Anda di halaman 1dari 20

Entitas mikro kecil dan

menengah, UU No 20 Tahun 2018


KELOMPOK 8 :
● RENA MUTIARANI (2010631030115)
● SYAHBATHIE SABARIAH (2010631030132)
● WENNY SILFIA REJEKI (2010631030140)
Pengertian dan klasifikasi usaha mikro
Usaha mikro adalah badan usaha perorangan yang memiliki kriteria sesuai Undang-Undang (UU)
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yakni:

• Memiliki aset atau kekayaan bersih hingga Rp 50 juta, tidak termasuk tanah atau bangunan tempat
usaha.
• Omzet penjualan tahunan hingga Rp 300 juta.

Sementara, berdasarkan perkembangannya, usaha mikro diklasifikan menjadi dua, yaitu:

• Livelihood, yakni usaha mikro yang sifatnya untuk mencari nafkah semata. Jenis usaha mikro
yang satu ini dikenal luas sebagai sektor informal. Contohnya, pedagang kaki lima.
• Micro, yakni usaha mikro yang sudah cukup berkembang, namun memiliki sifat kewirausahaan
dan belum bisa menerima perkerjaan subkontraktor serta belum bisa melakukan kegiatan ekspor.
Dasar hukum usaha mikro
Banyak orang mengira, usaha mikro yang umum kita temui seperti pedagang kaki lima tidak memiliki hukum yang
mengatur keberadaanya. Padahal, usaha mikro memiliki dasar hukum yakni Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam UU ini, telah diatur semua mulai dari kriteria, aspek perizinan serta bagaimana
peran serta pemerintah pusat dan daerah dalam pemberdayaan usaha mikro.

Bahkan, pada pasal 13 ayat 1 (a) dalam UU No. 20 Tahun 2008 disebutkan, pemerintah berkewajiban menentukan
peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi yang
wajar bagi pedagang kaki lima dan lokasi lainnya.

Selain itu, ada juga pasal-pasal yang menyebutkan bahwa pemerintah perlu memberikan kemudahan akses
pembiayaan bagi usaha mikro serta membebaskan biaya perizinan untuk usaha mikro.

Ini artinya, usaha mikro bukan merupakan anak tiri dalam perekonomian Indonesia. Bahkan faktanya, usaha mikro
merupakan salah satu tulang punggung perekonomian.

Usaha mikro secara nyata membuktikan mampu menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor lain.
Penyerapannya pun cukup besar yakni mencapai 97%. Selain itu, Kementerian Koordinator Perekonomian juga mencatat
peran usaha mikro terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 60,34%.
Perizinan usaha mikro
Usaha mikro sebagai entitas bisnis tentu memiliki perizinan meski bentuk
badan usahanya adalah usaha perorangan. Cuma, yang membedakan dengan jenis
usaha lainnya (PT misalnya) adalah bentuk dan mekanisme perizinannya yang
berbeda.

Jika badan usaha menengah hingga besar diharuskan memiliki Surat Izin
Usaha Perdagangan (SIUP), yang merupakan ketentuan perizinan yang diwajibkan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag), maka usaha mikro
memiliki bentuk perizinan lain, yakni Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK).

IUMK memiliki dasar hukum Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 serta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pemberian Izin Usaha Mikro dan Kecil.
IUMK ini kemudian diperkuat dengan Nota Kesepahaman antara Menteri
Dalam Negeri, Menteri Koperasi dan UKM dan Menteri Perdagangan Nomor
503/555/SJ Nomor 03/KB/M.KUKM/I/2015 dan Nota Kesepahaman Nomor
72/M-DAG/MOU/I/2015 Tentang Pembinaan Pemberian Izin Usaha Mikro dan
Kecil.

Adanya nota kesepahaman dikarenakan perizinan untuk usaha mikro dan


kecil sangat berhubungan erat dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (Kemenkop-UKM).

Ada pula aturan-aturan yang kemudian dibuat untuk meningkatkan


hubungan antar lembaga, seperti Perjanjian Kerjasama antara Direktorat Jenderal
Bina Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri,
Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kemenkop-UKM,
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan Asippindo.
Keuntungan yang akan didapatkan oleh pelaku
usaha mikro jika memiliki IUMK :
1. Memiliki kepastian usaha dan perlindungan usaha di lokasi yang telah
ditetapkan.
2. Mendapatkan pendampingan dalam usaha untuk semakin
mengembangkan usaha.
3. Mendapatkan akses ke lembaga pembiayaan, baik ke bank maupun
lembaga non-bank.
4. Mendapatkan pemberdayaan dari pemerintah pusat dan daerah serta
lembaga lainnya.
Aspek perpajakan usaha mikro
Sama dengan badan usaha lain, usaha mikro sebagai entitas bisnis juga diwajibkan membayar Pajak
Penghasilan (PPh) yang sifatnya final.

Sebelumnya pajak untuk usaha mikro ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 yang
mengatur besaran tarif pajak yang dibebankan kepada wajib pajak usaha mikro. Besaran tarif PPh Final bagi usaha
mikro yang diatur dalam PP ini adalah 1%.

Namun, agar usaha mikro semakin berkembang, pemerintah melakukan revisi terhadap PP ini dan pada tahun
2018 munculah PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

PP pengganti Nomor 46 Tahun 2013 ini telah efektif berlaku sejak 1 Juli 2018 lalu. Dalam PP Nomor 23
Tahun 2018 ini besaran PPh Final diturunkan, dari sebelumnya 1% menjadi 0,5%.

Diturunkannya PPh Final untuk usaha mikro ini segera disosialisasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
dan dampaknya cukup signifikan bagi dunia perpajakan Indonesia. Pasalnya, dengan penurunan tarif PPh Final, wajib
pajak dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) semakin meningkat.
Kriteria UMKM menurut PP No 23 Tahun
2018
Wajib pajak UMKM sendiri dapat dikategorikan sebagai WP orang pribadi; dan
WP Badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komaditer, firma, atau perseroan
terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah dalam
1 (satu) tahun pajak.
Subjek pajak PP No 23 Tahun 2018
• WP OP
• WP Badan tertentu seperti koperasi, CV, Firma, atau PT dengan badan bruto s/d
Rp 4,8 milyar / tahun pajak

Non subjek pajak PP No 23 Tahun 2018


• WP yang memiliki untuk dikenai pph berdasarkan ketentuan umum
• WP badan yang memperoleh fasilitas Tax Holiday dan Tax allowance
• BUT; atau
• CV, firma yang dibentuk :
 Beberapa WP OP dengan keahlian khusus dan
 Menyerahkan jasa sejenis dengan pekerjaan bebas
Objek pajak PP No 23 tahun 2018
Penghasilan dari usaha*

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 milyar
dalam 1 tahun pajak, kecuali :

• Jasa sehubungan pekerjaan bebas


• Penghasilan di LN
• Penghasilan yang dikenai pph Final tersendiri
• Penghasilan yang bukan Objek Pajak

WP UMKM wajib menyetor pajak 0,5% dari omzetnya setiap bulan. Tarif 0,5% ini bersifat final
dengan tujuan mempermudah pelaku UMKM dalam menyetorkan dan melaporkan pajaknya

*usaha antara lain usaha dagang, industry, dan jasa, seperti misalnya toko / kios/ pakaian / elektronik / bengkel /
penjahit / warung/rumah makan, salon dll
Bukan Objek pajak
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Ini termasuk persekutuan atau firma yang
terdiri dari WP Orang pribadi berkeahlian sejenis seperti firma hukum, kantor akuntan,
dan lain sebagainya

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri

Usaha yang diatas penghasilannya telah dikenai pajak penghasilan (pph) yang bersifat
final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
tersendiri

Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak


Peredaran bruto tertentu

Merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari tahun pajak terakhir
sebelum tahun pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran
bruto dari usaha, termaksud peredaran bruto dari cabang

Dalam hal WP Orang pribadi suami istri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan secara tertulis (PH) atau istrinya menghendaki memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (MT). Peredaran bruto tertentu
ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan istri
Jangka waktu pengenaan pph final bagi WP
UMKM
• 7 tahun pajak bagi WP OP
• 4 tahun pajak bagi WP badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau
firma dan
• 3 tahun pajak bagi WP Perseroan Terbatas

Jangka waktu yang dimaksud sejak :


• Tahun pajak wajib pajak terdaftar, bagi wajib pajak yang terdaftar sejak berlakunya
peraturan pemerintah ini, atau
• Tahun pajak berlakunya peraturan pemerintah ini, bagi wajib pajak yang telah
terdaftar sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini
Beberapa catatan berkaitan dengan pengenaan
pph final untuk UMKM

• Bagi WP yang dimasuk kategori PP 23/2018 tidak wajib menyetorkan pph pasal 25
Kembali
• Satu satunya pph bersifat final yang dikenakan terhadap subjek pajak
Pembayaran pph final 0,5% usaha mikro
Bagi pelaku usaha mikro, pembayaran PPh Final 0,5% bisa dilakukan melalui aplikasi
OnlinePajak. Berikut tata cara membayar PPh Final 0,5% untuk usaha mikro lewat 
OnlinePajak.
1. Mendaftar pada OnlinePajak dan masuk pada fitur PPh Final 0,5%.
2. Membuat faktur penjualan. Pelaku usaha mikro tinggal mengisi nama barang penjualan,
jumlah dan harga. Aplikasi milik OnlinePajak akan menghitungnya secara otomatis.
3. Menyetor PPh Final 0,5%. Pelaku usaha mikro langsung terhubung dengan Cash
Management OnlinePajak untuk melakukan pembayaran via online, sekaligus langsung
membuat e-billing.
4. Setelah melakukan penyetoran, pelaku usaha mikro akan mendapatkan bukti
pembayaran atau Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Setelah itu status
setoran akan berubah menjadi “LUNAS”.
Contoh kasus
Sebagai contoh, ibu maya adalah serang pedagang pakaian bayi dengan berjualan
secara online di marketplace. Usahanya sudah berlangsung selama tiga tahun.
Omzet ibu maya pada januari 2020 adalah Rp 16 juta. Berapa pph finalnya ?

Berikut ini perhitungannya :


Rumus = omzet perbulan x tarif pph Final
Pph Final januari 2020 = 0,5% x Rp 16 juta = Rp 80 ribu

Dibayar paling lambat tanggal 15 bulan februari 2020

*perhitungan omzet dilakukan pada akhir bulan atau awal bulan berikutnya.
Contoh kasus
Tuan takur memiliki usaha toko Pph final yang terutang untuk bulan September 2020
elektronik. Peredaran bruto pada dihitung sebagai berikut :
bulan September :
• 60 juta dari dinas perhubungan Pajak penghasilan yang bersifat final yang dipotong
provinsi DKI Jakarta (pemotong / oleh dinas perhubungan DKI Jakarta :
pemungut pajak) Pph final atas usaha dengan peredaran bruto tertentu
• 20 juta dari penjualan langsung = 0,5% x Rp 60.000.000 = Rp 300.000
peredaran bruto pada akhir tahun
2020 : Pajak penghasilan yang bersifat final yang disetor
• 200 juta sudah dipungut pihak lain sendiri :
• 800 juta disetor sendiri Pph final atas usaha dengan peredaran bruto tertentu
= 0,5% x Rp 20.000.000 = Rp 100.000
Berapa pph final bulan September ?
Contoh kasus
Tuan Wijaya mempunyai usaha took
tekstil dikawasan pasar tanah abang
dengan omzet di tahun 2018 adalah
sebesar Rp 2.000.000.000. selama tahun
2019 tuan Wijaya memperoleh
penghasilan dengan rincian sebagai
berikut :

Berapa besarnya pajak penghasilan yang


harus di setorkan tuan Wijaya ?
pembahasan
Berikut perhitungannya :
Rumus : omzet perbulan x tarif pph final

Pph final januari = 0,5% x Rp 150.000.000


= Rp 750.000

Pph final februari = 0,5% x Rp 120.000.000


= Rp 600.000

Pph final maret = 0,5% x Rp 130.000.000


= Rp 650.000

Pph final April = 0,5% x Rp 170.000.000


= Rp 850.000
Demikian seterusnya untuk tiap-tiap masa pajak. Omzet per bulan dikalikan 0,5%.
Terima Kasih…

Anda mungkin juga menyukai