Anda di halaman 1dari 68

Masalah Gastroenterologi dan Hepatologi: Diare

Akut, Diare Persisten, Hepatitis, dan Kolestasis

Disusun oleh:
1. Umi Hidayatul Ummah / P07124220012
2. Nabilah Jihan Khumaira / P07124220014
3. Salsabilla Jannah / P07124220017
4. Rizqi Noor Aisyah / P07124220026
5. Alfina Afifatur Rahma Safitri / P07124220043
6. Devi Nurbaiti / P07124220045
7. Rahma Marwah Hasyim / P07124220046
Pendahuluan

Gastroenterologi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang berhubungan


dengan fungsi normal dan berbagai penyakit pada seluruh sistem pencernaan yang
meliputi kerongkongan, lambung, kandung empedu, pankreas, hati, saluran empedu,
usus halus, usus besar (kolon), rektum, dan anus.
Berikut adalah paparan singkat tentang peran organ-organ di dalam sistem pencernaan manusia:

 Mulut, untuk menghaluskan makanan agar mudah ditelan.


 Kerongkongan, sebagai saluran yang menyambungkan mulut dengan lambung. Di sini terdapat katup
epiglotis yang berfungsi untuk menutup saluran napas ketika sedang menelan.
 Lambung, untuk memproses makanan dengan zat asam dan enzim lalu diteruskan ke usus halus. Di antara
organ lambung dan kerongkongan terdapat otot atau katup yang berfungsi menjaga agar makanan tidak
naik kembali ke kerongkongan. Pelemahan dari otot ini mengakibatkan penyakit “asam lambung” atau
penyakit refluks gastroesofagus.
LANJUTAN

 Usus halus, pada dasarnya berfungsi mengolah makanan lebih lanjut dan menyerap
nutrisi di setiap bagian usus terkait, dengan bantuan enzim dari pankreas dan cairan
empedu dari hati. Makanan bergerak dari satu bagian ke bagian selanjutnya dengan
bantuan gerakan peristaltik usus yang mendorong makanan.
 Usus besar, untuk menyerap air dan mineral serta mengolah sisa pencernaan
makanan lalu mendorongnya ke rektum yang menjadi akhir dari sistem pencernaan.
Tujuan dan Manfaat

1. Mengetahui fungsi normal dan berbagai penyakit pada seluruh sistem


pencernaan.
2. Agar memiliki pengetahuan dan pengertian yang mendalam terhadap fisiologi
normal organ-organ.
3. Mengetahui peran organ-organ di dalam sistem pencernaan manusia.
1. DIARE AKUT

Pengertian
Diare adalah gangguan buang air besar (BAB) dengan konsistensi feses lebih cair dengan frekuensi lebih
dari tiga kali sehari serta dapat disertai dengan darah atau lendir (Kemenkes RI, 2019). Diare merupakan
peningkatan frekuensi buang air besar atau peningkatan kandungan cairan di dalam tinja. Volume,
frekuensi, dan konsistensi buang air besar/tinja cukup bervariasi di antara individu bahkan pada bayi dan
anak-anak. Pada bayi dapat dikatakan diare selama ada cairan yang mengelilingi tinja .
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed
stools) atau cair dengan frekwensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2
minggu, di sebut sebagai Diare Akut. Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, maka digolongkan
pada Diare Kronik.
EPIDEMIOLOGI

Lebih dari 2 juta kasus diare akut infeksius di Amerika setiap tahunnya yang merupakan penyebab kedua dari morbiditas
dan mortalitas di seluruh dunia (Joan B, 2005). WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode
kejadian diare akut pada orang dewasa per tahun. Di Amerika Serikat, diperkirakan 211-375 juta kasus diare terjadi
setiap tahunnya yang mana 73 juta kasus diantaranya berkonsultasi ke dokter, 1,8 juta kasus opname di rumah sakit dan
3.100 kasus diantaranya mengalami kematian.
Budi Setiawan, dalam penelitiannya di RSUP Persahabatan Jakarta Timur mendapatkan E. coli sebagai penyebab
tersering diare akut infeksius pada pasien rawat inap (38,3%), diikuti oleh V. cholera, Aeromonas sp, S. flexneri dan
Salmonella sp (Setiawan B, 2006). Diare akut merupakan penyakit kedua yang paling sering dijumpai di dunia setelah
ISPA (Goldfinger SE, 1987). Gambaran klinis diare akut acapkali tidak spesifik. Namun selalu berhubungan dengan hal-
hal berikut: adanya traveling (domestik atau internasional), kontak personal, adanya sangkaan food-borne transmisi
dengan masa inkubasi yang pendek. Jika tidak ada demam, menunjukkan adanya proses mekanisme enterotoksisn.
Sebaliknya, bila ada demam dan masa inkubasi yang lebih panjang, ini karakteristik suatu etiologi infeksi.
ETIOLOGI
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu:

1. Infeksi

2. Malabsorpsi

3. Makanan

4. Alergi dan Imunodefisiensi

5. Penyebab lain (psikis)


FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor risiko penyebab terjadinya diare yaitu :
1. Faktor anak
2. Usia anak, Jenis kelamin bayi, Status gizi, Pemberian Asi Ekslusif

3. Faktor Ibu

4. Faktor Lingkungan

5. Faktor social ekonomi


TANDA DAN GEJALA
Penderita yang mempunyai tanda-tanda klinis diare akut, seperti :
 Sindroma berak cair lebih dari 4 kali perhari dalam kurun waktu kurang dari 14 hari.

 Demam atau tidak

 Mual

 Muntah

 Umur lebih dari 14 tahun

 Nyeri ulu hati


PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

1. Pemeriksaan

Pada diare akut, yang penting adalah pemeriksaan feses rutin yang segera dilakukan dengan mengambil sedikit
feses dengan pewarnaan eosin, dan diperiksa dibawah mikroskop. Dengan pemeriksaan feses rutin dapat ditemukan:
erirosit, leukosit pada disentri. Juga bisa ditemukan tropozoit amuba pada disentri amuba, giardia lamblia pada
giardiasis. Berbagai telur cacing juga dapat ditemukan yang mungkin sebagai penyebab diare, seperi telur trichuris.
Kultur feses hanya dilakukan pada dugaan kasus diare tertentu seperti kolera dengan mengambil sediaan rectal
swab dengan media tertentu, atau pada kasus diare salmonellosis dengan pemeriksaan kultur salmonella. Untuk
mengetahui mikroorganisme penyebab diare akut dilakukan pemeriksaan feses rutin dan pada keadaan dimana feses
rutin tidak menunjukkan adanya mikroorganisme atau ova, maka diperlukan pemeriksaan kultur feses dengan medium
tertentu sesuai dengan mikroorganisme yang dicurigai secara klinis dan pemeriksaan laboratorium rutin. Indikasi
pemeriksaan kultur feses antara lain, diare berat, suhu tubuh > 38,50C, adanya darah dan/atau lendir pada feses,
ditemukan leukosit pada feses, laktoferin, dan diare persisten yang belum mendapat antibiotik (Procop GW, 2003)
2. Diagnosis

Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan yang sistematik dan cermat.
Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat
terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Kolopaking MS, 2002,
Guerrant RL, 2003, Lung E, 2003). Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik
terlihat pada gambar.
KOMPLIKASI
Berikut ini beberapa komplikasi yang disebabkan diare atau diare kronis.
 Infeksi berat yang dapat meluas ke organ lain dan seluruh tubuh (sepsis).
 Iritasi pada kulit sekitar anus akibat pH tinja yang asam pada diare yang disebabkan intoleransi laktosa.
 Malnutrisi terutama pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun, yang dapat berakibat menurunnya kekebalan tubuh
anak.
 Ketidakseimbangan elektrolit oleh karena elektrolit ikut terbuang bersama air yang keluar saat diare, yang dapat
ditandai dengan lemas, lumpuh, hingga kejang.
 Dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh, dari ringan hingga berat.
 Diare kronis bisa menyebabkan urine berwarna gelap, demam, muntah, pusing, dan lemas.
 Mengancam nyawa, komplikasi utama dan paling fatal dari diare kronis adalah dehidrasi berat akibat kehilangan cairan
dalam jumlah banyak. Dehidrasi yang tak ditangani dengan baik bisa menyebabkan kematian. 
 Hipokalemia (dengan gejala ineteorismus, lemah, bradikardi).
 Hipoglikemi.
 Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
PENCEGAHAN
Berikut adalah beberapa anjuran yang dapat diterapkan untuk mencegah diare:
 Rajin mencuci tangan dengan air dan sabun, terutama sebelum dan setelah makan, setelah menyentuh
daging mentah, setelah menggunakan toilet, dan setelah bersin atau batuk
 Mengonsumsi makanan dan minuman yang matang atau sudah dimasak
 Menghindari konsumsi buah dan sayuran yang mentah atau tidak dipotong sendiri, terutama saat bepergian
 Memberikan ASI eksklusif pada 6 bulan pertama bagi bayi, guna membantu membentuk antibodi dalam
melawan mikroorganisme penyebab diare
Melakukan vaksinasi rotavirus, untuk melindungi bayi dari serangan virus yang paling umum menyebabkan diare
Penanganan

Penatalaksanaan diare akut antara lain :


a) Rehidrasi

b) Diet

c) Obat Antidiare
2. HEPATITIS
Hepatitis adalah proses keradangan atau inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis,
biokimia, serta seluler yang khas. Hepatitis merupakan suatu proses peradangan difusi pada jaringan hati yang
memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemah, mudah lelah, nafsu makan berkurang, urine berwarna seperti teh
pekat, mata dan saluran badan menjadi kuning (ikterus). Penyakit ini telah dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu
oleh Hippocrates, dan semula dianggap sebagai satu kesatuan klinik tersendiri. Hepatitis bisa disebabkan oleh virus,
bakteri dan obat-obatan.
Hepatitis adalah inflamasi dan cedera pada sel hati. Hepatitis bisa disebabkan oleh berbagai agen, misalnya virus,
alcohol, toksin, dan obat-obatan. Jika inflamasi sel hati disebabkan oleh infeksi virus, maka disebut dengan viral hepatitis.
Hepatitis dibagi menjadi hepatitis A, B, dan C. Kemudian ada hepatitis D dan E yang terjadi pada populasi tertentu.
Penggolongan hepatitis didasarkan atas jenis virus yang menginfeksi dan tingkat keparahannya. Semua jenis hepatitis
merusak sel hati karena menjadi tempat virus bereplikasi.
Epidemiologi
Secara epidemiologis, penyakit Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita yang tercatat
di fasilitas kesehatan lebih sedikit dari jumlah penderita sesungguhnya. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang
menahun. Saat seseorang terinfeksi, kondisi masih sehat dan belum menunjukkan tanda dan gejala yang khas serta
munculnya keluhan, tetapi proses penularan atau masa inkubasi terus berjalan hingga sampai pada tahap dini dan lanjut.
Secara global, lebih dari 350 juta orang terinfeksi virus hepatitis B. Diperkirakan bahwa lebih dari sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi virus hepatitis B. Sekitar 5% dari populasi adalah carrier kronis HBV, dan secara umum hampir
25% carrier dapat mengalami penyakit hati yang lebih parah seperti hepatitis kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler
primer.
Daerah yang termasuk endemis tinggi di antaranya adalah Asia Tenggara (termasuk Indonesia, daerah Pasifik kecuali
Jepang), Australia, dan Selandia Baru, sub sahara di Afrika, sebagian Timur Tengah, Asia Tengah, dan beberapa negara
Eropa Timur. Di daerah-daerah ini prevalensi infeksi berkisar antara 70-90% terjadi pada populasi di bawah 40 tahun, dan
8 hingga 20% populasi menjadi carrier.
ETIOLOGI
 Berdasarkan penyebabnya, hepatitis dapat dibagi atas:
o Hepatitis oleh virus
o Hepatitis oleh bakteri
o Hepatitis oleh obat-obatan.
 Sedangkan berdasarkan perjalanan penyakitnya, hepatitis dapat dibagi atas:
o Hepatitis akut
o Hepatitis kronis
Hepatitis viral akut ialah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama kurang dari 6 bulan. Sebagian
hepatitis akan sembuh sempurna, tetapi sebagian lain akan berkembang menjadi kronis, sirosis atau karsinoma hati. Paling
sedikit ada 5 jenis virus penyebab hepatitis yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E Hepatitis A umumnya mengenai anak dan dewasa
muda sedangkan Hepatitis B sering mengenai dewasa muda, bayi dan balita. Hepatitis C lebih sering mengenai orang dewasa.
Hepatitis A lebih sering mengenai penderita dengan status sosioekonomi yang buruk karena penularan virus ini terutama
melalui jalur faecal oral.
FAKTOR RESIKO

Faktor resiko dari penyakit hepatitis adalah:


1. Perilaku yang berisiko
2. Penyalahgunaan obat-obatan dan alcohol
3. Kondisi tempat tinggal dan tempat kerja
4. Kontaminasi air dan makanan
5. Faktor risiko hepatitis lainnya
Cara lain untuk terkena hepatitis meliputi:
• Transfusi darah
• Terapi penekanan sistem kekebalan tubuh (hepatitis autoimun)atau kemoterapi
• Penularan dari ibu ke anak saat persalinan
TANDA DAN GEJALA
Tanda dan Gejala
1. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) A
2. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) B

- - Kehilangan nafsu makan


Pusing kepala
- - Mual dan muntah.
Mual dan muntah
- - Penurunan berat badan.
Sakit tenggorokan
- - Gejala yang menyerupai flu seperti lelah, nyeri pada
Diare
- Tidak nafsu makan tubuh, sakit kepala, dan demam tinggi (sekitar 38ºC atau

- Kelelahan lebih).

- - Nyeri perut.
Nyeri otot dan Nyeri sendi
- - Lemas dan lelah.
Urin dengan warna gelap
- - Sakit kuning (kulit dan bagian putih mata yang
Tinja kuning pucat
- Sakit kuning menguning).
lanjutan
3. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) C

Sebagian besar ( > 90% ) kasus Hepatitis C akut bersifat asimptomatik. Kejadian Hepatitis fulminan juga sangat kecil dari infeksi VHC. Sebagian
kecil penderita bisa saja mengalami gejala prodromal seperti infeksi virus pada umumnya. Sebagian besar kondisi penderita Hepatitis C akut akan
berkembang menjadi Hepatitis C kronik yang umumnya juga bersifat asimptomatik. Antara 20 – 30 % dari jumlah penderita ini akan bertambah parah
menjadi Sirosis Hati dalam waktu 20 - 30 tahun ke depan. Pada kondisi ini, kerusakan hati bersifat progresif lambat, seringkali penderita yang terinfeksi
VHC pada usia lanjut tidak mengalami gangguan maupun keluhan pada bagian hati sama sekali seumur hidupnya.
4. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) D

Gejala infeksi Hepatitis D sama persis dengan Hepatitis B, namun kehadiran virus ini terbukti mempercepat proses fibrosis pada hati,
meningkatkan risiko Kanker hati, dan mempercepat dekompensasi pada keadaan Sirosis Hati. Bila Hepatitis B yang diderita penderita bersifat akut dan
lalu sembuh, VHD juga akan hilang seluruhnya. Namun bila VHD menginfeksi penderita yang sudah menderita Hepatitis B kronik, maka penderita
tersebut juga akan menderita Hepatitis D kronik.
5. Gejala Penyakit Hepatitis (Hepatitides) E
Infeksi penyakit Hepatitis E selalu bersifat akut, tanda dan gejala dari infeksi ini bervariasi dari subklinis hingga fulminan. Kemungkinan
Hepatitis fulminan karena infeksi VHE saat ini tidak banyak hanya tercatat 0,5 - 3%. Kemungkinan ini meningkat pada ibu hamil di mana angka
kematian bisa mencapai 20%. Gejala yang mungkin muncul pada Hepatitis E akut tidak berbeda dengan Hepatitis akut lainnya, yaitu lemas, penurunan
nafsu makan, demam, nyeri perut, mual, muntah, dan kuning.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA

Hepatitis A
Disamping gejala dan tanda klinis yang kadang tidak muncul, diagnosis Hepatitis A dapat ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan IgM-anti VHA serum penderita.

Hepatitis B
Sampai saat ini terdapat beberapa indikator dari hasil laboratorium yang bisa digunakan untuk menilai infeksi Hepatitis B. Pada
kondisi infeksi yang akut, antibodi terhadap HBcAg yang paling pertama muncul dan diikuti dengan munculnya HBsAg dan HBeAg
serum. Bila penderita mengalami kesembuhan secara spontan setelah menderita Hepatitis B akut maka akan terjadi serokonversi
HBsAg dan HBeAg, yang ditandai dengan kadar kedua penanda tersebut tidak akan dapat terdeteksi lagi di serum. Sementara anti-HBs
dan anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada penderita Hepatitis B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum
penderita. Penderita Hepatitis B kronik, DNA VHB sebaiknya diperiksa untuk memantau perjalanan riwayat penyakit. Pada beberapa
jenis virus mutan, HBeAg bisa tidak terdeteksi di dalam serum walaupun peradangan pada hati masih terjadi dan kadar DNA VHB
serum masih tinggi.
Hepatitis C
Hal penting dalam mendiagnosis Hepatitis C adalah ditemukannya RNA VHC di serum penderita. Namun, mengingat beban biaya yang mahal dan
tidak praktisnya pemeriksaan ini maka pemeriksaan anti-VHC bisa digunakan untuk menapis atau menskreening penderitapenderita yang dicurigai
menderita Hepatitis C. Namun, perlu dicermati bahwa sebagian kecil penderita Hepatitis khususnya yang mengalami penurunan sistem imun, tidak akan
memiliki antibodi yaitu anti-VHC di darahnya. Pemeriksaan RNA VHC sendiri hanya diindikasikan pada penderita yang positif anti-VHC, penderita
Hepatitis C kronik yang diterapi sambil melakukan pemantauan respons dari terapi), dan penderita dengan gangguan hati kronik dengan anti-VHC
negatif yang belum diketahui penyebabnya (khusunya penderita yang mengalami penurunan sistem imun). Pemeriksaan genotip VHC wajib dilakukan
pada semua penderita yang akan menerima terapi antivirus untuk menilai berapa lama pengobatan dilakukan.

Hepatitis D
Penderita Hepatitis B sebaiknya menjalani pemeriksaan Hepatitis D juga. Dimana pemeriksaan awal dilakukan dengan mencari anti-HDV di serum.
Apabila positif, pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa RNA VHD. Penderita Hepatitis B yang RNA VHD-nya positif saja yang dianjurkan untuk
menjalani terapi Hepatitis D. Perlu diingat bahwa infeksi VHD memiliki cara penularan yang sama dengan VHB dan pemeriksaan untuk virus-virus ini
seperti VHC dan HIV juga perlu dilakukan.

Hepatitis E
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibody terhadap VHE atau RNA VHE di serum atau feses penderita. Antibodi yang bisa dideteksi saat
ini mencakup IgM, IgG, dan IgA.
KOMPLIKASI

Menurut mansjoer dkk (2000) komplikasi hepatitis terdiri dari edema serebral, perdarahan saluran cerna, gagal
ginjal, gangguan elektrolit, gangguan pernafasan, hipoglikemia, sepsis, gelisah, koagulasi intra vaskuler
diseminata, hipotensi dan kematian. Tanda-tanda edema serebral adalah kenaikan tekanan intrakranial dengan
gejala dini transpirasi, hipervertilasi, heperefleksi, opistotonus, kejang-kejang, kelainan kedua pupil yang terakhir
dengan reflek negatif terhadap cahaya. Hilangnya reflek okulovestibular menunjukkan prognosis total. Menurut
Iin Inayah (2000) komplikasi dari hepatitis adalah kegagalan hati (hepatoseluler), hipertensi portal, asites,
ensefalopati, peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal dan transformasi kearah kanker hati primer
(hepatoma).
PENCEGAHAN

Pencegahan infeksi Hepatitis bisa berupa pencegahan non-spesifik maupun pencegahan spesifik. Pencegahan
NonSpesifik yaitu pencegahan terhadap infeksi Hepatitis dengan menerapkan pencegahan secara universal yang baik
dan dengan melakukan penapisan pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal seperti
membatasi Faktor Penyebab, Risiko dan Pencetus penularan Penyakit Hepatitis. Pencegahan Spesifik yaitu
pencegahan terhadap infeksi Hepatitis dengan menerapkan pencegahan secara spesifik seperti Imunisasi.
1. menjaga kebersihan diri 7. Makanan siap saji agar segera dimakan langsung.
2. menghindari makanan yang tak terjaga 8. Menghindari kontak seksual dengan orang yang memiliki
kebersihannya akut atau kronis hepatitis B.
3. Hindari daging mentah atau yang kurang matang. 9. Menghindari tatoo dan tindikan.
4. Jangan membeli makanan dari PKL yang 10. Menghindari berbagi barang pribadi, seperti pisau cukur
kebersihannya tak terjaga. atau sikat gigi dengan orang yang terinfeksi.
5. Melakukan vaksinasi hepatitis A (hepatitis B bila 11. Untuk pasien agar menutup luka yang terbuka agar darah
perlu) jika belum ada antibodi terhadap Hepatitis A. tidak kontak dengan orang lain.
6. Memasak air sampai mendidih adalah metode 12. Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ,
terbaik untuk menghilangkan virus Hepatits A. ataupun sperma.
13. Imunisasi
3. KOLESTASIS
Pengertian
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam jumlah yang normal.
Secara klinis kolestatis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti
bilirubin, asam empedu dan kolesterl di dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American
Society for Pediatric Gastroenterlogy, epatology and Nutritin (NASPGHAN), kolestasis apabila kadar bilirubin direk
lebih dari 1 mg/dl, bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari 5
mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total (Benchimol dkk.,2009;2014)
Kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin
banyak terdapat pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi. Pasien penyakit
ini ditemukan dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali, dan difungsi
hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia) (Behrman & Arvin, 2000)
EPIDEMIOLOGI

Kasus kolestasis yang dijumpai pada masyarakat jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan,
perbandingannya relative sama. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan memiliki peluang yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki, rasio atresia bilier pada bayi perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1. Kolestasis dapat terjadi
pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang baru lahir masih merupakan golongan usia yang
paling sering mengalami kolestasis. Kejadian kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia kehamilan kurang
bulan dan bayi berat lahir rendah, karena berhubungan dengan gangguan fungsi hati. faktor risiko lain yang
berhubungan dengan kolestasis adalah : bayi-bayi yang mengalami sepsis berulang dan pemberian nutrisi secara
parental.
ETIOLOGI

Etiologi kolestasis digolongkan menjadi intrahepatic dan ekstrahepatik yang masing-masing mempunyai berbagai
macam etiologi (Juffrie et al., 2009; Karpen, 2002).
1. Kolestasis Intrahepatik
Kolestasis intrahepatik didasari oleh gangguan pada hepatosit dan saluran empedu dengan sistem bilier
ekstrahepatik yang berfungsi dengan baik.
a. Saluran Empedu

b. Kelainan Hepatosit

2. Kolestasis Ekstrahepatik
lanjutan

Menurut Richard (2008) Penyebab utama dari kolestasis neonatal sendiri bisa terjadi karena:
1. Obstruksi saluran empedu 4. Penyakit metabolik
• Atresia bilier ekstrahepatik • Tirosinemia
2. Infeksi neonatal • Penyakit niemann-Pick
• Sitomegalovirus • Galaktosemia
• Sepsis bakterial • Defek lintasan sintesis asam empedu
• Infeksi saluran kemih • Defisiensi α,-antitripsin
• Sifilis • Kistik fibrosis

3. Toksik
5. Lain-lain

• Obat • Syok/hipoperfusi
• Nutrisi parenteral • Indian childhood cirrhosis
• Sindrom alagille (saluran empedu yang tidak memadai)
• Hepatitis neonatal idiopatik
FAKTOR RISIKO
Kolestasis dapat terjadi pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang baru lahir masih merupakan
golongan usia yang paling sering mengalami kolestasis. Kejadian kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia
kehamilan kurang bulan dan bayi berat lahir rendah, karena berhubungan dengan gangguan dari fungsi hati
Selain itu, sumber lain menyebutkan beberapa factor risiko terjadinya kolestasis sebagai berikut. Faktor risiko
untuk kolestasis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen)
1. Batu kolesterol

a) Jenis kelamin Batu


b) ObesitasSindroma metabolik terkait obesitas,
c) KehamilanBatu
d) Stasis cairan empedu
e) Obat-obatan
f) Faktor keturunan
2. Batu pigmen hitam dan coklat (Bloom & Katz, 2016)
TANDA DAN GEJALA

Kolestasis memiliki beberapa gejala seperti penyakit kuning (jaundice), warna urine gelap, BAB berwarna
keputihan seperti dempul, gatal-gatal, mual muntah, dan nyeri perut. Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat
dijumpai hepatomegali, splenomegali, gagal tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada
pasien dengan kolestasis adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik,
hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan karena defisiensi vitamin K,  dan
hiperkolesterolemia.

Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi adalah ikterus, tinja akholis, dan
urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasis klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya
aliran empedu dan bilirubin.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan muksa berwarna icterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin
berwarna lebih gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik). Pemeriksaan fisik pasien
kolestasis dapat dijumpai hepatmegali, splenomegaly, gagal tumbu, dan wajah dismorfik.
Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis adalah hopoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit
metabolic, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena difisiensi vitamin , hiperkolesterolemia,
xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan. Apabila proses berjalan lama, dapat muncul berbagai
manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain sebagai akibat dari penumpukan zat-zat yang
seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.
1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik 3. Pemeriksaan Penunjang

• Penegakan kolestasis perlu


Penegakan Diagnosa dan Pemeriksaan

• Fasies dismorfik : pada sindrom Alagille • Pemeriksaan penunjang


ditanyakan warna feses dan urin • Mata : dikonsulkan ke ahli mata dilaksanakan melalui 2 tahap ,
• Pelacakan etiologi : Riwayat apakah ada katarak atau yaitu (Juffrie et al., 2009):
chorioretinitis (pada infeksi
kehamilan dan kelahiran • Tahap pertama bertujuan untuk
TORCH) atau posterior embryotoxan
• Riwayat keluarga (pada Sindrom Alagille) menetapkan perlu tidaknya
• Paparan terhadap toksin/obat- • Kulit : ikterus dan dicari tanda-tanda pemeriksaan tahap kedua yaitu
obatan hepatotoksik komplikasi sirosis seperti spider penegakan adanya atresia biliaris :
angiomata, eritema palmaris, edema • 1. Darah tepi
• Thorax : bising jantung (pada Sindrom • 2. Tes biokimia hati
Alagille, atresia biliaris) • 3. Urin rutin
• Abdomen :
• 1. Hepar : ukuran lebih besar atau lebih
• 4. Tinja 3 porsi
kecil dari normal, konsistensi hati • 5. Pemeriksaan etiologi
normal atau keras, permukaan hati • 6. Pencitraan
licin/berbenjol-benjol/bernodul • 7. Biopsi hati bila memungkinkan
• 2. Lien : splenomegaly Vena kolateral,
• Tahap kedua : Kolangiografi
asites
• Lain-lain : jari-jari tabuh, asteriksis, sekaligus dilakukan prosedur
foetor hepatikum, fimosis Kassai apabila terbukti ada atresia
(kemungkinan ISK) biliaris
Pemeriksaan penunjang menurut (Price & Wilson, 2012):

1. Radiologis 2. Laboratorium
• Foto polos abdomen • Ekskresi empedu: mengukur kemampuan hati untuk
• Ultrasonografi (USG) mengkonjugasi dan mengekskresi pigmen empedu
• 1. Bilirubin serum direk (terkonjugasi) Meningkat apabila terjadi
• Metode yang disukai untuk mendeteksi batu empedu, gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi (nilai normalnya 0,1-
dapat diandalkan untuk mendeteksi dilatasi saluran 0,3 mg/dl).
empedu dan massa padat atau kistik didalam hati dan • 2. Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi) Meningkat pada
pancreas, non invasif dan murah keadaan hemolitik dan sindrom Gilbert (nilai normalnya 0,2-0,7
• CT scan mg/dl).
• Magnetik Resonance Imaging (MRI) (Pengambilan • 3. Bilirubin serum total Bilirubin serum direk dan total
gambar organ) meningkat pada penyakit hepatoseluler (nilai normalnya 0,3-1,0
mg/dl).
• Metabolisme Protein :
• 1. Protein serum total: sebagian besar protein serum dan protein
pembekuan disintesis oleh hati sehingga kadarnya menurun pada
berbagai gangguan hati, (nilai normalnya 6-8 gr/dl), albumin
serum (nilai normalnya :3,2-5,5 gr/dl), globulin serum (nilai
normalnya: 2,0- 3,5 gr/dl)
• 2. Massa protrombin (nilai normalnya : 11-15 detik) Meningkat
pada penurunan sintesis protrombin akibat kerusakan sel hati
atau berkurangnya absorpsi vitamin K pada obstruksi empedu.
Vitamin K penting untuk sintesis protrombin
Diagnosis Banding
1. Infeksi
a. Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks
(TORCH) Infeksi kongenital ini memberikan beberapa
gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning, hepatosplenomegali,
pneumonitis, ptekie atau purpura, dan kecenderungan untuk b. Sifilis
prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat (Juffrie et
al., 2012)
• Toksoplasmosis. Gambaran klinik lainnya adalah kelainan yang nyata
dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus, kalsifikasi
intrakranial, kejang, nistagmus, dan tanda tekanan intrakranial yang
• Gejala yang timbul pada sifilis mengenai multisystem termasuk
meningkat serta kelainan mata berupa korioretinitis. retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya gagal
• Rubella. imunisasi untuk penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah tumbuh, anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik,
anemia, trombositopenia, kelainan jantung congenital (PDA atau periostitis, nasal discharge, rash pada kulit, limfadenopati
stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi mental, dan tuli difus dan hepatomegali. Kuning mungkin sudah terlihat dalam
neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant cells 24 jam pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak
yang tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi kuning, tetapi ada rash yang khas pada telapak tangan dan kaki
sirosis. atau hanya ada demam dengan hepatomegaly yang menyolok.
• Sitomegalovirus. Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi
kongenital yang paling banyak dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi
sebagian besar asimtomatik. selain gejala yang dicantumkan di atas
mungkin pula ada asites, tetapi jarang menimbulkan gagal hati akut. Gejala
lainnya adalah gejala sususan saraf pusat berupa mikrosefali, kalsifikasi
intracranial dan korioretinitis.
• Herpes simpleks. Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama
tipe 2) dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat
termasuk gejala ensefalitis, hepatitis berat atau gagal hati
fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis dengan inklusi virus
dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel ditemukan
virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi
herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata
c. Varisela d. Infeksi bakteri di luar hati

• Varisela mungkin terjadi pada neonatus • Gejala kuning dan meningkatnya


bila ibu terinfeksi dalam 2 minggu kadar bilirubin direk darah mungkin
sebelum melahirkan. Gejalanya terjadi pula pada infeksi di luar hepar
cenderung lebih berat pada bayi prematur misalnya infeksi traktus urinarius atau
dan ringan pada bayi cukup bulan yang sepsis (streptokokus, stafilokokus atau
berumur lebih dari 10 hari. Manifestasi kuman gram negatif).
yang timbul dini serta infeksi yang terjadi
selama kehamilan dapat berakibat fatal.
Gejala klinisnya berupa kuning, kelainan
kulit yang luas dan keterlibatan
multisystem terutama pneumonia dan
kelainan parenkim hati pada kasus yang
fatal.
2. Hepatitis neonatal idiopatik
Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama tidak dapat ditemukan pada 25% kasus dan kelompok bayi ini
disebut hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung merupakan bayi prematur atau kecil untuk masa kehamilan yang mungkin
merefleksikan kelainan genetic atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam keluarga menderita penyakit
yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya
normal.
3. Sindrom Alagille
Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome, sindrom Watson-Miller, dysplasia arteriohepatik) adalah suatu kelainan
genetik dengantransmisi dominan autosom, tetapi dengan manifestasi klinis yang sangatbervariasi. Sindrom ini dihubungkan
dengan mutasi yang terjadi pada genJagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada 70% kasus dan diturunkan
pada 30-50% kasus. Gambaran klinis utamanya adalah :

3. Kelainan tulang berupa bentuk


tulang belakang yang seperti
1. Kolestasis yang sangat hebat 2. Raut muka khas berupa kening butterfly akibat kegagalan fusi
hingga mengakibatkan tinja yang lebar, mata dalam, bagian anterior vertebra. Mungkin
berwarna dempul dan disertai hipertelorism ringan, dan dagu yang pula terlihat jarak interpedikular
pruritus lancip. pada daerah lumbal yang berkurang,
ada spina bifida okulta, falangs distal
melengkung dan ulna yang pendek

6. Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan


retardasi intrauterin. Malnutrisi berat ditemukan
4. Kelainan mata yang terjadi dapat pada ±50% penderita yang mungkin
5. Kelainan jantung dapat berupa
sangat beragam. Yang paling sering merupakan bagian dari sindrom Alagille atau
stenosis arteri pulmonal, tetralogi
dan memerlukan pemeriksaan sekunder terjadi akibat malabsorpsi atau refluks
Fallot, stenosis katup pulmonal,
dengan slit-light adalah gastroesofageal. Diagnosis dibuat berdasarkan hasil
stenosis aorta, dan ASD. Beratnya biopsi hati yang memperlihatkan paucity duktus
embriotoksan posterior dan
kelainan jantung bervariasi. biliaris dengan paling sedikit 3 dari kelainan
Schwalbe’s line yang abnormal.
utama (kelainan raut muka, mata, vertebrae,
ginjal, dan jantung).
4. PFIC (Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis)
1. Penyakit Byler (PFIC-1)
Pada penyakit Byler, peningkatan kadar bilirubin direk yang
beragam terjadi pada 3-6 bulan pertama disertai
hepatomegali, retardasi pertumbuhan, diare persisten, 2. PFIC-2
pankreatitis dan tanda defisiensi berat vitamin yang larut
dalam lemak termasuk ricketsia. Pada pemeriksaan Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom
laboratorium didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal 2q24. Gejalanya sama dengan PFIC-1, hanya tidak
tetapi konsentrasi total asam empedu serum meningkat. ada diare serta pankreatitis.
Biopsi hati memperlihatkan inflamasi ringan dengan bile plug di
kanalikulus biliaris dengan pemeriksaan rutin serta gambaran
granuler yang khas dengan mikroskop elektron

3. PFIC-3
PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang
mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning
kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem
biliaris dalam batas normal pada pemeriksaan
pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris
dapat menghilangkan pruritus bila dikerjakan
sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna.
KOMPLIKASI
1. Sirosis ati 2. Hipertensi Portal
Sirosis hati atau pengerasan hati merupakan stadium akhir dari Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan vena porta yang menetap di
penyakit hati menahun, karena terjadinya fibrosis yang meluas sehingga atas nilai normal yaitu 6-12 cm H2O. Penyebabnya adalah resistensi aliran
terbentuk nodul-nodul pada semua bagian hati. Sirosis ditandai dengan fibrosis darah yang keluar masuk melalui vena hepatika dan peningkatan aliran
difus, regenerasi nodul serta perubahan arsitektur vaskularisasi pada parenkim arteri splagnikus sehingga terjadi peningkatan tekanan pada sistem portal.
hati

3. Simtomatik 4. Kolik bilier


Simtomatik adalah pengobatan yang bertujuan meringankan atau Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
menyembuhkan gejala, bukan mengobati penyakit seperti pengobatan 13 dengan yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat dari tersumbatnya saluran
analgesik untuk nyeri, anti inflamasi untuk peradangan. empedu.

6. Kolestasis akut
5. Kolangitis
Kolestasis adalah peradangan pada kandung empedu akibat dari adanya infeksi
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu
kandung empedu
lanjutan

7. a. Hidrop kandung empedu.


b. Empiema kandung empedu.
8. Emplema kandung empedu
c. Fistel kolesistoenterik
d. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
PENCEGAHAN
Pencegahan kolistasis dapat di mulai dari masyarakat yang sehat yang memiliki faktor risiko untuk terkena kolistasis sebagai
upaya untuk mencegah peningkatan kasus kolistasis pada masyarakat dengan cara tindakan promotif dan preventif. Untuk
mencegah kolestasis bagi yang beresiko, dapat dilakukan tindakan-tindakan pencegahan `sebagai berikut:

1. Menjaga kebersihan makanan dan 2. Meningkatkan kebersihan 3. Menurunkan kadar kolesterol


mencegah infeksi (virus hepatitis, lingkungan dan sanitasi dengan mengurangi konsumsi lemak
salmonella, typosa atau tifoid)

6. Segera mencari perawatan medis


5. Minum air putih yang cukup jika merasakan gejala dan tanda
4. Meningkatkan konsumsi buah
setiap hari agar kadar air pada kolestasis, seperti sakit perut, urine
dan sayur
cairan empedu mencukupi yang berwarna lebih gelap, atau
kotoran berwarna seperti dempul
Selain itu, untuk mencegah kolestasis pada Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :

2. Menghindari obat yang


dapat meningkatkan ikterus
pada bayi pada masa 3. Pencegahan dan 4. Penggunaan fenobarbital
1. Pengawasan antenatal kehamilan dan kelahiran, mengobati hipoksia pada pada ibu 1-2 hari sebelum
yang baik misalnya sulfafurazole, janin dan neonatus partus
novobiosin, oksitosin dan
lain-lain.

5. Iluminasi yang baik pada 6. Pemberian makanan yang


7. Pencegahan infeksi
bangsal bayi baru lahir dini
PENANGANAN
1. Kausatif
Pada atresia biliaris dilakukan prosedur Kassai dengan angka keberhasilan tinggi apabila dilakukan sebelum usia 8
minggu. Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy procedure), diperlukan untuk mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan
menyambungkan usus halus langsung dari hati untuk menggantikan saluran empedu. Operasi Kasai dapat memperbaiki
prognosis anak dan memperlambat perjalanan menuju kerusakan hati ((Juffrie et al ., 2012; Arief, 2010).
2. Suportif
Apabila tidak ada terapi spesifik harus dilakukan terapi suportif yang bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan
seoptimal mungkin serta meminimalkan komplikasi akibat kolestasis kronis (Juffrie et al ., 2009; Juffrie et al., 2012).
Medikamentosa
a. Menstimulasi aliran empedu sekaligus mengatasi pruritus :
1) Asam ursodeoksikolat 10-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Asam ursodeoksikolat merupakan asam
empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer
serta sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik
lanjutan
2) Kolestiramin 0,25-0,5 g/kgBB/hari.
Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga akan menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat
mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta
meningkatkan ekskresinya. Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan balik negatif ke hati, memacu
konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang berperan sebagai koleretik.
3) Rifampisin 10 mg/kgBB/hari.
Rifampisin dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta menghambat ambilan asam empedu oleh sel hati dan
metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada ±50% kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia dan
hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-10% kasus.
4) Fenobarbital 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis.
Fenobarbital bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya yaitu
meningkatkan aliran empedu dengan cara menginduksi enzim UDP-glukoronil transferase, sitokrom P-450 dan
Na+K+ATP-ase. Terapi pada bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu metabolisme beberapa
obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat mengeksaserbasi ricketsia.
lanjutan
b. Nutrisi diberikan untuk menunjang pertumbuhan optimal (kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan
bayi normal) dan mengandung lemak rantai sedang/MCT (medium chaintrglyseride). Formula MCT relatif lebih larut
dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi dan menghindarkan makanan yang banyak
mengandung cuprum (tembaga).
c. Vitamin yang larut dalam lemak : A (5.000-25.000 IU/hari), D (Calcitriol 0,05-0,2 μg/kgBB/hari), E (25-200
IU/kgBB/hari), K (2,5-5 mg/hari diberikan 2-7x/minggu).
d. Mineral dan trace element Ca (25-100 mg/kgBB/hari), P (25-50 mg/kgBB/hari), Mn (1-2 mEq/kgBB/hari oral), Zn (1
mg/kgBB/hari oral), Se (1-2 μq/kgBB/hari oral), Fe (5-6 mg/kgBB/hari oral).
e. Terapi komplikasi lainnya misalnya untuk hiperlipidemia/xantelasma diberikan obat HMG-coA reductase inhibitor seperti
kolestipol, simvastatin.
f. Terapi untuk mengatasi pruritus juga dapat digunakan antihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kgBB/hari, hidroksisin 2-5
mg/kgBB/hari
Penanganan Medis Kolestasis :
1. Non bedah
Terapi konservatif
Dilakukan pada penderita kolestasis yang mempunyai kontra indikasi untuk pembedahan serta penderita yang diagnosanya belum jelas sehingga masih perlu observasi.

a. Pengobatan konservatif berupa:


b. Farmako
1. Obat antikolinergik (sulfas atropin, buskopan, beladon)
Terapi Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat
2. Istirahat digunakan untuk melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil
3. Analgetik untuk meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit dan tersusun dari kolesterol. Zat pelarut batu empedu hanya
digunakan untuk batu kolesterol pada pasien yang karena sesuatu
4. Antibiotika untuk mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
hal sebab tak bisa dibedah.Mekanisme kerjanya berdasarkan
5. Diit rendah lemak untuk mengurangi kerja kandung empedu. penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam
6. Cairan infus untuk menjaga stabilitas asupan cairan empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Terapi perlu
dijalankan lama, yaitu: 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan
7. Pada daerah kandung empedu diberi kompres es untuk mengurangi rasa sakit
minimal 3 bulan setelah batu-batu larut.
dan mencegah penyebaran peradangan ke daerah sekitar kandung empedu.

d. Litotripsi Intrakorporeal
c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung
Prosedur nonvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock
empedu atau doktus koleduktus dapat dipecah dengan
wafes) yang diarahkan ke batu empedu di dalam kandung empedu atau doktus
menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi
koleduktus dengan maksud untuk mencegah batu tersebut menjadi sejumlah
hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung
fragmen. Gelombang kejut diproduksi dalam media cairan oleh percikan
pada batu. Kemudian fragmen batu atau derbis dikeluarkan dengan
listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik. Setelah batu
cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebutdapat diikuti dengan
dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dikandung
pengangkatan kandung empedu melalui luka sayatan atau
empedu atau doktus koledokus dan dikeluarkan melalui endoskop atau
laparoskopi. Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain
dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral
dapat dipasang selama 7 hari.
Pembedahan
b. Koleksistektomi laparaskopi
a. Koleduktostomi
Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat setelah
Dalam koleduktostomi, sayatan dilakukan pada duktus koledokus
arteri dan duktus sistikus diligasi. Kolesistektomi
untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya
dilakukan pada sebagian besar kasus kolesistis akut
dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase
dankronis. Sebuah drain (Penrose) ditempatkan dalam
getah empedu sampai edema mereda. Keteter ini dihubungkan
kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat
dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga
luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan
mengandung batu, dan 17 umumnya koledokostomi dilakukan
serosanguinus dan karet empedu ke dalam kasa
bersama kolesistektomi
absorben.

c. Minikoleksistektomie
Adalah prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu d. Koledokthostomy
lewat luka sayatan selebar 4cm. Kolesistektomi laparoskopik Adalah pengangkatan batu dari duktus koledokus bila
(atau endoskopi), dilakukan lewat luka sayatan yang kecil atau terdapat batu, adanya obstruksi dan dilatasi duktus
luka tusukan melalui dinding abdomen pada umbilicus. Pada koleduktus. Merupakan tindakan pembedahan yang
prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dilakukan atas indikasi cholesistitis atau pada
dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk kolelitisis, baik akut / kronis yang tidak sembuh
membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah dengan tindakan konservatif.
melihat struktur abdomen.
Pemantauan :

2. Tumbuh kembang
1. Terapi
a. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya
Keberhasilan terapi dilihat dari (Juffrie et al., 2009) : dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi
a. Progresivitas secara klinis seperti keadaan ikterus (berkurang, tetap, badan bayi/anak.
makin kuning), besarnya hati, limpa, asites, vena kolateral. b. Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik
b. Pemeriksaan laboratorium seperti kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, menunjukkan perlambatan sejak awal.
AST, GGT, albumin, dan uji koagulasi dilakukan setidaknya setiap bulan. c. Pasien dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya akan
c. Pencitraan kadang-kadang diperlukan untuk memantau adanya tumbuh dengan baik pada awalnya, tetapi kemudian akan
perbaikan atau perburukan. mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan progresivitas
penyakitnya
4. DIARE PERSISTEN
Pengertian
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi
sedang atau berat diklasifikasikan sebagai berat atau kronik. Diare persisten menyebabkan kehilangan berat badan karena
pengeluaran volume faces dalam jumlah banyak dan berisiko mengalami diare.
Diare persisten dibagi menjadi dua yaitu :
1. Diare persisten berat
Diare persisten berat merupakan diare yang berlangsung selama ≥ 14 hari, dengan tanda dehidrasi, sehingga anak memerlukan
perawatan di rumah sakit
2. Diare persisten tidak berat atau ringan.
Diare persisten tidak berat atau ringan merupakan diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih yang tidak menunjukkan tanda
dehidrasi
EPIDEMIOLOGI
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi diare
persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan
menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari seluruh kematian akibat diare. Hal ini
menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak
di dunia. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak
berusia 6-11 bulan.
Etiologi
1. Faktor Makanan
Faktor makanan disebabkan karena toksin yang ada tidak mampu 2. FaktorInfeksi
diserap dengan baik dan dapat terjadi peningkatan peristaltik usus
yang akhirnya menyebabkan penururnan kesempatan untuk Faktor infeksi diawali dengan adanya mikroorganisme
menyerap makanan atau minuman yang terkontaminasi yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang
mikroorganisme dan paling banyak disebabkan oleh infeksi bakteri kemudian kuman akan berkembang dalam usus dan
seperti Escherihcia coli, Salmonella dan Vibro cholera.Faktor merusak sel mukosa usus yang dapat mengakibatkan
makanan juga bisa disebabkan karena makanan yang sudah basi, menurunkan permukaan usus
makanan beracun, dan alergi makanan sehingga usus tidak mampu
menyerap dengan baik yang kemudian akan menyebabkan diare

3. Faktor malabsorbsi
4. Faktor Psikologis
Faktor malabsorbsi karbohidrat yaitu
Faktor psikologis yang dapat
terganggunya sistem pencernaan yang
mempengaruhi terjadinya peristaltik
berpengaruh pada penyerapan karbohidrat 5. Tidak diberikan ASI secara
usus sehingga mempengaruhi
dalam tubuh. Gejalanya berupa diare berat, tinja penuh untuk waktu 4-6 bulan
proses penyerapan makanan.
berbau sangat asam, sakit di daerah perut,
Penyebab diare yang paling sering
terganggunya penyerapan lemak dalam tubuh,
ditemukan di lapangan atau secara
dan terganggunya penyerapan protein lemak
klinis karena infeksi dan keracunan
dalam tubuh
6. Penggunaan botol susu yang tidak
bersih dapat memudahkan kuman masuk 7. Menyimpan makanan masak yang
ke dalam botol pada saat susu dimasukan terpapar kuman
ke dalam botol susu.

8. Penggunaan air minum yang tercemar


bakteri dari feses, hal ini disebabkan
9. Tidak mencuci tangan sesudah buang
karena tangan yang tercemar atau
air besar, membuang fese, atau sebelum
terkontamiasi oleh bakteri mengenai air
memasak makanan
sewaku mengambil air dari tempat
penyimpanan
FAKTOR RISIKO
Faktor utama mekanisme diare kronik dan persisten meliputi :
1. Faktor intralumen
Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar, dan brush border membrane.
2. Faktor mukosal.
Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang
mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus (karena infeksi ataupun noninfeksi, seperti intoleransi laktosa), ataupun
gangguan pada fungsi transport protein, antara lain gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan Khlorida-Bikarbonat.
Faktor risiko terjadinya diare persisten adalah kelompok usia < 12 bulan, pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini, penundaan
pemberian ASI pertama pada awal kelahiran, dan manajemen yang tidak tepat pada diare akut.
TANDA DAN GEJALA
a. Berat badan menurun
b. Turgor kulit ≥ 2 detik
c. Mata dan ubun-ubun cekung
d. Mulut dan kulit menjadi kering
e. Nafsu makan menurun (Octa, dkk, 2014)
f. Anak tampak gelisah dan suhu badannya meningkat.
g. Konsistensi tinja encer berlendir atau berdarah.
h. Warna tinja tampak kehijauan akibat tercampurnya dengan cairan empedu.
i. Anak mengalami gangguan gizi akibat kurangnya intake (asupan) makanan.
j. Anak mengalami hipoglikemia (penurunan kadar gula darah) dan dehidrasi (kekurangan cairan)
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA
Tatalaksana diare persisten harus diarahkan untuk mencari dan mengatasi etiologi yang mendasarinya, misalnya riwayat
pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat, dan adanya penyakit sistemik.
Penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status tumbuh kembang anak harus dilakukan. Pemeriksaan darah standar meliputi
pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit, dapat pula dilengkapi dengan lain seperti pemeriksaan ureum darah, tes fungsi hati,
vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju enap darah, dan protein C-reaktif. Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes
enzim pankreas, seperti tes fecal elastase, tes pH tinja atau adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, serta kultur
tinja.
KOMPLIKASI

1. Dehidrasi 2. Hipernatremia 3. Hiponatremia

• Dehidrasi meliputi dehidrasi ringan, • Hipernatremia biasanya terjadi • Hiponatremia terjadi pada anak
sedang dan berat. Dehidrasi ringan pada diare yang disertai muntah, yang hanya minum air putih saja
terdapat tanda atau lebih dari menurut penelitian jurmalis, atau hanya mengandung sedikit
keadaan umumnya baik, mata Sayoeti, dan Dewi tahun (2008), garam, ini sering terjadi pada anak
terlihat normal, rasa hausnya menemukan bahwa 10,3% anak yang mengalami infeksi shigella dan
normal, minum biasa dan turgor yang menderita diare akut dengan malnutrisi berat dengan edema
kulit kembali cepat. Dehidrasi dehidrasi berat mengalami
sedang keadaan umumnya terlihat hipernatremia.
gelisah dan rewel, mata terlihat
cekung, haus dan merasa ingin
minum banyak dan turgor kulitnya
kembali lambat. Sedangkan
dehidrasi berat keadaan umumnya
terlihat lesu, lunglai atau tidak
sadar, mata terlihat cekung, dan
turgor kulitnya kembali sangat
lambat > 2 detik.
4. Hipokalemia 5. Demam

• Hipokalemia terjadi karena kurangnya kalium (K) selama • Demam sering ditemui pada kasus diare. Biasanya
rehidrasi yang menyebakan terjadinya hipokalemia demam timbul jika penyebab diare berinvansi ke dalam
ditandai dengan kelemahan otot, peristaltik usus sel epitel usus (Grace & Jerald, 2010). Bakteri yang
berkurang, gangguan fungsi ginjal, dan aritmia masuk ke dalam tubuh dianggap sebagai antigen oleh
tubuh. Bakteri tersebut mengeluarkan toksin
lipopolisakarida dan membran sel. Sel yang bertugas
menghancurkan zat-zat toksik atau infeksi tersebut
adalah neutrofil dan makrofag dengan cara fagosistosis.
Sekresi fagosik menginduksi timbulnya demam
PENCEGAHAN
1. Memberikan ASI
Pemberian ASI memberikan antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya
memberikan perlindungan secara imunologi

2. Memperbaiki makanan pendamping ASI


Pemberian makanan pendamping ASI meningkatkan resiko terjadinya diare
ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian

3. Menggunakan air bersih yang cukup


Menggunakan air yang bersih dan melindungi air dari kontaminasi bisa dengan
mengambil air dari sumber air yang bersih, simpan air di tempat bersih dan
tertutup, menggunakan gayung khusus untuk mengambil air, jaga sumber air dari
pencemaran
4. Mencuci tangan
Melakukan kebiasaan mencuci tangan dapat mengurangi resiko terserang gangguan
pencernaan dan diare sebesar 48%

5. Membuang tinja bayi dengan benar


Membuang tinja bayi ke dalam jamban dengan sesegera mungkin

6. Pemberian imunisasi campak


Pemberian imunisasi campak pada anak merupakan salah satu upaya pencegahan
diare, karena anak yang sakit campak sering disertai dengan diare, sehingga
imunisasi campak sangat penting untuk mencegah penyakit diare pada anak
PENANGANAN
Berikan cairan untuk mengatasi dehidrasi dengan banyak meminum air putih
Penambahan suplemen zine untuk mengurangi tingkat keparahan dan durasi diare karena suplemen zie dapat mengurangi tinju dan
pengurangan pengeluaran tinja.
Penambahan vitamin A puda beyi dan anak untuk pencegahan diare karena infeksi dan paparan HIV
Berikan ASI lebih lama pada setiap kali pemberian (Bila masih diberi ASI)
Hindari makanan berar, berlemak, berminyak dan juga pedas
Hindari minuman yang mengandung kafein, seperti kopi teh dan cola
Berikan antibiotik apabila diare disebabkan oleh bakteri.
Rupuk segera bila diare terlihat semakin purah ditandai dengan:
1. Anak muntah tiap kali minum, Karena hal tersebut bias menjadikan diare dengan dehidrasi berat
2. Demam
3. Adanya lendir dalam darah.
ASUHAN KEBIDANAN SESUAI DENGAN
CONTOH KASUS HEPATITIS WEWENANG BIDAN
Pasien Ibu hamil Ny I, G3P1A1, usia 39 tahun datang ke Rumah Sakit Abdul Moeloek tanggal 4 November 2016 dengan
keluhan pasien hamil kurang bulan dengan mata kuning. Pasien mengeluhkan merasa mulai mengalami perubahan berwarna
kekuningan pada matanya disertai BAK yang berwarna kuning pekat seperti teh sejak 2 bulan yang lalu. Sejak 2 minggu yang
lalu pasien juga mengeluhkan tubuhnya mulai merasa menjadi kekuningan. R/ keluar air-air (-), R/ darah (-), lendir (-).
Gerakan janin (+). Menurut pasien, pasien sudah hamil selama 36 minggu dengan riwayat penyakit hepatitis B dan riwayat SC
tahun 2007 dengan indikasi plasenta terletak di bawah. Pasien datang ke RSAM atas rujukan dari RS Mardi Waluyo Metro
karena hamil dengan hepatitis B.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran composmentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 86x/m,
pernafasan 20x/m, suhu 370 C, konjungtiva hiperemis, sclera ikterik (+) dan ikterik generalisata. Pemeriksaan fisik obstetri
didapatkan, TFU (Tinggi Fundus Uteri) yaitu 28 cm dari simfisis pubis, pada leopold I bulat lunak dan tidak melenting terasa
bokong, pada leopold II letak memanjang dengan punggung bagian kiri, pada leopold III bulat keras dan melenting terasa
bagian kepala dan leopold IV konvergen, auskultasi denyut jantung janin 147x/menit dan TBJ 2480 g. Pemeriksaan dalam
dilakukan inspeksi portio livide, ostium uterus eksterna tertutup, dan fluxus(-).Pemeriksaan vaginal toucher portio lunak,
posterior, Ø kuncup, kepala, floating, ketuban belum dapat dinilai, penunjuk belum dapat dinilai.
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini didapatkan nilai hemoglobin 11,2g/dL, leukosit 12.500/µL, hematokrit 31%,
trombosit 361.000 /µL dan HbsAg (+) reaktif. Hasil USG 5 November 2017 yaitu tampak janin tunggal hidup, presentasi
kepala, DJJ (+), biometri janin : BPD, FL, AC ̴ 35-36 minggu, ketuban (+), Plasenta di corpus anterior. Kesan : Hamil 35-36
minggu janin tunggal hidup presentasi kepala. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis G3P1A1hamil 36 minggu belum inpartu dengan Hepatitis B + Riwayat SC
1x JTH presentasi kepala. Penatalaksaan pada pasien yaitu observasi TVI dan DJJ, IVFD RL gttxx/mnt, dan saat ada his
pasien direncanakan sectio caesarea (SC). Pada bayi, diberikan vaksin hepatitis B segera setelah lahir.
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini didiagnosis dengan kehamilan dengan
hepatitis B. Diagnosis kehamilan dengan hepatitis tidak berbeda dengan diagnosis hepatitis akut pada populasi umum.
Diagnosis penyakit hepatitis ditegakkan berdasarkan gejala (keluhan), tanda (temuan klinis), kelainan fungsi hati yang
mendukung (peningkatan kadar seromarker spesifik untuk setiap jenis virus penyebab. Pasien ini ditemukan gejala sklera
ikterik dan ikterik generalisata dimana menunjang temuan klinis kehamilan dengan hepatitis. Pada ibu hamil dengan ikterus,
waspadai kemungkinan infeksi akut HBV dan adanya hepatitis fulminan (sangat ikterik, nyeri perut kanan atas, kesadaran
menurun dan hasil periksaan urine (warna seperti teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, sedangkan pemeriksaan darah
selain urobilin dan bilirubin positip SGOT dan SGPT sangat tinggi (biasanya diatas 1000).
Pada kasus ini, ditemukan hasil pemeriksaan HbsAg positif yang merupakan suatu pertanda adanya infeksi pada hati
oleh virus HBV, pertanda replikasi seperti HbeAg dan DNA HBV, pertanda untuk mengetahui akut atau kronik yaitu IgM anti-
HBc yang menunjukkan adanya kerusakan hati.USG akan menampakkan pembesaran hati serta bertambah densitas gama
dari parenkim hati pada hepatitis akut-kronik.
Pada tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap hepatitis akut pada kehamilan dengan tanpa
kehamilan. Istirahat yang cukup dan terapi simtomatik tetap menjadi dasarnya. Terminasi kehamilan hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik. Aspek yang perlu ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan terjadinya transmisi
vertikal virus penyebabnya, karena hal ini dapat berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan.
Persalinan pada ibu hamil dengan titer HBV tinggi (3,5 pg /mL) atau HBeAg positif lebih baik SC pada persalinan yang
lebih dari 14 jam. Pada infeksi akut persalinan pervaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin dan rawat bersama
dengan Ahli Penyakit Dalam.
Pada pasien ini dilakukan tindakan SC, alasannya karena berdasarkan penelitian Pan et al. bahwa tindakan SC dapat
mencegah penularan MCTC. Tindakan SC lebih efektif dilakukansebelum ketuban pecah. Pan et al. menganalisis data dari
1.409 bayi yang lahir melalui persalinan pervaginam, seksio sesaria elektif atau operasi caesar darurat untuk ibu dengan
HBsAg positif. Infeksi HBV yang ditularkan pada bayi yang lahir dengan operasi caesar elektif memiliki persentase yang
lebih kecil (1,4%), dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3,4%) atau operasi caesar darurat (4,2%). Operasi caesar
darurat tidak berpengaruh oleh penularan vertikal dibandingkan dengan persalinan pervaginam, sedangkan bayi yang lahir
dengan operasi caesar elektif memiliki tingkat signifikan lebih rendah dari penularan vertikal dari mereka yang lahir
dengan operasi caesar non-elektif.
Infeksi akut virus hepatitis B pada ibu hamil tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan
teratogensitas. Infeksi dapat dicegah dengan vaksinasi dan bagi yang diduga telah terpapar dianjurkan untuk
juga diberikan imunoglobulin (HBIG). Apabila ibu mengalami HbeAg positif (HBV DNA load tinggi) sebaiknya
diberikan HBIG dan vaksin untuk bayi. Bagi bayi yang ibunya HbeAg positif berisiko tinggi menjadi infeksi HBV
kronik.
Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah bayi lahir, mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan
upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu
kepada bayinya. Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu: 1) vaksin yang berasal dari
plasma, dan (2) vaksin rekombinan. Kedua ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir
karena antibodi anti HbsAg tidak mengganggu respons terhadap vaksin.
Menurut Pedoman Nasional di Indonesia dan WHO merekomendasikan sebaiknya HBIg dan vaksin
Hepatitis B diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambatlambatnya 24 jam setelah persalinan
untuk mendapatkan efektifitas yang lebih tinggi.
Pemberian profilaksis HBIG memberikan manfaat tambahan terutama pada bayi baru lahir dengan ibu HbsAg positif
dan HbeAg positif. Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HbsAg ibu pada saat melahirkan adalah:
1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg nya mendapatkan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan
atau 10 mcg (0,5 ml) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2
bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HbsAg positif maka segera
berikan 0,5 ml HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).
2. Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapatkan 0,5 ml HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5
ml) vaksin rekombinan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.
3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 ml) vaksin rekombinan,
sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 ml) intramuskular pada saat
lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18
bulan.
4. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 Tahun.
Mengenai menyusui bayi, tidak ada masalah untuk menyusui bayinya. Jika bayi telah divaksinasi segera setelah lahir,
maka tubuh bayi akan membentuk antibodi sehingga tidak terjadi penularan dari ibu ke bayi . Pada penelitian telah
dibuktikan bahwa penularan melalui saluran pencernaan membutuhkan titer virus yang jauh lebih tinggi dari
penularan parenteral
Sekian dan Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai