Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
1. Umi Hidayatul Ummah / P07124220012
2. Nabilah Jihan Khumaira / P07124220014
3. Salsabilla Jannah / P07124220017
4. Rizqi Noor Aisyah / P07124220026
5. Alfina Afifatur Rahma Safitri / P07124220043
6. Devi Nurbaiti / P07124220045
7. Rahma Marwah Hasyim / P07124220046
Pendahuluan
Usus halus, pada dasarnya berfungsi mengolah makanan lebih lanjut dan menyerap
nutrisi di setiap bagian usus terkait, dengan bantuan enzim dari pankreas dan cairan
empedu dari hati. Makanan bergerak dari satu bagian ke bagian selanjutnya dengan
bantuan gerakan peristaltik usus yang mendorong makanan.
Usus besar, untuk menyerap air dan mineral serta mengolah sisa pencernaan
makanan lalu mendorongnya ke rektum yang menjadi akhir dari sistem pencernaan.
Tujuan dan Manfaat
Pengertian
Diare adalah gangguan buang air besar (BAB) dengan konsistensi feses lebih cair dengan frekuensi lebih
dari tiga kali sehari serta dapat disertai dengan darah atau lendir (Kemenkes RI, 2019). Diare merupakan
peningkatan frekuensi buang air besar atau peningkatan kandungan cairan di dalam tinja. Volume,
frekuensi, dan konsistensi buang air besar/tinja cukup bervariasi di antara individu bahkan pada bayi dan
anak-anak. Pada bayi dapat dikatakan diare selama ada cairan yang mengelilingi tinja .
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed
stools) atau cair dengan frekwensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2
minggu, di sebut sebagai Diare Akut. Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, maka digolongkan
pada Diare Kronik.
EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 2 juta kasus diare akut infeksius di Amerika setiap tahunnya yang merupakan penyebab kedua dari morbiditas
dan mortalitas di seluruh dunia (Joan B, 2005). WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode
kejadian diare akut pada orang dewasa per tahun. Di Amerika Serikat, diperkirakan 211-375 juta kasus diare terjadi
setiap tahunnya yang mana 73 juta kasus diantaranya berkonsultasi ke dokter, 1,8 juta kasus opname di rumah sakit dan
3.100 kasus diantaranya mengalami kematian.
Budi Setiawan, dalam penelitiannya di RSUP Persahabatan Jakarta Timur mendapatkan E. coli sebagai penyebab
tersering diare akut infeksius pada pasien rawat inap (38,3%), diikuti oleh V. cholera, Aeromonas sp, S. flexneri dan
Salmonella sp (Setiawan B, 2006). Diare akut merupakan penyakit kedua yang paling sering dijumpai di dunia setelah
ISPA (Goldfinger SE, 1987). Gambaran klinis diare akut acapkali tidak spesifik. Namun selalu berhubungan dengan hal-
hal berikut: adanya traveling (domestik atau internasional), kontak personal, adanya sangkaan food-borne transmisi
dengan masa inkubasi yang pendek. Jika tidak ada demam, menunjukkan adanya proses mekanisme enterotoksisn.
Sebaliknya, bila ada demam dan masa inkubasi yang lebih panjang, ini karakteristik suatu etiologi infeksi.
ETIOLOGI
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu:
1. Infeksi
2. Malabsorpsi
3. Makanan
3. Faktor Ibu
4. Faktor Lingkungan
Mual
Muntah
1. Pemeriksaan
Pada diare akut, yang penting adalah pemeriksaan feses rutin yang segera dilakukan dengan mengambil sedikit
feses dengan pewarnaan eosin, dan diperiksa dibawah mikroskop. Dengan pemeriksaan feses rutin dapat ditemukan:
erirosit, leukosit pada disentri. Juga bisa ditemukan tropozoit amuba pada disentri amuba, giardia lamblia pada
giardiasis. Berbagai telur cacing juga dapat ditemukan yang mungkin sebagai penyebab diare, seperi telur trichuris.
Kultur feses hanya dilakukan pada dugaan kasus diare tertentu seperti kolera dengan mengambil sediaan rectal
swab dengan media tertentu, atau pada kasus diare salmonellosis dengan pemeriksaan kultur salmonella. Untuk
mengetahui mikroorganisme penyebab diare akut dilakukan pemeriksaan feses rutin dan pada keadaan dimana feses
rutin tidak menunjukkan adanya mikroorganisme atau ova, maka diperlukan pemeriksaan kultur feses dengan medium
tertentu sesuai dengan mikroorganisme yang dicurigai secara klinis dan pemeriksaan laboratorium rutin. Indikasi
pemeriksaan kultur feses antara lain, diare berat, suhu tubuh > 38,50C, adanya darah dan/atau lendir pada feses,
ditemukan leukosit pada feses, laktoferin, dan diare persisten yang belum mendapat antibiotik (Procop GW, 2003)
2. Diagnosis
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan yang sistematik dan cermat.
Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat
terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Kolopaking MS, 2002,
Guerrant RL, 2003, Lung E, 2003). Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik
terlihat pada gambar.
KOMPLIKASI
Berikut ini beberapa komplikasi yang disebabkan diare atau diare kronis.
Infeksi berat yang dapat meluas ke organ lain dan seluruh tubuh (sepsis).
Iritasi pada kulit sekitar anus akibat pH tinja yang asam pada diare yang disebabkan intoleransi laktosa.
Malnutrisi terutama pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun, yang dapat berakibat menurunnya kekebalan tubuh
anak.
Ketidakseimbangan elektrolit oleh karena elektrolit ikut terbuang bersama air yang keluar saat diare, yang dapat
ditandai dengan lemas, lumpuh, hingga kejang.
Dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh, dari ringan hingga berat.
Diare kronis bisa menyebabkan urine berwarna gelap, demam, muntah, pusing, dan lemas.
Mengancam nyawa, komplikasi utama dan paling fatal dari diare kronis adalah dehidrasi berat akibat kehilangan cairan
dalam jumlah banyak. Dehidrasi yang tak ditangani dengan baik bisa menyebabkan kematian.
Hipokalemia (dengan gejala ineteorismus, lemah, bradikardi).
Hipoglikemi.
Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
PENCEGAHAN
Berikut adalah beberapa anjuran yang dapat diterapkan untuk mencegah diare:
Rajin mencuci tangan dengan air dan sabun, terutama sebelum dan setelah makan, setelah menyentuh
daging mentah, setelah menggunakan toilet, dan setelah bersin atau batuk
Mengonsumsi makanan dan minuman yang matang atau sudah dimasak
Menghindari konsumsi buah dan sayuran yang mentah atau tidak dipotong sendiri, terutama saat bepergian
Memberikan ASI eksklusif pada 6 bulan pertama bagi bayi, guna membantu membentuk antibodi dalam
melawan mikroorganisme penyebab diare
Melakukan vaksinasi rotavirus, untuk melindungi bayi dari serangan virus yang paling umum menyebabkan diare
Penanganan
b) Diet
c) Obat Antidiare
2. HEPATITIS
Hepatitis adalah proses keradangan atau inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis,
biokimia, serta seluler yang khas. Hepatitis merupakan suatu proses peradangan difusi pada jaringan hati yang
memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemah, mudah lelah, nafsu makan berkurang, urine berwarna seperti teh
pekat, mata dan saluran badan menjadi kuning (ikterus). Penyakit ini telah dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu
oleh Hippocrates, dan semula dianggap sebagai satu kesatuan klinik tersendiri. Hepatitis bisa disebabkan oleh virus,
bakteri dan obat-obatan.
Hepatitis adalah inflamasi dan cedera pada sel hati. Hepatitis bisa disebabkan oleh berbagai agen, misalnya virus,
alcohol, toksin, dan obat-obatan. Jika inflamasi sel hati disebabkan oleh infeksi virus, maka disebut dengan viral hepatitis.
Hepatitis dibagi menjadi hepatitis A, B, dan C. Kemudian ada hepatitis D dan E yang terjadi pada populasi tertentu.
Penggolongan hepatitis didasarkan atas jenis virus yang menginfeksi dan tingkat keparahannya. Semua jenis hepatitis
merusak sel hati karena menjadi tempat virus bereplikasi.
Epidemiologi
Secara epidemiologis, penyakit Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita yang tercatat
di fasilitas kesehatan lebih sedikit dari jumlah penderita sesungguhnya. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang
menahun. Saat seseorang terinfeksi, kondisi masih sehat dan belum menunjukkan tanda dan gejala yang khas serta
munculnya keluhan, tetapi proses penularan atau masa inkubasi terus berjalan hingga sampai pada tahap dini dan lanjut.
Secara global, lebih dari 350 juta orang terinfeksi virus hepatitis B. Diperkirakan bahwa lebih dari sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi virus hepatitis B. Sekitar 5% dari populasi adalah carrier kronis HBV, dan secara umum hampir
25% carrier dapat mengalami penyakit hati yang lebih parah seperti hepatitis kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler
primer.
Daerah yang termasuk endemis tinggi di antaranya adalah Asia Tenggara (termasuk Indonesia, daerah Pasifik kecuali
Jepang), Australia, dan Selandia Baru, sub sahara di Afrika, sebagian Timur Tengah, Asia Tengah, dan beberapa negara
Eropa Timur. Di daerah-daerah ini prevalensi infeksi berkisar antara 70-90% terjadi pada populasi di bawah 40 tahun, dan
8 hingga 20% populasi menjadi carrier.
ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, hepatitis dapat dibagi atas:
o Hepatitis oleh virus
o Hepatitis oleh bakteri
o Hepatitis oleh obat-obatan.
Sedangkan berdasarkan perjalanan penyakitnya, hepatitis dapat dibagi atas:
o Hepatitis akut
o Hepatitis kronis
Hepatitis viral akut ialah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama kurang dari 6 bulan. Sebagian
hepatitis akan sembuh sempurna, tetapi sebagian lain akan berkembang menjadi kronis, sirosis atau karsinoma hati. Paling
sedikit ada 5 jenis virus penyebab hepatitis yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E Hepatitis A umumnya mengenai anak dan dewasa
muda sedangkan Hepatitis B sering mengenai dewasa muda, bayi dan balita. Hepatitis C lebih sering mengenai orang dewasa.
Hepatitis A lebih sering mengenai penderita dengan status sosioekonomi yang buruk karena penularan virus ini terutama
melalui jalur faecal oral.
FAKTOR RESIKO
- Kelelahan lebih).
- - Nyeri perut.
Nyeri otot dan Nyeri sendi
- - Lemas dan lelah.
Urin dengan warna gelap
- - Sakit kuning (kulit dan bagian putih mata yang
Tinja kuning pucat
- Sakit kuning menguning).
lanjutan
3. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) C
Sebagian besar ( > 90% ) kasus Hepatitis C akut bersifat asimptomatik. Kejadian Hepatitis fulminan juga sangat kecil dari infeksi VHC. Sebagian
kecil penderita bisa saja mengalami gejala prodromal seperti infeksi virus pada umumnya. Sebagian besar kondisi penderita Hepatitis C akut akan
berkembang menjadi Hepatitis C kronik yang umumnya juga bersifat asimptomatik. Antara 20 – 30 % dari jumlah penderita ini akan bertambah parah
menjadi Sirosis Hati dalam waktu 20 - 30 tahun ke depan. Pada kondisi ini, kerusakan hati bersifat progresif lambat, seringkali penderita yang terinfeksi
VHC pada usia lanjut tidak mengalami gangguan maupun keluhan pada bagian hati sama sekali seumur hidupnya.
4. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) D
Gejala infeksi Hepatitis D sama persis dengan Hepatitis B, namun kehadiran virus ini terbukti mempercepat proses fibrosis pada hati,
meningkatkan risiko Kanker hati, dan mempercepat dekompensasi pada keadaan Sirosis Hati. Bila Hepatitis B yang diderita penderita bersifat akut dan
lalu sembuh, VHD juga akan hilang seluruhnya. Namun bila VHD menginfeksi penderita yang sudah menderita Hepatitis B kronik, maka penderita
tersebut juga akan menderita Hepatitis D kronik.
5. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) E
Infeksi penyakit Hepatitis E selalu bersifat akut, tanda dan gejala dari infeksi ini bervariasi dari subklinis hingga fulminan. Kemungkinan
Hepatitis fulminan karena infeksi VHE saat ini tidak banyak hanya tercatat 0,5 - 3%. Kemungkinan ini meningkat pada ibu hamil di mana angka
kematian bisa mencapai 20%. Gejala yang mungkin muncul pada Hepatitis E akut tidak berbeda dengan Hepatitis akut lainnya, yaitu lemas, penurunan
nafsu makan, demam, nyeri perut, mual, muntah, dan kuning.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA
Hepatitis A
Disamping gejala dan tanda klinis yang kadang tidak muncul, diagnosis Hepatitis A dapat ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan IgM-anti VHA serum penderita.
Hepatitis B
Sampai saat ini terdapat beberapa indikator dari hasil laboratorium yang bisa digunakan untuk menilai infeksi Hepatitis B. Pada
kondisi infeksi yang akut, antibodi terhadap HBcAg yang paling pertama muncul dan diikuti dengan munculnya HBsAg dan HBeAg
serum. Bila penderita mengalami kesembuhan secara spontan setelah menderita Hepatitis B akut maka akan terjadi serokonversi
HBsAg dan HBeAg, yang ditandai dengan kadar kedua penanda tersebut tidak akan dapat terdeteksi lagi di serum. Sementara anti-HBs
dan anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada penderita Hepatitis B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum
penderita. Penderita Hepatitis B kronik, DNA VHB sebaiknya diperiksa untuk memantau perjalanan riwayat penyakit. Pada beberapa
jenis virus mutan, HBeAg bisa tidak terdeteksi di dalam serum walaupun peradangan pada hati masih terjadi dan kadar DNA VHB
serum masih tinggi.
Hepatitis C
Hal penting dalam mendiagnosis Hepatitis C adalah ditemukannya RNA VHC di serum penderita. Namun, mengingat beban biaya yang mahal dan
tidak praktisnya pemeriksaan ini maka pemeriksaan anti-VHC bisa digunakan untuk menapis atau menskreening penderitapenderita yang dicurigai
menderita Hepatitis C. Namun, perlu dicermati bahwa sebagian kecil penderita Hepatitis khususnya yang mengalami penurunan sistem imun, tidak akan
memiliki antibodi yaitu anti-VHC di darahnya. Pemeriksaan RNA VHC sendiri hanya diindikasikan pada penderita yang positif anti-VHC, penderita
Hepatitis C kronik yang diterapi sambil melakukan pemantauan respons dari terapi), dan penderita dengan gangguan hati kronik dengan anti-VHC
negatif yang belum diketahui penyebabnya (khusunya penderita yang mengalami penurunan sistem imun). Pemeriksaan genotip VHC wajib dilakukan
pada semua penderita yang akan menerima terapi antivirus untuk menilai berapa lama pengobatan dilakukan.
Hepatitis D
Penderita Hepatitis B sebaiknya menjalani pemeriksaan Hepatitis D juga. Dimana pemeriksaan awal dilakukan dengan mencari anti-HDV di serum.
Apabila positif, pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa RNA VHD. Penderita Hepatitis B yang RNA VHD-nya positif saja yang dianjurkan untuk
menjalani terapi Hepatitis D. Perlu diingat bahwa infeksi VHD memiliki cara penularan yang sama dengan VHB dan pemeriksaan untuk virus-virus ini
seperti VHC dan HIV juga perlu dilakukan.
Hepatitis E
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibody terhadap VHE atau RNA VHE di serum atau feses penderita. Antibodi yang bisa dideteksi saat
ini mencakup IgM, IgG, dan IgA.
KOMPLIKASI
Menurut mansjoer dkk (2000) komplikasi hepatitis terdiri dari edema serebral, perdarahan saluran cerna, gagal
ginjal, gangguan elektrolit, gangguan pernafasan, hipoglikemia, sepsis, gelisah, koagulasi intra vaskuler
diseminata, hipotensi dan kematian. Tanda-tanda edema serebral adalah kenaikan tekanan intrakranial dengan
gejala dini transpirasi, hipervertilasi, heperefleksi, opistotonus, kejang-kejang, kelainan kedua pupil yang terakhir
dengan reflek negatif terhadap cahaya. Hilangnya reflek okulovestibular menunjukkan prognosis total. Menurut
Iin Inayah (2000) komplikasi dari hepatitis adalah kegagalan hati (hepatoseluler), hipertensi portal, asites,
ensefalopati, peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal dan transformasi kearah kanker hati primer
(hepatoma).
PENCEGAHAN
Pencegahan infeksi Hepatitis bisa berupa pencegahan non-spesifik maupun pencegahan spesifik. Pencegahan
NonSpesifik yaitu pencegahan terhadap infeksi Hepatitis dengan menerapkan pencegahan secara universal yang baik
dan dengan melakukan penapisan pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal seperti
membatasi Faktor Penyebab, Risiko dan Pencetus penularan Penyakit Hepatitis. Pencegahan Spesifik yaitu
pencegahan terhadap infeksi Hepatitis dengan menerapkan pencegahan secara spesifik seperti Imunisasi.
1. menjaga kebersihan diri 7. Makanan siap saji agar segera dimakan langsung.
2. menghindari makanan yang tak terjaga 8. Menghindari kontak seksual dengan orang yang memiliki
kebersihannya akut atau kronis hepatitis B.
3. Hindari daging mentah atau yang kurang matang. 9. Menghindari tatoo dan tindikan.
4. Jangan membeli makanan dari PKL yang 10. Menghindari berbagi barang pribadi, seperti pisau cukur
kebersihannya tak terjaga. atau sikat gigi dengan orang yang terinfeksi.
5. Melakukan vaksinasi hepatitis A (hepatitis B bila 11. Untuk pasien agar menutup luka yang terbuka agar darah
perlu) jika belum ada antibodi terhadap Hepatitis A. tidak kontak dengan orang lain.
6. Memasak air sampai mendidih adalah metode 12. Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ,
terbaik untuk menghilangkan virus Hepatits A. ataupun sperma.
13. Imunisasi
3. KOLESTASIS
Pengertian
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam jumlah yang normal.
Secara klinis kolestatis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti
bilirubin, asam empedu dan kolesterl di dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American
Society for Pediatric Gastroenterlogy, epatology and Nutritin (NASPGHAN), kolestasis apabila kadar bilirubin direk
lebih dari 1 mg/dl, bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari 5
mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total (Benchimol dkk.,2009;2014)
Kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin
banyak terdapat pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi. Pasien penyakit
ini ditemukan dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali, dan difungsi
hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia) (Behrman & Arvin, 2000)
EPIDEMIOLOGI
Kasus kolestasis yang dijumpai pada masyarakat jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan,
perbandingannya relative sama. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan memiliki peluang yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki, rasio atresia bilier pada bayi perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1. Kolestasis dapat terjadi
pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang baru lahir masih merupakan golongan usia yang
paling sering mengalami kolestasis. Kejadian kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia kehamilan kurang
bulan dan bayi berat lahir rendah, karena berhubungan dengan gangguan fungsi hati. faktor risiko lain yang
berhubungan dengan kolestasis adalah : bayi-bayi yang mengalami sepsis berulang dan pemberian nutrisi secara
parental.
ETIOLOGI
Etiologi kolestasis digolongkan menjadi intrahepatic dan ekstrahepatik yang masing-masing mempunyai berbagai
macam etiologi (Juffrie et al., 2009; Karpen, 2002).
1. Kolestasis Intrahepatik
Kolestasis intrahepatik didasari oleh gangguan pada hepatosit dan saluran empedu dengan sistem bilier
ekstrahepatik yang berfungsi dengan baik.
a. Saluran Empedu
b. Kelainan Hepatosit
2. Kolestasis Ekstrahepatik
lanjutan
Menurut Richard (2008) Penyebab utama dari kolestasis neonatal sendiri bisa terjadi karena:
1. Obstruksi saluran empedu 4. Penyakit metabolik
• Atresia bilier ekstrahepatik • Tirosinemia
2. Infeksi neonatal • Penyakit niemann-Pick
• Sitomegalovirus • Galaktosemia
• Sepsis bakterial • Defek lintasan sintesis asam empedu
• Infeksi saluran kemih • Defisiensi α,-antitripsin
• Sifilis • Kistik fibrosis
3. Toksik
5. Lain-lain
• Obat • Syok/hipoperfusi
• Nutrisi parenteral • Indian childhood cirrhosis
• Sindrom alagille (saluran empedu yang tidak memadai)
• Hepatitis neonatal idiopatik
FAKTOR RISIKO
Kolestasis dapat terjadi pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang baru lahir masih merupakan
golongan usia yang paling sering mengalami kolestasis. Kejadian kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia
kehamilan kurang bulan dan bayi berat lahir rendah, karena berhubungan dengan gangguan dari fungsi hati
Selain itu, sumber lain menyebutkan beberapa factor risiko terjadinya kolestasis sebagai berikut. Faktor risiko
untuk kolestasis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen)
1. Batu kolesterol
Kolestasis memiliki beberapa gejala seperti penyakit kuning (jaundice), warna urine gelap, BAB berwarna
keputihan seperti dempul, gatal-gatal, mual muntah, dan nyeri perut. Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat
dijumpai hepatomegali, splenomegali, gagal tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada
pasien dengan kolestasis adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik,
hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan karena defisiensi vitamin K, dan
hiperkolesterolemia.
Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi adalah ikterus, tinja akholis, dan
urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasis klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya
aliran empedu dan bilirubin.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan muksa berwarna icterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin
berwarna lebih gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik). Pemeriksaan fisik pasien
kolestasis dapat dijumpai hepatmegali, splenomegaly, gagal tumbu, dan wajah dismorfik.
Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis adalah hopoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit
metabolic, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena difisiensi vitamin , hiperkolesterolemia,
xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan. Apabila proses berjalan lama, dapat muncul berbagai
manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain sebagai akibat dari penumpukan zat-zat yang
seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.
1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik 3. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologis 2. Laboratorium
• Foto polos abdomen • Ekskresi empedu: mengukur kemampuan hati untuk
• Ultrasonografi (USG) mengkonjugasi dan mengekskresi pigmen empedu
• 1. Bilirubin serum direk (terkonjugasi) Meningkat apabila terjadi
• Metode yang disukai untuk mendeteksi batu empedu, gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi (nilai normalnya 0,1-
dapat diandalkan untuk mendeteksi dilatasi saluran 0,3 mg/dl).
empedu dan massa padat atau kistik didalam hati dan • 2. Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi) Meningkat pada
pancreas, non invasif dan murah keadaan hemolitik dan sindrom Gilbert (nilai normalnya 0,2-0,7
• CT scan mg/dl).
• Magnetik Resonance Imaging (MRI) (Pengambilan • 3. Bilirubin serum total Bilirubin serum direk dan total
gambar organ) meningkat pada penyakit hepatoseluler (nilai normalnya 0,3-1,0
mg/dl).
• Metabolisme Protein :
• 1. Protein serum total: sebagian besar protein serum dan protein
pembekuan disintesis oleh hati sehingga kadarnya menurun pada
berbagai gangguan hati, (nilai normalnya 6-8 gr/dl), albumin
serum (nilai normalnya :3,2-5,5 gr/dl), globulin serum (nilai
normalnya: 2,0- 3,5 gr/dl)
• 2. Massa protrombin (nilai normalnya : 11-15 detik) Meningkat
pada penurunan sintesis protrombin akibat kerusakan sel hati
atau berkurangnya absorpsi vitamin K pada obstruksi empedu.
Vitamin K penting untuk sintesis protrombin
Diagnosis Banding
1. Infeksi
a. Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks
(TORCH) Infeksi kongenital ini memberikan beberapa
gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning, hepatosplenomegali,
pneumonitis, ptekie atau purpura, dan kecenderungan untuk b. Sifilis
prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat (Juffrie et
al., 2012)
• Toksoplasmosis. Gambaran klinik lainnya adalah kelainan yang nyata
dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus, kalsifikasi
intrakranial, kejang, nistagmus, dan tanda tekanan intrakranial yang
• Gejala yang timbul pada sifilis mengenai multisystem termasuk
meningkat serta kelainan mata berupa korioretinitis. retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya gagal
• Rubella. imunisasi untuk penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah tumbuh, anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik,
anemia, trombositopenia, kelainan jantung congenital (PDA atau periostitis, nasal discharge, rash pada kulit, limfadenopati
stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi mental, dan tuli difus dan hepatomegali. Kuning mungkin sudah terlihat dalam
neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant cells 24 jam pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak
yang tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi kuning, tetapi ada rash yang khas pada telapak tangan dan kaki
sirosis. atau hanya ada demam dengan hepatomegaly yang menyolok.
• Sitomegalovirus. Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi
kongenital yang paling banyak dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi
sebagian besar asimtomatik. selain gejala yang dicantumkan di atas
mungkin pula ada asites, tetapi jarang menimbulkan gagal hati akut. Gejala
lainnya adalah gejala sususan saraf pusat berupa mikrosefali, kalsifikasi
intracranial dan korioretinitis.
• Herpes simpleks. Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama
tipe 2) dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat
termasuk gejala ensefalitis, hepatitis berat atau gagal hati
fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis dengan inklusi virus
dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel ditemukan
virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi
herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata
c. Varisela d. Infeksi bakteri di luar hati
3. PFIC-3
PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang
mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning
kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem
biliaris dalam batas normal pada pemeriksaan
pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris
dapat menghilangkan pruritus bila dikerjakan
sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna.
KOMPLIKASI
1. Sirosis ati 2. Hipertensi Portal
Sirosis hati atau pengerasan hati merupakan stadium akhir dari Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan vena porta yang menetap di
penyakit hati menahun, karena terjadinya fibrosis yang meluas sehingga atas nilai normal yaitu 6-12 cm H2O. Penyebabnya adalah resistensi aliran
terbentuk nodul-nodul pada semua bagian hati. Sirosis ditandai dengan fibrosis darah yang keluar masuk melalui vena hepatika dan peningkatan aliran
difus, regenerasi nodul serta perubahan arsitektur vaskularisasi pada parenkim arteri splagnikus sehingga terjadi peningkatan tekanan pada sistem portal.
hati
6. Kolestasis akut
5. Kolangitis
Kolestasis adalah peradangan pada kandung empedu akibat dari adanya infeksi
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu
kandung empedu
lanjutan
d. Litotripsi Intrakorporeal
c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung
Prosedur nonvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock
empedu atau doktus koleduktus dapat dipecah dengan
wafes) yang diarahkan ke batu empedu di dalam kandung empedu atau doktus
menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi
koleduktus dengan maksud untuk mencegah batu tersebut menjadi sejumlah
hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung
fragmen. Gelombang kejut diproduksi dalam media cairan oleh percikan
pada batu. Kemudian fragmen batu atau derbis dikeluarkan dengan
listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik. Setelah batu
cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebutdapat diikuti dengan
dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dikandung
pengangkatan kandung empedu melalui luka sayatan atau
empedu atau doktus koledokus dan dikeluarkan melalui endoskop atau
laparoskopi. Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain
dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral
dapat dipasang selama 7 hari.
Pembedahan
b. Koleksistektomi laparaskopi
a. Koleduktostomi
Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat setelah
Dalam koleduktostomi, sayatan dilakukan pada duktus koledokus
arteri dan duktus sistikus diligasi. Kolesistektomi
untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya
dilakukan pada sebagian besar kasus kolesistis akut
dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase
dankronis. Sebuah drain (Penrose) ditempatkan dalam
getah empedu sampai edema mereda. Keteter ini dihubungkan
kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat
dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga
luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan
mengandung batu, dan 17 umumnya koledokostomi dilakukan
serosanguinus dan karet empedu ke dalam kasa
bersama kolesistektomi
absorben.
c. Minikoleksistektomie
Adalah prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu d. Koledokthostomy
lewat luka sayatan selebar 4cm. Kolesistektomi laparoskopik Adalah pengangkatan batu dari duktus koledokus bila
(atau endoskopi), dilakukan lewat luka sayatan yang kecil atau terdapat batu, adanya obstruksi dan dilatasi duktus
luka tusukan melalui dinding abdomen pada umbilicus. Pada koleduktus. Merupakan tindakan pembedahan yang
prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dilakukan atas indikasi cholesistitis atau pada
dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk kolelitisis, baik akut / kronis yang tidak sembuh
membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah dengan tindakan konservatif.
melihat struktur abdomen.
Pemantauan :
2. Tumbuh kembang
1. Terapi
a. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya
Keberhasilan terapi dilihat dari (Juffrie et al., 2009) : dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi
a. Progresivitas secara klinis seperti keadaan ikterus (berkurang, tetap, badan bayi/anak.
makin kuning), besarnya hati, limpa, asites, vena kolateral. b. Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik
b. Pemeriksaan laboratorium seperti kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, menunjukkan perlambatan sejak awal.
AST, GGT, albumin, dan uji koagulasi dilakukan setidaknya setiap bulan. c. Pasien dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya akan
c. Pencitraan kadang-kadang diperlukan untuk memantau adanya tumbuh dengan baik pada awalnya, tetapi kemudian akan
perbaikan atau perburukan. mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan progresivitas
penyakitnya
4. DIARE PERSISTEN
Pengertian
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi
sedang atau berat diklasifikasikan sebagai berat atau kronik. Diare persisten menyebabkan kehilangan berat badan karena
pengeluaran volume faces dalam jumlah banyak dan berisiko mengalami diare.
Diare persisten dibagi menjadi dua yaitu :
1. Diare persisten berat
Diare persisten berat merupakan diare yang berlangsung selama ≥ 14 hari, dengan tanda dehidrasi, sehingga anak memerlukan
perawatan di rumah sakit
2. Diare persisten tidak berat atau ringan.
Diare persisten tidak berat atau ringan merupakan diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih yang tidak menunjukkan tanda
dehidrasi
EPIDEMIOLOGI
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi diare
persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan
menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari seluruh kematian akibat diare. Hal ini
menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak
di dunia. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak
berusia 6-11 bulan.
Etiologi
1. Faktor Makanan
Faktor makanan disebabkan karena toksin yang ada tidak mampu 2. FaktorInfeksi
diserap dengan baik dan dapat terjadi peningkatan peristaltik usus
yang akhirnya menyebabkan penururnan kesempatan untuk Faktor infeksi diawali dengan adanya mikroorganisme
menyerap makanan atau minuman yang terkontaminasi yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang
mikroorganisme dan paling banyak disebabkan oleh infeksi bakteri kemudian kuman akan berkembang dalam usus dan
seperti Escherihcia coli, Salmonella dan Vibro cholera.Faktor merusak sel mukosa usus yang dapat mengakibatkan
makanan juga bisa disebabkan karena makanan yang sudah basi, menurunkan permukaan usus
makanan beracun, dan alergi makanan sehingga usus tidak mampu
menyerap dengan baik yang kemudian akan menyebabkan diare
3. Faktor malabsorbsi
4. Faktor Psikologis
Faktor malabsorbsi karbohidrat yaitu
Faktor psikologis yang dapat
terganggunya sistem pencernaan yang
mempengaruhi terjadinya peristaltik
berpengaruh pada penyerapan karbohidrat 5. Tidak diberikan ASI secara
usus sehingga mempengaruhi
dalam tubuh. Gejalanya berupa diare berat, tinja penuh untuk waktu 4-6 bulan
proses penyerapan makanan.
berbau sangat asam, sakit di daerah perut,
Penyebab diare yang paling sering
terganggunya penyerapan lemak dalam tubuh,
ditemukan di lapangan atau secara
dan terganggunya penyerapan protein lemak
klinis karena infeksi dan keracunan
dalam tubuh
6. Penggunaan botol susu yang tidak
bersih dapat memudahkan kuman masuk 7. Menyimpan makanan masak yang
ke dalam botol pada saat susu dimasukan terpapar kuman
ke dalam botol susu.
• Dehidrasi meliputi dehidrasi ringan, • Hipernatremia biasanya terjadi • Hiponatremia terjadi pada anak
sedang dan berat. Dehidrasi ringan pada diare yang disertai muntah, yang hanya minum air putih saja
terdapat tanda atau lebih dari menurut penelitian jurmalis, atau hanya mengandung sedikit
keadaan umumnya baik, mata Sayoeti, dan Dewi tahun (2008), garam, ini sering terjadi pada anak
terlihat normal, rasa hausnya menemukan bahwa 10,3% anak yang mengalami infeksi shigella dan
normal, minum biasa dan turgor yang menderita diare akut dengan malnutrisi berat dengan edema
kulit kembali cepat. Dehidrasi dehidrasi berat mengalami
sedang keadaan umumnya terlihat hipernatremia.
gelisah dan rewel, mata terlihat
cekung, haus dan merasa ingin
minum banyak dan turgor kulitnya
kembali lambat. Sedangkan
dehidrasi berat keadaan umumnya
terlihat lesu, lunglai atau tidak
sadar, mata terlihat cekung, dan
turgor kulitnya kembali sangat
lambat > 2 detik.
4. Hipokalemia 5. Demam
• Hipokalemia terjadi karena kurangnya kalium (K) selama • Demam sering ditemui pada kasus diare. Biasanya
rehidrasi yang menyebakan terjadinya hipokalemia demam timbul jika penyebab diare berinvansi ke dalam
ditandai dengan kelemahan otot, peristaltik usus sel epitel usus (Grace & Jerald, 2010). Bakteri yang
berkurang, gangguan fungsi ginjal, dan aritmia masuk ke dalam tubuh dianggap sebagai antigen oleh
tubuh. Bakteri tersebut mengeluarkan toksin
lipopolisakarida dan membran sel. Sel yang bertugas
menghancurkan zat-zat toksik atau infeksi tersebut
adalah neutrofil dan makrofag dengan cara fagosistosis.
Sekresi fagosik menginduksi timbulnya demam
PENCEGAHAN
1. Memberikan ASI
Pemberian ASI memberikan antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya
memberikan perlindungan secara imunologi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini didiagnosis dengan kehamilan dengan
hepatitis B. Diagnosis kehamilan dengan hepatitis tidak berbeda dengan diagnosis hepatitis akut pada populasi umum.
Diagnosis penyakit hepatitis ditegakkan berdasarkan gejala (keluhan), tanda (temuan klinis), kelainan fungsi hati yang
mendukung (peningkatan kadar seromarker spesifik untuk setiap jenis virus penyebab. Pasien ini ditemukan gejala sklera
ikterik dan ikterik generalisata dimana menunjang temuan klinis kehamilan dengan hepatitis. Pada ibu hamil dengan ikterus,
waspadai kemungkinan infeksi akut HBV dan adanya hepatitis fulminan (sangat ikterik, nyeri perut kanan atas, kesadaran
menurun dan hasil periksaan urine (warna seperti teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, sedangkan pemeriksaan darah
selain urobilin dan bilirubin positip SGOT dan SGPT sangat tinggi (biasanya diatas 1000).
Pada kasus ini, ditemukan hasil pemeriksaan HbsAg positif yang merupakan suatu pertanda adanya infeksi pada hati
oleh virus HBV, pertanda replikasi seperti HbeAg dan DNA HBV, pertanda untuk mengetahui akut atau kronik yaitu IgM anti-
HBc yang menunjukkan adanya kerusakan hati.USG akan menampakkan pembesaran hati serta bertambah densitas gama
dari parenkim hati pada hepatitis akut-kronik.
Pada tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap hepatitis akut pada kehamilan dengan tanpa
kehamilan. Istirahat yang cukup dan terapi simtomatik tetap menjadi dasarnya. Terminasi kehamilan hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik. Aspek yang perlu ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan terjadinya transmisi
vertikal virus penyebabnya, karena hal ini dapat berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan.
Persalinan pada ibu hamil dengan titer HBV tinggi (3,5 pg /mL) atau HBeAg positif lebih baik SC pada persalinan yang
lebih dari 14 jam. Pada infeksi akut persalinan pervaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin dan rawat bersama
dengan Ahli Penyakit Dalam.
Pada pasien ini dilakukan tindakan SC, alasannya karena berdasarkan penelitian Pan et al. bahwa tindakan SC dapat
mencegah penularan MCTC. Tindakan SC lebih efektif dilakukansebelum ketuban pecah. Pan et al. menganalisis data dari
1.409 bayi yang lahir melalui persalinan pervaginam, seksio sesaria elektif atau operasi caesar darurat untuk ibu dengan
HBsAg positif. Infeksi HBV yang ditularkan pada bayi yang lahir dengan operasi caesar elektif memiliki persentase yang
lebih kecil (1,4%), dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3,4%) atau operasi caesar darurat (4,2%). Operasi caesar
darurat tidak berpengaruh oleh penularan vertikal dibandingkan dengan persalinan pervaginam, sedangkan bayi yang lahir
dengan operasi caesar elektif memiliki tingkat signifikan lebih rendah dari penularan vertikal dari mereka yang lahir
dengan operasi caesar non-elektif.
Infeksi akut virus hepatitis B pada ibu hamil tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan
teratogensitas. Infeksi dapat dicegah dengan vaksinasi dan bagi yang diduga telah terpapar dianjurkan untuk
juga diberikan imunoglobulin (HBIG). Apabila ibu mengalami HbeAg positif (HBV DNA load tinggi) sebaiknya
diberikan HBIG dan vaksin untuk bayi. Bagi bayi yang ibunya HbeAg positif berisiko tinggi menjadi infeksi HBV
kronik.
Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah bayi lahir, mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan
upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu
kepada bayinya. Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu: 1) vaksin yang berasal dari
plasma, dan (2) vaksin rekombinan. Kedua ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir
karena antibodi anti HbsAg tidak mengganggu respons terhadap vaksin.
Menurut Pedoman Nasional di Indonesia dan WHO merekomendasikan sebaiknya HBIg dan vaksin
Hepatitis B diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambatlambatnya 24 jam setelah persalinan
untuk mendapatkan efektifitas yang lebih tinggi.
Pemberian profilaksis HBIG memberikan manfaat tambahan terutama pada bayi baru lahir dengan ibu HbsAg positif
dan HbeAg positif. Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HbsAg ibu pada saat melahirkan adalah:
1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg nya mendapatkan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan
atau 10 mcg (0,5 ml) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2
bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HbsAg positif maka segera
berikan 0,5 ml HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).
2. Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapatkan 0,5 ml HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5
ml) vaksin rekombinan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.
3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 ml) vaksin rekombinan,
sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 ml) intramuskular pada saat
lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18
bulan.
4. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 Tahun.
Mengenai menyusui bayi, tidak ada masalah untuk menyusui bayinya. Jika bayi telah divaksinasi segera setelah lahir,
maka tubuh bayi akan membentuk antibodi sehingga tidak terjadi penularan dari ibu ke bayi . Pada penelitian telah
dibuktikan bahwa penularan melalui saluran pencernaan membutuhkan titer virus yang jauh lebih tinggi dari
penularan parenteral
Sekian dan Terimakasih