kelompok:
1 2 3
3.Inisiatif vs kesalahan
4.Kerajinan vs inferioritas
5.Identitas vs kekacauan
identitas
6.Keintiman vs isolasi
7.Generatifitas vs stagnansi
8.Integritas vs stagnasi
kerterangan
1. Kepercayaan Dasar vs. Kecurigaan Dasar
Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
■ Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya
untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu
berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas
psikososial. Melalui pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi
mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam itu harus mengungguli lawan negatif
dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan dasar.
■ Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan
pertama terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan,
makanan dan kehangatan.
■ Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan
pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang.
■ Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat kuat.
■ Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini
pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya atau “pengakuan atas dirinya”. Bentuk ritual numinous yang
menyimpang dan terungkap dalam kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan atau
idolisme.
■ 2. Otonomi vs. Perasaan Malu dan Keragu-Raguan
Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
■ Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan
pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki
kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.
■ Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari
orang. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan
kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih
mengendalikan diri dan bertindak yang terus meningkat.
■ Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri
dan orang lain serta membedakan antara benar dan salah.
■ Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan huruf ketentuan hukum
daripada semangatnya, mengutamakan hukuman daripada belas kasih.
3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
■ Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan
langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas,
maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
■ Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya
peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
■ Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang
inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan
dibuat merasa sangat cemas.
■ Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.
■ Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
■ Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan
yang dimilikinya.
■ Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan
kemampuannya untuk berhasil.
■ Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.
■ Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan
pengetahuan dan keterampilan intelektual.
■ Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten
dan tidak produktif.
■ Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun
■ Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
■ Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap
kedewasaan).
■ Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja
menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
■ Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
■ Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan,
maka kebingungan identitas merajalela.
■ Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam
tahap ini.
■ Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
■ Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
■ Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap
berkomitmen dengan orang lain.
■ Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
■ Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim.
Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki
kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional,
kesendirian dan depresi.
■ Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
■ Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir
dan keluarga.
■ Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi
terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
■ Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di
dunia ini.
■ 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)
■ Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
■ Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan
mengalami banyak penyesalan.
■ Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
■ Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan
dan kegagalan yang pernah dialami.
■ Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
Konsep baru tentang ego
■ Freud memandang ego sebagai eksekutif kepribadian yang memuaskan impuls id, mengatasi keadaan darurat sosial dan fisik dari dunia luar, serta
beusaha memenuhi dengan norma-norma perfeksionistik dari superego. Sebagaimana tampak dalam tahap kehidupan yang dikemukakan Erikson, ia
telah memberikan sejumlah kualitas pada ego yang jauh melampaui konsepsi psikoanalitik pendahulu tentang ego.
■ Tipe ego yang digambarkan oleh Erikson dapat disebut ego kreatif. Ego kreatif dapat dan memang berhasil menemukan pemecahan-pemecahan kreatif
atas masalah-masalah baru yang menimpanya pada setiap tahap kehidupan. Pada setiap tahap ia mampu menggunakan kombinasi antara kehidupan
batin dan kesempatan yang tersedia di dunia luar serta melakukannya dengan giat, bahkan dengan perasaan gembira. Apabila menemui hambatan,
maka bereaksi dengan usaha baru dan bukan menyerah. Kemampuan untuk bangkit kembali menurut Erikson merupakan suatu yang inheren dalam
ego muda. Pada kenyataannya, ego justru berkembang berkat konflik dan krisis.
■ Konsep ego Erikson, memasyarakat dan historis. Disamping faktor genetik, fisiologis dan anatomis, yang menentukan kodrat ego, terdapat juga
pengaruh kultural dan historis. Ini merupakan sumbangan Erikson yang sangat kreatif tentang ego.
■ Erikson juga telah berpikir tentang dimensi yang mungkin terdapat pada suatu identitas ego yang baru. Ia berpendapat bahwa suatu identitas harus
berpijak pada tiga aspek kenyataan, yaitu faktualitas, kesadaran akan kenyataan dan aktualitas. Namun kemudian Erikson dengan bercanda
menambahkan aspek yang ke empat yaitu nasib atau kebetulan.lahir di Frankfurt-am-Main, Jerman, 15 Juni 1902 – meninggal di Harwich, Cape Cod,
Massachusetts, Amerika Serikat, 12 Mei 1994 pada umur 91 tahun) adalah seorang psikolog Jerman yang terkenal dengan teori tentang delapan tahap
perkembangan pada manusia.[2] Sebenarnya Erikson adalah seorang psikolog Freudian, namun teorinya lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan
jika dibandingkan dengan para psikolog Freudian lainnya
■ Erikson menjadi terkenal karena upayanya dalam mengembangkan teori tentang tahap perkembangan manusia yang dirintis oleh Freud.[2] Erikson
menyatakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut delapan
tahap.[2] Berkembangnya manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya atau ketidakberhasilannya dalam menempuh
tahap sebelumnya.[2] Pembagian tahap-tahap ini berdasarkan periode tertentu dalam kehidupan manusia: bayi (0-1 tahun), balita (2-3 tahun), pra-
sekolah (3-6 tahun), usia sekolah (7-12 tahun), remaja (12-18 tahun), pemuda (usia 20-an), separuh baya (akhir 20-an hingga 50-an), dan manula (usia
50-an dan seterusnya
■ Masing-masing tahapan juga memiliki tugas perkembangan sendiri yang bersifat psikososial.[2][3] Misalnya saja, pada usia bayi tujuan psikososialnya
adalah menumbuhkan harapan dan kepercayaan.[2] Kemudian bila tujuan ini tak tercapai, maka bayi itu akan lebih didominasi sifat penakut.
DAFTAR PUSTAKA