Anda di halaman 1dari 11

MASA LEMBAGA

PEKABARAN INJIL
PDT. DR. YUDA D. HAWU HABA, M.TH
A. Lembaga Pekabaran Injil

 Di Eropa berkat munculnya gerakan pietisme, didirikanlah Lembaga Pekabaran Injil (LPI). Lembaga tersebut banyak yang
bekerja di Indonesia terutama berasal dari Belanda.
 Pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengijinkan lembaga pekabaran Injil untuk bekerja di
Indonesia. Artikel yang terakhir (123) berbunyi sbb:
“Guru-guru Kristen, imam-imam, dan misionaris haruslah terlebih dahulu memperoleh ijin khusus yang diberikan
atas nama atau langsung oleh Gubernur Jenderal untuk diperbolehkan bekerja di Indonesia. Bila ijin yang telah
diberikan itu kemudian dianggap merugikan pemerintah atau syarat-syarat yang ditetapkan tidak ditaati, maka ijin
dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal”.
 Lembaga pekabaran ini ditempatkan pada wilayah tertentu. Pekabaran Injil berganda dilarang. Hal ini disebabkan lembaga
pekabaran Injil yang ada di Eropa berada dalam keadaan konflik satu dengan yang lainnya.
1. Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk)

 Raja Willem I hendak membentuk hanya satu Gereja Protestan di Indonesia.. Contoh ini ditirunya dari
tindakan Raja Frederick Willem III di Prusia yang mempersatukan semua gereja Protestan di sana. Pada
tahun 1815
 Raja Willem I mengumumkan bahwa mulai dari waktu ini segala urusan gereja ditangani oleh Depertemen
Perdagangan dan Koloni (jajahan).
 Di Den Haag dibentuk suatu komisi yang disebut ‘Haagsche Commissie’ (Komisi Den Haag). Tugasnya ialah
memberikan nasihat dan usul mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan gereja di Indonesia
serta menguji dan menabiskan pendeta yang diangkat oleh raja.
 Tahun 1835 keluarlah keputusan Raja bahwa di Indonesia hanyalah terdapat satu gereja. Keputusan Raja ini
ditentang oleh Partai Liberal dalam Parlemen Belanda namun partai ini masih kecil sehingga keputusan Raja
diberlakukan di Indonesia.
 GPI ini merupakan gereja negara sehingga para pendetanya diangkat dan digaji oleh negara. Pembentukan
suatu gereja negara di Indonesia bertentangan dengan pengumuman Daendels tentang kebebasan
beragama di Indonesia.
Lanjutan..

Sebenarnya masa adanya gereja negara telah berakhir, namun di Indonesia tetap hidup sebuah gereja
negara hingga pertengahan abad ke-20. Mengapa hal ini terjadi?

Terdapat 2 macam pertimbangan:


1. Pemerintah Belanda bertanggung jawab atas segala warisan VOC termasuk di dalamnya terhahap
pemeliharaan orang-orang Kristen di Indonesia hasil pekerjaan VOC di Indonesia. Dengan demikian,
pemerintah Belanda mempunyai tanggung jawab moral-etis dan yudiris terhadap orang-orang Kristen
di Indonesia.
2. Pemerintah Belanda sadar bahwa untuk mengokohkan penjajahannya di Indonesia memerlukan
adanya dukungan penduduk Indonesia sendiri. Ia membutuhkan sekutu-sekutu di sana. Untuk
mendapat sekutu dari pihak orang-orang Islam adalah tidak mungkin. Orang-orang Islam selalu
bersikap bermusuhan dengan Belanda sepanjang sejarah penjajahan di Indonesia. Oleh karena itu,
pemerintah Belanda melihat hanyalah orang-orang Kristen yang dapat dijadikan sebagai sekutu yang
baik dan loyal pula. Dengan demikian, yang menjadi pertimbangan yang kedua adalah pertimbangan
politis. Hal ini memang menjadi nyata dalam sepak terjang pemerintah terhadap GPI dan LPI di
Indonesia.
2. Organisasi Gereja Protestan di Indonesia-GPI

 Untuk mengurus GPI di Indonesia, maka di Batavia dibentuk sebuah Badan Pengurus GPI yang komposisi personalianya sbb: seorang
Ketua, dipilih dari anggota Dewan Pemerintahan Hindia Belanda; seorang Wakil Ketua, dipilih dari salah seorang pendeta di Batavia,
dan tiga orang anggota yang dipilih dari anggota jemaat terkemuka di Batavia.
 Seluruh wilayah kerja GPI dibagi atas beberapa distrik (affleling), yaitu Timor, Maluku, Minahasa, dan Indonesia Barat.
 Setiap affleling dipimpin oleh seorang pendeta yang berpendidikan akademis dengan jabatan Pendeta Ketua (Predikant-Voorzitter). Lalu
sub-affleling yang dipimpin oleh seorang tenaga pekabar Injil NZG yang tidak berpendidikan teologi-akademis. Jabatan mereka adalah
pendeta Pembantu (Hulp-Predikant).
 Di dalam sub-afleling terdapat sejumlah jemaat (mata jemaat) yang dilayani oleh Pengajar-pengajar Pribumi (Inlands Leraar) yang
bertugas rangkap, yaitu sebagai Guru Sekolah dan Guru Jemaat.
 Dengan demikian, maka stuktur organisasi GPI disusun secara hirarkis-birokratis. Pengajar-pengajar diawasi oleh Pendeta-pendeta
Pembantu dan Pendeta Pembantu diawasi oleh Pendeta Ketua dan Pendeta Ketua diawasi oleh Badan dan Pengurus GPI, dstnya.
Lanjutan..

a. Asas dan dasar GPI b. Tujuan Gereja Protestan di Indonesia

 Asas GPI pada mulanya tidak jelas sekalipun ditegaskan  Tujuan GPI dirumuskan sbb: memelihara kepentingan
dasarnya ialah Yesus Kristus. agama Kristen pada umumnya dan Gereja Protestan
 Dirumuskan bahwa asas GPI adalah ajaran yang sesuai pada khususnya,
dengan ajaran Injil dan asas Gereja Protestan.  Menambahkan pengetahuan religius dan memajukan
 pada mulanya gereja ini tidak memiliki suatu pengakuan kesusilaan Kristen serta menegakkan ketertiban serta
iman. kerukunan dan memupuk cinta kasih kepada pemerintah
 dalam Sidang Sinode tahun 1936 diputuskan bahwa yang dan tanah air.
menjadi pengakuan gereja ini ialah Pengakuan Iman  Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kepentingan
Rasuli. politik Belanda-lah yang dijalankan oleh Pengurus GPI.
 Jika ditelaah dengan baik maka kekurangan-kekurangan Tidak ada tujuan untuk memuji Tuhan, memberitakan
ini disebabkan karena pembentukkan GPI didasarkan Injil, dan tugas melayani yang merupakan trilogi tugas
pada pertimbangan politis yang lebih dominan. GPI penggilan gereja di dunia ini.
memang menjadi alat Negara.  GPI menjadi suatu lembaga untuk memenuhi kebutuhan
religius masyarakat Protestan di Indonesia.
Lanjutan..

c. Hubungan GPI dan pemerintah Hindia Belanda

Hubungan GPI dan pemerintah Hindia Belanda sangat erat, bahkan menjadi satu. GPI merupakan suatu departemen Negara
yang bertugas mengurus gereja dan orang Kristen di Indonesia. Gereja diawasi dengan ketat. Tidak boleh ada sesuatu pun
tanpa sepengetahuan dan seijin pemerintah Hindia Belanda. Surat-menyurat dengan komisi Denhaag haruslah disahkan oleh
pemerintah. Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemecatan pendeta adalah hak Gubernur Jenderal. Dengan
demikian, keadaan gereja di Indonesia pada zaman Hindia Belanda tidak berbeda dengan gereja pada zaman VOC.

Hubungan yang satu antara gereja dan pemerintah seperti yang telah dijelaskan di atas berlawanan dengan hakikat dan
panggilan gereja, antara lain sbb:
1) Gereja tidak bebas berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah;
2) Anggota jemaat tidak cepat menjadi dewasa dalam hidup kegerejaan karena selalu bergantung kepada pemerintah;
3) Pendeta adalah pegawai Negara sehingga kadang-kadang dedikasinya kurang;
4) Pendeta diangkat oleh Negara dengan tidak dipertimbangkan ajaran dan pengakuannya;
5) Peraturan disiplin gereja tidak dapat dijalankan bagi pejabat pemerintahan;
6) Pendeta Ketua memandang rendah Pendeta Pembantu, dan Pendeta Pembantu memandang rendah Pengajar Pribumi
(Inlands Leraar).
Lanjutan..

d. Usaha Pemisahan GPI dengan Negara

 GPI mempunyai wilayah pelayanan dalam jemaat-jemaat di mana terdapat warisan orang Kristen VOC sehingga
wilayahnya yang terluas terdapat di Indonesia Timur.
 Untuk menangani pekerjaan pelayanan dalam jemaat GPI, maka GPI mengadakan kontrak kerja sama dengan NZG
(Nederlandsch Zendeling Genootschap) untuk jangka waktu 10 tahun.
 Pada masa kontrak kerja sama selesai, maka kepada tenaga NZG diberi kebebasan apakah mereka tetap bekerja di GPI
dengan melepasakan keanggotaannya dari NZG atau tetap menjadi anggota NZG
 Untuk menopang eks tenaga NZG yang mau terus bekerja di GPI, maka diciptakanlah jabatan baru, yaitu Pendeta
Pembantu.
 Tahun 1863 untuk pertama kali diadakan pemisahan antara GPI dengan pemerintah.
 pada tahun 1863 dibentuklah sebuah Komisi Negara yang bertugas memajukan usul-usul yang memungkinkan
dilaksanakan pemisahan tersebut.

Pada tahun 1874 komisi negara ini menyampaikan usul-usulnya


sbb:
1. Majelis jemaat dipilih oleh jemaat dan bukan pemerintah
2. Pendeta langsung dipanggil dan dipekerjakan oleh jemaat
3. Dalam satu atau dua tahun diadakan rapat jemaat
4. Di Jakarta dibentuk satu Pengurus Harian
Lanjutan..

d. Usaha Pemisahan GPI dengan Negara

 Usul-usul ini tidak dapat diterima dan belum dapat dilaksanakan karena jemaat belum dewasa dan mampu untuk
bertanggung jawab sendiri.
 Usaha yang kedua dimulai lagi pada tahun 1889 yang setelah bekerja setahun lamanya. Hasil kerja dari komisi ini adalah
keadaan belum memungkinkan untuk mengubah keadaan yang ada.
 Pada tahun 1910 sekali lagi dibentuk komisi Negara atas desakan pemerintah Belanda. Komisi membahas mengenai
Pembangunan Jemaat, Pembentukan Klasis, dan Sinode. Laporan kerjanya disampaikan pada Rapat Besar GPI di Jakarta
pada tahun 1916.
 Berdasarkan hasil rapat itu, maka pengurus GPI menyusun suatu usul kepada pemerintah Belanda pada tahun 1919.
 Susunan organisasi yang diusulkan yaitu sistem presbiterial dan sistem sentralisasi (sinodal).
 Mengenai pemisahan dibedakan dua langkah, yaitu pemisahan keuangan dan administrasi. Pemisahan administrasi lebih
mudah untuk dilaksankan. Itulah sebabnya pemisahan administrasi dilaksanakan pada tahun 1935. Pemisahan keuangan
berjalan lebih lambat.
 Namun pada waktu pemisahan keuangan dalam tubuh GPI sudah terdapat 4 buah sinode: GMIM, GMIT, GPM, dan GPIB.
Modal tersebut dibagikan kepada 4 Sinode itu. Dengan demikian, terhapuslah gereja Negara di Indonesia. Gereja
Protestan di Indonesia terlepas dari perhambaan Negara.
Lanjutan..

e. GPI Sesudah Pemisahan dengan Negara

 Sesudah pemisahan administrasi tahun 1935, GPI mengadakan Sinode yang pertama. Dalam Sinode ini dibahas tentang
Peraturan Gereja, Tata Ibadah, dan Usaha Pekabaran Injil, Tata Gerejanya.
 Persoalan yang juga dibahas dalam Sinode ini ialah kenyataan dalam tubuh GPI sendiri telah terdapat dua gereja yang
berdiri sendiri: GMIM (1934) dan GPM (1935).
 Soalnya sekarang, yaitu bagaimana keterhubungannya dengan GPI.

Persoalan ini barulah diputuskan pada Sidang Sinode GPI pada tahun 1948 di Bogor
berhubung telah terbentuknya dua sinode yang baru lagi: GMIT (1947) dan GPIB (1948).
Sinode ini memutuskan sbb:
1. Gereja itu adalah Gereja yang Otonom yang dapat mengatur Organisasinya, Tata
Gerejanya, Peraturanya, Tata Ibadah, Pengakuannya, dsb.
2. Hak pengangkatan pendeta Indonesia maupun pendeta utusan adalah hak Badan pengurus
Am PGI.
3. Sinode masing-masing gereja dapat menempatkan dan memindahkan pendeta dalam
lingkungan sinodenya masing-masing.
Masing-masing Sinode Otonom namun mereka sepakat untuk tidak membubarkan GPI hingga
sekarang ini. GPI masih tetap terpelihara sebagai warisan historis.
Kupang, 8 September 2021
Pengasuh,

Pdt. Dr. Yuda D. Hawu Haba, M.Th


HP/WA 085 253 421 441
E-mail: raihawu56@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai