugian kepada pemerintah yang telah mengerjakan sesuatu bagi para produsen.
PAJAK TERTULIS DAN PAJAK TIDAK TERTULIS
Pajak Tertulis
Adalah pajak-pajak yang pada permulaan tahun atau pada permulaan suatu masa telah
tersusun suatu daftar yang berisikan data-data tertentu dari para wajib pajak.

Pajak Tidak Tertulis


Adalah pajak-pajak yang umumnya timbul karena suatu kejadian atau perbuatan yang
tidak diketahui sebelummnya siapa yang melakukannya. Sehingga tidak mungkin untuk
disusun suatu daftar W.P terlebih dahulu.

Perbedaan antara pajak tertulis dan tidak tertulis dianggap sangat kuno,tetapi untuk
indonesia masih penting dan mempunyai akibat-akibat hukum tertentu. Walaupun
bukan dengan nama tertulis dan tidak tertulis melainkan dengan pengertian pajak
berkohir dan pajak tidak berkohir.
Akibat-akibat itu ialah :
1. Mengenai persoalan timbulnya hutang
2. Mengenai daluarsa
3. Untuk naik banding
4. Mengenai penagihan susulan
5. Dalam bidang penagihan (dengan surat paksa )
MPS dan MPO
Sejak disadari bahwa tata cara pemungutuan pajak yang lama ( golongan B dan golongan
C ) itu jalannya sangat seret, timbulnya gagasan untuk mengubah cara pemungutan lama
itu dengan cara Self Assisment. Cara pemungutan lama berasal dari zaman India Belanda
dan juga masih berlaku di Belanda sendiri ( dengan perbedaan dengan cara penetapan
sementara dilaksanakan atas dasar pemberitahuan wajib pajak ). Sistem self assesment
dilakukan atara lain Amerika Serikat dan Jepang.

Dalam tata cara self assesment kegiatan pemungutan pajak diletakan pada aktifitas dari
masyarakat sendiri yang memberi kewajiban kepada wajib pajak untuk :

a. Menghitung sendiri besarnya pendapatan/kekayaan/laba.


b. Menghitung sendiri besarnya pajak pendapatan/kekeyaan/perseroan yang terutang
dan menyetorkannya ke kas negara.

Tatacara ini hanya dapat berhasil baik bilamana masyarakat pembayar pajak sendiri
memiliki pengetahuan dan displin pajak yang tinggi (Tax Consciouness)
Menyadari akan kurang tebalnya disiplin perpajakan dari masyarakat, maka pelaksanaan
tatacara “menghitung pajak sendiri” (negara kita) tidak sepenuhnya diserahkan kepada
wajib pajak. Penghitungan besarnya pendapatan / laba itu disesuaikan dengan kondisi
masyarakat dengan cara menetapkan dasar pungutan (Tax Base) dan menetapkan
tarifnya (Tax Rate) sebagai langkah permulaan untuk menuju ke arah pelaksanaan, self
assesment yang murni.

Self Assesment yang murni adalah berarti menghitung dan menyetor pajak sendiri; ini
lah yang menjadi dasar, MPS seperti sekarang berlaku dapam PPH 1984.

Adapun yang dinamakan cara pemungutan Semi Self Assement (SSA). Maka dasarnya
adalah pembayaran oleh wajib pajak sendiri tetapi dihitung dan disetorkan ke kas
negara oleh orang lain. karenanya disebut semi self assement, dan ini merupakan dasar
untuk MPO.
Cara pemungutan SSA ini dalam hukum pajak disebut “ pemungutan pada sumber “ dan
termasuk kedalam cara pemungutan golongan A
CARA PEMUNGUTAN PAJAK
Dalam hukum pajak dikenal tiga macam yang memungut pajak
atas suatu penghasilan atau kekayaan yaitu :
a. Sistem Nyata
b. Sistem Fiktip
c. Sistem Campuran

Sistem Nyata
Sistem nyata mendasarkan pengenaan pajak pada penghasilan
yang sungguh-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak.
Berapa besarnya penghasilan sesungguhnya ini sudah barang
tentu baru akan dapat diketaui pada akhir tahun itu. Oleh
karenanya maka pngenaan pajak dengan memakai cara ini
merupakan suatu pungutan kemudian baru dikenalka setelah
lampau tahun yang bersangkutan seperti halnya dengan pajak
perseroan dan pajak pendapatan 1994.
Sistem Fiktif
Sistem Fiktif bekerja dengan suatu anggapan. Anggapan ini
bermacam-macam jalan fikirannya tergantung dari bunyi kata
undang-undang yang bersangkutan, adakalanya pnghasilan
siwajib pajak sama bersarnya dengan penghasilan
sesungguhnya dalam tahun yang baru lalu dengan sama sekali
tidak terpengaruh oleh besarnya penghasilan yang sungguh-
sungguh diperoleh dalam tahun yang sedang berjalan itu yang
akan baru dipakai sebagai pada setiap permulaan tahun telah
dapat ditetapkan pajak untuk tahun yang sedang berjalan itu.
Sistem Campuran
Sistem campuran umumnya mendasarkan pengenaan pajaknya atas kedua
stelsel tersebut dimuka. Sebagai contoh dikemukakan cara yang dipakai oleh
inkomstenbelasting 1932 sebelum diganti menjadi pajak pendapatan 1984.
inkomstenbelasting itu mula-mula mendasarkan pengenaan pajaknya atas
suatu anggapan bahwa suatu penghasilan sesorang dalam tahun pajak
dianggap sama besarnya dengan penghasilan sesungguhnya dalam tahun
yang baru saja lampau. Kemudian setelah tahun pajak itu berakhir , maka
anggapan yang semula dipakai oleh fiskus disesuaikan dengan kenyataan
dengan jalan mengadakan pembetulan-pembetulan sehingga dengan
demikian beralihlah pemungut pajak dari sistem fiktip ke sistem nyata.
Dimana perlu dengan cara semacam itu dalam batas-batas tertentu, fiskus
dapat menaikan atau menurunkan pajak yang semula telah dihitung
berdasarkan sistem anggapan. Kesemua sistem ini harus dengan nyata-
nyata disebutkan dalam undang-undang masng-masing, sekali termuat
didalamnya fiskus harus menaatinya dan tidak dibenarkanlah memilih cara
yang menyimpang daripadanya dengan sesuka hatinya.
PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

A. Pendapatan Daerah Dalam Konteks Pelaksanaan Otonomi Daerah

1.Dasar Hukum Otonomi Daerah


Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “ Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas Daerah-daerah Provinsi yang terdiri dari Kabupaten
dan Kota yang diatur dengan Undang-Undang ayat (2) bahwa
Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas
pembantuan. Dalam ayat (5) dinyatakan bahwa Pemerintahan Daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang
oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan pusat.
PERBEDAAN PAJAK DAN PEMBAGIANNYA
• JENIS-JENIS PAJAK BERDASARKAN SIFATNYA
A.PAJAK ATAS KEKAYAAN DAN PENDAPATAN
B.PAJAK ATAS LALU LINTAS ( LALU LINTAS HUKUM, LALU
LINTAS KEKAYAAN DAN LALU LINTAS BARANG
C.PAJAK YANG BERSIFAT KEBENDAAN
• JENIS-JENIS PAJAK BERDASARKAN CIRINYA :
A.PAJAK SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF
B.PAJAK LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG
C.URUNAN DAN PAJAK UMUM
D.PAJAK UMUM DAN PAJAK DAERAH
2. Prinsip-Prinsip Pemberian Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut:

• Demokrasi, keadilan, pemerataan potensi dan keanekaragaman


• Luas dan bertanggungjawab
• Terletak pada Kabupaten dan Kota sedangkan Provinsi otonomi terbatas
• Harus sesuai dengan konstitusi negara, serasi antara pusat dan daerah dan antar
daerah.
• Kemandirian dan tidak ada lagi wilayah administratif
• Kawasan-kawasan khusus yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain
• Lebih meningkatkan fungsi dan peranan badan legislatif daerah
• Asas desentralisasi diletakan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi
• Asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari pemerintah pusat kepada
daerah secara langsung kepada pemerintah desa disertai dengan sarana
prasarana dan sumber daya manusia.
ENAM FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
DESENTRALISASI (ORMAR AZFAR ; 1999)

1. KERANGKA KERJA HUKUM DAN POLITIK;


2. KEBIJAKAN FISKAL;
3. TRANSPARANSI DALAM TINDAKAN PEMERINTAH;
4. PARTISIPASI WARGA DALAM PENYEDIAAN JASA
PUBLIK;
5. MASYARAKAT SIPIL DAN STRUKTUR SOSIAL; DAN
6. KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH.
1. Intensifikasi Pemungutan Pajak Daerah
Instrumen keuangan daerah sebagai penerimaan daerah antara lain pajak
daerah dan retribusi daerah yang merupakan sumber keuangan daerah yang
bersifat konvensional.
Pajak daerah merupakan instrumen konvensional yang sering digunakan oleh
banyak negara. Penerimaan pajak digunakan untuk membiayai prasarana dan
pelayanan perkotaan yang memberikan manfaat bagi masyarakat umum yang
biaya disebut juga sebagai publik goods, yang dapat digunakan untuk
membiayai satu dari tiga pengeluaran antara lain:
• Investasi total (pay as you go);
• Pembayaran hutang (pay as you use);
• Dan menambah dana cadangan untuk investasi

2. Intensifikasi Retribusi sebagai pemulihan biaya


Retribusi diarahkan pada pelayanan pemerintah yang bersifat final (final good)
yang mempunyai dua fungsi yaitu:
• Sebagai alat untuk mengatur (mengendalikan) pemanfaatan prasarana dan
jasa yang tersedia;
• Merupakan pembayaran atas penggunaan prasarana dan jasa.

Anda mungkin juga menyukai